• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembagian manfaat dalam skema REDD+ menimbulkan sejumlah persoalan termasuk siapa penerima manfaat yang sah, efesiensi biaya distribusi, keterlibatan struktur lembaga yang diperlukan dalam proses keuangan dan pengambilan keputusan serta implementasi mekanisme kerja. Kebanyakan definisi manfaat dalam kepustakaan REDD+ hanya mengacu pada manfaat moneter yang tersedia untuk pengurangan emisi dan peningkatan stok karbon Namun, implementasi kegiatan REDD+ di tingkat nasional dan lokal dapat memberi

peluang untuk menghasilkan berbagai manfaat, selain manfaat moneter langsung seperti misalnya90

• Manfaat langsung, yang timbul dari pelaksanaan REDD+. Dalam hal ini termasuk peningkatan pekerjaan, peningkatan mata pencaharian, dan manfaat ekosistem secara langsung, yang meliputi hasil hutan nonkayu (HHNK), kayu bakar, pakan ternak dll.

:

• Manfaat tidak langsung, yang terdiri dari perbaikan tata kelola seperti penguatan hak-hak penguasaan lahan dan penegakan hukum, yang terkait dengan fase kesiapan REDD+) dan meningkatkan partisipasi dalam pengambilan keputusan mengenai manfaat penyediaan infrastruktur. Manfaat ekosistem tak langsung mencakup perlindungan kualitas tanah dan air, perlindungan keanekaragaman hayati dan stabilisasi iklim.

Dalam konteks pembagian manfaat REDD+, pembagian juga disebar kepada pemangku kepentingan. Mekanisme pembagian manfaat dibagi kedalam dua jenis yaitu pembagian manfaat vertikal dan pembagian manfaat horizontal. Pembagian manfaat vertikal meliputi pembagian manfaat lintas tingkatan (pemerintahan) dari tingkat nasional hingga tingkat lokal atau daerah. Sementara pemabagian manfaat secara horizontal meliputi pembagian manfaat dalam level yang sama yaitu pada masyarakat dan para pemangku kepentingan lokal lainnya.

90

Angelsen, A., Brockhaus, M., Sunderlin, W.D. dan Verchot, L.V. (ed.). 2013. Menganalisis REDD+: Sejumlah Tantangan dan Pilihan. Bogor: CIFOR. Hal. 187

Kedua jenis pembagian manfaat tersebut dirancang berdasarkan prinsip 3E yaitu ekuitas, efektif dan efesien dengan penjelasan sebagai berikut:

• Untuk memaksimalkan ekuitas (kesetaraan) di antara aktor-aktor yang bertanggung jawab untuk pengurangan deforestasi dan degradasi hutan, • Untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan hutan, dan

• Untuk meningkatkan efisiensi dari program nasional dan sub nasional (umumnya dicapai dengan meminimalkan biaya pelaksanaan dan transaksi).

Dalam konsep pembangunan berkelanjutan, pembangunan ekonomi harus sejalan dengan pengelolaan sumberdaya alam yang bersahabat. Dalam hal mekanisme REDD+ di Indonesia, CDM memang sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan. Melalui manfaat horisontal sebelumnya, skema pengelolaan hutan berbasis masyarakat dan pengelolaan hutan bersama menempatkan masyarakat sebagai pelaku sekaligus penerima manfaat dari hutan. Hal penting yang mempengaruhi pengelolaan sumberdaya alam ialah penetapan prioritas pembangunan yang melekat pada status Indonesia sebagai negara berkembang. Melalui kebijakan pembangunannya, pemerintah bertujuan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 7% (pro‑pertumbuhan), mengurangi jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan (pro‑rakyat miskin), dan

memperbesar penyerapan sumberdaya manusia ke dalam pasar tenaga kerja (pro‑pekerjaan)91

Dari perspektif pelaksanaan prioritas pembangunan bidang SDA dan Lingkungan Hidup, pembangunan kehutanan ditujukan guna memberikan dampak pada pemanfaatan sumberdaya hutan untuk pembangunan ekonomi, serta peningkatan kualitas dan kelestarian lingkungan hidup, yang secara bersamaan akan memberikan kontribusi pada upaya peningkatan kesejahteraan rakyat.

.

Meskipun sikap pro‑lingkungan hidup muncul baru‑baru ini, prinsip 3E

masih menjadi fokus utama. Fokus ini terlihat pada rencana jangka panjang dan jangka menengah pemerintah, yang menempatkan pendidikan dan kesehatan pada urutan teratas (Peraturan Presiden No. 5/2010). Persoalan lingkungan hidup timbul karena strategi untuk mencapai pembangunan masih sangat bergantung pada eksploitasi sumberdaya alam. Meskipun APBN mencantumkan sektor kehutanan hanya menyumbang sebesar 1% dari jumlah pendapatan negara, pendapatan dari kegiatan terkait seperti pertambangan berpengaruh langsung terhadap laju deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia.

92

Aktor atau pelaku REDD+ di Indonesia terbagi dalam empat kelompok besar yaitu pemerintah, masyarakat yang menetap di sekitar kawasan hutan,

3.4 Aktor-aktor yang Terlibat Dalam Skema REDD+ di Indonesia A. Aktor Dalam Skema REDD+

91

Op.Cit. Indrarto, G.B. Hal. 108

92

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan swasta. Setiap aktor memiliki peran serta kapasitas pengetahuannya masing-masing. Proses pelembagaan oleh aktor-aktor tersebut berlangsung sangat cepat bahkan sebelum pelaksanaan COP 13 di Bali. Melalui Kementerian Kehutanan pada tahun 2007 membentuk IFCA bersama negara-negara pemberi donor, akademisi, swasta dan kelompok masyarakat.

Dalam pelaksanannya IFCA lahir sebagai hasil konsultasi Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kehutanan. IFCA bertanggungjawab untuk seluruh persiapan pembentukan REDD tahap awal dan mensinergikan seluruh upaya yang bertujuan untuk berperan dalam misi pengurangan emisi hasil deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia. Pada hakekatnya, IFCA diharapkan menghimpun upaya pemerintah, pengusaha, masyarakat madani, dan masyarakat internasional dalam mewujudkan pengelolaan hutan secara lestari sehingga pada akhirnya memberi sumbangsih bagi stabilisasi iklim.93

Kehadiran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau Non Government Organization (NGO) dalam pelaksanaan REDD+ di Indonesia sebenarnya menunjukkan pemerintah Indonesia membutuhkan asistensi dalam menjalankan mekanisme tersebut. Dalam perkembangannya, beberapa LSM mengalami pro kontra terhadap konsep dan pelaksanaaan skema ini. Beberapa pihak memandang skema REDD+ ini merupakan solusi atas persoalan sektor kehutanan di Indonesia.

93

Namun dipihak yang berbeda ada juga pihak yang secara terang-terangan mempertanyakan bahkan menolak mekanisme kerja REDD+.

Beberapa NGO yang paling berperan aktif mendukung REDD+ di Indonesia adalah WWF, TNC, CI dan CIFOR. Salah satu diantaranya seperti CIFOR (Center For Internasional Forestry Research), merupakan NGO berskala internasional yang banyak melakukan kegiatan penelitian pada lingkungan, khususnya sektor kehutanan dan saat ini sudah hadir lebih dari 50 negara dibelahan dunia paling kontras mendukung implementasi REDD+ di Indonesia. CIFOR juga banyak melakukan riset tentang hutan Indonesia terutama skema REDD+. Saat ini pekerjaan CIFOR mendapat banyak dukungan dana dari

berbagai donor internasional seperti

Peran yang dilakukan CIFOR tersebut di laksanakan dalam beberapa program dan kegiatan, yaitu pertama, Global Comparative Study dengan melakukan kajian atau studi komparative secara global yang bertujuan mengkaji dan menganalisa mengenai skema REDD+ yang dijalankan di negara-negara dan skema-skema REDD+ yang dijalankan di tiap daerah proyek REDD+.. Kedua yaitu pelatihan, konferensi dan publikasi terkait dengan upaya CIFOR agar skema REDD+ ini menjadi agenda global yang bisa dipahami semua

sektor hingga semua sektor bisa mendukung upaya mitigsi REDD+ tersebut. Ketiga, pembagunan website REDD Indonesia yaitu kegiatan kerjasama dengan Kementrian Kehutanan Indonesia dalam hal mengupayakan semua hasil penelitian dan semua informasi bisa diakses oleh masyarakat dan para stakeholder, juga menjadi acuan pembelajaran bagi kalangan penstudi.94

Sebagai lembaga internasional CIFOR tentu memiliki kepentingan tertentu pada mekanasime REDD+ di Indonesia belum lagi CIFOR dilengkapi dengan tenaga ahli dari luar negeri. Beberapa kepentingan CIFOR oleh Hendrik Manullang (2011) menuliskan pertama, CIFOR berada dalam IFCA merupakan LSM titipan asing yang ditugasi mengarahkan agar skema REDD disetujui oleh pemerintah Indonesia. Kedua, CIFOR berupaya meyakinkan Indonesia untuk membiarkan REDD masuk dalam skema pasar bebas. Ketiga, CIFOR memiliki kepentingan agar LSM seperti mereka bisa menjadi pelaksana proyek REDD sehingga pada nantinya mereka bisa menjadi broker perdagangan karbon dan mendapat dana dari hasil menjual karbon tersebut.95

Berbeda dengan CIFOR, beberapa LSM justru menolak keberadaan skema REDD+. Kritik terhadap skema REDD+ berawal dari pengalaman kelompok

94

Ibnu Hajar. 2017. Peran Center For Internasional Forestry Research (Cifor) Di Indonesia Terkait Mekanisme Reducing Emission From Deforestation And Forest Degradation (REDD) 2007-2014. Jurnal FISIP UNRI. Volume 4 No.1. Hal. 7

95 Hendrik Manullang. 2011. Politik Lingkungan : Analisa Reducing Emission From Deforestation Degradation (REDD) Sebagai Program Penyelamatan Hutan Indonesia. Universitas Sumatera Utara. BAB II.

masyarakat adat yang mengalami perampasan hak atas penguasaan dan pengelolaan hutan dengan alasan pembangunan ekonomi terkhusus masyarakat yang tinggal disekitar kawasan hutan di luar Pulau Jawa. Arus konsesi pengelolaan hutan dalam wujud izin untuk menambang menebang kayu, membuka lahan untuk perkebunan sering sekali mengepung bahkan menggusur lahan penghidupan ekonomi kampung-kampung masyarakat sekitar hutan. Kekhawatiran muncul apabila skema REDD+ justru menjadi wajah baru mekanisme penguasaan lahan melalui konsesi yang diberikan guna menjalankan restorasi ekosistem terutama ketika konflik tenurial belum diselesaikan.

Di sisi lain, beberapa LSM/NGO seperti WALHI, AMAN, Green Peace, dan DrE justru melihat skema REDD+ ini memurahkan hutan Indonesia untuk diperjualbeilkan emisinya di dunia internasional oleh negara-negara maju agar inkubator industri mereka tetap berjalan. Skema ini juga dianggap sebagai jalan melarikan diri bagi negaranegara maju dengan cara membeli hak untuk mengemisi lebih banyak gas rumah kaca dari negara-negara berkembang yang masih memiliki hutan.96 Pandangan beberapa NGO tersebut melihat REDD memprioritasikan konservasi dan peranan pemerintah serta kaum kapitalis dari pada mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kapasitas masyarakat lokal dan adat layaknya seperti program CDM.97

96

Mann, T. dan M.T. Surya. 2009. REDD Wrong Path: Pathetic Ecobusiness. Jakarta: WALHI bekerjasama dengan Nature and Poverty Alliance.. Hal. 57

97

Op.Cit. Andri Santosa dan Mangara Silalahi. Hal. 40

Selain itu, pihak yang mengkritisi skema REDD+ ini menyatakan dengan tegas menolak untuk berpartisipasi karena ketidaksepakatan mendasar pada prinsip-prinsip neoliberalisme yang terkadung dalam skema REDD+.98

Salah satu kelompok kerja membangun Strategi Nasional REDD+, sedangkan kelompok kerja yang lain menyiapkan perangkat perlindungan (safeguard); mekanisme pembiayaan; mekanisme pemantauan, pelaporan, dan verifikasi; pengarusutamaan REDD+ dalam kebijakan; pengelolaan provinsi Berangkat dari kritik tersebut, pemerimtah membentuk stuktur kelompok kerja yang membuka ruang partisipasi bagi masyarakat sipil. Kekhawatiran bahwa skema REDD+ hanya akan menguntungkan segelintir kalangan dapat dilihat dari penciptaan komoditas karbon yang memberikan ruang bagi pemburu rente karbon murah untuk mengambil keuntungan pribadi.

Melihat hal itu, pemerintah melalui Satgas REDD+ memberikan ruang bagi para pihak untuk berpartisipasi dan terlibat dalam sebagai bagian dari pemerintah. Beberapa representasi LSM seperti Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa), Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dan World Wide Fund for Nature (WWF) terlibat dalam keanggotaan kelompok kerja. Terdapat setidaknya sembilan kelompok kerja di dalam Satgas REDD+ yang diberi tugas untuk mengkonsep dan menerjemahkan ide-ide dasar pelaksanaan REDD+ di Indonesia.

98

percontohan; dan perlibatan multipartisipan.99

Aktivis-aktivis yang terlibat dalam Satgas REDD+ diberi kewenangan sebagai ahli yang dapat mengatur, membentuk, dan mendefinisikan mekanisme tata kelola REDD+. Posisi sebagai ahli ini pula yang kemudian membuat para aktivis ini mesti “menghadapi” rekan-rekan mereka sendiri di gerakan masyarakat sipil dalam proses-proses konsultasi publik dan kelompok diskusi terarah atau focus group discussion (FGD). Tidak bisa dimungkiri bahwa pelibatan aktivis dalam proses-proses pembuatan kebijakan REDD+ telah membawa pendekatan pemenuhan hak (rights based approach) dalam regulasi dan implementasi REDD+. Berbagai isu yang menjadi perhatian gerakan masyarakat sipil menjadi diskursus utama dalam berbagai seminar, workshop, konsultasi publik, pelatihan, dan FGD. Satu hal yang menarik dalam proses keterlibatan para aktivis ini adalah terciptanya subjek-subjek baru aktivis yang memandang dirinya sebagai birokrat pemerintah.

Kekhawatiran-kekhawatiran mengenai dampak negatif REDD+ yang disuarakan LSM berhasil dikelola dan diredakan melalui pranata-pranata regulasi, kebijakan, dan mekanisme perlindungan hak di mana mereka terlibat langsung dalam pembuatannya.

100

Untuk mempermudah aktor dalam merumuskan kebijakan REDD+ dibagi dalam empat hal, yaitu jenis, peran, kedudukan, pengetahuan pelaku yang dapat dilihat pada tabel berikut:

99

Ibid

100

Tabel3.3 Peran, Posisi dan Pengetahuan Aktor REDD+ Pelaku Pemerintah (pusat dan daerah) Peran: Pengambil keputusan Penyusun kebijakan Pelaksana kegiatan Pengetahuan:

Pemerintah daerah dan pusat memiliki tataran pengetahuan yang berbeda. Walaupun pada umumnya, pemerintah pusat memiliki pemahaman yang lebih baik daripada daerah, keadaan tidak dapat disamaratakan karena masing‑masing daerah memiliki

tingkat pengetahuan yang berbeda‑beda.

Posisi:

Walaupun posisi pemerintah dalam hal kebijakan REDD didominasi oleh sektor kehutanan, namun sektor lain seperti pertanian juga berperan penting, terutama berkenaan dengan perluasan perkebunan dan pengelolaan lahan gambut di luar kawasan hutan. Oleh karena itu, pemerintah selayaknya tidak membebankan tanggung jawab pelaksanaan REDD hanya pada sektor kehutanan.

Keterangan:

Pemerintah merupakan salah satu penentu keberhasilan. Dalam hal ini, kesenjangan tata kelola dan pengetahuan masih merupakan

masalah mendasar. Perbedaan antarsektor instansi pemerintah juga berpengaruh dalam perbedaan pemahaman tentang REDD karena perbedaan kepentingan masing‑masing sektor (misalnya pekerjaan umum, pertanian, energi dan sumber daya mineral).

Masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan Peran:

Bergantung pada akses terhadap hutan.

Telah menjadi bagian dari ekosistem hutan

Posisi :

Pelibatan masyarakat masih kurang dalam hal pengelolaan kehutanan karena lemahnya landasan hukum untuk memajukan

Memiliki pengetahuan mendalam mengenai daerah setempat

Pengetahuan:

Pengetahuan masyarakat tentang REDD+ beragam. Sebagai contoh, masyarakat yang dibantu oleh LSM memiliki pemahaman lebih dibandingkan dengan yang belum menerima bantuan tersebut. Kebanyakan masyarakat hutan masih belum memahami berbagai persoalan yang terkait dengan REDD+.

hak masyarakat.

Keterangan:

Masyarakat berperan penting dalam keberhasilan REDD+. Proyek tidak akan berhasil tanpa jaminan persetujuan yang benar dan pemahaman yang jelas mengenai REDD+ dari masyarakat yang terkena dampak proyek. Keputusan UNFCCC pada COP 16 mensyaratkan bahwa pelaksanaan REDD+ memperhatikan kepentingan masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan.

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM/CSO)

Peran:

Memberikan saran agar pelaksanaan REDD+ efektif dan efisien

Menyediakan data mengenai keadaan nyata di lapangan.

Dapat menjadi lembaga pelaksana REDD+

Memberikan pandangan kritis terhadap pelaksanaan REDD+

Posisi :

Posisi dari masing‑masing

organisasi berbeda LSM yang memperoleh manfaat dari REDD cenderung bersikap sama dengan pemerintah. LSM ini cenderung yakin bahwa REDD+ akan berhasil dan memberi saran perbaikan guna mendukung keberhasilan ini. LSM lain cenderung kritis dan mempertanyakan kemampuan

Pengetahuan:

LSM cenderung memiliki cukup pengetahuan walaupun tidak dapat disamaratakan karena sebagian LSM melihat REDD+ sebagai fokus utama.Sebagian LSM bisa mendatangi pemerintah untuk memberi saran mengenai kebijakan.Walaupun REDD merupakan konsep baru, LSM mempunyai pengetahuan dan informasi yang memadai dalam menggambarkan REDD+ secara cukup jelas.

REDD+ dalam menyelesaikan masalah perubahan iklim.

Keterangan:

Pemerintah ada kalanya memanfaatkan informasi tentang REDD+ yang diberikan oleh LSM sebagai acuan. Sebagian LSM (misalnya FFI, TNC, dan WWF) telah menjadi mitra pemerintah dalam penetapan kebijakan. Dengan informasi yang dimiliki, sebagian LSM (misalnya Walhi, AMAN, dan HuMA) mengecam kebijakan pemerintah tentang REDD+

Swasta Peran:

Pengembang proyek dan pemanfaat kredit karbon dapat berperan sebagai pedagang/ perantara atau pemrakarsa REDD+.

Peran perantara cukup besar, terutama ketika peluang REDD+ terbuka pada tingkat daerah.

Peran pemrakarsa akan benar‑benar penting dalam

Posisi :

Pelaku swasta berkepentingan, baik sebagai perantara maupun pemrakarsa, untuk memperbesar peluang REDD+ dalam mengatasi perubahan iklim melalui kredit karbon. Namun, iklim usaha yang stabil sangat penting bagi keberlanjutan kegiatan swasta ini.

pelaksanaan skema imbalan REDD+ nantinya

Pengetahuan:

Pelaku swasta memiliki pemahaman yang baik mengenai REDD+. Mereka yang terlibat langsung dalam proyek REDD+, terlibat dalam pembahasan dan proses kebijakan. Karena REDD akan berdampak menguntungkan swasta, informasi dan pengetahuan yang memadai akan menguntungkan perusahaan.

Keterangan:

Kepentingan swasta ini ialah mengambil keuntungan dari penjualan kredit karbon.

Sumber: Diolah dari CIFOR, 2013

Dokumen terkait