• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Landasan Teori

2.2.4 Aktor-Aktor Yang Berperan Dalam Proses Kebijakan

Pembahasan mengenai siapa saja yang terlibat dalam perumusan kebijakan dapat dilihat misalnya dalam tulisan James Anderson (1979), Charles Lindblom (1980), maipun James P. Lester dan Joseph Stewart,Jr (2000) dalam Winarno (2006:123). Aktor aktor atau pemeran serta dalam proses pembentukan kebijakan dapat dibagi ke dalam dua kelompok, yakni para pemeran serta resmi dan para pemeran serta tidak resmi. Yang termasuk kedalam pemeran resmi adalah agen-agen pemerintah (birokrasi), presiden (eksekutif), legislative, dan yudikatif. Sedangkan yang termasuk kedalam kelompok pemeran tidak resmi meliputi; kelompok-kelompok kepentingan, partai politik, dan warga Negara individu.

Menurut Charles O. Jones, sedikitnya ada 4 (empat) golongan atau tipe aktor (pelaku) yang terlibat, yakni: golongan rasionalis, golongan teknisi, golongan inkrementalis, dan golongan reformis. Sungguhpun demikian, patut hendaknya patut diingat bahwa pada kesempatan tertentu dan untuk satu jenis tertentu kemungkinan hanya satu atau dua golongan aktor tertentu yang berpengaruh dan aktif terlibat. Peran yang dimainkan oleh keempat golongan

aktor tersebut dalam proses kebijaksanaan, nilai-nilai, dan tujuan yang mereka kejar serta gaya kerja mereka yang berbeda satu sama lain.

Berikut ini akan menguraikan bagaimana perilaku masing-masing golongan aktor tersebut dalam proses kebijaksanaan. Golongan Rasionalis, cirri-ciri dari golongan aktor rasionalis ialah bahwa dalam melakukan pilihan alternative kebijaksanaan mereka selalu menempuh metode dan langkah-langkah berikut: 1) mengidentifikasi masalah; 2) merumuskan tujuan dan menyusunnya dalam jenjang tertentu; 3) mengidentifikasikan semua alternatif kebijaksanaan; 4) meramalkan atau memprediksi akibat-akibat dari tiap alternatif.

Golongan aktor rasionalis ini identik dengan peran yang dimainkan oleh para perencana dan analis kebijaksanaan. Golongan rasionalis ini metode-metode seperti itu kerap kali merupakan nilai-nilai yang amat dipuja-puja. Golongan rasional ini diasumsikan bahwa segala tujuan dapat ditetapkan sebelumnya dan bahwa informasi atau data yang serba lengkap dapat disediakan. Gaya kerja golongan rasionalis cenderung seperti gaya kerja seorang perencana yang komprehensif, yakni seorang yang berusaha untuk menganalisis semua aspek dari setiap isu yang muncul dan menguji setiap alternatif dari akibat dan dukungannya terhadap tercapainya tujuan yang telah ditetapkan.

Golongan Teknisi. Seorang teknisi tidak lebih dari golongan rasionalis, sebab ia adalah seorang yang bidang keahliannya atau spesialisasinya dilibatkan dalam beberapa tahapan proses kebijaksanaan. Golongan teknisi dalam melaksanakan tugasnya boleh jadi memiliki kebebasan, namun kebebasan ini sebatas pada lingkup pekerjaan dan keahliannya. Namun apa yang harus mereka

kerjakan biasanya ditetapkan oleh pihak lain, nilai-nilai yang mereka yakini adalah nilai-nilai yang berkaitan erat dengan latar belakang keahlian professional mereka. Golongan teknisi umumnya menunjukkan enggan untuk melakukan pertimbangan yang amat luas melampaui batas-batas keahliannya tersebut.

Golongan Inkrementalis. Golongan aktor inkrementalis memendang tahap-tahap perkembangan kebijaksanaan dan implementasinya sebagai suatu rangkaian preses penyesuaian yang terus menerus terhadap hasil akhir (yang berjangka dekat maupun berjangka panjang) dari suatu tindakan. Nilai-nilai yang terkait dengan metode pendekatan ini ialah hal-hal yang berhubungan dengan masa lampau atau hal-hal yang berhubungan dengan terpeliharanya status quo kestabilan dari system dan terpeliharanya status quo.

Tujuan kebijaksanaan dianggap sebagai konsekuensi dari adanya tuntutan-tuntutan, baik karena didorong kebutuhan untuk melakukan sesuatu yang baru. Gaya kerja golongan inkrementalis ini dapat dikategorikan sebagai seseorang yang mampu melakukan tawar menawar atau bargaining yakni dengan secara teratur mendengarkan tuntutan, menguji seberapa jauh intensitas tuntutan tersebut dan menawarkan kompromi.

Golongan Reformis (pembaharu). Pendekatan semacam itu umumnya ditempuh oleh para lobbyist (orang-orang yang berperan selaku juru kasak-kusuk / perunding diparlemen. Nilai-nilai yang mereka junjung tinggi ialah yang berkaitan dengan upaya untuk melakukan perubahan social, namun lebih sering bersangkut paut dengan kepentingan kelompok-kelompok tertentu. Tujuan kebijaksanaan biasanya ditetapkan dalam lingkungan kelompok-kelompok

tersebut, melalui berbagai macam proses, termasuk diantaranya atas dasar keyakinan pribadi bahwa hasil akhir dari tidakan pemerintah sekarang telah melenceng arahnya atau bahkan gagal. Gaya kerja golongan aktor reformis ini umumnya sangat radikal, kerapkali disertai dengan tindakan-tindakan demonstrasi dan konfrontasi dengan pihak pemerintah.

Golongan Rasionalis sering dikecam/dikritik tidak memahami kodrat manusia. Braybroke dan Lindblom, sebagai penganjur teori inkrementalis, malahan menyatakan bahwa golongan aktor rasionalis itu terlalu idealistis sehingga tidak cocok dengan keterbatasan kemampuan manusia dalam mengatasi masalah. Golongan aktor teknisi kerapkali dituduh memiliki pandangan yang picik karena hanya peduli terhadap masalah-masalah publik yang luas, yang kemungkinan melampaui bidang keahlian yang dikuasainya. Golongan aktor inkrementalis dilain pihak, seringkali dianggap memiliki sikap konservativ, sebab mereka tidak terlalu tanggap terhadap perubahan social atau bentuk-bentuk inovasi yang lain. Akhirnya golongan aktor reformis dituduh mau menangnya sendiri, tidak sabaran, tidak kenal kompromi dan karena itu tidak realistis. Oleh sebab itulah para pelaksana memegang peranan penting dalam implementasi kebijakan public dari golongan rasionalis menjadi kedudukan yang sangat dominan dalam pengambil pembuatan kebijakan, mempunyai motivasi yang rendah dan seringkali terbatas pada pemahaman rasionalis.

Berikut ini adalah skema sederhana yang menunjukkan ciri-ciri perilaku dari masing-masing golongan aktor tersebut diatas beserta kritik-kritik yang dilontarkan orang terhadapnya.

Tabel 1

Aktor-aktor yang terlibat Dalam Proses Kebijaksanaan Dan perilakunya

Sumber: Charles O. Jones, An Introduction to the Study of Public Policy, Wodsworth, Belmont, CA., 1970 halaman 32

2.2.5 Model – model implementasi Kebijaksanaan publik 2.2.5.1 Teori Donald S. Van Meter dan Carl E.Van Horn

Van Meter dan van Horn dalam Winarno (2007:155) menawarkan suatu model dasar dalam implementasi kebijakan, yaitu mempunyai enam variable yang

KARAKTERISTIK

Golongan actor

Peran Nilai - nilai Tujuan Gaya Kerja Kritik

Rasionalis Teknisi Inkrement alis Reform is Analis Kebijaksana-an Perencana ahli Spesealis Polit isi Pelobi M et ode Pendidikan/ keahlian St at us quo Perubahan sosial Dapat dit et apkan sebelum nya Dit et apkan pihak lain Karena t unt ut an baru karena M asalah m endesak Kom prehensif Eksplisit Juru t aw ar Akt ivis Tidak m em aham i ket erbat asa n m anusia Terlam paui picik Konservat if Tidak realist is/ t ida k kenal kom prom i

membentuk kaitan (linkage) antara kebijakan dan kinerja (performance). Dimana menjelaskan implementasi kebijakan Negara dalam hubungan – hubungan antara variable-variabel yang mempengaruhi tercapainya tujuan-tujuan formal pada keseluruhan implementasi

Dengan menggunakan pendekatan seperti ini dalam pandangan van Meter dan van horn, mempunyai harapan yang besar untuk menguraikan proses-proses dengan cara melihat bagaimana keputusan-keputusan kebijakan dilaksanakan dibandingkan hanya sekedar menghubungkan variable bebas dan variable terikat dalam suatu cara yang semena- mena. Implementasi yang berhasil seringkali membutuhkan mekanisme-mekanisme dan prosedur-prosedur lembaga.

Variabel-variabel tersebut diklasifikasikan menjadi 6 (enam) kategori, yaitu:

1. Ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan; 2. Sumber-sumber kebijakan;

3. Komunikasi antar organisasi dan kegiatan pelaksanaan: 4. Karakteristik-karakteristik badan-badan pelaksana; 5. Kondisi-kondisi ekonomi, sosial, dan politik; 6. Kecenderungan pelaksana-pelaksana.

Gambaran mengenai model implementasi kebijakan ini dapat dilihat pada gambar 1 berikut :

Gambar 2

Variabel-variabel Implementasi Kebijakan Ukuran-ukuran

Dasar dan tujuan

Tujuan komunikasi antar Organisasi dan Kegiatan-kegiatan pelaksanaan Kebijaksanaan Kinerja Karakteristik-karak kecenderungan Teristik dari badan pelaksana- Badan pelaksana pelaksana

Sumber- Sumber Kondisi-kondisi Ekonomi,social Dan politik

Menurut Van Meter dan van Horn dalam Winarno (2007:156-165), variable-variabel yang mempengaruhi proses kebijakan tersebut, dijelaskan sebagai berikut:

1. Ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan

Ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan berguna didalam menguraikan tujuan-tujuan keputusan kebijakan secara menyeluruh. Disamping itu, ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan merupakan bukti itu sendiri dan dapat diukur dengan mudah dalam beberapa kasus.

2. Sumber-sumber kebijakan

Sumber-sumber yang dimaksud mencakup dana atau perangsang (incentive) lain yang mendorong dan memperlancar implementasi yang efektif.

3. Komunikasi antar organisasi dan kegiatan-kegiatan pelaksananan

Komunikasi didalam dan antara organisasi-organisasi merupakan suatu proses yang kompleks dan sulit. Dalam meneruskan pesan-pesan kebawah dalam suatu organisasi atau dari suatu organisasi ke organisasi lainnya, para komunikator dapat menyimpannya atau menyebarluaskannya, baik sengaja atau tidak sengaja. Lebih dari itu, jika sumber-sumber informasi yang berbeda memberikan interpretasi-interpretasi yang tidak konsisten, terhadap ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan atau jika sumber-sumber yang sama memberikan interpretasi-interpretasi yang bertentangan, para pelaksana akan menghadapi kesulitan yang lebih besar untuk melaksanakan maksud-maksud kebijakan.

Dalam hubungan-hubungan antar organisasi maupun antar Pemerintah, dua tipe kegiatan pelaksanaan yaitu :

a. Nasihat dan bantuan teknis yang diberikan;

b. Atasan dapat menyandarkan pada berbagai sanksi, baik positif maupun negative

4. Karakteristik badan pelaksana

Struktur birokrasi diartikan sebagai karakteristik-karakteristik norma-norma dan pola-pola hubungan yang terjadi berulang-ulang dalam badan-badan eksekutif yang mempunyai hubungan, baik potensial maupun nyata dengan apa yang mereka miliki dengan menjalankan kebijakan.

Beberapa unsur yang mungkin berpengaruh terhadap suatu organisasi dalam mengimplementasikan kebijakan:

a) Kompetensi dan ukuran staf suatu badan;

b) Tingkat pengawasan hierarkis terhadap keputusan- keputusan sub unit dan proses-proses dalam badan-badan pelaksana;

c) Sumber-sumber politik suatu organisasi (misalnya dukungan diantara anggota-anggota legislative dan eksekutif);

d) Vitalitas suatu organisasi;

e) Tingkat komunikasi-komunikasi “terbuka”, yang didefinisikan sebagai jaringan kerja komunikasi horizontal dan vertical secara

bebas serta tingkat kebebasan yang secara relative tinggi dalam komunikasi dengan individu-individu diluar organisasi;

f) Kaitan formal dan informal suatu badan dengan badan “pembuat keputusan” atau “pelaksana keputusan”.

6. Kecenderungan pelaksana

Arah kecenderungan-kecenderungan pelaksana terhadap ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan juga merupakan suatu hal yang sangat penting. Para pelaksana mungkin gagal dalam melaksanakan kebijakan-kebijakan dengan tepat karena mereka menolak tujuan-tujuan yang terkandung dalam kebijakan-kebijakan tersebut. Dan sebaliknya, penerimaan terhadap ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan akan menjadi pendorong bagi implementasi kebijakan yang berhasil. Penggunaan model-model diatas, sedikit banyak akan tergantung

pada kompleksitas permasalahan kebijakan yang dikaji. Dalam menganalisa implementasi kebijakan Undang-undang No.13 Tahun 2003, tentang penerapan Tenaga Kerja Waktu Tertentu pada PT.Inti Cakrawala Citra (INDOGROSIR) Surabaya, menggunakan model Van Meter dan Van Horn. Mengingat masalah ketenagakerjaan diIndonesia merupakan masalah yang sangat kompleks, sehingga diperlukan model yang relatif operasional.

2.2.5.2 Faktor penghambat dan pendukung implementasi kebijakan

Hogwood dan Gunn dalam Wahab (2002 : 61) membagi pengertian kegagalan kebijaksanaan (policy failure) kedalam 2 (dua) kategori yaitu non implementation (tidak terimplementasikan) dan unsuccessfull implementation

(implementasi yang tidak berhasil). Sedangkan implementasi yang tidak berhasil biasanya terjadi manakala telah dilaksanakan sesuai dengan rencana, namun mengingat kondisi eksternal tidak menguntungkan, kebijaksanaan tersebut tidak berhasil dalam mewujudkan dampak atau hasil akhir yang dikehendaki.

Kemudian Suharto (2005 : 136) mengemukakan bahwa kegagalan pelaksanaan kebijakan itu seringkali terjadi bukan karena adanya kebijakan sosial itu sendiri, melainkan bersumber pada beberapa faktor, seperti :

1. Mekanisme dan proses perumusan kebijakan tidak tepat; 2. Tidak sejalannya perencanaan dan implementasi kebijakan;

3. Orientasi kebijakan tidak sesuai dengan permasalahan dan kebutuhan masyarakat;

4. Kebijakan yang terlalu kaku dan mengatur seluruh aspek kehidupan masyarakat sampai yang sekecil-kecilny;.

5. kebijakan yang bersifat` top down ` dan elitis dalam arti hanya melibatkan kelompok tertentu saja yang dianggap ahli.

Implementasi kebijakan merupakan tahap yang krusial dalam proses kebijakan publik. Tanpa adanya implementasi kebijakan, sebuah keputusan kebijakan hanya akan menjadi catatan-catatan kecil diatas meja para pejabat.

Implementasi kebijakan yang berhasil menjadi faktor penting dari keseluruhan proses kebijakan. Untuk memperbaiki implementasi kebijakan ada beberapa langkah yaitu 1).dalam mengusulkan langkah-langkah perbaikan harus dipahami lebih dulu hambatan yang muncul dalam proses implementasi dan mengapa hambatan tersebut timbul, 2).mengubah keadaan yang menghasilkan faktor penghambat tersebut (Winarno,2007:217)

Selain faktor penghambat pelaksanaan kebijakan juga dikemukakan faktor pendukung pelaksanaan suatu kebijakan. Hal ini dikemukakan oleh Soenarko (2000:186) yaitu:

a) Persetujuan, dukungan dan kepercayaan masyarakat.

b) Pelaksanaan haruslah mempunyai cukup informasi, terutama mengenai kondisi dan kesadaran masyarakat yang menjadi kelompok sasaran c) Desentralisai komunikasi yang berkesinambungan tentang saluran

transmisi pada setiap lini pemahaman yang konseptual.

Dokumen terkait