• Tidak ada hasil yang ditemukan

Di Indonesia, sejarah tentang penyakit ini banyak ditulis oleh Semangun (1994). Dalam bukunya tersebut antara lain Semangun menyatakan bahwa penyakit ini dilaporkan oleh Van Breda de Haan pada tahun 1897 terdapat pada pertanaman tembakau di Deli dan Pulau Jawa. Kemudian pada tahun 1901 Hunger melaporkan bahwa penyakit ini menyerang tanaman tomat di daerah Sumatera Barat dan Jawa Barat dan menyebabkan kehilangan hasil yang cukup tinggi. Pada tahun 1912 Van Hall melaporkan serangan penyakit ini pada tanaman kentang di daerah Karo, Sumatera Utara dan sejak itu penyakit ini terus menyebar ke daerah lain di Indonesia.

Gejala khas yang ditimbulkan oleh bakteri ini adalah terjadinya kelayuan, tanaman menjadi kerdil dan penguningan daun. Semakin muda umur tanaman yang terserang maka gejala yang ditimbulkan semakin parah (Brown et al. 1980). Pada tanaman dewasa, gejala awal berupa daun menguning kemudian sebagian tanaman menjadi layu, tanaman menjadi kerdil, akhirnya tanaman layu total dan mati (Semangun 1994). Pada tanaman tomat, gejala diawali dengan menguning nya tangkai daun pada waktu cuaca sangat panas selama beberapa hari. Pada tanaman yang layu seringkali terbentuk celah-celah kebasahan berwarna coklat. Untuk mengimbangi penyumbatan pada jaringan pembuluh, tanamn yang terserang seringkali membentuk akar-akar samping pada batang bagian bawah. Tanaman menjadi kerdil dan mengalami klorosis (Hartman & Elphinstone 1994)

Gejala pada bagian dalam tanaman umumnya sama. Apabila dibuat potongan memanjang maka jaringan pembuluh terlihat berwarna coklat. Jika batang dipotong melintang akan terlihat adanya ooze berwarna putih kotor hingga kecoklatan dan apabila dimasukkan ke dalam air maka akan terlihat aliran ooze seperti benang berwarna putih (Brown et al. 1980).

Bakteri patogen menginfeksi melalui luka pada jaringan akar. Setelah masuk ke dalam jaringan pembuluh, bakteri kemudian menyebar dan memperbanyak diri dalam jaringan tersebut, merusak dinding sel dengan

7 memproduksi enzim pectinesterase, cellulase, protease dan senyawa EPS (Hayward 1995).

Berdasarkan tabel yang dibuat oleh Cook & Sequeira (1994) bakteri yang dapat menyebabkan penyakit layu pada tanaman tomat termasuk dalam ras 1 atau 3 dan biovar 1, 2, 3, dan 4. Pengelompokan ke dalam ras didasarkan pada kisaran inang, sedangkan pengelompokan kedalam biovar didasarkan pada pemanfaatan senyawa gula dan gula alkohol tertentu.

Beberapa teknik pengendalian penyakit layu bakteri

Berbagai upaya sudah banyak dilakukan untuk mengendalikan penyakit layu bakteri pada tanaman tomat. Beberapa upaya pengendalian tersebut ada yang berhasil tetapi beberapa lainnya gagal. Hartman et al. (1993) menyatakan bahwa suatu senyawa bakterisida, Terlai, ternyata efektif dalam mengurangi penyakit layu di rumah kaca. Tetapi senyawa ini tidak dikomersialkan.

Pengendalian dengan sistem bercocok tanam yang dilaporkan berhasil adalah rotasi tanaman menggunakan jagung pada tanaman kentang di Peru (Elphinstone & Aley 1993). Di Indonesia, Machmud (1993) melaporkan bahwa rotasi tanaman selama 2 tahun dengan tanaman bukan inang, seperti padi atau jagung, dapat mengendalikan penyakit layu bakteri pada kacang tanah.

Teknik pengendalian yang secara potensial paling efisien adalah penanaman varietas tahan. Pada beberapa tanaman, seperti tembakau, terong, kentang, cabai, dan tomat sudah banyak ditemukan varietas-varietas yang tahan terhadap serangan bakteri layu (Hartman & Elphinstone 1994). Tetapi Akiew & Trevorrow (1994) tetap menyarankan untuk mengembangkan teknik pengendalian lain dan digunakan secara gabungan dengan tanaman resisten. Penggunaan tanaman resisten semata-mata sangat tidak direkomendasikan karena adanya kemungkinan perubahan patogen menjadi populasi yang lebih virulen.

Pengendalian biologi penyakit layu bakteri

Pengendalian biologi didefinisikan oleh Baker dan Cook (1974 dalam Nigam dan Mukerji 1988) sebagai pengurangan jumlah inokulum atau penyakit yang disebabkan adanya aktifitas patogen atau parasit dalam fase aktif atau

dormannya oleh satu atau lebih organisme yang hidup bersama secara alamiah atau melalui manipulasi lingkungan, inang atau antagonis. Pengendalian biologi didasarkan pada antagonisme mikroba yang dapat bersifat langsung (kompetisi, antibiosis) atau tidak langsung (induksi resistensi inang)

Antagonisme langsung. Bakteri yang bersifat antagonis terhadap R. solanacearum telah diisolasi dari berbagai sumber, seperti misalnya tanah suppressive dan rizosfer tanaman inang (Trigalet et al. 1994). P. fluorescens, Bulkholderia cepacia dan P. gladioli dapat menghambat pertumbuhan R. solanacearum pada media. P. gladioli (Pg10) yang diaplikasikan dalam tanah 7 hari sebelum inokulasi R. solanacearum dapat mengurangi terjadinya layu hingga 60% dibanding kontrol (Hartman et al. 1993).

Produksi pigmen fluoresen berwarna kuning-hijau yang berfungsi sebagai siderofor oleh Pseudomonas kelompok fluoresen telah terbukti berperan dalam pengendalian berbagai penyakit tular tanah (Leong 1986; Weller 1988). Hal tersebut dibuktikan juga oleh Hsu et al. (1993) dari hasil penelitiannya bahwa apabila ditambahkan FeCl3 sebanyak 100 uM atau lebih ke dalam medium King’s B maka Pseudomonas kelompok fluorescens (FP) strain D-4, T-9-1, 14 dan G-59 tidak menghasilkan pigmen lagi dan juga kehilangan kemampuan untuk menghambat R. solanacearum.

Selain siderofor, beberapa bakteri Pseudomonas kelompok fluoresen ada yang menghasilkan senyawa beracun yaitu 2,4-Diacetylphloroglucinol (Phl). Senyawa Phl memiliki peranan penting dalam menekan berbagai patogen tular tanah (Keel et al. 1992; Raaijmakers et al. 1999). Raaijmakers et al. (1999) selanjutnya menyatakan bahwa produksi Phl di rizosfer gandum sangat erat hubungannya dengan kemampuan strain yang diintroduksikan dalam mengkolonisasi perakaran.

Bakteri lain yang banyak digunakan untuk mengendalikan R. solanacearum adalah Bacillus spp. Shekhawat et al. (1993) melaporkan bahwa Bacillus spp. dapat mengurangi kelayuan pada kentang rata-rata 72% dibanding kontrol di rumah kaca dan nilai tersebut konsisten selama tiga tahun. Di lapangan bakteri tersebut dapat mengurangi terjadinya layu sebanyak 79% dan meningkatkan hasil 85 – 90% dibanding kontrol.

9 Pada tomat yang ditanam di rumah kaca, B. subtilis NB22 yang diisolasi dari kompos dapat menekan penyakit layu bakteri sampai 80% dibanding kontrol. Senyawa yang berperan pada agens antagonis ini adalah iturin yang melisis dinding sel (Phae et al. 1992; Bernal et al. 2002).

Keuntungan penggunaan agens biokontrol dari bakteri Gram positif, dalam hal ini Bacillus spp., antara lain adalah kemudahan dalam membuat formulasi. Mikroorganisme Gram positif yang bersporulasi membentuk spora yang tahan panas dan tahan kekeringan sehingga dapat diformulasikan dalam bentuk serbuk kering (Emmert & Handelsman 1999).

Resistensi terinduksi. Resistensi sistemik terinduksi (Induced Systemic Resistance = ISR) didefinisikan sebagai perlindungan sistemik pada tanaman yang ditimbulkan oleh suatu agens apabila diaplikasikan pada salah satu bagian tanaman (Kuc 1983). Secara klasik agens penginduksi dapat berupa patogen, patogen yang sudah dimatikan atau dilemahkan, bahan kimia sintetis, produk metabolit dari inang agens yang menginfeksi dan patogen yang inkompatibel (Liu et al. 1995).

Induksi resistensi tanaman inang sebagai akibat dari inokulasi buatan dengan strain virulen yang dimatikan dengan pemanasan, mutan avirulen atau strain R. solanacearum yang inkompatibel pada akar, batang dan daun tanaman inang telah banyak dilaporkan (Trigalet et al. 1994). Frey et al. (1993) menyatakan bahwa mutan hrp (GMI8171, GMI8172 dan GMI8173) yang diaplikasikan dapat menginduksi resistensi tanaman. Demikian juga mutan avirulen Str-10 yang diisolasi dari Strelitzia reginae (Str-10 op type) secara nyata dapat melindungi tanaman tomat dari penyakit layu bakteri (Arwiyanto et al. 1994).

Mutan avirulen jenis kedua masih tetap dapat menghasilkan EPS dari tipe alami tetapi kehilangan kemampuan untuk menimbulkan respons hipersensitif pada inang yang tahan maupun menimbulkan penyakit pada inang yang rentan. Beberapa mutasi tersebut terjadi pada kelompok gen hrp yang berukuran 23 kb (Boucher et al. 1992). Mutan hrp bersifat avirulen pada tomat tetapi masih tetap memiliki kemampuan untuk menginfeksi melalui akar dan berkembangbiak dalam inang yang rentan (Trigalet et al. 1994). Dari hasil awal penggunaan mutan hrp

R. solanacearum untuk pengendalian biologi layu bakteri pada tomat me-nimbulkan dugaan bahwa cara ini memungkinkan untuk diterapkan di lapangan. Menurut Frey et al. (1994) inokulasi dengan mutan avirulen tidak menimbulkan efek negatif terhadap hasil buah.

Penyebaran mutan ini secara sistemik sangat terbatas dan populasinya biasanya menurun, kemungkinan disebabkan aglutinasi oleh senyawa lektin tanaman dan/atau terjerap pada dinding sel tanaman (Sequeira 1982). Frey et al. (1994) menyatakan bahwa tiga bulan setelah inokulasi strain GMI8172 pada perakaran tomat, bakteri avirulen tersebut tidak pernah ditemukan pada jaringan tengah batang atau jaringan kambium. Hal tersebut berlawanan dengan bakteri yang virulen, yang menyebar secara sistemik ke seluruh tanaman yang terserang. Mutan yang sedikit virulen ternyata lebih dapat menginduksi pertahanan dibanding mutan yang benar-benar avirulen (Hara & Ono 1991).

Selain mutan avirulen dari patogen, agens penginduksi lain adalah dari kelompok PGPR (Plant Growth Promoting Rhizobacteria) yang telah dilaporkan dapat mengendalikan beberapa patogen tular tanah (Defago et al. 1990). Mekanisme pengendalian biologi oleh PGPR umumnya meliputi kompetisi (Elad & Chet 1987) atau produksi metabolit seperti siderofor yang berperan dalam antagonisme melawan patogen (Weller 1988). Pseudomonas kelompok fluoresen dan Bacillus merupakan contoh PGPR yang efektif untuk menekan penyakit (Leong et al. 1991). Mathre et al. (1999) menyatakan bahwa Bacillus juga menghasilkan spora sehingga mempunyai potensi untuk mampu bertahan hidup lebih lama.

Liu et al. (1995) menyatakan bahwa berdasarkan hasil penelitiannya tidak ada hubungan antara aktivitas ISR dengan populasi bakteri penginduksi (Pseudomonas putida strain 89B-27 dan Serratia marcescens strain 90-166). ISR terus meningkat walaupun populasi bakteri menurun.

SELEKSI DAN IDENTIFIKASI BAKTERI BIOKONTROL UNTUK MENGENDALIKAN PENYAKIT LAYU BAKTERI PADA TOMAT YANG

DISEBABKAN OLEH Ralstonia solanacearum

(Selection and identification of biocontrol bacteria to control bacterial wilt disease of tomato caused by Ralstonia solanacearum)

ABSTRAK

Pengendalian penyakit layu bakteri menggunakan agens biokontrol masih sulit dilakukan karena agens biokontrol yang dikembangkan umumnya efektif di laboratorium tetapi seringkali gagal di lapangan dan bersifat spesifik lokasi. Berdasarkan hal tersebut pencarian agens biokontrol yang efektif baik di laboratorium maupun di lapangan masih perlu dilakukan. Penelitian ini dilakukan untuk menseleksi dan mengidentifikasi agens biokontrol yang potensial dalam mengendalikan penyakit layu bakteri pada tomat. Enam belas isolat agens biokontrol telah diuji kemampuannya untuk menekan keparahan penyakit layu bakteri pada tomat yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum. Salah satu isolat yang efektif menekan keparahan penyakit adalah Bacillus subtilis AB89. Berdasarkan karakterisasi dan identifikasi sekuens sebagian dari 16S rDNA, dua isolat lain yang efektif teridentifikasi sebagai Bacillus cereus L32 dan

Pseudomonas fluorescens RH4003. Percobaan di dalam rumah kaca

menunjukkan bahwa keefektifan pengendalian oleh P. fluorescens dan B. cereus

L32 masing-masing mencapai 62%. Berdasarkan hasil percobaan di lapangan, keefektifan pengendalian oleh B. subtilis AB89, P. fluorescens RH4003 dan B.

cereus L32 berturut-turut adalah 34, 30 dan 28%. Ketiga agens biokontrol yang

diuji tidak menimbulkan pengaruh fitotoksik terhadap daya kecambah benih dan pertumbuhan bibit tomat secara in-vitro maupun in-vivo di dalam rumah kaca. B.

subtilis AB89 membentuk zona hambatan pada media King’s B, NA, YDCA,

CPGA, CPMA dan CPMA-Ca2+ sedangkan P. fluorescens RH4003 hanya pada media King’s B, CPGA and CPMA-Ca2+. B. cereus L32 tidak membentuk zone hambatan pada semua media yang diuji. Populasi agens biokontrol tetap tinggi, ± 107 cfu/gram akar, pada hari ke-24 setelah diaplikasikan ke dalam tanah.

Kata kunci: Pseudomonas fluorescens, Bacillus sp., perlakuan benih

ABSTRACT

Bacterial wilt disease control using biocontrol agents still difficult to be applied because the biocontrol agents generally effective in the laboratory but not effective in the field and they work in specific location. Based on that reason, the exploration of effective biocontrol agents is still needed. These experiments were conducted to select and identify the potential biocontrol agents to control the bacterial wilt disease of tomato. Sixteen isolates of biocontrol agents were evaluated to reduce the disease index of bacterial wilt on tomato caused by

Ralstonia solanacearum. One of the isolate is Bacillus subtilis AB89, was effective to reduce index of the disease. Based on physiological characterization and partial sequence of 16S rDNA, the other two isolates were identified as

Bacillus cereus L32 and Pseudomonas fluorescens RH4003. Based on the green

house experiment, control effectiveness of P.fluorescens RH4003 or B. cereus

L32was more than 62%. In the open field, control effectiveness of B. subtilis

AB89, P. fluorescens RH4003 and B. cereus L32 was up to 35, 32 and 22%, respectively. All of the biocontrol agents tested have no phytotoxic effects on seed viability and the growth of tomato seedlings in-vitro or in-vivo in the green house. B. subtilis AB89 produced inhibition zone on media King’s B, NA, YDCA, CPGA, CPMA and CPMA-Ca2+ while P. fluorescens RH4003 only on media King’s B, CPGA and CPMA-Ca2+. B. cereus L32 did not produce inhibition zone on all media tested. At the 24th day after application into the soil, the population of biocontrol agents was still high, i.e. ± 107 cfu/gram root.

Keywords: Pseudomonas fluorescens, Bacillus sp., seed treatment

PENDAHULUAN

Isolasi dan seleksi merupakan langkah awal untuk mendapatkan agens biokontrol yang potensial. Walaupun sudah banyak agens biokontrol yang dikembangkan untuk mengendalikan penyakit layu bakteri tetapi penyakit ini masih sulit dikendalikan karena umumnya agens biokontrol yang dikembangkan masih bersifat spesifik lokasi atau kemampuannya berkurang di lapangan. Oleh karena itu masih terbuka peluang untuk mencari dan menseleksi kandidat agens biokontrol dari wilayah-wilayah yang belum diteliti.

Dalam melakukan seleksi agens biokontrol perlu dipilih metode yang sesuai. Beberapa metode seleksi in-vitro tidak dapat memprediksi penampilan di lapangan secara baik walaupun metode yang sesuai dapat memberi keuntungan besar bagi program pengendalian biologi karena murah dan merupakan metode standar. Secara umum, pengujian di lapangan seringkali terlalu sulit dilaksanakan atau terlalu mahal untuk menseleksi isolat dalam jumlah yang besar (Andrews 1992).

Selama ini seleksi awal terhadap agens biokontrol yang potensial biasanya dilakukan berdasarkan adanya zone hambatan pada media agar. Pada bakteri-bakteri yang tidak menghasilkan senyawa penghambat tetapi bersifat kompetitor, kemampuan penghambatannya kemungkinan tidak terdeteksi. Dalam penelitian

13 ini bakteri-bakteri yang tidak menghasilkan zone hambatan pada media agar akan diuji kemampuan penghambatannya terhadap populasi R. solanacearum dalam media cair dan kemampuan menekan penyakit layu bakteri pada tanaman tomat.

Menurut Johnson (1994) kemampuan agens biokontrol menekan penyakit tergantung kerapatan populasi mikroorganisme antagonis, tetapi dalam kasus

Fusarium oxysporum, perbandingan kerapatan populasi antara yang patogen dan

bukan patogen lebih penting dibandingkan dengan nilai mutlak kepadatan populasinya. Alabouvette et al. (1998) menyatakan bahwa untuk mengendalikan penyakit, selain konsentrasi agens biokontrol harus tepat juga harus aktif dalam mengekspresikan aktivitas antagonismenya.

Penelitian dilakukan untuk menseleksi beberapa agens biokontrol dan melakukan identifikasi serta karakterisasi sifat-sifat fisiologi agens biokontrol yang potensial dalam mengendalikan penyakit layu bakteri pada tomat.

BAHAN DAN METODE Isolat patogen dan agens biokontrol

Isolat R. solanacearum KN118 (Ras 1, Biovar 3) yang digunakan dalam percobaan ini diperoleh dari Dr Nishiyama, National Institute for Agro-Environmental Sciences, Tsukuba. Agens biokontrol diisolasi dari rizosfer tanaman tomat sehat yang terdapat pada pertanaman tomat yang mengalami penyakit layu bakteri. Isolat yang diperoleh diuji kemampuannya menghambat R.

solanacearum pada berbagai media agar untuk mendeteksi mekanisme antibiosis

berdasarkan adanya zone hambatan. Isolat-isolat yang tidak menghasilkan zone hambatan selanjutnya diuji kemampuannya menghambat R. solanacearum melalui kompetisi pada media King’s B cair.

Berdasarkan hasil penapisan melalui pembentukan zone hambatan pada medium King’s B agar dan kecepatan pertumbuhan pada isolat yang tidak menghasilkan zone hambatan terpilih 16 isolat untuk digunakan dalam pengujian selanjutnya. Enam belas isolat agens biokontrol tersebut diuji kemampuannya dalam menghambat pertumbuhan populasi R. solanacearum secara in-vitro dan kemampuannya menekan perkembangan penyakit layu bakteri di rumah kaca dan di lapangan. Empat isolat berasal dari koleksi Laboratory of Phytopathology,

Tokyo University of Agriculture, Japan, yaitu: Pseudomonas kelompok fluorescence R4011 dan RH4003, Bacillus subtilis AB89 dan B. subtilis AN; satu isolat Pseudomonas fluorescens Gi-19 merupakan koleksi dari Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian-IPB dan sebelas isolat agens biokontrol lainnya diisolasi dari pertanaman tomat di Bogor dan Lembang, Jawa Barat.

Pengaruh media terhadap pembentukan zone hambatan

Biakan bakteri agens biokontrol pada media King’s B agar yang berumur 48 – 72 jam masing-masing disuspensikan dalam aquadest steril dan kerapatannya diusahakan 108 - 109 cfu/ml. Semua media yang diuji dipanaskan hingga mencair dan setelah suhunya kira-kira 45 – 50oC ditambahkan suspensi R. solanacearum

dengan kerapatan 1010 – 1011 cfu/ml. Setiap 9 ml media ditambah 1 ml suspensi patogen dicampur hingga merata dan kemudian dituang ke dalam cawan petri steril. Selanjutnya satu potongan kertas saring steril dengan diameter 8 mm yang sudah dicelupkan ke dalam suspensi agens biokontrol diletakkan di tengah permukaan agar. Sebagai kontrol, potongan kertas saring dicelupkan ke dalam aquadest steril. Masing-masing agens biokontrol diuji sebanyak tiga kali dan diameter zone hambatan diukur setelah inkubasi pada suhu ruang selama 3 – 4 hari. Media-media yang diuji adalah: NA (meat extract, 10 g; peptone, 10 g; NaCl, 1.5 g; Agar, 15 g; Aquadest, 1000 ml); King`s B Agar 10% (Proteose peptone No.3, 2 g; glycerol, 1 g; K2HPO4, 0.15 g; MgSO4.7H2O, 0.15 g; Agar, 15 g; Aquadest, 1000 ml); CPMA (mannitol, 10 g; cassamino acids, 1 g; peptone, 10 g; Agar, 15 g; Aquadest, 1000 ml); CPMA-Ca2+ (mannitol, 10 g; casamino acids, 1 g; peptone, 10 g; CaCl2.2H2O, 5 g; Agar, 15 g; Aquadest, 1000 ml); CPGA (glucose, 10 g; casamino acids, 1 g; peptone, 10 g; Agar, 15 g; aquadest, 1000 ml); YPDA (peptone, 0.6 g; dextrose, 3 g; yeast extract, 3 g; Agar, 15 g; Aquadest, 1000 ml).

Kemampuan penghambatan bakteri pada media cair

Kandidat agens biokontrol yang tidak menghasilkan zone hambatan, pengujian kemampuan antagonisme dilakukan dengan menumbuhkan masing-masing agens biokontrol bersama-sama dengan patogen dalam media King’s B cair (KBB) 10%. Patogen R. solanacearum yang digunakan dalam percobaan ini

15 adalah bakteri yang resisten secara spontan terhadap rifampisin 50 µg/ml. Suspensi R. solanacearum dan agens biokontrol yang mempunyai kerapatan 105 106 cfu/ml, masing-masing diambil sebanyak 1 ml dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer yang berisi 50 ml KBB 10%. Sebagai kontrol, ke dalam erlenmeyer ditambahkan 1 ml suspensi patogen dan 1 ml aquadest steril. Inkubasi dilakukan pada suhu ruang dan digoyang menggunakan shaker dengan kecepatan 150 rpm/menit. Populasi R. solanacearum dihitung dengan metode pencawanan 24 jam setelah inkubasi. Pencawanan dilakukan secara duplo pada media King’s B 10% yang mengandung rifampisin 50 µg/ml. Penghitungan populasi R.

solanacearum dilakukan pada periode inkubasi 1, 3, dan 7 hari setelah inokulasi

dan pencawanan dilakukan sebanyak dua kali.

Pengaruh agens biokontrol terhadap pertumbuhan kecambah tomat (uji pengaruh fitotoksisitas)

Benih tomat hibrida varietas Big Fukujyu disterilkan dengan alkohol 70% selama 5 menit kemudian direndam dalam NaOCl 1% selama 10 menit dan selanjutnya dibilas dengan aquadest steril. Agens biokontrol diaplikasikan dengan dua cara yaitu : 1. Kontaminasi kertas pembenihan (PC); 3 ml suspensi agens biokontrol dengan kerapatan 109 – 1010 cfu/ml dituangkan ke dalam cawan petri sehingga membasahi kertas pembenihan. Untuk kontrol, kertas pembenihan disiram dengan 3 ml aquadest steril. Selanjutnya sebanyak 50 benih steril diletakkan di atas kertas tersebut; 2. Perlakuan benih (ST); sebanyak 50 benih yang sudah steril direndam dalam suspensi agens biokontrol selama 14 jam dan kemudian diletakkan dalam cawan petri. Untuk kontrol, benih direndam dalam aquadest steril. Masing-masing perlakuan dilakukan dengan tiga ulangan.

Masing-masing cawan petri tanpa penutup selanjutnya diberi kerudung kantong plastik bening dan diletakkan di laboratorium dengan suhu 26 oC dan diberi cahaya selama 12 jam. Pengukuran tinggi kecambah dilakukan pada periode 5, 10, dan 15 hari setelah perlakuan.

Keefektifan agens biokontrol terhadap penyakit layu bakteri

Kemampuan agens biokontrol dalam menekan penyakit layu bakteri diuji dengan cara perendaman akar bibit sebelum pindah tanam. Percobaan dilakukan di dalam rumah kaca dan di lapangan.

Rumah kaca. Bibit tomat yang berumur dua minggu setelah tanam dicabut dari media pembibitan dan setelah akarnya dicuci dengan air kemudian direndam dalam suspensi agens biokontrol dengan kerapatan 109 – 1010 cfu/ml selama 14 jam. Untuk kontrol, akar direndam dalam aquadest steril. Pot plastik berukuran 20 cm x 20 cm x 40 cm diisi dengan tanah steril setinggi ± 8 cm kemudian ditambahkan tanah yang sudah diinokulasi R. solanacearum setinggi ± 5 cm dan terakhir ditambahkan tanah steril setinggi ± 2 cm. Bibit yang sudah direndam akarnya dalam suspensi agens biokontrol kemudian ditanam dalam pot-pot tersebut. Tiap-tiap pot-pot ditanami dengan 10 bibit dan masing-masing perlakuan diulang dua kali.

Keparahan penyakit dihitung menggunakan rumus Townsend dan Hueberger (Unterstenhover 1963). Kriteria penyakit dihitung menggunakan skala yang disebutkan oleh Arwiyanto et al. (1994) dengan beberapa modifikasi, yaitu: 0 = tidak ada gejala, 1 = 0 < kelayuan daun ≤ 10%, 2 = 10 < kelayuan daun ≤

30%, 3 = 30 , kelayuan daun ≤ 60%, 4 = 60 < kelayuan daun ≤ 90%, dan 5 = 90 < kelayuan daun 100%. Rumus keparahan penyakit adalah :

5 ∑ ni x vi

i=0

Keparahan penyakit (%) = x 100% N x Z

ni = jumlah tanaman dengan skala penyakit ke-i vi = skala penyakit ke-i

N = Jumlah tanaman pada tiap perlakuan Z = Skala penyakit tertinggi

Rumus index penekanan penyakit:

DIc – DIb

Indeks penekanan penyakit = x 100% Dic

DIc = Index penyakit pada kontrol

DIb = index penyakit pada perlakuan agens biokontrol

Lapangan. Metode aplikasi agens biokontrol dilakukan seperti pada percobaan di rumah kaca, kecuali umur bibit yang digunakan adalah tiga minggu setelah tanam. Bibit yang sudah direndam kemudian ditanam pada plot percobaan di luar rumah kaca yang sudah diinfestasi dengan R. solanacearum. Masing-masing plot berukuran 2 m x 1,5 m. Dalam satu plot ditanam 20 bibit dan

17 masing-masing perlakuan diulang dua kali. Tingkat keparahan penyakit, index penyakit dan index penekanan penyakit dihitung menggunakan rumus seperti disebut terdahulu.

Kemampuan agens biokontrol mengkolonisasi akar

Kemampuan agens biokontrol dalam mengkolonisasi perakaran diuji pada bibit tomat di laboratorium secara “gnotobiotik” dengan dua perlakuan yaitu : infestasi tanah dan perlakuan benih.

Kontaminasi tanah. Pot plastik transparan (AGRIPOT) berdiameter 8 cm dan tinggi 15 cm yang bertutup (Gambar 1) diisi dengan 55 g tanah dan

Dokumen terkait