• Tidak ada hasil yang ditemukan

Wacana perubahan iklim menjadi sorotan tajam pasca tahun 1970 seiiring dengan maraknya gerakan politik penyelamatan lingkungan di berbagai belahan dunia. Eksploitasi terhadap sumber daya alam yang berlebihan dan berkelanjutan menjadi ancaman serius bagi masa depan bumi. Negara- negara di dunia termasuk negara maju dan negara sedang berkembang ikut mengambil sikap untuk mencegah kerusakan lingkungan yang terus terjadi. Salah satu perhatian dunia pada isu degradasi dan deforestasi hutan pada negara-negara berkembang sebagai pemicu naiknya emisi gas rumah kaca. Melalui pertemuan COP di Kyoto tahun 1997 yang menghasilkan Protokol Kyoto menjadi titik awal penyelamatan hutan dengan memberikan beban biaya kepada negara-negara maju untuk mensubsidi negara berkembang menyelamatkan hutan serta bertujuan untuk menurunkan emisi gas rumah kaca.

Pertemuan COP di Bali tahun 2007 berhasil merumuskan Bali Roadmap sebagai titik terang pembahasan mekanisme REDD (Reducing Emission from Deforestation and Degradation) dan kemudian ada penambahan pada COP selanjutnya tahun 2008 di Cancun dan tahun 2009 di Kopenhagen. Perubahan mendasar pada REDD terjadi sangat signifikan salah satunya penambahan ‘+’ menjadi REDD+. Peambahan itu bermaksud memperluas cakupan REDD sendiri

yang secara tegas menyampaikan bahwa skema REDD+ mampu mengakomodasi berbagai jenis pengelolaan pada sektor kehutanan dalam konteks kehutanan Indonesia. Sektor kehutanan tersebut bisa mencakup hutan lindung, hutan konservasi, hutan produksi maupun hutan konversi yang telah berubah menjadi area penggunaan lain. Skema ini dianggap sebagai upaya cepat dalam menyelamatkan hutan karena mendapatkan inovasi teknologi dari negara-negara maju. Selain itu juga diasumsikan lebih murah apabila dibanding dengan metode mitigasi lainnya.

Pemerintah Indonesia ikut menyoroti skema REDD+ ini dengan serius karena menempati posisi laju deforestasi terbesar ketiga terbesar di dunia. Melihat hal itu, Pemerintah Indonesia memandang bahwa skema REDD+ mampu menjawab tantangan deforestasi yang setiap tahun terus meningkat. Secara ekonomi, pemerintah tidak harus mengeluarkan biaya yang terlalu besar untuk mitigasi hutan karena model pembiayaan dibebankan kepada negara-negara maju (Annex I). REDD+ dalam skala cakupan memang sangat luas, tidak hanya membahas deforestasi semata, tetapi juga menyangkut restorasi, rehabilitasi, menajeman hutan berkelanjutan dan reforestasi.

Indonesia tentunya memiliki kepentingan tertentu sehingga mau dan ikut terlibat dalam setiap ptoses pembahasana REDD+ pada pertemuan KTT, COP dan UNFCCC. Beberapa kepentingan yang dapat dilihat bahwa Pemerintah Indonesia melihat celah bahwa Indonesia sebagai negara hutan hujan tropis terluas ketiga di dunia, sebagai motor penggerak penyelamatan lingkungan hidup. Eksistensi yang

dihasilkan dari skema REDD+ ini, secara politis akan membebaskan Indonesia dari tudingan dan desakan negara-negara industri maju yang mencoba menekan pertumbuhan industri dalam negeri yang masih banyak menggunakan material bersumber dari hutan. Meskipun pengaruh dari negara-negara maju agar Indonesia terlibat dalam skema REDD+ sangat besar, disisi lain Indonesia memang memerlukan sebuah mekanisme untuk menyelamatkan hutan.

Keseriusan Pemerintah Indonesia semakin terang setelah Presiden RI ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan mendukung sepenuhnya upaya penyelamatan hutan dari deferostasi dan degradasi, serta menekan emisi gas rumah kaca yang berimplikasi pada perubahan iklim. Komitmen tersebut dibangun dengan target pennurunan emisi sebesar 26 persen hingga tahun 2020. Selain itu, presiden juga dengan segera menginstruksikan Kemenko Perekonomian agar menyusun sebuah kerangka kerja REDD+. Kemudian pemerintah membentuk Satuan Tugas (Satgas) REDD+ yang bertugas menyusun Strategi Nasional (Stranas) REDD+ yang berfungsi sebagai kerangka pelaksanaan proyek REDD+ di Indonesia.

Dalam proses pelembagaan REDD+ di Indonesia juga tidak terlepas dari kontroversi dan perdebatan. Perbedaan mazhab ideologi dalam pengelolaan lingkungan antar aktor menjadi salah satu penyebab berdampak besar. Banyak pihak yang mencoba mempengaruhi agar skema ini berjalan global namun ada juga yang berpendapat harus disesuaikan dengan kondisi masyarakat Indonesia terutama yang tinggal di kawasan sekitar hutan. Salah satu LSM yang fokus pada

permasalahan lingkungan seperti WALHI mengkritik bahwa skema REDD+ tidak lebih dari jual beli karbon dengan harga murah oleh negara-negara maju. Namun pemerintah berhasil meredamnya dengan melibatkan beberapa LSM seperti WALHI, AMAN dan Green Peace dalam penyusunan Stranas REDD+ sehingga bisa mewakili kepentingan masyarakat saat skema tersebut sudah berjalan dan meredam konflik tenurial, melindungi masyrakat adat serta praktik korupsi pada sektor kehutanan.

Keterlibatan Indonesia juga tidak terlepas dari beberapa faktor permasalahan kehutanan di Indonesia. Permasalahan kehutanan disebabkan oleh inkonsistensi pemerintah dalam mengawasi aktivitas pada sektor kehutanan. Kemudian, tata kelola hutan yang lemah dan cenderung meletakkan sumber daya alam khususnya sektor kehutanan sebagai penopang ekonomi negara. Tata kelola hutan yang lemah ini berdampak besar pada penggunaan areal hutan yang tidak terkontrol dan sering sekali memberi ruang bagi praktik korupsi.

Kejadian yang sering sekali terjadi ialah penyalahgunaan wewenang kepala daerah atas pemberian izin pembukaan lahan kepada pihak perusahaan. Praktik kecurangan ini kerap terjadi dimulai sejak sebelum pemilihan umum, pengusaha menawarkan sejumlah fasilitas kepada pasangan calon yang akan diusung dengan perjanjian dan timbal balik dikeluarkannya izin konsesi tanpa proses rumit setelah calon kepala daerah tersebut menang.

Luas tutupan hutan sampai dengan tahun 2013 hanya tersisa sekitar 82 juta hektar atau setara dengan 46 persen dari total daratan Indonesia. Meskipun moratorium pemberian izin pembukaan lahan primer dan lahan gambut sudah berjalan, namun laju deforestasi seolah tak terbendung. Data Forest Watch Indonesia menunjukkan laju deforestasi sejak tahun 2000 hingga 2009 mencapai 1,5 juta Ha. Sementara itu, laporan Kementerian Kehutanan pada tahun 2014 mencatat laju deforestasi mencapai 613 ribu Ha pada periode 2011 hingga 2012. Melihat data tersebut, permasalahan deforestasi akan tetap membayang-bayangi Pemerintah Indonesia karena selalu mengandalkan sektor kehutanan sebagai sumber pemasukan negara.

Tingginya deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia secara tidak langsung dipengaruhi oleh tata kelola hutan yang lemah. Di samping itu penyebab langsung termasuk diantaranya konversi areal hutan alam menjadi hutan tanaman tahunan, lahan pertanian dan pertambangan. Adapun hal yang tidak jarang didengar, kebakaran hutan sudah seperti menjadi agenda tahunan hutan Indonesia Bahkan pemerintah dari negara-negara tetangga mengecam polusi udara berupa asap yang sampai ke negaranya dan sampai mengganggu aktivitas dan kesehatan warganya. Tidak bisa dipungkiri, memang membuka lahan dengan membakar misalnya untuk areal kebun lebih cepat dan murah dibandingkan metode pembukaan lahan baru pada umumnya.

Skema memang REDD+ hadir akibat berbagai macam strategi dan praktik yang didorong oleh rasionalitas karbon ekonomi dan dibungkus dengan wacana

penyelamatan hutan dan perbaikan tata kelola hutan. Keterlibatan aktor-aktor didalamnya menampilkan diskursus sosial politik kehutanan serta menunjukkan kepentingan dan tujuan yang ingin dicapai oleh para aktor dalam setiap tahap pembentukan hingga pelembagaan REDD+ di Indonesia. Pembangunan berkelanjutan berbasis lingkungan yang ditawarkan REDD+ menjadi gagasan pamungkas lempangnya skema ini mendapat dukungan dari pemerintah.

4.2 Saran

Perdebatan sejak munculnya skema REDD+ di Indonesia banyak menjadi pertanyaan bagi para aktivis-aktivis lingkungan. Pertanyaannya seputar bagaimana model pelaksanaannya, siapa pelaksananya dan bagaiamana pendanaannya. Namun seiring berjalannya perundingan di tingkat internasional, menuju kesepakatan untuk menjadikan REDD+ sebagai mekanisme global dalam menyelamatkan bumi dari perubahan iklim akibat emisi gas rumah kaca hasil deforestasi dan degradasi hutan, pro dan kontra juga terjadi di arus bawah kelompok masyarakat Indonesia.

Skema ini memang belum bisa menjamin secara keseluruhan pelaksanaannya bisa menghentikan deforestasi dan degradasi hutan. Namun dalam hal kerangka pelaksanaan REDD+ masih menjadi skema yang relevan untuk saat ini. Meskipun banyak perdebatan, namun dalam perjalanannya skema

ini terus diperlengkapi dengan kerangka pengaman yang mencoba meredam konflik horizontal dan vertikal di tengah pelaksanaannya.

Pemerintah Indonesia harus mampu melihat peluang dalam skema REDD+ lebih jeli, sehingga tidak hanya fokus pada ekonomi karbonnya saja. Pada sektor tata kelola hutan, banyak regulasi yang harus diperbaharui untuk mengurangi laju deforestasi dari proses konversi hutan menjadi penggunaan lain yang bersifat mengancam bahkan menghilangkan hutan. Pola pembangunan yang selama ini berbasis sumber daya alam sebaiknya perlu dipertimbangkan menuju pembangunan yang berbasis lingkungan. Potensi yang dimiliki hutan Indonesia memang sangat besar, namun masalah pengelolaan menjadi penghalang selama ini. Dalam skema REDD+ menawarkan proses transfer teknolgi dari negara maju dalam hal pengelolaan hutan, ini harusnya dimanfaatkan baik oleh pemerintah, LSM dan kelompok masyarakat yang terlibat langsung.

Dalam penerapannya, Pemerintah Indonesia harus lebih teliti terkait mekanisme pendanaan REDD+, jangan sampai perseteruan oleh broker emisi karbon memperebutkan implementasi proyek ini melupakan prinsip dasar REDD+ yang meletakkan masyarakat lokal sebagai subjek yang akan merawat dan menjaga hutan. Pemerintah sebagai representasi negara harus mampu mendudukkan hutan dan masyarakat sebagai aspek penting terjadinya keseimbangan alam dan pembangunan.

Dokumen terkait