• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2 Aktivitas Proteolitik Papain

Papain merupakan enzim proteolitik dari getah pepaya (lateks), baik berasal dari batang, daun, maupun buahnya. Menurut Kirsch (2001), sisi aktif papain adalah satu gugus sulfhidril (-SH). Papain harus ditambahkan antioksidan untuk mencegah terjadinya oksidasi yang dapat menurunkan aktifitas proteolitiknya, sedangkan untuk mengaktifkan kembali perlu ditambahkan aktivator. Aktivator yang umum digunakan adalah sisteina, asam askorbat, natrium hidrogenbisulfit, dan natrium metabisulfit. Rachdiati (2006) melaporkan bahwa penggunaan sisteina 0,04 M pada pH 6,0 menghasilkan peningkatan aktifitas papain kasar sebesar 78,63%. Hasil pengukuran aktivitas papain menggunakan metode Walter (1984) padasuhu 30oC dan pH=6 ditunjukkan pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2 Hasil pengukuran aktivitas papain

Tabel 4.2 menunjukkan adanya peningkatan aktivitas enzim sebesar 20,78% setelah ditambahkan sisteina. Data di atas sangat berguna sebagai bahan pertimbangan dalam menghitung biaya produksi dan harga jual produk tepung jagung secara enzimatis. Pada penelitian ini inkubasi lama larutan papain dilakukan dengan penambahan aktivator sisteina.

4.3 Pemilihan Degerminator

Degerminasi dimaksudkan untuk menghilangkan lembaga, tudung pangkal biji dan kulit ari dari endosperma. Watson (2003) melaporkan bahwa 80,00% dari 73,40% pati terdapat pada endosperma. Komponen non pati, seperti lemak adalah 85,57% dari 4,40% lemak terdapat pada lembaga dalam biji jagung, di samping itu,79,5% dari 1,40% abu pada biji jagung juga terdapat pada lembaga. Sementara itu, 9,50% serat pada biji jagung sebagian besar terdapat pada kulit ari dan tudung pangkal biji, masing-masing mengandung 45,08% dan 47,22% serat. Oleh karena itu, pemisahan lembaga dapat memisahkan sebagian besar lemak dan abu,

Perlakuan Aktivitas Protease, 30 o

C (U/g)

Tanpa sisteina 587 Dengan sisteina 709

sedangkan pemisahan tudung pangkal biji dan kulit ari dapat memisahkan sebagian besar serat dari endosperma.

Penghilangan kulit ari pada proses basah (wet milling process) dilaporkan dapat mengurangi waktu pada tahap perendaman (steeping) secara signifikan karena biji jagung tanpa kulit ari dapat terhidrasi dengan lebih cepat dan akan terhidrasi sempurna setelah perendaman selama 6 jam (Wang et al. 2006). Sementara itu, pada proses produksi tepung jagung (proses kering), penghilangan kulit ari tersebut dapat merubah sifat fisiko kimia dan memperbaiki sifat fungsional tepung jagung, yaitu meningkatkan daya serap air, daya pengembangan dan viskositas pasta tepung setelah didegerminasi (Houssou dan Ayernor 2002). Keberhasilan degerminasi ditentukan oleh ketepatan pemilihan peralatan yang digunakan dan kondisi proses degerminasinya.

Hasil proses degerminasi adalah berupa grits jagung sebagai produk utama (bagian endosperma) dan ampok jagung yang terdiri dari lembaga dan tudung pangkal biji dan kulit ari sebagai produk samping. Pemilihan degerminator

berperan penting dalam menentukan mutu tepung jagung yang dihasilkan. Kriteria dalam memilih tipe degerminator yang baik adalah meliputi persentase rendemen, persentase produk samping atau kebersihan grits, losses selama degerminasi, persentase grits jagung berukuran besar (tidak lolos ayakan ukuran 5 mesh), kandungan lemak grits, dan efisiensi penggunaan energi.

Sebelum dilakukan degerminasi, biji jagung direndam dengan air selama 20 menit. Perendaman tersebut dimaksudkan untuk membasahi bagian luar biji jagung supaya mudah dilakukan pemisahan endosperma dari germ, tudung pangkal biji maupun kulit ari. Terjadi penambahan bobot biji jagung sekitar 10% setelah perendaman selama 20 menit yang diakibatkan terjadinya penyerapan air oleh biji jagung (Tabel 4.3). Terjadinya penambahan bobot akibat perendaman tersebut disebabkan oleh penyerapan air oleh biji atau imbibisi akibat adanya materi koloid yang hidrofil (Sadjad 1975; Leopold 1983; Suradinata 1993).

Tabel 4.3 Pertambahan bobot biji jagung setelah perendaman

Varietas Bobot contoh Bobot akhir Penambahan Bobot Rata-rata (g) (g) (g) (%) (%) Lokal Kodok 5000 5587,0 587,0 11,74 10,67 5000 5480,0 480,0 9,60 Hibrida P21 5000 5583,5 583,5 11,67 10,45 5000 5461,0 461,0 9,22

Setelah proses degerminasi, persentase rendemen grits dan produk samping, serta losses untuk ketiga tipe peralatan disajikan pada Tabel 4.4. Dari Tabel 4.4 diketahui bahwa peralatan tipe B memberikan rendemen grits paling tinggi, yaitu 72,54% dan 73,10% untuk jagung hibrida P21 dan lokal Kodok, disusul peralatan tipe A masing-masing 70,55% dan 65,45% untuk jagung hibrida P21 dan lokal Kodok. Tingginya rendemen grits hasil peralatan tipe B maupun tipe A disebabkan grits yang dihasilkan kedua tipe alat tersebut terlihat masih kotor (masih tercampur dengan ampok dan kulit ari) bila dibandingkan dengan hasil peralatan tipe C. Hasil pengayakan ulang terhadap grits yang diperoleh menunjukkan terjadi penurunan persentase rendemen grits untuk peralatan tipe A sekitar 5-10%, tipe B sekitar 11-12%, dan tipe C sekitar 1%. Berdasarkan hasil

pengayakan ulang tersebut, membuktikan bahwa peralatan tipe C menghasilkan

grits jagung yang paling bersih dibandingkan dengan peralatan tipe A dan B.

Tabel 4.4 Rendemen grits jagung dan produk samping serta losses

Varietas Tipe Peralatan Rendemen Awal Produk Samping Losses Rendemen Setelah Pengayakan (%) (%) (%) (%) Lokal Kodok A 65,45 26,47 8,08 60,20 B 73,1 22,44 4,46 61,18 C 63,08 31,84 5,08 62,25 Hibrida P21 A 70,55 24,44 5,01 59,63 B 72,54 25,56 1,9 60,30 C 61,65 34,62 3,73 61,08

Kehilangan bobot atau losses merupakan salah satu indikator kinerja peralatan yang dapat digunakan sebagai salah satu dasar pertimbangan untuk memilih peralatan degerminator yang baik, dimana semakin rendah losses suatu proses mengindikasikan semakin baiknya kinerja peralatan tersebut. Losses pada proses degerminasi terjadi karena sebagian grits jagung menempel pada dinding saringan (pemarut) dan tertinggal pada ruang bagian dalam degerminator, sehingga bentuk dan ukuran pemarut sangat berpengaruh terhadap besar kecilnya

losses. Faktor lain yang diduga berpengaruh terhadap losses adalah kandungan

amilopektin pada biji jagung dan lama waktu perendaman biji jagung. Hasil penelitian pendahuluan yang telah dilakukan untuk biji jagung lokal pulut yang telah direndam selama 20 menit menunjukkan terjadinya penyumbatan saringan pemarut oleh grits jagung yang pecah selama proses degerminasi. Terlihat pada Tabel 4.4 bahwa losses untuk jagung lokal secara umum lebih tinggi dari losses

untuk jagung hibrida. Hal tersebut dimungkinkan karena persentase grits jagung lokal yang menempel dan tertinggal dalam degerminator lebih banyak daripada

grits jagung hibrida. Di samping itu, dapat dilihat juga bahwa peralatan tipe B

memberikan nilai losses yang paling rendah daripada tipe A maupun C. Hal tersebut karena adanya perbedaan bentuk dan ukuran saringan, serta mekanisme proses penyosohannya. Rata-rata nilai losses peralatan tipe B untuk kedua varietas adalah 3,18%, tipe C adalah 4,41% dan nilai tertinggi adalah tipe A, yaitu 6,55%. Dengan membuat batasan bahwa nilai losses maksimal adalah 5%, maka peralatan tipe B dan C dapat memenuhi persyaratan tersebut.

Produk samping dari proses degerminasi adalah ampok (hominy) dan kulit ari jagung. Ampok adalah campuran lembaga dan tudung pangkal biji yang terpisah dari endosperma jagung. Persentase produk samping hasil peralatan tipe C adalah yang paling besar bila dibandingkan dengan tipe A maupun B, yaitu sebesar 34,62% dan 31,84% untuk varietas hibrida dan lokal. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemisahan grits dengan produk samping pada peralatan tipe C lebih baik daripada kedua tipe peralatan lainnya. Hasil tersebut sesuai dengan rata-rata persentase produk samping yang dihasilkan pabrik pengolahan jagung proses kering di USA sebagaimana yang dilaporkan oleh Sharma et al. (2008) bahwa ampok atau hominy sebagai produk samping proses kering pengolahan jagung rata-rata mencapai 35% dari jumlah jagung yang diolah.

Ukuran grits jagung lokal Kodok yang lolos ayakan 5 mesh yang dihasilkan oleh semua tipe peralatan selalu lebih banyak daripada grits jagung hibrida P21. Hal tersebut diduga karena kekerasan biji jagung lokal Kodok lebih rendah dibandingkan kekerasan biji jagung hibrida P21 (Tabel 4.1). Banyaknya jumlah

grits jagung lokal yang lolos ayakan 5 mesh tersebut dapat menjawab mengapa

losses pada jagung lokal lebih tinggi daripada pada jagung hibrida. Di samping

itu, ukuran grits yang dihasilkan dari peralatan tipe B untuk kedua varietas adalah lebih besar dibandingkan grits hasil peralatan tipe A maupun C (Tabel 4.5). Ukuran grits hasil degerminasi berpotensi akan mempengaruhi risiko losses pada tahapan proses selanjutnya.

Tabel 4.5 Perbandingan jumlah ukuran grits jagung dari berbagai alat degerminator

Varietas Tipe Peralatan + 5 mesh 5/0 mesh (%) (%) Lokal Kodok A 14,65 85,35 B 60,87 39,13 C 19,34 80,66 Hibrida P21 A 30,11 69,89 B 68,42 31,58 C 48,54 51,46

[+5 mesh] : Jumlah grits yang tidak lolos ayakan 5 mesh [5/0 mesh] : Jumlah grits yang lolos ayakan 5 mesh

Proses degerminasi menyebabkan terjadinya pelepasan bagian lembaga,

tudung pangkal biji, dan kulit ari. Terjadinya pelepasan bagian lembaga, tudung pangkal biji, dan kulit ari tersebut berpotensi untuk menurunkan kandungan lemak pada grits jagung hasil degerminasi. Adapun perlakuan sebelum dan selama degerminasi, serta kandungan lemak grits setelah degerminasi menggunakan ketiga tipe degerminator disajikan pada Tabel 4.6.

Tabel 4.6 Kondisi proses degerminasi dan kadar lemak grits jagung setelah degerminasi

Varietas Tipe Peralatan

Waktu Kadar

Lemak Perendaman Penirisan Degerminasi

(menit) (menit) (menit) (%) Lokal Kodok A 20 20 2,5' x 2 3,30 B 20 20 25' 1,44 C 20 20 2,5' x 2 0,97 Hibrida P21 A 20 20 2,5' x 2 5,46 B 20 20 35' 5,48 C 20 20 2,5' x 2 0,75

Dari Tabel 4.6 terlihat adanya perbedaan lama waktu proses degerminasi. Perbedaan tersebut terjadi karena terdapat perbedaan cara kerja peralatan- peralatan tersebut, sehingga dengan bobot contoh untuk satu kali proses adalah 5 kg untuk peralatan tipe A dan C dan 2,5 kg contoh untuk peralatan tipe B, maka dalam waktu satu jam peralatan tipe A dan C dapat mendegerminasi 60 kg contoh,

sedangkan peralatan tipe B hanya 5 kg contoh. Besarnya motor listrik yang digunakan untuk peralatan tipe A dan C adalah 10 hp, dan untuk peralatan tipe B adalah 2 hp atau satu per lima dari peralatan tipe A dan C. Jadi dengan daya motor listrik yang sama (10 hp), peralatan tipe A dan C dapat mendegerminasi 60 kg contoh dalam 1 (satu) jam, sedangkan peralatan tipe B hanya dapat mendegerminasi 10 kg contoh selama satu jam. Dengan demikian, peralatan tipe A dan C lebih efisien daripada peralatan tipe B.

Hasil analisis kandungan lemak dalam grits jagung hasil degerminasi disajikan pada Tabel 4.6. Adapun hasil analisis kandungan lemak biji jagung lokal dan hibrida masing-masing adalah 4,68% dan 5,44% basis basah atau 5,15% dan 5,98% basis kering (Tabel 4.1). Terlihat terjadi penurunan kandungan lemak biji jagung sebelum degerminasi dan grits jagung hasil degerminasi. Kandungan lemak kedua varietas menurun sekitar 1,38% untuk peralatan tipe A, sekitar 3,24% untuk peralatan tipe B, dan 3,71-4,69% untuk peralatan tipe C. Penurunan kandungan lemak terbesar pada grits jagung kedua varietas dihasilkan dari proses degerminasi dengan peralatan tipe C, yang berhasil menurunkan kandungan lemak

grits jagung hingga kurang dari 1%. Hal tersebut menunjukkan bahwa peralatan

tipe C dapat memisahkan lembaga lebih baik daripada 2 (dua) tipe peralatan yang lain.

Kandungan lemak dalam grits maupun tepung jagung dapat mempengaruhi umur simpannya. Semakin rendah kandungan lemaknya, maka semakin lama umur simpannya. Berbagai produk corn meal di Amerika dipersyaratkan mempunyai kandungan lemak tidak lebih dari 1,5% (USDA 2008). Tingginya kandungan lemak dalam bahan pangan dapat menyebabkan terjadinya oksidasi oleh oksigen yang ada di udara terhadap asam lemak tidak jenuh dalam asam lemak. Pada suhu kamar hingga suhu 100oC, setiap 1 (satu) ikatan tidak jenuh dapat mengabsorpsi 2 atom oksigen, sehingga terbentuk senyawa peroksida yang dapat menyebabkan ketengikan (Ketaren 1986). Oleh karena itu, kandungan lemak yang dihasilkan selama proses degerminasi menjadi pertimbangan utama dalam memilih jenis peralatan degerminator.

Dari hasil pembahasan di atas, selanjutnya dilakukan pemilihan tipe peralatan yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan, yaitu peralatan yang menghasilkan rendemen paling tinggi, losses paling rendah, grits paling bersih, persentase grits yang tidak lolos ayakan 5 mesh paling banyak, dan mempunyai kandungan lemak yang paling rendah. Penentuan tipe peralatan terpilih dilakukan dengan menggunakan metode Composite Performance Index (CPI) (Marimin 2008). Penentuan bobot kriteria didasarkan pada tingkat kepentingan pengaruh kriteria terhadap efektivitas peralatan untuk menghasilkan produk sesuai mutu yang dipersyaratkan, sehingga bobot kriteria kandungan lemak grits dan kebersihan grits jagung hasil degerminasi adalah paling besar, disusul oleh rendemen grits jagung yang dihasilkan, dan bobot yang paling rendah adalah

losses selama proses degerminasi dan persentase grits kasar (grits yang tidak lolos

ayakan 5 mesh). Dengan demikian, ditetapkan bobot untuk kriteria kandungan lemak grits dan kebersihan grits jagung hasil degerminasi masing-masing adalah 0,3, bobot untuk kriteria rendemen grits adalah 0,2, dan bobot untuk kriteria

losses dan persentase grits kasar masing-masing adalah 0,1, sehingga jumlah

masing kriteria disajikan pada Tabel 4.7 untuk jagung lokal dan Tabel 4.8 untuk jagung hibrida.

Tabel 4.7 Hasil perhitungan nilai kriteria tiga tipe peralatan degerminator untuk jagung lokal Kodok

Alternatif Kriteria Nilai Alternatif Pering- kat

Rendemen Losses Kebersihan1 Grits

Kasar2 Kadar Lemak (%) (%) (%) (%) (%) Tipe A 103,76 55,19 15,81 100,00 29,26 49,79 3 Tipe B 115,88 100,00 6,96 415,46 66,81 96,85 2 Tipe C 100,00 87,79 100,00 132,00 100,00 101,98 1 Bobot Kriteria 0,2 0,1 0,3 0,1 0,3

1) Bobot ampok dan kulit ari setelah dilakukan pengayakan kedua pada grits yang dihasilkan

2) Grits kasar adalah persentase grits yang tidak lolos ayakan 5 mesh

Tabel 4.8 Hasil perhitungan nilai kriteria tiga tipe peralatan degerminator untuk jagung hibrida P21

Alternatif Kriteria Nilai Alternatif Pering- kat

Rendemen Losses Kebersihan1 Grits

Kasar2 Kadar Lemak (%) (%) (%) (%) (%) Tipe A 114,44 37,92 5,22 100,00 12,53 42,00 3 Tipe B 117,66 100,00 4,66 227,24 13,64 61,74 2 Tipe C 100,00 50,94 100,00 161,23 100,00 101,22 1 Bobot Kriteria 0,2 0,1 0,3 0,1 0,3

1) Bobot ampok dan kulit ari setelah dilakukan pengayakan kedua pada grits yang dihasilkan

2) Grits kasar adalah persentase grits yang tidak lolos ayakan 5 mesh

Berdasarkan Tabel 4.7 dan 4.8 dapat disimpulkan bahwa peralatan tipe C adalah peralatan yang paling tepat untuk menghasilkan grits jagung dengan kriteria yang telah ditetapkan. Pemilihan peratan tipe C tersebut tidak terlepas dari modifikasi yang telah dilakukan pada bagian pemarut pada peralatan tipe A. Dari Gambar 3.3(A) dapat dilihat bahwa lubang pemarut pada peralatan tipe A berbentuk persegi panjang, dengan ukuran panjang 14,4 mm dan lebar 1,0 mm. Di samping itu, permukaan bidang pemarutnya tidak rata (ada tonjolan berbentuk bulat berdiameter 2 mm). Dengan ukuran lubang pemarut tersebut, sebagian ampok tidak dapat keluar saringan dan menjadi satu dengan fraksi grits. Di samping itu, dengan bentuk bidang pemarut yang tidak rata, memungkinkan terjadinya pengirisan (penggerusan) yang menyebabkan ikut tergerusnya bagian endosperma. Hal tersebut disebabkan kulit ari jagung yang tipis, berbeda dengan kulit ari gabah yang jauh lebih tebal. Modifikasi bentuk dan ukuran pemarut dimaksudkan untuk mengatasi kekurangan-kekurangan pemarut tipe tersebut. Dengan menggunakan pemarut hasil modifikasi seperti ditunjukkan pada Gambar 3.3(B), dimana bentuk pemarut dirubah menjadi berbentuk bulat dan rata dengan diameter 3 mm tersebut, terbukti dapat memberikan rendemen grits yang lebih tinggi, lebih bersih, dan mempunyai kandungan lemak yang lebih rendah.