• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bojonegoro pada tanggal 21 Juli 1970. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar sampai menengah atas di Bojonegoro. Pendidikan Sarjana di tempuh di Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS), lulus pada tahun 1992. Tahun 1994, penulis diterima sebagai staf peneliti di Kedeputian Pengkajian dan Penerapan Ilmu Dasar dan Terapan (PIDT) saat ini menjadi Kedeputian Pengkajian dan Penenrapan Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi (TAB), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Jakarta. Kesempatan mendalami ilmu Material di bidang Kimia Polimer diperoleh tahun 1998 di Program Studi Ilmu dan Teknik Polimer, Fakultas Teknik, Universitas Yamagata di Yonezawa, Jepang dan memperoleh gelar Magister Engineering pada tahun 2001. Tahun 2008, penulis berkesempatan melanjutkan pendidikan program Doktor di Program Studi Teknologi Industri Pertanian IPB hingga saat ini.

Karya ilmiah yang akan diterbitkan dalam jurnal nasional maupun internasional adalah sebagai berikut:

1. Proses Penyiapan Grits Jagung untuk Produksi Tepung Jagung (direncanakan akan diterbitkan pada Jurnal Teknologi Industri Pertanian Volume 23 tahun 2013).

2. Improvement on Particle Size Fineness of Corn Flour by Addition of Papain Enzyme and Its Effects to Their Hardness, Morphology and Pasting Properties (direncanakan akan terbit pada Journal of Food Science and Quality Management bulan Agustus 2013).

3. Kajian Peningkatan Mutu Tepung Jagung Lokal sebagai Bahan Baku Alternatif Industri Pangan (direncanakan akan diterbitkan pada Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia (JSTI) Volume 17, No 2, bulan Agustus tahun 2015).

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Konsumsi per kapita tepung terigu di Indonesia menunjukkan tren peningkatan. Data dari Asosiasi Pengusaha Tepung Terigu Indonesia (Aptindo 2013), konsumsi terigu pada tahun 2009 adalah 16,0 kg per kapita per tahun. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat terjadinya peningkatan konsumsi terigu menjadi 21 kg per kapita per tahun pada tahun 2012, dimana konsumsi terbesar dalam bentuk mi. Aptindo mencatat 20% penggunaan terigu adalah sebagai bahan baku mi instan, 8% mi kering, dan 32% mi basah dan industri kecil lainnya. Sementara itu, sisanya 20% digunakan dalam industri biskuit, snack, dan konsumsi langsung rumah tangga. Sebagai bahan pangan alternatif, konsumsi terigu tersebut cukup tinggi, terutama bila dibandingkan dengan konsumsi umbi- umbian yang hanya 14,3 kg per kapita per tahun pada tahun yang sama (BKP 2012). Tingginya tingkat konsumsi mi dari terigu menunjukkan tingginya daya terima masyarakat terhadap makanan berbentuk mi. Menurut Asosiasi Mi Instan Dunia (AMID) yang berbasis di Osaka Jepang, Indonesia adalah pengkonsumsi mi terbesar kedua setelah China dengan konsumsi 14,1 miliar porsi pada tahun 2012 (AMID 2013).

Terjadinya tren peningkatan konsumsi terigu tersebut menyebabkan tingkat ketergantungan Indonesia terhadap impor bahan pangan, khususnya gandum dan tepung terigu sangat tinggi. Berdasarkan data BPS tahun 2013, impor gandum dan tepung terigu pada tahun 2012 mencapai masing-masing 6,3 juta ton dan 0,5 juta ton atau senilai kira-kira Rp.27,9 triliun (BPS 2013). Oleh karena itu, perlu pemanfaatan bahan baku lokal untuk mensubstitusi penggunaan tepung terigu.

Di sisi lain, produksi jagung Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Menurut Kepala BPS Suryamin, produksi jagung pada tahun 2012 mencapai 19,38 juta ton, meningkat 1,73 juta ton atau 9,83%, dibanding realisasi produksi tahun 2011. Peningkatan produksi jagung tersebut telah meningkatkan ketersediaan sumber bahan karbohidrat potensial yang dapat dimanfaatkan baik sebagai bahan baku pada industri pakan ternak maupun pada industri pengolahan pangan. Berdasarkan data dari USDA Foreign Agricultural Services tahun 2011 dalam Indonesia grain and feed annual 2011 melaporkan bahwa sebanyak 4,8 juta ton jagung Indonesia dikonsumsi untuk kebutuhan pangan dan 4,7 juta ton diserap oleh industri pakan (USDA 2011). Terjadinya peningkatan produksi jagung diperkirakan karena adanya pertambahan areal panen seluas 95,22 ribu ha atau 3,44%, dan kenaikan produktivitas sebesar 3,28 kuintal per ha atau naik 7,19% (BPS 2013). Peningkatan produktivitas jagung tersebut terjadi sejalan dengan peningkatan rasio penggunaan benih unggul jagung hibrida terhadap jagung lokal. Peningkatan produksi jagung nasional tersebut membuka peluang penggunaan jagung untuk mensubstitusi kebutuhan terigu menjadi lebih besar. Oleh karena itu, pemerintah mengeluarkan kebijakan melalui peraturan presiden (Perpres) No.22 tahun 2009 tentang Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal (Setneg 2009), yang dikuatkan melalui Instruksi Presiden (Inpres) No.1 tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2010 dalam bidang ketahanan pangan, yaitu pengembangan pangan lokal berbasis tepung-tepungan non beras dan non terigu (Setneg 2010). Kebijakan pemerintah tersebut telah mendorong banyaknya

penelitian tentang penggunaan sumber bahan pangan lokal untuk mensubstitusi penggunaan tepung terigu dalam industri pangan, diantaranya adalah sebagai bahan baku mi (Waniska et al. 2000; Juniawati 2003; Budiah 2004; Fitriani 2004; Rianto 2006; Muhandri dan Subarna 2009; Ekafitri 2009; BPPT 2010), sebagai bahan baku pasta (BPPT 2010), sebagai bahan baku cookies (Azman 2000; Suarni 2005; BPPT 2008; Suarni 2009; Marissa 2010; Mariana 2010),sebagai bahan baku biskuit(Lopulalan 2008; BPPT 2009), sebagai bahan baku roti (Mudjisihono 1994; Richana et al. 2010) maupun sebagai bahan baku produk olahan pangan tradisional lainnya (Fransiska 2010).

Penelitian-penelitian tersebut, belum dapat mendorong penggunaan jagung untuk substitusi tepung terigu maupun tepung beras secara komersial. Hal tersebut salah satunya karena belum tersedianya produk tepung jagung yang memenuhi standar mutu sebagai bahan baku industri pangan sebagaimana ditetapkan dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) No. 01-3727-1995 tentang Syarat Mutu Tepung Jagung (BSN 1995). Tim Program Pangan Karbohidrat BPPT (2009) melaporkan bahwa dari 2 (dua) unit pabrik pengolahan jagung berkapasitas besar di Jawa Timur diketahui hanya 34,5-36,4% partikel tepung jagung yang lolos ayakan 60 mesh dan 14,6-15,4% yang lolos ayakan 80 mesh, sedangkan SNI mensyaratkan ukuran partikel tepung jagung adalah minimal 99% lolos ayakan 60 mesh dan minimal 70% lolos ayakan 80 mesh.

Mutu tepung jagung yang masih belum memenuhi standar tersebut menyebabkan terbatasnya penggunaan tepung jagung sebagai bahan baku industri, khususnya industri pangan. Di samping itu, tingginya kandungan lemak pada tepung jagung berpotensi menyebabkan umur simpan tepung jagung menjadi lebih pendek. Kandungan lemak tepung jagung yang dihasilkan, yaitu 1,6-2,1% masih di atas syarat mutu yang ditetapkan oleh United State Department of

Agriculture (USDA) untuk produk cornmeal tipe III (degermed) yaitu maksimal

1,5% (USDA 2008). Oleh karena itu, diperlukan penelitian tentang teknologi proses produksi tepung jagung agar dihasilkan produk tepung jagung yang memenuhi standar mutu yang dipersyaratkan.

Secara teoritis, belum terpenuhinya syarat mutu tepung jagung tersebut, disebabkan adanya matriks protein yang melingkupi granula-granula pati yang tersusun rapat dan teratur dalam horny endosperm jagung sehingga biji jagung sulit dihaluskan dengan penggilingan kering atau dry milling process (Hoseney 1994). Hal tersebut dikuatkan oleh hasil penelitian Martinez et al. (2006) yang melaporkan hasil pengamatan dengan Scanning Electron Microscope (SEM) bahwa biji jagung keras memiliki pola granula pati yang berbeda dari jagung lunak. Granula pati jagung lunak berbentuk spherical dan tersusun longgar di dalam matriks protein, sedangkan granula pati jagung keras berbentuk polygonal

dan tersusun dengan kerapatan tinggi, sehingga sulit untuk dihaluskan.

Secara umum, proses penggilingan jagung secara kering dilakukan dengan memisahkan endosperma dari lembaga, tudung pangkal biji dan kulit ari dengan cara memecah biji jagung menjadi jagung pecah berukuran besar (flaking grits) menggunakan degerminator. Grits yang diperoleh selanjutnya digiling dan dipisahkan mengggunakan plant shifter dan cyclone untuk memperoleh grits

jagung dalam berbagai ukuran (Wahyudi 2003). Pada proses penggilingan kering, tepung jagung dapat dihasilkan dengan 2 (dua) cara, yaitu pertama dengan cara menghaluskan kembali grits yang diperoleh dengan roller mills. Cara kedua

adalah mengumpulkan fraksi grits berukuran kecil (halus) dari masing-masing

cyclone. Proses produksi tepung jagung komersial secara kering tersebut belum

dapat menghasilkan tepung jagung yang memenuhi syarat mutu sebagaimana ditetapkan dalam SNI. Hal tersebut diduga karena keras dan uletnya endosperma jagung.

Keras dan uletnya endosperma jagung tersebut mengindikasikan kuatnya matriks protein yang melingkupi granula pati pada bagian horny endosperm. Kuatnya matriks protein pada endosperma jagung tersebut dapat dilihat dari lamanya waktu perendaman biji jagung dalam larutan SO2 (0,1-0,4%) untuk melonggarkan matriks protein pada proses pembuatan pati jagung (wet milling

process) yang membutuhkan waktu hingga 36 jam pada suhu 48-52oC (Watson

dan Eckhoff 2004). Selain menggunakan enzim (tunggal maupun majemuk), berbagai upaya untuk melonggarkan matriks protein pada horny endosperm

supaya dapat memperpendek waktu perendaman juga telah dilakukan, diantaranya dengan penambahan asam fosfat, asam asetat, asam sitrat, asam sulfat dan asam klorida ke dalam air rendaman yang mengandung sulfur dioksida (Du et al. 1996), penambahan asam laktat bersama-sama dengan SO2 (Haros et al. 2004), penambahan asam kuat dan asam lemah bersama-sama dengan SO2 juga dilakukan oleh Yang et al. (2005). Namun demikian upaya-upaya tersebut tidak berdampak signifikan terhadap percepatan waktu perendamannya. Hal tersebut menunjukkan kuatnya matriks protein dalam horny endosperm jagung.

Penelitian perekayasaan teknologi produksi tepung jagung menggunakan enzim papain untuk meningkatkan kehalusan ukuran partikel tepung jagung belum pernah dilakukan. Penggunaan papain didasarkan pada penelitian Jonhston dan Singh (2001) yang telah meneliti pengaruh penggunaan enzim secara spesifik untuk mengurangi lama waktu perendaman dan penggunaan SO2 pada proses pembuatan pati jagung. Dilaporkan bahwa enzim tidak dapat berpenetrasi masuk ke dalam biji jagung utuh untuk memecahkan matriks protein yang melingkupi granula pati sehingga penggunaan enzim tidak berpengaruh nyata terhadap pengurangan lama waktu perendaman dan penggunaan SO2. Untuk itu perlu dilakukan pengecilan ukuran biji jagung agar dapat menghilangkan hambatan difusi enzim ke dalam biji jagung. Menurut Johnston dan Singh (2004), setelah dilakukan perendaman dalam air, pengecilan ukuran biji dan perendaman dengan enzim protease, cellulase, xylanase, cellobiase, β-glucanase, dan kombinasinya, dilaporkan bahwa penggunaan bromelain (protease) menghasilkan rendemen pati paling tinggi dibandingkan kelompok enzim yang lain pada lama waktu perendaman yang sama.

Penambahan papain pada proses pembuatan tepung jagung bertujuan untuk menurunkan kekerasan biji jagung sehingga mudah untuk dihaluskan. Upaya- upaya untuk menggunakan enzim dalam proses pengolahan jagung sudah dimulai oleh Caransa et al. (1988), Steinke dan Johnson (1991), Steinke et al (1991), Moheno-Perez et al. (1999). Penggunaan enzim-enzim tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan rendemen dan memperpendek lama waktu perendaman dalam larutan SO2 pada proses produksi pati jagung. Penggunaan enzim untuk tujuan menggantikan penggunaan SO2 dimulai pada tahun 2001 oleh Johnston dan Singh, Serna-Saldivar dan Mezo-Villanueva (2003), Core (2004), Johnston dan Singh (2004;2005), dan Ramirez et al. (2009).

Untuk menghasilkan tepung jagung dengan kandungan lemak kurang dari 1,5% dan ukuran kehalusan partikel tepung jagung sesuai persyaratan dalam SNI, maka dalam penelitian ini dilakukan penelitian proses produksi tepung jagung secara enzimatis menggunakan papain.

1.2 Kerangka Pemikiran

Upaya untuk peningkatan mutu tepung jagung yang dihasilkan supaya dapat digunakan untuk mensubstitusi tepung terigu maupun tepung beras diharapkan dapat mengurangi ketergantungan terhadap impor bahan bahan pangan, dan pada akhirnya dapat mengurangi ketergantungan penyediaan pangan bangsa Indonesia terhadap bangsa lain. Oleh karena itu, peningkatan mutu tepung jagung, khususnya peningkatan kehalusan ukuran partikel tepung jagung dan penurunan kandungan lemaknya merupakan target utama dalam penelitian ini. Penggunaan papain sebagai enzim proteolitik didasarkan oleh penggunaan bromelain dalam pengembangan teknologi produksi pati jagung metode basah, serta modifikasi

degerminator yang selama ini digunakan oleh pabrik pengolahan jagung skala

kecil diharapkan mampu mencapai target dalam penelitian ini.

Penelitian yang dilakukan meliputi : pemilihan degerminator dan penentuan waktu perendaman awal biji jagung sebelum degerminasi, penambahan papain untuk menurunkan kekerasan grits dan mempelajari fenomena yang terjadi akibat penambahan papain, optimasi proses penambahan papain, dan perhitungan biaya produksi tepung jagung secara enzimatis dengan merujuk pada unit produksi tepung jagung di Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pengolahan Jagung Terpadu Pemerintah Kabupaten Grobogan, di kecamatan Wirosari, Grobogan, Jawa Tengah.

Penerapan teknologi proses hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh pabrik pengolahan jagung dalam memanfaatkan momentum pertumbuhan industri mi terigu dan dukungan yang kuat dari pemerintah dalam upaya mengurangi ketergantungan terhadap impor bahan pangan khususnya gandum dan tepung terigu dalam mencapai terwujudnya ketahanan pangan nasional. Di samping itu, penerapan teknologi produksi tepung jagung secara enzimatis pada pabrik pengolahan jagung diharapkan dapat memperluas pangsa pasar pabrik pengolahan jagung yang ada, dan pada akhirnya dapat menumbuh kembangkan agroindustri jagung, serta memacu tumbuhnya agroindustri papain di Indonesia. Secara umum skema kerangka pemikiran dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 1.1.

1.3 Perumusan Masalah

Meningkatnya produksi jagung nasional dan banyaknya penelitian tentang pemanfaatan tepung jagung menjadi aneka produk pangan olahan belum dapat meningkatkan penggunaan tepung jagung untuk mensubstitusi penggunaan tepung terigu maupun tepung beras. Hal tersebut karena tepung jagung yang dihasilkan oleh pabrik pengolahan jagung yang ada saat ini masih kasar, yaitu hanya sekitar 34,51-36,42% yang lolos ayakan ukuran 60 mesh dan sekitar 14,55-15,36% yang lolos ayakan ukuran 80 mesh. Ukuran tersebut lebih kasar dibandingkan dengan ukuran partikel tepung terigu maupun tepung beras yang minimal 95% lolos ayakan ukuran 70 mesh untuk tepung terigu, dan minimal 90% lolos ayakan

Peningkatan Agroindustri Tepung

Jagung Nasional

Peningkatan Pemanfaatan Tepung Jagung dalam

Industri Pangan

Desain Proses Degerminasi dan Perendaman Biji Jagung

Karakteristik Biji Jagung

Kinerja Degerminator Terpilih dan Waktu

Perendaman Peningkatan Mutu Tepung Jagung Desain Proses Penepungan Jagung Aktivitas Enzim Papain Karakteristik Tepung Jagung Karakterisasi Sifat Fisika Kimia Jagung

Pemilihan Alat Degerminator dan Penentuan Kondisi Perendaman Awal Biji Jagung Degerminasi Karakteristik Grits Jagung Karakterisasi Grits Jagung Hasil Degerminasi Pengujian Aktivitas Enzim Papain Enzim Papain Perendaman Grits Jagung secara Enzimatis Karakterisasi Tepung Jagung Penepungan Grits Jagung Grits Jagung Karakterisasi Grits Jagung Karakteristik Grits Jagung Optimasi Proses Perendaman Grits

Jagung secara Enzimatis

ukuran 80 mesh untuk tepung beras. Masih kasarnya ukuran partikel tepung jagung komersial tersebut disebabkan oleh keras dan uletnya biji jagung. Hal tersebut disebabkan, pada biji jagung, selain terdapat floury endosperm yang mudah ditepungkan, juga terdapat horny endosperm yang sulit untuk ditepungkan dengan penggilingan kering biasa karena granula-granula patinya tersusun teratur dengan kerapatan yang tinggi dalam sebuah matriks protein. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu perlakuan untuk melonggarkan matriks protein tersebut. Di samping ukuran partikel tepung yang masih kasar, kandungan lemak tepung jagung komersial juga tinggi, yaitu sekitar 1,83-2,43% (bk). Tingginya kandungan lemak tersebut menyebabkan umur simpan tepung jagung menjadi lebih pendek. Tingginya kandungan lemak dalam tepung jagung diduga karena tidak sempurnanya proses degerminasi, sehingga sekitar 85% lemak jagung terdapat pada germ (lembaga) tidak dapat terpisahkan dengan baik. Untuk itu diperlukan peralatan degerminator yang sesuai dan lama waktu perendaman awal biji jagung yang tepat untuk menghasilkan tepung jagung dengan kandungan lemak yang rendah. Kedua hal tersebut diduga kuat sebagai penyebab masih terbatasnya pemanfaatan tepung jagung saat ini.

1.4 Tujuan Penelitian Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan desain teknologi proses produksi tepung jagung dengan penambahan enzim papain pada perendaman grits

jagung hasil degerminasi. Dari penelitian ini diharapkan akan dihasilkan tepung jagung dengan kehalusan minimal 90% lolos ayakan 80 mesh dan kandungan lemak maksimal 1,5% agar dapat digunakan untuk mensubstitusi penggunaan tepung terigu maupun tepung beras menjadi aneka produk olahan pangan.

Tujuan Khusus

1. Menentukan jenis degerminator dan lama waktu perendaman biji jagung lokal dan hibrida sebelum degerminasi.

2. Menentukan pengaruh penambahan papain terhadap kekerasan dan kandungan protein grits, serta mempelajari fenomena penambahan papain pada grits jagung lokal dan hibrida terhadap morfologi grits, distribusi ukuran partikel dan sifat visco amilografi tepung jagung yang dihasilkan.

3. Menentukan kondisi optimum proses produksi tepung jagung secara enzimatis menggunakan papain.

4. Melakukan perhitungan biaya investasi, biaya produksi dan harga pokok produksi tepung jagung secara enzimatis menggunakan papain dengan merujuk pada unit produksi tepung jagung pada UPT Pengolahan Jagung Terpadu di kabupaten Grobogan, Jawa Tengah.

1.5 Manfaat Penelitian

Teknologi proses produksi tepung jagung secara enzimatis menggunakan papain yang dihasilkan dalam penelitian ini, diharapkan dapat diterapkan pada pabrik-pabrik pengolahan jagung di sentra-sentra produksi jagung, sehingga dapat mendorong tumbuhnya agroindustri jagung. Di samping itu, juga membuka

peluang pasar bagi produk papain yang dihasilkan oleh para kalangan pelaku usaha papain di Indonesia.

1.6 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dan batasan-batasan dalam penelitian ini meliputi hal-hal berikut :

1. Papain yang digunakan adalah crude papain komersial.

2. Jagung lokal yang digunakan adalah jagung lokal varietas Kodok yang banyak dibudidayakan oleh masyarakat di kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah.

3. Jagung hibrida yang digunakan adalah jagung hibrida varietas Pioneer 21 (P21) yang banyak dibudidayakan oleh masyarakat di kabupaten Kediri, Bojonegoro, Lamongan, Blora dan Grobogan.

4. Degerminator yang diuji cobakan adalah polisher gabah (tipe A) yang banyak digunakan oleh masyarakat untuk menyosoh jagung di kabupaten Wonogiri Jawa Tengah dan kabupaten Lamongan Jawa Timur, penyosoh jagung (tipe B) yang banyak digunakan oleh masyarakat di kabupaten Bojonegoro Jawa Timur dan Grobogan Jawa Tengah, serta modifikasi polisher gabah (tipe C) merupakan polisher gabah yang dimodifikasi pada bagian pemarut (saringan) dengan pemarut yang biasa digunakan oleh masyarakat di Lampung untuk mengupas kulit kopi dengan ukuran lubang saringan yang telah disesuaikan dengan ukuran biji jagung.

5. Pembuatan desain proses produksi tepung jagung secara enzimatis merujuk pada unit produksi tepung jagung di UPT Pengolahan Jagung Terpadu milik pemerintah kabupaten Grobogan, Jawa Tengah.

1.7 Kebaruan

Klaim kebaruan terhadap hasil penelitian yang telah dilakukan adalah diperolehnya satu metode baru proses produksi tepung jagung secara enzimatis menggunakan papain. Metode baru tersebut merupakan hasil perekayasaan metode produksi tepung jagung konvensional (dry milling process) dengan penambahan tahapan proses inkubasi dengan papain untuk meningkatkan kehalusan ukuran partikel tepung jagung yang dihasilkan. Penggunaan papain ditujukan untuk menguraikan matriks protein dalam horny endosperm jagung. Dalam metode baru tersebut, sebelum dilakukan inkubasi dengan papain, biji jagung didegerminasi untuk memisahkan endosperma dari lembaga, tudung pangkal biji, dan kulit ari, serta untuk mengecilkan ukuran biji jagung utuh menjadi grits jagung supaya memudahkan penetrasi papain ke dalam bagian endosperma jagung. Terjadinya penguraian matriks protein pada horny endosperm

akibat kerja enzim protease tersebut, dapat menurunkan kekerasan dan kandungan protein grits jagung setelah inkubasi. Terjadinya penurunan kekerasan dan kandungan protein grits jagung tersebut, berhasil meningkatkan kehalusan partikel tepung jagung, serta berpengaruh terhadap sifat visco amilografi tepung jagung yang dihasilkan.

2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Morfologi Biji Jagung

Biji jagung terdiri atas empat bagian pokok, yaitu kulit ari (pericarp) dan tudung pangkal biji (tip cap) dengan persentase 5% hingga 6%, lembaga (germ) 12% sampai 14%, dan sisanya endosperma (82%). Kulit ari merupakan lapisan pembungkus biji yang tersusun oleh epicarp (lapisan paling luar), mesocarp, dan tegmen (seed coat). Bagian terbesar dari biji jagung adalah endosperma. Lapisan pertama dari endosperma yaitu lapisan aleuron yang merupakan pembatas antara endosperma dengan kulit. Lapisan aleuron merupakan lapisan yang menyelubungi endospermadan lembaga (Watson 2003).

Komposisi kimia jagung bervariasi tergantung dari jenis varietas, cara tanam, iklim dan tingkat kematangan (Rukmana 2005). Pada jagung muda, kandungan lemak dan proteinnya lebih rendah bila dibandingkan dengan jagung yang tua. Selain itu, jagung juga mengandung karbohidrat yang terdiri atas pati, serat kasar, dan pentosan. Penampang longitudinal biji jagung gigi kuda (dent corn) disajikan pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Penampang longitudinal biji jagung gigi kuda (Hoseney 1994)

Sementara itu, lembaga terletak pada bagian dasar sebelah bawah dan berhubungan erat dengan endosperma. Lembaga tersusun atas dua bagian, yaitu

skutelum dan poros embrio. Skutelum berfungsi sebagai tempat penyimpanan zat-

zat gizi selama perkecambahan biji. Tudung pangkal biji (tip cap) merupakan bekas tempat melekatnya biji jagung pada tongkol jagung. Tudung pangkal biji dapat tetap ada atau terlepas dari biji selama proses pemipilan biji. Setiap bagian anatomi tersebut memiliki komposisi yang berbeda-beda. Menurut Watson (2003), komposisi kimia rata-rata biji jagung dan bagian-bagiannya ditunjukkan pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Komposisi kimia rata-rata biji jagung utuh dan bagiannya

Komponen Kandungan (%)*

Pati Protein Lemak Gula Abu

Biji utuh 73,4 9,1 4,4 1,9 1,4

Endosperma 87,6 8,0 0,8 0,62 0,3

Lembaga 8,3 18,4 33,2 10,8 10,5

Perikarp 7,3 3,7 1,0 0,34 0,8

Tudung pangkal biji 3,3 9,1 3,8 1,6 1,6 *Persentase bobot kering, Sumber: Watson (2003)

Dari Tabel 2.1 dapat dilihat bahwa komponen utama yang terdapat pada jagung adalah pati. Endosperma jagung mengandung 80,0% dari 73,4% pati yang terdapat dalam biji jagung. Komponen terbesar kedua dalam endosperma setelah pati adalah protein, yaitu 20,4% dari 9,1% protein yang terdapat dalam biji jagung. Sementara itu, lembaga merupakan tempat terdapatnya sebagian besar lemak jagung, yaitu sebanyak 85,6% dari total 4,4% lemak yang terdapat pada biji jagung. Lemak jagung terutama dalam bentuk trigliserida. Sementara itu, serat sebagian besar terdapat pada kulit ari dan tudung pangkal biji. Kandungan serat dalam kulit ari adalah 90,7% dan pada tudung pangkal biji adalah 95% dari 9,5% serat yang terdapat pada biji jagung utuh (Watson 2003).

Sebanyak 79,5% dari 1,4% mineral jagung terdapat pada lembaga, mungkin karena diperlukan untuk pertumbuhan embrio. Menurut Haryadi et al. (1991), komponen anorganiknya terutama berupa senyawa fosfor. Sebagian besar dalam bentuk garam potassium dan magnesium. Fitin merupakan bentuk penting senyawa fosfor, yang dibebaskan oleh enzim fitase untuk merangsang