• Tidak ada hasil yang ditemukan

Seleksi agens biokontrol yang selama ini banyak dilakukan adalah dengan mendeteksi terbentuknya zone hambatan pada medium agar tertentu terutama King’s B agar. Berdasarkan hasil penelitian ini ternyata jenis media mempengaruhi pembentukan zone hambatan. Bahkan penambahan suatu senyawa tertentu pada suatu media juga dapat mempengaruhi hasil. Oleh karena itu untuk selanjutnya seleksi yang didasarkan oleh mekanisme antibiosis perlu dilakukan pada berbagai media. Seleksi juga perlu dilakukan dalam media cair terutama untuk agens biokontrol dengan mekanisme kompetisi yang tidak dapat dideteksi menggunakan media agar. Beberapa bakteri yang tidak menghasilkan zone hambatan pada media agar setelah diuji dalam media cair ternyata mampu menekan populasi R. solanacearum lebih besar dibandingkan biokontrol lain yang menghasilkan zone hambatan.

Dari hasil penapisan terpilih tiga agens biokontrol dan hasil identifikasi menunjukkan ketiga agens biokontrol tersebut adalah: P. fluorescens RH4003, B. subtilis AB89 dan B. cereus L32. P. fluorescens dan B. subtilis merupakan kelompok bakteri biokontrol yang sudah sering digunakan untuk mengendalikan penyakit layu bakteri pada tomat tetapi B. cereus belum pernah dilaporkan penggunaannya dalam pengendalian penyakit layu bakteri pada tomat. Penelitian ini merupakan penelitian pertama untuk menguji kemampuan B. cereus dalam menekan keparahan penyakit layu bakteri pada tomat. Penelitian ini juga merupakan yang pertama menguji agens biokontrol dengan mekanisme kompetisi untuk mengendalikan penyakit layu bakteri pada tomat. Pemanfaatan B. cereus masih sangat terbatas antara lain: untuk meningkatkan hasil kedelai (Osburn et al. 1995), untuk menekan penyakit busuk buah mentimun (Smith et al. 1993) dan Kazmar et al. 2000).

Kemampuan agens biokontrol dalam menekan penyakit layu bakteri di lapangan ternyata lebih rendah dibandingkan di dalam rumah kaca. Fenomena ini umum terjadi pada berbagai agens biokontrol. Kondisi lingkungan di dalam rumah kaca merupakan lingkungan yang relatif nyaman bagi agens biokontrol karena beberapa faktor lingkungannya sudah diatur. Di dalam rumah kaca agens

biokontrol tidak harus bersaing dengan mikroorganisme lain yang jumlahnya jauh lebih besar dibandingkan di dalam rumah kaca karena tanah yang digunakan untuk menumbuhkan tanaman di dalam rumah kaca relatif steril. Beberapa faktor lingkungan di luar rumah kaca atau di lapangan, seperti angin, suhu, kelembaban tanah, juga tidak teratur. Agens biokontrol harus selalu siap dengan perubahan-perubahan yang terjadi. Energi yang diperlukan untuk bertahan hidup di lapangan lebih besar dibandingkan dengan di rumah kaca atau di laboratorium.

Hasil pengujian di dalam cawan petri maupun dalam tabung reaksi di laboratorium menunjukkan bahwa Pseudomonas fluorescens RH4003, B. subtilis AB89 dan B. cereus L32 mampu menghambat pertumbuhan R. solanacearum. Tetapi berdasarkan hasil pengujian di lapangan ternyata populasi R. solanacearum di dalam tanah masih sangat tinggi (109-1010 cfu/ml). Di dalam cawan petri, antara patogen dan agens biokontrol terjadi kontak langsung, sehingga keduanya harus saling berkompetisi. Di lapangan, pada kondisi lingkungan yang lebih luas kemungkinan antara patogen dan agens biokontrol yang diuji tidak saling berinteraksi yaitu apabila keduanya memiliki niche yang berbeda , sehingga tidak terjadi kontak langsung. Walaupun suatu agens biokontrol di dalam cawan petri menghasilkan zone hambatan yang cukup lebar (penghambatannya kuat) belum tentu akan efektif jika diaplikasikan di lapangan.

Dari serangkaian percobaan yang dilakukan, terlihat bahwa B. subtilis AB89 ternyata memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan agens biokontrol lainnya. B. subtilis AB89 menghasilkan zone hambatan dengan diameter paling besar. Walaupun kemampuan mengkolonisasi perakaran bibit lebih rendah dibandingkan dengan yang lain, agens biokontrol ini mampu menghasilkan penekanan paling tinggi terhadap keparahan penyakit di lapangan. B. subtilis AB89 juga mampu menginduksi aktifitas peroxidase paling tinggi, menghasilkan siderofor dan protease. Berdasarkan kemampuan tersebut maka agens biokontrol ini lebih potensial dibandingkan dengan yang lain.

Untuk mendapatkan agens biokontrol yang handal di lapangan kemungkinan langkah yang perlu dilakukan adalah dengan menseleksi langsung menggunakan tanaman di lapangan. Hal ini memang memerlukan lebih banyak

89 waktu, tenaga dan biaya, tetapi hasil yang diperoleh kemungkinan lebih mendekati hasil yang ingin dicapai.

Dalam penelitian ini kemampuan agens biokontrol dalam menekan penyakit dilakukan dengan menghitung keparahan penyakit. Untuk selanjutnya perlu dilakukan pengujian kemampuan penghambatan yang diukur berdasarkan kemampuan menekan kejadian penyakit. Penyakit layu bakteri merupakan penyakit yang bersifat monosiklik dan tanaman yang terserang biasanya mati atau tidak mampu berproduksi. Penyakit ini biasanya muncul pada saat tanaman dalam fase paling rentan yaitu menjelang pembungaan. Oleh karena itu perlu dilakukan pengujian hingga tanaman berproduksi.

Ralstonia solanacearum melakukan infeksi melalui perakaran tomat. Agar dapat mencegah masuknya patogen maka agens biokontrol harus dapat mencegah R. solanacearum mencapai permukaan akar. Untuk itu agens biokontrol pertama-tama harus dapat mengkolonisasi permukaan akar dan rizosfer tomat sehingga R. solanacearum tidak memperoleh tempat untuk memulai infeksi. Berdasarkan hal itu maka kemampuan mengkolonisasi perakaran menjadi salah satu syarat keberhasilan agens biokontrol dalam mengendalikan penyakit layu bakteri. Hal tersebut juga dikemukakan oleh Bull et al. (1991) dan Smith et al. (1997). Perlindungan seringkali gagal karena kolonisasi akar oleh agens biokontrol terlalu sedikit atau sangat tergantung pada kondisi lingkungan rumah kaca (Trigalet et al. 1994). Dari hasil penghitungan populasi ketiga agens biokontrol ternyata aplikasi melalui infestasi tanah mampu mempertahankan populasi ketiga agens biokontrol pada rhizosfer tetap tinggi hingga hari ke-24 setelah aplikasi. Aplikasi melalui perendaman benih mampu mempertahankan populasi tetap tinggi hingga 25 hari setelah aplikasi hanya pada P. fluorescens RH4003 (± 108 cfu/g akar) sedangkan populasi B. subtilis AB89 menurun hingga ± 104 cfu/g akar.

Hsu et al. (1993) menyatakan bahwa diantara 44 strain Pseudomonas kelompok fluoresen (FP) yang diisolasi dari rizosfer tomat ternyata terdapat perbedaan populasi pada hari ke-21 setelah penanaman benih yang diberi perlakuan agens biokontrol. Populasi strain FP10 dan FP3 yang merupakan pengkoloni yang lebih baik mengalami penurunan lebih lambat dari pada strain

FP20 dan FP34. Data tersebut menunjukkan bahwa perbedaan kemampuan mengkolonisasi perakaran dapat terjadi tidak hanya diantara spesies yang berbeda seperti P. fluorescens dengan B. subtilis maupun B. cereus, tetapi juga dapat terjadi antar strain dari suatu kelompok.

Kemampuan mikroorganisme dalam mengkolonisasi perakaran antara lain juga dipengaruhi oleh genotipe tanaman inang. Simon et al. (2001) menyebutkan bahwa pada tomat telah diidentifikasi beberapa loci yang berasosiasi dengan pertumbuhan populasi agens biokontrol Bacillus cereus UW85. Pada kacang-kacangan, genotipe tertentu lebih disukai untuk pembentukan bintil oleh strain Rhizobium (Cregan et al. 1989). Hasil studi yang dilakukan oleh Simon et al (2001) menunjukkan bahwa strain Bacillus pertumbuhannya relatif terbatas dibanding strain Pseudomonas dan ada faktor spesifik dari inang yang diperlukan untuk pertumbuhan Bacillus pada spermosfer tomat.

Agens biokontrol diberikan pada perakaran dalam jumlah yang cukup besar ± 108-109 cfu/ml dengan harapan jumlah yang mampu mengkolonisasi perakaran juga semakin besar. Berdasarkan data sebelumnya terlihat bahwa B. subtilis AB89 yang diberikan melalui infestasi tanah mampu mempertahankan populasinya lebih tinggi dibandingkan yang diberikan melalui perendaman benih. Segera setelah diaplikasikan, agens biokontrol harus menjalani adaptasi dengan lingkungan yang baru dan harus menghadapi persaingan dengan mikroorganisme lain. Sebagian dari agens biokontrol kemungkinan tidak dapat bertahan. Jika populasi awal yang diberikan sedikit maka kemungkinan akan dikalahkan oleh mikroorganisme lain atau patogen yang sudah berada di perakaran.

Frekuensi aplikasi agens biokontrol juga merupakan faktor penentu keberhasilan suatu agens biokontrol. Hal ini berkaitan dengan upaya mempertahankan tingkat populasi agens biokontrol yang cukup untuk bersaing dengan patogen atau untuk memproduksi senyawa penghambat. Weisbeek & Gerrits (1999) dari berbagai sumber menyatakan bahwa rizosfer merupakan tempat yang penuh dengan kompetisi dan seleksi. Walaupun inokulasi agens biokontrol biasanya dalam jumlah besar, setelah beberapa bulan hanya sedikit yang berhasil diisolasi kembali. Strain yang diintroduksikan kemungkinan mampu mengkolonisasi perakaran secara efisien dan dalam jangka waktu tertentu

91 populasinya dominan, tetapi secara perlahan akan digantikan oleh mikroorganisme penghuni asli. Oleh karena itu inokulasi secara berulang perlu dilakukan.

Selain aplikasi dalam jumlah besar untuk mendukung kolonisasi dapat juga dilakukan dengan memberikan nutrisi atau bahan-bahan yang dapat mendukung perkembangan agens biokontrol. Bahan-bahan yang diberikan diusahakan yang spesifik, yang hanya dapat digunakan oleh agens biokontrol tetapi tidak dapat digunakan oleh organisme lain. Sebagai contoh pemberian kitin dapat dilakukan untuk mendukung agens biokontrol yang memproduksi kitinase. Selain sebagai sumber nutrisi, kitin yang diberikan juga diharapkan dapat menginduksi pembentukan kitinase lebih banyak sehingga dapat digunakan untuk mengendalikan patogen dari kelompok cendawan.

Berdasarkan hasil deteksi beberapa sifat fisiologi yang terkait dengan mekanisme pengendalian ternyata ketiga agens biokontrol mampu menginduksi ketahanan tanaman melalui peningkatan produksi enzim peroksidase dan juga menghasilkan siderofor. Siderofor merupakan senyawa yang banyak diteliti berkaitan dengan pengendalian hayati. Siderofor disekresikan oleh mikroorganisme dan tanaman dari famili Gramineae sebagai respon terhadap defisiensi unsur besi (Crowley 2001). Jenis siderofor yang dihasilkan oleh P. fluorescens RH4003 maupun B. subtilis AB89 dalam laporan ini belum dapat ditentukan. Loon et al. (1998) melaporkan bahwa Pseudomonas kelompok fluoresen menghasilkan siderofor dengan jenis yang berbeda-beda. P. aeruginosa 7NSK2 misalnya, menghasilkan tiga jenis siderofor, yaitu: asam salisilat, pyochelin dan pyoferdin. Asam salisilat merupakan prekursor pyochelin. Siderofor yang dihasilkan oleh B. subtilis yang sudah dilaporkan adalah bacillobactin (Crosa & Walsh 2002).

Peranan siderofor dalam penekanan penyakit layu bakteri pada tomat oleh Pseudomonas kelompok fluoresen dilaporkan oleh Jagadeesh et al. (2001). Berdasarkan hasil percobaan menggunakan mutan yang tidak menghasilkan siderofor dan yang memproduksi siderofor lebih tinggi dari isolat liarnya, ternyata mutan yang memproduksi siderofor lebih tinggi menghasilkan zone hambatan yang lebih lebar dan menekan persentase penyakit lebih tinggi dibandingkan

dengan tipe liarnya. Selain berperan langsung dalam menekan penyakit, siderofor juga dapat menginduksi ketahanan tanaman (Leeman et al. 1996). Crowley (2001) menyatakan bahwa pembentukan siderofor oleh bakteri dipengaruhi beberapa faktor, yaitu: lokasi akar, tingkat pertumbuhan tanaman, status nutrisi mineral, ada atau tidaknya mikoriza dan kandungan senyawa kimia tanah.

Kandungan senyawa kimia dalam tanah kemungkinan sangat bervariasi antara satu tempat dengan tempat yang lain. Beberapa unsur kimia dapat mendukung pembentukan siderofor seperti Ca tetapi beberapa yang lain menghambat seperti Cd, Hg dan Pb (Rachid dan Ahmed 2005). Kandungan Fe dalam tanah kemungkinan juga berbeda-beda antara satu wilayah dengan wilayah lain. Perbedaan jenis dan kandungan unsur atau senyawa dalam tanah yang berbeda tersebut seringkali menyebabkan agens biokontrol efektif mengendalikan suatu penyakit pada satu tempat atau wilayah tetapi gagal pada wilayah yang lain. Hal tersebut yang menyebabkan agens biokontrol dikatakan spesifik lokasi.

Untuk mendukung keberhasilan suatu agens biokontrol, upaya lain yang dapat dilakukan adalah dengan penambahan senyawa-senyawa atau unsur tertentu yang dapat menstimulir pembentukan senyawa antimikroba oleh agens biokontrol. Pada Percobaan pengaruh media terhadap pembentukan zone hambatan misalnya, penambahan Ca2+ pada media CPMA ternyata dapat menimbulkan terbentuknya zone hambatan oleh P. fluorescens RH4003. Pada media CPMA tanpa Ca2+ P. fluorescens RH4003 tidak membentuk zone hambatan. Hal tersebut kemungkinan terkait dengan pembentukan siderofor oleh P. fluorescens RH4003 yang berhubungan dengan ketersediaan unsur besi (Fe). Unsur besi di dalam tanah dipengaruhi beberapa faktor, antara lain pH tanah. Konsentrasi Fe (III) menurun dengan kelipatan 1000 setiap peningkatan 1 unit pH (Lindsay & Schwab 1982 dalam Weisbeek & Gerrits 1999). Penambahan Ca2+ selain meningkatkan pH juga meningkatkan permeabilitas dinding sel yang mempunyai peranan penting dalam tahap akhir dari sekresi suatu senyawa (Bernal et al. 2002). Di lapangan, upaya tersebut dapat dilakukan dengan pemberian kapur pertanian.

Selain menghasilkan siderofor, ketiga agens biokontrol juga mampu menginduksi ketahanan inang. Agens biokontrol yang diaplikasikan melalui perendaman akar ternyata mampu meningkatkan aktivitas enzim peroksidase pada

93 tanaman tomat. Enzim peroksidase merupakan salah satu enzim yang berkaitan dengan ketahanan tanaman terhadap serangan patogen. Stermer (1995) menyebutkan peranan enzim peroksidase yang dikutip dari berbagai sumber. Peroksidase berfungsi dalam polimerisasi oksidatif hydroxycinnamyl alkohol untuk membentuk lignin. Peranan peroksidase yang lain adalah sebagai sarana pembentukan “hydroxyproline-rich structural protein” dalam dinding sel sehingga dinding sel menjadi lebih tahan terhadap degradasi oleh mikroorganisme. Peroksidase juga dapat berfungsi secara langsung sebagai senyawa antimikroba.

Loon et al. (1998) menyatakan bahwa peroksidase, lipoxygenase dan phenylalanin amonialyase berhubungan dengan jalur ISR yang diatur oleh jasmonat serta etilen dan diaktifkan oleh mikroorganisme saprofit termasuk bakteri rizosfer. Silva et a.l (2004) menyatakan bahwa pada tanaman dari benih yang diberi perlakuan dengan agens biokontrol B. cereus B101R dan diinokulasi dengan P. syringae pv. tomato menunjukkan aktivitas peroksidase paling tinggi dibandingkan dengan benih yang hanya diberi perlakuan dengan agens biokontrol saja, dengan tanaman yang hanya diinokulasi patogen saja dan tanpa agens biokontrol maupun patogen.

Aplikasi agens biokontrol melalui perendaman akar bibit memungkinkan agens biokontrol langsung menempati seluruh permukaan akar sehingga diharapkan R. solanacearum tidak mendapatkan tempat untuk awal masuknya ke dalam jaringan akar. Selain itu, pada agens biokontrol yang memiliki mekanisme induksi resistensi, selama perendaman akar diharapkan terjadi proses induksi. Dalam penelitian ini terlihat bahwa bibit yang direndam dalam suspensi ketiga agens biokontrol (P. fluorescens RH4003, B. subtilis AB89 dan B. cereus L32) mengalami peningkatan aktivitas peroksidase.

Faktor lain yang mempengaruhi keberhasilan aplikasi agens biokontrol adalah jenis formulasi. Pencampuran beberapa agens biokontrol atau campuran bahan kimia dengan agens biokontrol kemungkinan dibutuhkan untuk memberikan perlindungan yang menyeluruh dan pertumbuhan yang lebih baik (Elliot et al. 2001). Tetapi perlu diperhatikan bahwa tidak semua agens biokontrol saling kompatibel dengan agens biokontrol lain maupun dengan bahan kimia. Dalam penelitian ini terlihat bahwa antara P. fluorescens RH4003, B. subtilis

AB89 dan B. cereus L32 terjadi antagonisme jika diaplikasikan secara bersamaan. Kemungkinan diantara agens biokontrol tersebut terjadi kompetisi ruang maupun nutrisi atau agens biokontrol mengeluarkan senyawa yang dapat menghambat populasi maupun kinerja agens biokontrol lain. Ketiga agens biokontrol sama-sama menghasilkan siderofor. Jika diaplikasikan secara bersama-samaan maka ada kemungkinan terjadi persaingan dalam mengchelat Fe3+. B. subtilis AB89 juga menghasilkan enzim protease yang mungkin dapat mempengaruhi P. fluorescence RH4003 dan B. cereus L32. Sebaliknya ada kemungkinan enzim protease yang dihasilkan oleh B. cereus L32 dapat mempengaruhi antibiotik yang disekresikan oleh B. subtilis AB89. Anderson et al. (2004) melaporkan bahwa enzim protease ekstraseluler yang diproduksi oleh P. fluorescens A506 dapat menginaktifkan senyawa antibiotik yang dihasilkan oleh Pantoea agglomerans strain Eh252 dan C9-1 yang juga merupakan agens biokontrol untuk Erwinia amylovora, penyebab hawar api pada apel dan pear.

Untuk mengendalikan suatu penyakit, agens biokontrol dituntut tidak hanya terdapat dalam jumlah yang banyak tetapi harus dapat aktif meng-ekspresikan kemampuan antagonismenya dan tepat sasaran. Agens biokontrol dengan mekanisme antagonis melalui kompetisi ruang atau nutrisi akan efektif apabila memiliki niche yang sama dengan patogen sasaran. Agens biokontrol yang efektif harus beradaptasi dengan kondisi yang spesifik di mana dia harus bersifat aktif. Kompetensi dalam rizosfer merupakan salah satu kriteria yang diperlukan dalam melakukan seleksi mikroorganisme antagonis, tetapi spesies atau bahkan kultivar tanaman inang akan menseleksi populasi tipe mikroorganisme yang berbeda (Alabouvette et al. 1998). P. fluorescens RH4003 dan B. cereus L32 merupakan bakteri rizosfer yang diisolasi dari rizosfer tomat. Hal ini dilakukan untuk memperoleh agens biokontrol yang memiliki habitat yang sama dengan patogen R. solanacearum.

Walaupun P. fluorescens Rh4003 dan B. cereus L32 diisolasi dari rizosfer tomat tetapi ternyata kedua agens biokontrol mampu menekan kejadian penyakit di lapangan hanya 30%. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan niche antara agens biokontrol dengan R. solanacearum. Kedua agens biokontrol hanya mengkolonisasi permukaan akar sedangkan R. solanacearum hidup di

95 dalam pembuluh batang. Agens biokontrol hanya mampu menekan R. solanacearum ketika masih berada di rizosfer tetapi ketika patogen berhasil masuk ke dalam jaringan maka agens biokontrol tidak mampu lagi mengendalikannya. Walaupun agens biokontrol juga menginduksi ketahanan inang tetapi induksi yang dihasilkan kemungkinan tidak cukup untuk menghentikan laju perkembangan patogen di dalam jaringan inang. Meskipun suatu agens biokontrol tidak menghasilkan senyawa antibiotik, tetapi apabila mikroorganisme tersebut memiliki niche dan kebutuhan nutrisi yang sama dengan patogen maka akan terjadi persaingan. Dalam hal ini mikroorganisme yang diharapkan menjadi agens biokontrol harus memiliki tingkat pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan patogen. Mutan avirulen dan bakteri endofit dapat dijadikan sebagai pesaing R. solanacearum di dalam jaringan tanaman.

Bakteri yang bersifat endofit adalah bakteri yang hidup dalam jaringan tanaman tanpa menimbulkan bahaya atau bakteri yang bermanfaat. Bakteri dapat diisolasi dari jaringan tanaman yang sudah disterilisasi permukaannya atau diekstrak dari jaringan tanaman bagian dalam. Bakteri endofit mengkolonisasi niche ekologi yang sama dengan patogen tetapi tidak menimbulkan kerusakan pada inangnya (Reiter et al. 2002). Bakteri endofit masuk ke dalam jaringan tanaman terutama melalui perakaran, tetapi bagian tanaman yang lain seperti bunga, batang dan kotiledon juga dapat menjadi tempat masuk (Zinniel et al. 2002). Bent dan Chanway (2002) mengemukakan dari berbagai sumber bahwa bakteri endofit merupakan fokus yang sangat menarik saat ini karena lokasinya yang berada dalam jaringan tanaman sehingga menjadikan posisi mereka yang kuat dalam mempengaruhi nutrisi tanaman, katabolisme polutan, respon terhadap stress atau pertahanan dan penyerangan patogen. Hallmann et al. (2000) menyatakan bahwa dibandingkan dengan pengkoloni rizosfer, pengkoloni internal mempunyai keuntungan lebih sebagai agens biokontrol. Oleh karena tanaman menyediakan tempat dan nutrisi maka bakteri dapat berkembang dalam kondisi kompetisi yang sangat kurang dan menutupi bagian dalam tanaman dari serangan patogen. Melalui resistensi terinduksi oleh bakteri, asosiasi yang dekat antara

bakteri endofit dan tanaman dapat menghasilkan perlindungan tanaman yang lebih kuat dan tahan lama.

Mutan avirulen nampaknya lebih menjanjikan karena memiliki sifat-sifat yang sama dengan patogen kecuali kehilangan kemampuan menimbulkan penyakit. Mutan avirulen diharapkan dapat menjadi pesaing yang sempurna bagi R. solanacearum. P. fluorescens RH4003, B. subtilis AB89 atau B. cereus L32 kemungkinan dapat dikombinasikan dengan agens biokontrol lain yang berasal dari kelompok endofit atau agens biokontrol dari mutan avirulen tersebut.

Pemanfaatan mutan suatu patogen sebagai agens biokontrol sudah ada yang sukses. Sebagai contoh adalah pengendalian penyakit frost pada pear. Pseudomonas syringae Ice- yang diaplikasikan pada pertanaman pear merupakan salah satu contoh keberhasilan pemanfaatan agens biokontrol yang berasal dari mutan patogen (near-isogenic strain) penyebab penyakit “frost” (P. syringae Ice+). Strain yang mendekati isogenik dari P. syringae, tidak mengekspresikan kemampuan pembentukan nukleasi es tersebut mampu bersaing dalam menempati niche dan pengambilan nutrisi (Lindow 1991). Smith dan Saddler (2001) menyebutkan tentang pemanfaatan strain avirulen dari R. solanacearum pada tanaman tomat oleh beberapa peneliti. Secara umum, mutan yang tidak menghasilkan bakteriosin hanya mampu menekan perkembangan gejala layu secara parsial dan perlindungan yang terjadi sangat tergantung pada kondisi lingkungan. Kemampuan strain tersebut dalam mengendalikan penyakit layu bakteri dalam jangka panjang masih terbatas. Hara dan Ono (1991) menyebutkan bahwa mutan R. solanacearum yang virulensinya lemah ternyata mampu menginduksi ketahanan lebih baik dibandingkan dengan mutan yang benar-benar avirulen. Alasan fenomena tersebut belum jelas, tetapi kemungkinan berkaitan dengan kenyataan bahwa strain yang virulensinya lemah mampu melakukan penetrasi dan bertahan dalam jaringan pembuluh sehingga dapat menginduksi respon tanaman sedangkan mutan EPS (tidak virulen) tidak mampu melakukan hal tersebut.

Pemanfaatan agens biokontrol merupakan salah satu alternatif dalam mengendalikan suatu penyakit termasuk penyakit layu bakteri pada tomat. Dalam konsep PHT pengendalian lebih ditekankan pada unsur memadukan berbagai cara

97 pengandalian yang saling mendukung. Berdasarkan hasil percobaan aplikasi agens biokontrol secara tunggal dan kombinasi ternyata agens biokontrol dengan antibiotik (streptomycin sulfat) secara bersamaan bersifat antagonis. Jika mengacu pada prinsip PHT maka kedua komponen tersebut tidak bisa dipadukan atau aplikasinya harus tidak bersamaan. Di lapangan teknik pengendalian lain yang banyak dilakukan adalah penanaman varietas tahan. Penelitian tentang pengaruh varietas tahan terhadap keefektivan suatu agens biokontrol khususnya untuk mengendalikan penyakit layu bakteri belum banyak dilakukan. Pengujian terhadap enam varietas tomat dengan ketahanan yang berbeda, yaitu: San Marzano, Money Maker, TM39, Arthaloka, Ratna dan AVRDC-390 menunjukkan bahwa agens biokontrol P. fluorescens RH4003 mampu menekan keparahan penyakit pada keenam varietas. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan P. fluorescens RH4003 dalam menekan penyakit layu bakteri tidak tergantung jenis varietas. Di lapangan hal ini lebih menguntungkan karena varietas apapun yang ditanam petani, P. fluoescens RH4003 dapat diaplikasikan secara bersama-sama.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pengujian di laboratorium, di rumah kaca dan di lapangan terdapat tiga agens biokontrol yang potensial dari 16 agens biokontrol, yaitu: Bacillus subtilis AB89, isolat RH4003 dan L32. Identifikasi berdasarkan sifat fisiologi dan sekuens parsial 16S rDNA isolat RH4003 dan L32 adalah P. fluorescens RH4003 dan B. cereus L32.

Aplikasi ketiga agens biokontrol tersebut melalui perendaman akar bibit tomat mampu menekan perkembangan penyakit layu bakteri baik di rumah kaca maupun di lapangan, mampu meningkatkan aktivitas peroksidase dan tidak

Dokumen terkait