• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

5.2 Pembahasan

5.2.3.4 Aktivitas sosial

Aktivitas sosial merupakan suatu bentuk aktivitas yang erat kaitannya dengan hubungan antar individu, antar kelompok owa jawa ataupun antar jenis primata lain. Aktivitas sosial antara lain aktivitas bersuara, main, menelisik, reproduksi, dan ribut dengan kelompok owa jawa lain.

Aktivitas bersuara dilakukan pada pagi hari oleh betina dewasa dan saat ada bahaya atau bentrok dengan kelompok owa jawa lain. Saat merasa terganggu oleh kehadiran kelompok owa jawa lain biasanya individu betina dewasa akan mengeluarkan suara disusul individu anak, sedangkan jantan dewasa akan berhadapan langsung dengan jantan dewasa kelompok owa jawa lain. Aktivitas

bentrok juga disebut aktivitas ribut, aktivitas ini akan berlangsung lama tergantung jika salah satu kelompok mengalah dan meninggalkan lokasi ribut.

Aktivitas bermain yang dilakukan anak merupakan upaya pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan pergerakan, dan komunikasi sosial. Aktivitas bermain dilakukan dengan cara berkejar-kejaran ataupun tarik-menarik. Selama pengamatan terlihat anak bermain dengan bayi yang masih digendong induknya, yaitu dengan cara menarik-narik dan menggigit anggota tubuh bayi, selain itu terlihat pula anak owa jawa bermain dengan anak primata lain seperti surili. Aktivitas bermain ini biasanya dilakukan pada pohon yang tinggi sehingga terhindar dari gangguan predator.

Perilaku menelisik dibagi menjadi dua tipe yaitu menelisik sendiri (garuk dan selisik sendiri) dan menelisik pasangan. Perilaku menelisik biasanya relatif sangat singkat, sekitar 5 sampai 600 detik satu kali periode menelisik. Aktivitas bermain, bersuara, reproduksi dan menelisik merupakan bentuk komunikasi sosial antara individu yang melakukannya, jarangnya kontak sosial menyebabkan renggangnya hubungan antar keduanya.

5.2.4 Perilaku menelisik owa jawa

Setiap inidividu akan selalu melakukan interaksi dengan individu lain di dalam kelompoknya. Interaksi tersebut terdiri atas berbagai perilaku sosial, diantaranya menelisik, berselisih, bermain, dan seksual. Perilaku menelisik adalah kegiatan membersihkan ataupun merawat diri juga termasuk dalam komunikasi sosial antar individu kelompok tertentu. Aktivitas menelisik biasanya disebut

grooming atau selisik dengan istilah “mencari kutu” (Nugraha 2006).

Perilaku menelisik dilakukan pada waktu-waktu tertentu sehingga cenderung membentuk pola fluktuatif. Pada perilaku harian perilaku menelisik juga termasuk perilaku dengan presentasi terkecil. Sesuai dengan pernyataan Leighton (1987), bahwa primata termasuk owa jawa mengalokasikan 5% dari waktu aktifnya untuk berkutu-kutuan (menelisik).

Pengamatan perilaku menelisik yang dilakukan di wilayah Resort Stasiun Penelitian Cikaniki sampai Desa Citalahab bekerjasama dengan dua peneliti owa jawa lainnya. Salah satu peneliti mengamati tentang frekuensi suara dan fungsi perilaku bersuara bagi owa jawa. Penelitian tentang suara ini diduga dapat

mempengaruhi frekuensi dan durasi perilaku menelisik karena adanya playback

song oleh individu owa jawa yang bukan berasal dari TNGHS.

Pengamatan perilaku menelisik owa jawa dilakukan dengan waktu total pengamatan selama 77 jam (kelompok A) dan 77 jam 6 menit (kelompok B). Rata-rata pengamatan per hari selama kurun waktu 2 bulan adalah 5 jam 30 menit (kelompok A) dan 5 jam 56 menit (kelompok B). Waktu total pengamatan kelompok B lebih tinggi daripada kelompok A, hal ini karena kelompok B memiliki waktu aktif yang relatif lebih panjang dari kelompok A sehingga kemungkinan terjadinya perilaku menelisik lebih banyak walaupun peluang perjumpaan atau pengamatan yang cukup sulit.

Tujuan perilaku menelisik adalah untuk menghilangkan kotoran yang menempel pada rambut saat lokomosi (perpindahan) ataupun karena parasit yang menempel di rambut sehingga dapat menggangu kenyamanan aktivitas harian owa jawa. Selain perawatan diri, perilaku menelisik juga memberikan manfaat sosial, yaitu mengakrabkan komunikasi antar individu kelompok tertentu. Bagi primata menelisik merupakan suatu bentuk komunikasi, yaitu komunikasi dengan sentuhan (Napier & Napier 1985).

Selama pengamatan terlihat bahwa komunikasi sosial antar individu sebagian dapat terpenuhi dengan perilaku menelisik. Perilaku menelisik dilakukan oleh individu dewasa dengan anaknya dan sebaliknya, sehingga perilaku menelisik menjadi hal yang penting. Pada kelompok A komunikasi sosial tidak terlihat baik pada individu induk betina (Ayu) dengan betina dewasa (Asri), selama pengamatan tidak pernah terlihat aktivitas menelisik antara Ayu dengan Asri ataupun sebaliknya. Hal ini sebagai upaya Ayu untuk mengusir Asri meninggalkan kelompoknya dan membentuk kelompok baru.

Perilaku menelisik biasanya dilakukan pada saat istirahat. Pada kelompok B perilaku menelisik sering dilakukan karena aktivitas istirahat yang relatif tinggi. Perilaku menelisik dilakukan saat tenang ataupun saat istirahat, namun saat pengamatan terlihat bahwa kelompok B dapat melakukan perilaku menelisik pasangan saat terjadinya bentrok (ribut) dengan kelompok A. Perilaku menelisik pada kelompok B dapat terjadi hingga sore hari saat sebelum tidur.

Owa jawa melakukan perilaku menelisik di atas pohon dengan tajuk tertutup, pada saat selesai makan ataupun saat perpindahan. Saat melakukan aktivitas menelisik owa jawa berada pada keadaan tidak siaga sehingga cenderung mencari pohon dengan ketinggian yang cukup aman untuk menghindari serangan predator ataupun panas matahari.

5.2.4.1 Tipe selisik owa jawa

Perilaku menelisik owa jawa dibagi menjadi dua tipe, yaitu menelisik sendiri atau autogrooming (garuk dan selisik sendiri) dan menelisik pasangan atau

allogrooming. Menelisik sendiri (autogrooming) dilakukan oleh 1 individu owa

jawa untuk membersihkan anggota tubuhnya dari kotoran ataupun parasit, sedangkan selisik pasangan dilakukan lebih dari 1 individu.

Perilaku autogrooming biasanya dilakukan di sela-sela perpindahan ataupun sesaat setelah makan. Owa jawa cenderung lebih sering melakukan aktivitas menggaruk daripada selisik sendiri, karena lebih efektif dilakukan saat owa jawa melakukan aktivitas harian yang memerlukan pergerakan cepat. Owa jawa tidak harus fokus mencari kotoran atau parasit yang menempel di rambut tubuh, cukup dengan menggaruk bagian tubuh yang terasa kotor atau gatal tanpa harus memperhatikan bagian tubuh yang di garuk. Sehingga dapat terlihat owa jawa melakukan aktivitas menggaruk dengan posisi duduk, gantung ataupun tiduran. Sedangkan saat istirahat dan berteduh dapat dijumpai owa jawa melakukan aktivitas selisik, posisi saat selisik sendiri biasanya duduk karena saat duduk owa jawa akan lebih fokus mencari kotoran atau parasit yang menempel di tubuhnya.

Perilaku menelisik pasangan (allogrooming) adalah kegiatan menghilangkan kotoran atau parasit yang menempel di rambut bagian tubuh menggunakan dua bagian anggota tubuhnya dan dilakukan secara berpasangan dengan gerakan yang lambat dan membentuk pola jalan kepiting. Pada perilaku

allogroming terdapat dua pembagian peran, yaitu sebagai pelaku selisik (groomer)

dan sebagai pemerima selisik (groomee). Hal ini sesuai dengan pernyataan Nugraha (2006), bahwa allogrooming dilakukan dengan dua individu yang mempunyai peran berbeda (pelaku dan penerima selisik).

Peran dari masing-masing pelaku allogrooming berbeda, pelaku selisik berperan mencari dan menghilangkan kotoran dan parasit yang menempel

dibagian tubuh yang sulit dijangkau seperti punggung, pantat dan bagian lainnya, sedangkan penerima selisik adalah individu owa jawa sebagai objek bagian tubuh yang ditelisik. Saat melakukan aktivitas menelisik owa jawa menggunakan tangan, kaki ataupun mulut untuk menarik, menyibak, dan menyisihkan kotoran atau parasit di tubuhnya.

Aktivitas allogrooming owa jawa biasanya dilakukan dalam durasi yang cukup panjang, terkadang diselingi dengan aktivitas bermain. Saat pengamatan terlihat pula ketika induk jantan dan betina sedang melakukan aktivitas

allogrooming, individu anak bermain dengan bayi yang digendong induknya

ataupun meminta ditelisik, sehingga dapat dijumpai selisik tiga individu. Selisik tiga individu terjadi dimana penerima selisik berada di tengah pelaku selisik, dan kedua pelaku selisik melakukan aktivitas menghilangkan kotoran dan parasit pada bagian tubuh penerima selisik. Biasanya komposisi selisik tiga individu terdiri dari induk jantan dan betina sebagai pelaku dan anak sebagai penerima, dijumpai pula induk jantan atau induk betina yang berperan sebagai penerima selisik.

Perilaku autogrooming owa jawa kelompok A dan B memiliki nilai frekuensi dan presentase yang lebih besar daripada perilaku allogrooming tetapi dengan durasi perilaku yang lebih rendah. Hal ini disebabkan karena perilaku

autogrooming dapat dilakukan dalam waktu singkat dan tidak melibatkan individu

lain. Ketika owa jawa merasa ada kotoran atau parasit yang menempel di tubuhnya, owa jawa akan menghentikan aktivitasnya sejenak kemudian langsung membersihkan bagian yang kotor dengan gerakan menggaruk atau selisik.

Autogrooming terjadi sangat singkat sehingga durasi per satu kali aktivitas

ataupun secara keseluruhan akan lebih pendek dari perilaku allogrooming.

Perilaku menelisik tiap individu akan memiliki nilai berbeda tergantung banyaknya aktivitas yang dilakukan dapat menyebabkan rambut tubuh menjadi kotor, sehingga perlu adanya aktivitas autogrooming ataupun allogrooming. Perilaku autogrooming dari 7 individu yang diamati hanya Kumis yang memiliki frekuensi dan durasi perilaku garuk terbesar. Sedangkan perilaku selisik sendiri dengan frekuensi terbanyak terjadi pada individu Kumis, tetapi durasi perilaku terbesar pada Amran. Hal ini mengindikasikan bahwa Kumis dan Amran banyak

melakukan aktivitas yang membuat tubuhnya kotor seperti aktivitas makan ataupun bergerak.

Pada kelompok B, perilaku allogrooming memiliki jumlah frekuensi dan durasi perilaku yang lebih besar pada setiap komposisinya dibanding dengan kelompok A. Komposisi Kumis (pelaku selisik) dan Keti (penerima selisik) memiliki frekuensi dan durasi perilaku terbesar dari seluruh komposisi yang terlibat perilaku allogrooming. Terdapat pula komposisi selisik tiga individu, masing-masing memiliki 2 komposisi individu pada setiap kelompoknya. Komposisi selisik tiga individu yang memiliki frekuensi dan durasi perilaku terbesar adalah Kumis dan Keti (pelaku selisik) dan Kum-kum (penerima selisik). Hal ini diduga karena Kumis, Keti dan Kum-kum memiliki banyak kotoran di tubuhnya akibat aktivitas bergerak sehingga untuk mengefektikan aktivitas menelisik, individu owa jawa memilih melakukan selisik bersama-sama.

5.2.4.2 Frekuensi dan durasi perilaku menelisik owa jawa berdasarkan jenis kelamin

Komposisi individu owa jawa jenis kelamin jantan dan betina adalah 3 jantan dan 4 betina. Pada perilaku autogrooming, individu jantan (kelompok A dan B) lebih sering melakukan perilaku garuk daripada individu betina dengan durasi waktu yang lebih lama. Tetapi individu betina lebih sering melakukan perilaku selisik sendiri daripada individu jantan, dengan durasi perilaku yang lebih singkat dari individu jantan. Berbeda dengan penelitian perilaku menelisik

Macaca fascicularis oleh Nugraha (2006) yang menyebutkan bahwa betina

memiliki frekuensi dan durasi perilaku lebih besar daripada jantan, hal ini berhubungan dengan peran betina seperti bergerak, makan, mengasuh bayi, alarm

call dan koalisi yang lebih tinggi dibandingkan jantan.

Perilaku allogrooming (selisik pasangan) individu jantan memiliki frekuensi dan durasi perilaku yang lebih besar dari individu betina. Individu jantan yang berperan sebagai pelaku ataupun penerima selisik memiliki frekuensi dan durasi perilaku yang lebih besar dari pada individu betina. Hal ini berarti individu jantan lebih sering terlibat dalam perilaku selisik pasangan baik sebagai pelaku ataupun penerima selisik. Berbeda dengan pernyataan Nugraha (2006) bahwa pada

dekat terjadi antara induk betina dengan anaknya sehingga meningkatkan frekuensi menelisik diantara mereka. Secara umum individu jantan memiliki frekuensi dan durasi perilaku menelisik yang lebih besar daripada individu betina, meskipun perbandingan jumlah betina lebih besar daripada jumlah jantan.

5.2.4.3 Frekuensi dan durasi perilaku menelisik owa jawa berdasarkan kelas umur

Owa jawa yang diamati memiliki dua kelas umur yang berbeda yaitu dewasa dan anak dengan komposisi dewasa dan anak adalah 5 dewasa dan 2 anak. Pada perilaku autogrooming, individu dewasa memiliki frekuensi yang lebih besar dari individu anak. Durasi perilaku autogrooming individu dewasa jauh lebih besar daripada individu anak. Individu dewasa lebih sering melakukan perilaku

autogrooming karena aktif melakukan perilaku harian, sedangkan individu anak

lebih sering melakukan aktivitas main, terkadang terlihat pula aktivitas menelisik diselingi dengan aktivitas bermain. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mori (1975)

dalam Nugraha (2006), bahwa pada Macaca fascicularis individu dewasa aktif

melakukan perilaku menelisik, sedangkan anak lebih sering bermain sehingga waktu yang dihabiskan untuk menelisik semakin lama.

Pada perilaku allogrooming, individu dewasa memiliki frekuensi dan durasi perilaku yang jauh lebih besar dari individu anak. Hal ini menunjukan bahwa individu dewasa lebih banyak terlibat dalam perilaku selisik pasangan baik sebagai pelaku ataupun penerima selisik. Individu dewasa sebagai pelaku ataupun penerima selisik juga memiliki frekuensi dan durasi perilaku yang lebih besar daripada anak. Selama pengamatan terlihat bahwa individu anak lebih sering menerima selisik daripada menelisik individu dewasa, walaupun juga terlihat anak menelisik individu dewasa dalam frekuensi yang lebih kecil. Hal ini sesuai dengan pernyataan Nakamichi dan Shizawa (2003), bahwa pada monyet dewasa lebih sering menjadi pelaku selisik sedangkan anak dan bayi lebih sering menjadi penerima selisik.

Secara umum owa jawa dewasa memiliki nilai presentase perilaku menelisik yang lebih besar dari owa jawa anak, hal ini dapat disebabkan komposisi individu dewasa lebih banyak daripada individu anak. Nakamichi dan Shizawa (2003), mengatakan bahwa ukuran kelompok Macaca fuscata mempengaruhi frekuensi

selisik. Hal ini berarti komposisi owa jawa yang lebih besar menyebabkan perilaku menelisik yang terjadi semakin besar pula dibandingkan frekuensi perilaku menelisik individu anak.

5.2.4.4 Pola perilaku dan durasi perilaku menelisik owa jawa berdasarkan interval waktu aktif

Perilaku menelisik dilakukan selama waktu aktif owa jawa, yaitu dimulai saat owa jawa memulai perilaku hariannya. Perilaku autogrooming dan

allogrooming dilakukan pada waktu tertentu sehingga membentuk suatu pola dan

meningkat saat istirahat dan setelah makan, juga dijumpai pula sesaat sebelum tidur panjang. Saat istirahat duduk selama sejam sebelum tidur pada sore, owa jawa menghabiskan waktunya dengan perilaku sosial seperti bersuara, menelisik

(grooming), dan bermain (Leighton 1987).

Perilaku autogrooming lebih banyak dilakukan pada pagi hari sedangkan perilaku allogrooming lebih sering dilakukan pada siang hari. Autogrooming

dominan dilakukan pada pagi hari dengan frekuensi perilaku yang sangat besar sehingga cenderung menurun pada siang dan sore hari. Hal ini sesuai dengan pernyataan Chiarello (1995) dalam Nugraha (2006), bahwa frekuensi selisik tertinggi monyet howler cokelat terjadi pada pagi hari. Sedangkan allogrooming

penyebaran perilakunya hampir merata mulai pagi hingga siang, meningkat drastis pagi hari dan menurun pada sore hari. Akumulasi kotoran yang menempel di bagian tubuh yang sulit dijangkau ini diduga dapat dihilangkan dengan aktivitas selisik pasangan saat istirahat pendek pada pagi hari.

Pada perilaku garuk frekuensi aktivitas tiap jam cenderung berfluktuatif dan meningkat drastis pukul 8.00 WIB dan menurun drastis mulai jam 14.00 WIB, sedangkan perilaku selisik sendiri cenderung datar dan meningkat drastis pada jam 16.00 WIB. Perilaku selisik pasangan memiliki frekuensi terendah pada pagi hari dan meningkat drastis pada jam 14.00 WIB. Secara umum, pada waktu aktifnya owa jawa cenderung lebih dominan melakukan perilaku garuk meskipun pada jam tertentu lebih banyak terlihat perilaku selisik pasangan, yaitu pada jam 12.00 WIB, 14.00 WIB, dan 17.00 WIB. Sedangkan perilaku selisik sendiri memiliki frekuensi paling rendah pada setiap jam di waktu aktifnya.

Perilaku autogrooming berada pada selang durasi antara (1 – 180) detik per satu kali perilaku, dengan presentase perilaku terbesar berada pada selang (1 – 30) detik. Sedangkan perilaku allogrooming berada pada selang antara (1 – 360) detik per satu kali perilaku, dengan nilai presentase perilaku terbesar berada pada selang (31 – 60) detik. Reichard dan Sommer (1994) menyatakan bahwa perilaku menelisik Hylobates lar sebesar 5,2% dari perilaku hariannya dengan kisaran waktu sekitar 10 jam (5.30 – 15.30 WIB) untuk allogrooming dan15 detik (2 - 108 detik) untuk perilaku autogrooming.

5.2.4.5 Bagian tubuh owa jawa yang ditelisik

Perilaku menelisik salah satunya bertujuan untuk membersihkan diri atau menghilangkan kotoran yang menempel di tubuh. Bagian tubuh yang menjadi objek selisik antara lain adalah bahu, bokong, dada, dagu, jari, kaki, ketiak, kepala, kuping, lutut, leher, muka, perut, pinggang, punggung, selangkangan, sikut, tangan dan telapak tangan.

Pada perilaku autogrooming bagian kaki, tangan dan paha merupakan bagian tubuh yang sering ditelisik, sedangkan pada perilaku allogrooming bagian punggung dan bokong yang paling sering ditelisik. Bagian kaki, tangan dan paha sering menjadi objek selisik karena bersentuhan langsung dengan pohon yang menyebabkan kotoran saat owa melakukan aktivitas seperti makan, bergerak, istirahat dan sosial. Bagian punggung adalah bagian yang sulit dijangkau dan efektif dapat dibersihkan hanya dengan allogrooming. Kotoran yang menempel dapat berasal dari serpihan ranting kecil dan daun kering, sedangkan parasit diduga berasal dari kutu ataupun serangga kecil lainnya. Area permukaan tubuh yang mudah dijangkau dibersihkan dengan autogrooming, sedangkan permukaan tubuh yang sulit dijangkau dibersihkan dengan allogrooming, meliputi bagian punggung sebesar 27,1% dan dada 14,5% (Reichard dan Sommer 1994).

Owa jawa rutin membersihkan rambut dari kotoran dan parasit yang menempel di tubuh dengan autogrooming ataupun allogrooming. Kotoran yang menempel akibat aktivitas hanya bersifat sementara dan dapat segera dibersihkan, sedangkan parasit (kutu atau serangga lain) sulit dihilangkan, membuat gatal dan dapat menular. Bagian dengan rambut cukup tebal seperti di bagian punggung, dada, perut, pinggang, paha, tangan, merupakan bagian yang biasanya terdapat

parasit (kutu). Owa jawa mendapat kotoran lebih banyak pada bagian atas tubuhnya seperti kepala, bahu, dan tangan ketika bergerak dan makan dengan posisi vertikal (Reichard dan Sommer 1994).

5.2.4.6 Posisi owa jawa saat menelisik

Owa jawa pada kelompok A dan B memiliki beberapa posisi tubuh saat melakukan perilaku autogrooming dan allogrooming yaitu duduk, tiduran, gantung, duduk dan tiduran (sebaliknya) serta duduk dan gantung (sebaliknya). Pada perilaku autogrooming posisi duduk merupakan posisi dominan, disusul posisi gantung, sedangkan posisi tiduran yang jarang digunakan. Sedangkan pada perilaku allogrooming posisi duduk juga termasuk posisi dominan yang digunakan, kemudian posisi duduk dan tiduran (sebaliknya) serta posisi duduk dan gantung (sebaliknya) yang jarang digunakan. Posisi gabungan antara posisi duduk dan posisi tiduran ataupun posisi duduk dan posisi gantung hanya dilakukan pada perilaku allogrooming (dua individu terlibat).

Perilaku menelisik banyak dilakukan saat istirahat ataupun disela-sela aktivitas makan. Perilaku istirahat dibagi menjadi empat bentuk perilaku yaitu duduk, bergantung, tiduran dan berjemur, dengan duduk sebagai perilaku dominan. Hal ini menjelaskan bahwa owa jawa menghabiskan waktu istirahat pendeknya dengan aktivitas duduk dan saat itulah terjadi perilaku menelisik. Serupa dengan pernyataan Reichard dan Sommer (1994), saat istirahat biasanya

Hylobates lar duduk lurus jadi tubuh bagian atas lebih terkena dari bagian bawah

seperti kotoran dari daun kering, kulit kayu, ranting, antropoda, dan mungkin ectoparasit, kutu sehingga bagian tubuh atas perlu dibersihkan.

5.2.4.7 Ketinggian owa jawa saat menelisik dari lantai hutan

Owa jawa saat menelisik berada di pohon pada ketinggian tertentu sehingga terhindar dari sengatan matahari ataupun ancaman predator. Owa jawa melakukan perilaku menelisik pada berbagai interval ketinggian yaitu (10 – 15) m, (16 – 20) m, (21 – 25) m, (26 – 30) m, (31 – 35) m, (36 – 40) m, dan (41 – 45) m. Owa jawa sering menggunakan pohon pada interval ketinggian (26 – 30) m.

Selain pemilihan ketinggian posisi dari lantai hutan, pemilihan lokasi keberadaan pohon dan tajuk pohon menjadi hal yang penting. Owa jawa cenderung melakukan autogrooming pada pohon yang dekat dengan aktivitas

terakhir dilakukan ataupun di tempat yang sama, selang beberapa waktu dengan perilaku sebelumnya. Sedangkan untuk allogrooming owa jawa memilih pohon dengan cabang atau percabangan besar sehingga mampu menampung lebih dari 1 individu. Saat allogrooming owa memilih menelisik pada pohon dengan tajuk rimbun, ataupun menggunakan tajuk teratasnya, sehingga terkadang menyulitkan pengamatan.

Biasanya pada pohon dengan interval ketinggian (10 – 15) m cenderung digunakan owa jawa untuk aktivitas autogrooming (garuk). Pemilihan tajuk bertujuan sebagai strategi untuk mengurangi tindakan pemangsaan oleh predator. Dalam melakukan aktivitas ini, owa jawa cenderung memilih pepohonan dengan kanopi besar pada tajuk lapisan tengah sampai atas (Sutrisno 2001).

Dokumen terkait