BAB III
ANALISIS KEPENTINGAN INDONESIA DALAM SKEMA REDD+ SEBAGAI UPAYA PENYELAMATAN HUTAN
3.1 Skema REDD+ Sebagai Upaya Penyelamatan Hutan di Indonesia
Mayoritas deforestasi dan degradasi hutan dari komoditas berbasis lahan
yang beresiko merusak hutan terjadi karena adanya dorongan serangkaian
interaksi kompleks dengan beberapa faktor ekonomi, demografi, dan kelembagaan
dasar atau tidak langsung.59
Tingginya tingkat deforestasi di Indonesia disebabkan oleh kegagalan
pengelolaan hutan oleh negara terutama dalam skema Hak Pengusahaan Hutan
(HPH)/Hutan Tanaman Industri (HTI) pada Hutan Produksi (HP), dan pendekatan
ekofasis pengelolaan kawasan konservasi. Kondisi ini diperparah dengan adanya
kebijakan konversi hutan ke pemanfaatan lain, lemahnya penegakan hukum, Selain itu, kondisi geografis dan sebaran penduduk di
Indonesia yang cenderung padat pada daerah dataran rendah terutama daerah
pesisir menjadi sebuah peringatan atas dampak perubahan iklim. Dampak
pemanasan global dan perubahan iklim saat ini mulai dirasakan oleh Indonesia,
seperti anomali cuaca ekstrim dengan frekuensi besar dan gejala-gejala alam yang
berimplikasi pada bencana alam dan berdampak langsung kepada masyarakat.
59
birokrasi yang korup, dan persoalan kemiskinan60
Sementara undang-undang pemerintahan desa yang sentralistik membunuh
sistem pemerintahan berbasis adat dan pengetahuan lokal. Kedua undang-undang
tersebut menjadi malapetaka besar bagi masyarakat adat/lokal. Tak terhindarkan . Sisi lainnya juga dipengaruhi
kebijakan konversi hutan ke pemanfaatan lain, persoalan kemiskinan, penegakan
hukum yang lemah dan birokrasi korup. Penguasaan hutan oleh negara cenderung
terlihat lemah terutama pada pengelolaan hutan produksi yang masih didominasi
oleh korporasi. Dalam hal ini bisa dinilai negara belum berhasil dalam pengusaan
dan pengelolaan hutan demi kesejahteraan rakyat.
Sebagian besar masyarakat Indonesia mengambil hasil hutan sebagai
kebutuhan sehari-hari disamping sebagai kebutuhan produksi. Hutan menjadi
bagian yang tidak terpisahkan terkhusus masyarakat yang tinggal disekitarnya,
disisi lain hutan memiliki fungsi ekonomi, budaya dan sosial. Namun harmonisasi
tersebut mulai sirna sejak keluarnya UU Pokok Kehutanan No. 5 Tahun 1967 dan
menerapkan sistem pemerintahan desa berdasarkan UU No. 5 Tahun 1979 tentang
Pemerintahan Desa. UU Pokok Kehutanan secara tegas membatasi akses masyarakat di
kawasan hutan dikuatkan dengan TGHK yang juga menghapus tenurial adat, kemudian
kebijakan pembersihan tanaman bawah pada pemeliharaan tinggal (HPH), termasuk
membunuh tanaman obat-obatan dan rotan.
60
masyarakat di dalam hutan yang dulunya memiliki sumberdaya ekonomi dan
otonom secara politik menjadi semakin marginal dan miskin61
REDD+ merupakan skema mitigasi perubahan iklim yang dibicarakan
dalam perundingan antar negara di UNFCCC (United Nations Framework
Convention on Climate Change atau Konvensi PBB mengenai Perubahan
Iklim). Perundingan UNFCCC telah menetapkan REDD+ menjadi salah satu
instrumen untuk membantu dunia mencapai tujuan konvensi perubahan iklim
yakni stabilisasi GRK (Gas Rumah Kaca) pada taraf yang tidak mengancam
keselamatan manusia.
Perdebatan isu perubahan iklim dunia yang tidak lepas dari sektor
kehutanan, skema REDD hadir sebagai salah satu upaya penurunan emisi
sekaligus pengentasan kemiskinan. REDD merupakan pengurangan emisi dari
kegiatan deforestasi dan degradasi hutan berbasis pasar yang dilakukan di negara tropis
berkembang dengan insentif ekonomi dengan tidak memisahkan kedaulatan negara.
Sedangkan REDD+ hanya mengalami penambahan pengurangan emisi yang juga
memperhitungkan penyerapan karbon dari areal konservasi, pengelolaan hutan
berkelanjutan dan kegiatan peningkatan penyerapan karbon.
62
61
Ibid. Hal 10
62
Laurens Bakker dan Yanti Fritikawati. 2014. Permasalahan Kehutanan di Indonesia Dan Kaitannya Dengan Perubahan Iklim Serta REDD+. Yogyakarta: Pohon Cahaya. Hal 1
Secara sederhama REDD atau yang dimaksud dengan
REDD+ menawarkan sebuah mekanisme pelestarian hutan untuk menambah
tutupan hutan sebagai solusi menyerap sekaligus mencegah pelepasan emisi.
juga masih menjadi perbincangan nasional khususnya di Indonesia. Skema
REDD+ ini tidak hanya diperdebatkan pada sisi konsepnya namun juga pada
aspek hukum dan kebijakan yang mencegahnya menjadi sebuah instrumen baru
sebagai sebuah instrumen pembangunan yang ekstraktif-eksploitatif terhadap
sumberdaya alam khususnya sektor kehutanan.
Pasca COP 16, REDD+ berkembang sangat kaya ke dalam banyak
isu. Hal ini disebabkan karena REDD+ tidak lagi semata-mata membahas
isu pengurangan emisi tapi mencakup banyak agenda kehutanan, termasuk
antara lain tata kelola, hak asasi manusia dan demokratisasi.63
63
Ibid. Hal 6
Melihat pada
keputusan paragraf 72 COP 16 , isu sosial menjadi salah satu prasyarat suksesnya
skema REDD+, setidaknya ada dua aspek sosial dalam REDD+ seperti yang
disinggung pada bab sebelumnya yaitu safeguards dan benefit.
“Keputusan COP 16 Paragraf 72: Juga meminta negara-negara
berkembang, ketika mengembangkan dan menerapkan strategi maupun
rencana aksi nasional mereka, untuk mengatasi antara lain pemicu
deforestasi dan degradasi hutan, penguasaan tanah (land tenure), tata
kelola kehutanan, pertimbangan gender dan kerangka pengaman
(safeguards) sebagaimana disebut dalam paragraf 2 lampiran I keputusan
ini, memastikan partisipasi penuh dan efektif dari pemangku kepentingan
Kerangka pengaman (safeguards) ini dibuat untuk mencegah kerugian
pada beberapa kelompok seperti komunitas masyarakat dan perempuan, selain itu
juga agar skema REDD+ mendorong penguatan komunitas dan pemenuhan
hak-hak mereka. REDD+ bagi Indonesia tidak semata-mata tentang emisi karbon dan
sektor hutan saja – beyond carbon, not only forests. REDD+ adalah tentang
perbaikan tata kelola hutan dan gambut yang lebih baik, demi kesejahteraan
masyarakat, pengentasan kemiskinan, dan pertumbuhan yang berkelanjutan.64
Penyelamatan hutan melalui skema REDD+ sebagai upaya efektif dalam
mengatasi perubahan iklim dengan alasan hutan mampu menyimpan dan
menyerap karbon dan tempat hidup bagi 1,2 juta masyarakat lokal diseluruh
dunia.65
Rencana strategis Kementerian Kehutanan 2010 – 2014 menetapkan arah
pembangunan kehutanan yang lestari untuk kesejahteraan masyarakat yang Indonesia menjadi salah satu negara yang tanggap dengan isu REDD+,
dapat dilihat dari dukungan Presiden RI ke-6 pada pertemuan G20 di Duisberg,
Amerika Serikat tahun 2009 akan mengurangi emisi sebanyak 21 persen dengan
komposisi 41 persen dana sendiri dan sisanya dari hibah luar negeri. Penguatan
kelembagaan untuk mendukung REDD+ juga diatur dalam Permenhut No. 36
Tahun 2009 tentang Tata Cara Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau
Penyimpanan Karbon Pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung.
64
Lihat: Forest Watch Indonesia. Membumikan Proyek Dunia Melihat dari Dekat Demonstration
Activity (DA) REDD+ (Bogor, Oktober 2014) diunduh dari
18 Februari 2017 pukul 12.00 WIB
65
berkeadilan melalui delapan aspek prioritas pembangunan diantaranya
pemantapan kawasan hutan, rehabilitasi hutan dan peningkatan daya dukung
daerah aliran sungai (DAS), pengamanan hutan dan pengendalian kebakaran
hutan, konservasi keanekaragaman hayati, Revitalisasi pemanfaatan hutan dan
industri kehutanan, pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan, mitigasi dan
adaptasi perubahan iklim sektor kehutanan serta penguatan kelembagaan
kehutanan.
3.2 Faktor-faktor Keterlibatan Indonesia Dalam Skema REDD+
A. Tata Kelola Hutan yang Lemah
Pengelolaan hutan di Indonesia mengalami banyak perubahan sejak masa
pra kolonial, masa kemerdekaan dan masa pasca reformasi. Pada masa pra
kolonial, penguasaan atas hutan masih dipegang oleh raja dan penggunaannya
masih sebatas kebutuhan sehari-hari. Memasuki masa pendudukan Belanda,
sumber daya hutan mulai dilirik sebagai komoditi yang memiliki nilai ekonomi
untuk diperdagangkan dan membentuk organisasi pengelolaan hutan dibawah
naungan VOC dengan menjamin keberlangsungan dan kelestarian hutan.
Memasuki masa pendudukan kolonial Jepang, pengelolaan hutan semakin
berantakan karena sumber daya hutan digunakan secara mutlak untuk mendukung
kepentingan Jepang pada perang Asia Timur Raya pada posisi melawan pihak
Setelah masa pendudukan Jepang dan memasuki masa kemerdekaan
penguasaan hutan masuk dalam tiga era yaitu orde lama, orde baru dan reformasi.
Pada masa orde lama pengelolaan hutan masih mengikuti sistem warisan Belanda
karena saat itu pemerintah masih berbenah persoalan kehidupan bernegara. Masa
orde baru justru meletakkan posisi hutan sebagai modal dasar pembangunan
dengan model mengeksploitasi hutan sebagai sumber keuntungan. Pengelolaan
pada sektor kehutanan mulai mendapat perhatian kembali memasuka era
reformasi, pada era reformasi yang dimulai pada tahun 1998 ditandai dengan
diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah dan UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang
menggantikan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967.66
Seluruh sumberdaya alam yang dikuasai negara, yaitu hutan, laut, maupun
sumber-sumber perairan lainnya, terus mengalami degradasi dengan pola
yang sama, yaitu disebabkan oleh lemahnya kapasitas pemerintah dalam
mengatur dan memanfaatkan sumberdaya alam tersebut.
Model Kesatuan
Pengelolaan Hutan (KPH) sebenarnya sudah mulai dikerjakan pada masa
pemerintahan kolonial Belanda, namun kembali diwujudkan pada masa reformasi.
67
66
Lihat: Gamin. 2014. Disertasi: Resolusi Konflik Dalam Pengelolaan Hutan Untuk Mendukung Implementasi REDD+. Institut Pertanian Bogor. Hal. 16
67
Hariadi Kartodihardjo dan Jhamtani. 2006. Politik Lingkungan dan Kekuasaan di Indonesia. Jakarta: Equinox. Hal. 12
Kelemahan untuk
menimbulkan perdebatan.68
Dalam konteks tata kelola hutan, akses terhadap data dan informasi
kehutaan yang akurat merupakan hal yang sangat penting. Data dan informasi
tidak hanya dibutuhkan oleh pemangku kebijakan untuk melaksanakan tahapan
pengambilan keputusan dalam pengelolaan hutan secara benar tetapi juga
sebagai penghubung bagi kepentingan masyarakat dan publik luas dalam
melakukan fungsi kontrol dan pengawasan.
Tingginya laju deforestasi dan besarnya degradasi
maupun kondisi aktual hutan alam tersisa, merupakan informasi yang sulit
diperoleh secara mudah dan detil.
69
Kelemahan implementasi tata kelola hutan yang dijalankan
pemerintah, secara tidak langsung telah menyediakan ruang terjadinya
praktik-praktik yang korup.
Permasalahan ini sering
mengakibatkan perumusan kebijakan hutan tidak menjadi solusi dalam
menyelesaiakan persoalan-persoalan di level mendasar.
70
Sistem hukum, politik dan ekonomi yang korup dan
tidak transparan, yang menganggap sumberdaya hutan sebagai sumber
pendapatan dan keuntungan semata, telah memberikan kontribusi besar terhadap
kerusakan hutan Indonesia.71
68
Hariadi Kartodihardjo.2014. Alih Fungsi dan Kerusakan Hutan Negara: Persoalan Empiris dan Struktural. Hal 28
69
Ibid. Hal 32
70
Lembar Informasi FWI. 2014. Hutan Indonesia Yang Tergerus Terus. Bogor: Forest Watch Indonesia. Hal. 2
71
Op.Cit. FWI. Hal. 21
bagi pelaku kehutanan yang mencoba meraup keuntungan dengan
mengeksploitasi sumber daya hutan secara berlebihan.
a. Kondisi Hutan Alam yang Tersisa
Secara hukum hutan negara seolah-olah dapat dipertahankan dengan
luas dan fungsi yang sangat besar, namun secara de facto tidak
menunjukkan hal yang seharusnya. Berdasarkan perkembangan pengukuhan
kawasan sampai dengan April 2011, luas kawasan hutan dan perairan
seluruh Indonesia adalah 130,68 juta Ha dan sampai dengan tahun 2010,
realisasi tata batas mencapai 74,67% atau sekitar 222.452 Km dan
hutan negara yang telah ditetapkan seluas 14,24 juta Ha.72
72
Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.49/Menhut-II/2011 tentang Rencana Kehutanan Tingkat Nasional
Dari luas
kawasan hutan negara tersebut dengan kondisi semua fungsi hutan terdapat
hak-hak pihak ketiga berupa izin-izin tambang dan kebun kelapa sawit,
hutan adat atau hutan/lahan hak perorangan. Pada kenyataan, keadaaan
tutupan hutan yang berada di dalam kawasan hutan negara, selalu
berkurang dari tahun ke tahun.
Sampai dengan tahun 2013, luas tutupan hutan hanya tersisa 82 juta
hektar atau berkisar 46% dari luas total daratan Indonesia atau 62,6 % dari
total kawasan hutan. Kondisi kawasan hutan yang tersisa berdasarkan
Tabel 3.1 Kondisi Tutupan Hutan Alam Indonesia Tahun 2009 dan 2013
Pulau Luas Daratan (Ha)
Tutupan Hutan 2009 (Ha)
Tutupan Hutan 2013 (Ha)
Sumatera 46.616 12.610 11.344
Jawa 12.743 1.002 675
Bali Nusa 7.137 1.350 1.188
Kalimantan 53.099 28.146 26.604
Sulawesi 18.297 9.119 8.928
Maluku 7.652 4.577 4.335
Papua 34.632 30.006 29.413
Total 180.177 87.074 82.487
Sumber: Diolah dari Forest Watch Indonesia, 2014
Jika dilijhat berdasarkan provinsi, lebih dari setengah kawasan hutan
alam Indonesia pada tahun 2013 tersebar pada tiga provinsi saja, yaitu
yang masih memiliki tutupan hutan terluas Provinsi Papua dengan luasan
sekitar 25 persen dari luas hutan Indonesia, Provinsi Kalimantan Timur
sekitar 15 persen, Provinsi Papua Barat sekitar 11 persen, Provinsi
Kalimantan Tengah sekitar 9 persen, Provinsi Kalimantan Barat sekitar 7
persen, 5 persen di Provinsi Sulawesi Tengah sekitar 5 persen, Provinsi
Aceh sekitar 4 persen, dan Provinsi Maluku sekitar 3,2 persen.73
Keusakan hutan yang berdampak pada hilangnya tutupan hutan secara
drastis dan berkelanjutan mulai terjadi di Indonesia sejak tahun 1970-an,
ketika korporasi pengusahaan hutan diberikan akses kemudahan oleh
pemeritah Indonesia melakukan ekspolrasi dan ekspoitasi hutan dalam skala
komersil. Berdasarkan data Kementerian Kehutanan, pada periode 1985-Sementara itu, kebijakan penundaan pemberian izin baru dan
penyempurnaan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut sebagai
upaya menyeimbangkan dan menyelaraskan pembangunan ekooomi, budaya
dan lingkungan serta upaya penurunan emisi gas rumah kaca melalui
penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, sudah berjalan 3
tahun dari 4 tahun yang direncanakan. Namunn faktanya, pemerintah
belum berhasil melindungi hutan alam Indonesia melalui tata kelola di
sektor kehutanan.
b. Hilangnya Hutan yang Berkelanjutan
73
1997 pengurangan luas hutan di Indonesia adalah sebesar 22,46 juta
ha atau sebesar 1,87 juta Ha/tahun.74 Akan tetapi pada periode
1997-2000 meningkat tajam menjadi 2,84 juta ha/tahun. Sedangkan data
berdasarkan citra SPOT Vegetation didapatkan angka pengurangan
penutupan berhutan sebesar 1,08 juta ha/tahun (periode 2000-2005). Data
penghitungan deforestasi Indonesia periode 2003-2006 menggunakan citra
Landsat 7ETM+ menghasilkan angka deforestasi Indonesia sebesar 1,17
juta Ha/tahun. Data terakhir penghitungan deforestasi Indonesia periode
2006 - 2009 menghasilkan angka deforestasi Indonesia sebesar 0,83 juta
Ha/tahun.75
Laporan FAO (Food and Agriculture Organization) pada tahun 2007
dalam buku State of The World’s Forests melaporkan laju kerusakan
Indonesia dalam kurun waktu 2000 hingga 2005 mencapai 1,87 juta Ha dan
menempatkan Indonesia dalam urutan kedua dari sepuluh negara dengan
laju deforestasi tertinggi di dunia. Sementara itu, Forest Watch Indonesia
mencatat dalam periode 2000 hingga 2009, laju kerusakan hutan berkisar
1,5 juta Ha. Peneliti dari University of Maryland juga mengungkapkan
Indonesia kehilangan tutupan hutan sebesar 15,8 juta Ha antara tahun 2000
74
Op.Cit. FWI. Hal. 5
75
dan 2012, peringkat kelima di belakang Rusia, Brasil, Amerika Serikat,
dan Kanada dalam hal hilangnya hutan.76
Kementerian Kehutanan dalam dokumen Rencana Kerja Kementerian
Kehutanan (RKTN) tahun 2014 menyebutkan hal yang berbeda, laju
deforestasi dan degradasi hutan pada periode 2009 – 2011 justru menurun
drastis. Kementerian Kehutanan menyatakan laju deforestasi hanya pada
angka 450 ribu Ha dibanding pada tahun 1998 – 2000 pada angka 3,5 juta
Ha. Dalam siaran pers Kementerian Kehutanan tahun 2014, menjelaskan
pada periode 2011 – 2012 laju deforestasi di Indonesia berada pada 613
ribu Ha.77
Gambar 3.1 Laju Deforestasi Periode 2011 – 2012 oleh Kementerian Kehutanan
Sumber: Diolah dari Kementerian Kehutanan, 2014
77
Temuan tersebut berbeda dengan laporan Forest Watch Indonesia
yang menyatakan bahwa laju deforestasi masih tinggi hingga tahun 2013
mengingat sejak 2011 pemerintah Indonesia telah menerapkan kebijakan
moratorium pemberian izin baru. Laju deforestasi periode 1990 – 2012 oleh
Kementerian Kehutanan bisa dilihat pada gambar dibawah ini.
Gambar 3.2 Laju Deforestasi Indonesia periode 1990 – 2012, Kementerian Kehutanan
Sumber: Diolah dari Kementerian Kehutanan, 2014
Penyebab deforestasi sendiri dibagi dalam dua kelompok yaitu
penyebab langsung (direct causes) dan penyebab tidak langsung (undirect
causes). Penyebab tidak langsung disebabkan oleh tata kelola kehutanan
yang lemah serta mendorong kerusakan sumberdaya hutan. Peralihan
kerusakan sumberdaya hutan. Perubahan peruntukan lahan hutan dan lahan
gambut menjadi HTI dan kebun, serta konsesi tambang menjadi
penyumbang terbesar deforestasi. Deforestasi juga terjadi tidak hanya pada
areal konsesi tetapi juga diluar areal konsesi hutan. Hal itu dapat dilihat
pada tabel dibawah ini.
Tabel 3.2 Luas Tutupan Hutan 2009, Tutupan Hutan 2013, dan Deforestasi 2013 di Dalam Konsesi
Konsesi Tutupan Hutan
2009 (Ha
Tutupan Hutan 2013
(Ha)
Deforestasi (Ha)
HPH
(IUPHHK-HA)
11.658.627 11.381.645 276.982
HTI
(IUPHHK-HT)
1.972.154 1.518.985 453.169
Tambang 10.483.257 9.994.883 488.374
Tutupan Hutan di Areal Tumpang Tindih Konsesi HPH, HTI, Tambang dan Kebun
7.793.425 7.209.264 584.161
Diluar Areal
konsesi
53.117.264 50.848.604 2.268.660
Total 87.074.590 82.487.281 4.587.309
Sumber: Diolah dari Analisis Citra Setalit ETM+7, Forest Watch Indonesia 2015
Penyebab langsung kerusakan hutan dan deforestasi diantaranya
konversi hutan alam menjadi tanaman tahunan, konversi hutan alam
menjadi lahan pertanian eksplorasi dan eksploitasi industri ekstraktif pada
kawasan hutan (batubara, migas, geothermal), pembakaran hutan dan
lahan, dan konversi untuk transmigrasi dan infrastruktur lainnya.
Sementara itu, kelemahan tata kelola hutan juga memberikan celah
terjadinya praktik korupsi. Dari sisi yang tidak jauh berbeda, ketiadaan
transparansi, adanya praktik korupsi, kurangnya partisipasi publik dan
penggunaan persepsi bahwa sumberdaya hutan hanyalah digunakan sebagai
alat mendapatkan keuntungan menjadi penyumbang terbesar deforestasi di
Indonesia. Sejauh ini, lemahnya peran dan kapasitas pemerintah dalam
menjalankan fungsi pengawasan menjadi ruang bagi para pelaku perusak
hutan yang memanfaatkan situasi dengan melakukan eksploitasi baik
Tingginya deforestasi dan degradasi hutan di Indoneisa, menjadikan
negara ini sebagai salah satu penyumbang emisi rumah kaca. Penyebabnya
berasal dari aktivitas perubahan penggunaan hutan dan lahan atau yang
dikenal dengan LULUCF (land use, land-use change and forestry).
Memang masih ada faktor lain yang mempengaruhi terjadinya deforestasi,
namun tidak bisa diingkari bahwa kelemahan tata kelola hutan yang tidak
baik mempercepat proses kehancuran hutan di Indonesia.
Peningkatan ekspansi kebun kelapa sawit dengan model konversi
hutan alam menjadi HTI. Laporan CIFOR pada tahun 2013 setidaknya
empat juta hektar kebun kelapa sawit produktif yang ada saat ini,
diperkirakan berasal dari hasil deforestasi.78 Kebijakan pemerintah untuk
mendorong perluasan kebun kelapa sawit memberikan sinyal bagi korporasi
sawit dengan pertimbangan ekonomi tetapi tidak mempertimbangkan nasib
hutan. Laporan Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian
Republik Indonesia pada tahun 2015 luas lahan kebun kelapa sawit baik
yang diolah oleh perorangan, perusahaan dan milik negara mencapai 11,3
juta Ha.79
Bahkan banyak pembukaan usaha kebun kelapa sawit oleh
perusahaan yang belum mendapat izin pelepasan kawasan dari Kementerian
Kehutanan dengan bermodalkan izin lokasi dari Bupati di daerah terebut.
Diiakses pada tanggal 3 Maret 2017
79
Penyebab langsung kerusakan hutan dan deforestasi diantaranya
konversi hutan alam menjadi tanaman tahunan, konversi hutan alam
menjadi lahan pertanian eksplorasi dan eksploitasi industri ekstraktif pada
kawasan hutan (batubara, migas, geothermal), pembakaran hutan dan
lahan, dan konversi untuk transmigrasi dan infrastruktur lainnya. Jumlah
pelepasan kawasan hutan menurut Kementerian Kehutanan pada periode
2004 – 2016 mencapai 2,346 juta Ha80
Aktifitas pertambangan juga, ikut berperan dalam pengrusakan
sumberdaya hutan melalui skema pinjam pakai kawasan hutan. Ekspansi
pertambangan di areal hutan negara tidak hanya pada hutan produksi, tetapi
juga tumpang tindih pada areal hutan lindung sebesar 3,8 juta Ha.
Kesempatan bagi pemerintah untuk melestarikan kawasan hutan terkhusus
hutan lindung sepertinya tidak mendapat kerja positif. Pemerintah
cenderung melihat sisi ekonomi dibanding ekologi dengan harapan
mendapat keuntungan besar bagi pemangku kepentingan sehingga membuat
proses pengeluaran izin konsesi pertambangan tergesa-gesa. Tidak jarang
ditemui keuntungan dari rente dari sumberdaya alam ini kemudian dengan deksripsi sebanyak 2,30 juta
Ha diperuntukkan perkebunan dan hampir 95 persennya untuk pelepasan
kawasan kebun kelapa sawit.
80
dipergunakan oleh elit politik untuk membiayai mereka dalam kompetisi
politik.81
Kebakaran hutan yang marak terjadi setiap tahun di Indonesia sering
sekali dianggap sebagai aktivitas/siklus alami, namun kemudian menjadi
pertimbangan adanya kemungkinan kalau kebakaran hutan juga dipicu oleh
faktor kesengajaan, misalnya untuk berburu hewan liar dan pembukaan
lahan peruntukan perkebunan atau biasa disebut pembakaran hutan.
Kebakaran hutan menjadi penyumbang terbesar laju deforestasi. Bahkan
lebih besar dibanding konversi lahan untuk pertanian dan illegal logging.82
Di Indonesia, 99% kejadian kebakaran hutan disebabkan oleh aktivitas
manusia baik sengaja maupun tidak sengaja. Hanya 1% diantaranya yang
terjadi secara alamiah. Sejak era tahun 1980-an pembukaan lahan
perkebunan kelapa sawit dan Hutan Tanaman Industri diduga menjadi
penyebab utamanya.83
Deforestasi dan degradasi hutan masih berlangsung hingga saat ini di
Indonesia, terjadi karena pemerintah masih megandalkan untuk memenuhi
kebutuhan pembangunan. Hasil hutan diambil dan sebagian lagi dikonversi
menjadi hutan tanaman dan perkebunan untuk mendorong industri pulp dan kertas 3.3 Kepentingan Indonesia Pada Skema REDD+
A. Sebagai Kerangka Ekonomi Politik
81
Indonesia Corruption Watch. 2013. Menguras Bumi Merebut Kursi, Patronase Politik-Bisnis Alih Fungsi Lahan: Studi Kasus dan Rekomendasi Kebijakan. Jakarta. Hal. 29
82
83
atau minyak sawit beserta industri hilirnya sehingga pemerintah memperoleh
insentif dari proses tersebut. Kebijakan pemerintah yang bergantung pada sektor
pengolahan sumberdaya alam dapat dilihat nota keuangan APBN tahun 2010,
dalam dokumen tersebut tercatat pemasukan negara bukan pajak (PNBP) 73,9
persennya masuk dari sumberdaya alam
Indonesia terus mendorong upaya menaikkan pemasukan negara meskipun
dengan mengorbankan hutan. Selain itu, tingginya permintaan pasar juga
mendorong pemerintah mengekspansi perkebunan moonokultur yang juga
mengorbankan hutan melalui skema pelepasan hutan. Konsep komoditas
monokultur merupakan indikasi bahwa pemerintah Indonesia menganut
pendekatan sektoral. Artinya, prioritas produksi diberikan pada komoditas yang
laku di pasar, dan dengan demikian, harus dihasilkan sesuai dengan spesifikasi
volume, mutu, dan waktu tertentu.84
Ketergantungan Indonesia pada sumberdaya alam untuk mendongkrak
ekonomi domestik terkhusus sektor kehutanan mendorong lahirnya kebijakan
yang cenderung menggerus kawasan hutan, adapun kebijakam tersebut
diantaranya85
1. Keringanan pajak. Pada tahun 2008, pemerintah menerbitkan instrumen
hukum pemberian keringanan pajak bagi pemodal dalam bidang
tertentu (termasuk kehutanan) dan di daerah tertentu: Peraturan :
84
Kartodihardjo, H. dan Jhamtani, H. 2006. Politik lingkungan dan kekuasaan di Indonesia (Environmental politics and power in Indonesia). Jakarta: Equinox. Hal. 18
85
Pemerintah No. 1/2007, yang diubah dengan Peraturan Pemerintah No.
62/2008 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah No. 1/2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang‑Bidang
Usaha Tertentu dan/atau di Daerah‑Daerah Tertentu. Peraturan ini
memberikan keringanan pajak sebesar 30% atas laba bersih dari jumlah
yang diinvestasikan selama enam tahun, atau sebesar 5% setiap tahun.
Menteri Perindustrian mengumumkan pada 2009 bahwa peraturan
tersebut akan direvisi agar mencakup hasil hutan, semen, makanan,
produk pertanian, pulp dan kertas, bahan kimia, galangan kapal, dan
logam.
2. Izin pertambangan pada hutan lindung. Pada tahun 2008, pemerintah
menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 2/2008 tentang Jenis dan Tarif
atas Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang Berasal dari
Penggunaan Kawasan Hutan untuk Kepentingan Pembangunan di Luar
Kegiatan Kehutanan, yang mencakup pemanfaatan hutan lindung untuk
pertambangan terbuka. Pemberian izin untuk pertambangan terbuka
pada hutan lindung mencerminkan dengan jelas kecenderungan yang
mengutamakan kepentingan ekonomi di atas kepedulian pada
pelestarian lingkungan dan ekologi
3. Pembangunan lumbung pangan dan energi. Peraturan Pemerintah No.
18/2010 tentang Usaha Budidaya Tanaman mengatur tentang wilayah
produksi pangan terpadu yang meliputi pertanian, perkebunan, dan
peternakan di satu kawasan yang luas dan datar (kawasan ekonomi
khusus). Sebagai langkah awal, pemerintah menetapkan Kabupaten
Merauke sebagai kawasan pengembangan lumbung pangan yang
berpotensi karena memiliki 1,6 juta Ha lahan datar. Namun, kebijakan
ini diragukan sebagai kebijakan ketahanan pangan murni mengingat
hampir setengah dari luas hak pengusahaan yang diberikan adalah
untuk HTI. Peraturan Pemerintah ini memungkinkan pemodal,
termasuk asing, untuk berinvestasi dan menguasai hingga 10.000 Ha
untuk jangka waktu 35 tahun, dengan kemungkinan perpanjangan kali
pertama selama 35 tahun dan perpanjangan kedua selama 25 tahun. Hal
ini selanjutnya memungkinkan pemerintah untuk memberikan insentif
fiskal bagi rencana pembangunan prasarana yang termasuk dalam
biaya investasi berupa keringanan pajak penghasilan, pembebasan
pajak, pengurangan pajak pembangunan, keringanan pajak/retribusi
daerah, dan pembebasan dari pajak pertambahan nilai maupun insentif
bea dan cukai, seperti penangguhan bea masuk, pembebasan tarif, dan bea masuk yang lebih rendah. Insentif non‑fiskal mencakup
penyederhanaan proses perizinan dan imigrasi.
4. Pengembangan bahan bakar nabati (biofuel). Program ini diluncurkan
pada tahun 2006 dengan diterbitkannya Instruksi Presiden No. 1/2006
Bahan Bakar Lain. Untuk melaksanakan program ini, pemerintah
membentuk Tim Nasional Pengembangan Bahan Bakar Nabati.
Program bahan bakar nabati tersebut disambut baik oleh kalangan
pengusaha, yang menunjukkan minat mereka untuk berinvestasi pada
sektor ini—kelapa sawit, jagung, singkong, tebu, dan minyak jarak.
Namun, program ini belum berjalan secepat yang diharapkan, terutama
karena insentif pasar yang kurang mendukung. Sebagai contoh, harga
bahan bakar nabati di pasar dalam negeri tidak dapat bersaing dengan
minyak sawit dalam bentuk minyak goreng.
5. Pembukaan lahan untuk kelapa sawit. Untuk mendukung program
pengembangan bahan bakar nabati dan karena harga CPO yang
tergolong tinggi di pasar dunia, pada tahun 2007 Menteri Pertanian
menerbitkan Peraturan No. 26/ Permentan/OT.140/2/2007, yang
menyatakan bahwa untuk perkebunan kelapa sawit di Provinsi Papua
dapat dicadangkan lahan seluas dua kali lipat dari 100.000 ha (Guerin
2007). Peraturan Menteri Pertanian ini diikuti oleh Keputusan Menteri
Kehutanan No. P.22/Menhut‑II/2009, yang memberikan landasan
hukum bagi perusahaan perkebunan kelapa sawit untuk memiliki
hingga 100.000 Ha atau bila di Papua, sampai 200.000 Ha lahan. Sewa
dan ganti rugi yang sangat rendah telah menimbulkan masalah keadilan
dan mengancam mata pencarian masyarakat yang hutannya terkena
(kesempatan untuk memperoleh pendapatan) atas tanah yang
‘digadaikan’ sebagai perkebunan kelapa sawit selama 35 tahun.
Sebagai salah satu sumber kekayaan Indonesia, hutan selalu menjadi ajang
kontestasi sejak dulu. Berbagai upaya penguasaan dan metode pendekatan yang
berganti-ganti dilakukan oleh beberapa pihak tertentu yang memiliki kepentingan
atas penguasaan hutan. Pemerintah Indonesia pada masa Presiden SBY pada
tahun 2011 di Jakarta menyapaikan sikap mengenai REDD sebagai berikut:
“REDD+ adalah salah satu contoh mekanisme baru untuk
mengelola sumberdaya alam Indonesia tanpa harus mengabaikan
industri-industri yang vital bagi ekonomi. Hal ini adalah strategi
berkelanjutan yang dibutuhkan untuk mempertahankan pertumbuhan
ekonomi, mendorong sumberdaya manusia, memastikan keadilan
sosial, dan pada saat yang sama mencapai target pengurangan emisi
karbon kita.”86
Diskusi REDD+ sebagai sebuah strategi pembangunan ekonomi
berkelanjutan adalah diskursus yang coba diarusutamakan para pihak pendukung
REDD+. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Koordinator Bidang
Kesejahteraan Rakyat, UKP4, dan Satuan Tugas REDD+, menargetkan
pendapatan penjualan emisi karbon sebesar 1 miliar dolar Amerika Serikat per
tahun, jika karbon dihargai 10 dolar Amerika Serikat per ton karbon ekuivalen
86
Lihat:
dan tingkat pengurangan emisi sebesar 200 metrik ton per tahun pada fase jangka
pendek dalam kurun waktu 2010 - 2012. 87
Sementara untuk fase jangka panjang dalam kurun waktu 2012 – 2020
diperkirakan sebesar 20 miiar dolar Amerika Serikat per tahun. Angka tersebut
tentu menjadi pemikat bagi banyak pihak untuk menjadikan REDD+ sebagai
mekanisme mitigasi kunci perubahan iklim di Indonesia. Namun jika melihat
gambar 3.3 dibandingkan dengan pendanaan subsidi sektor hutan secara global,
subsidi terhadap bahan bakar hayai dan bahan bakar fosil masih jauh dari harapan,
sehingga pola-pola penyelamatan hutan sering menjadi pilihan kedua.
Rasionalitas karbon ekonomi ini membuka jalan bagi bentuk-bentuk pengetahuan
saintifik baru yang menerjemahkan jasa ekosistem hutan dalam satuan ekonomi.
88
Pesatnya perkembangan teknologi dalam memantau areal tutupan hutan
melalui teknik pencitraan satelit telah mengubah tata kelola hutan secara global.
Teknik pencitaarn satelit ini secara sistematis mempermudah pemeriksaan
lapangan hutan-hutan tropis menjadi lebih mudah diakses lewat teknologi
komputer. Hutan menjadi lebih kompleks termasuk segala permasalahan
didalamnya termasuk persoalan sosial, ekonomi dan politik disederhanakan
menjadi lapisan-lapisan peta topografi, peta potensi karbon dan peta tutupan
hutan. Dalam proses penghitungan potensi pengurangan emisi melalui REDD+,
beberapa skenario pembangunan akan dimodelkan untuk melihat efektivitas dan
87
Rini Astuti. 2013. REDD+ sebagai Strategi-Strategi Kepengaturan dalam Tata Kelola Hutan di Indonesia:Sebuah Perspektif Foucauldian. Jurnal Wacana Transformasi Sosial. Jakarta: INSIST. Hal 85
88
nilai tambah (additionality) sebuah proyek REDD+ dari sudut pandang ekonomi
dan lingkungan. Hasil pemodelan berupa analisis untung-rugi ini yang kemudian
dipakai sebagai justifikasi kenapa REDD+ penting dilakukan untuk menjaga
keutuhan hutan tropis dan pembangunan.89
Gambar 3.3 Perbandingan Subsidi Sektor Kehutanan Melalui Skema REDD+ dan Subsidi Global Pada Sektor Bahan Bakar
Sumber: Diolah dari United Nations Environment Programme, 2014
Agar menjadi sebuah komoditi ekonomis yang bisa diperjualbelikan, emisi
karbon yang berhasil dikurangi melalui mekanisme REDD+ harus melewati tahap
standardisasi, sertifikasi, verifikasi, dan validasi. Proses-proses terebut akan
menjadi acuan dan penentu desain serta karakteristik suatu proyek REDD+. Setiap
proses standardisasi akan mendapatkan sertifikat pengurangan emisi karbon yang
bisa digunakan sebagai komoditas yang memiliki nilai ekonomis. Sebagai contoh,
salah satu proses standardisasi yang paling banyak digunakan dalam proyek
89
REDD+ dan proyek pengurangan karbon jenis lainnya adalah Verified Carbon
Standard (VCS).
Pembangunan ekonomi berbasis lingkungan yang ditawarkan melalui
skema REDD+ memerlukan kolaborasi dari berbagai sektor perekonomian. Pada
prinsipnya, REDD+ dapat dilaksanakan melalui instrumen kebijakan, tata kelola
hutan dan insentif yang mampun mengubah keputusan produksi, konsumsi dan
investasi serta proses pengambilan keputusanyang merupakan transformasi
berbasis lingkungan. Prinsip-prinsip tersebut bila berjalan sesuai dengan
perencanaan yang baik REDD+ dan pembangunan ekonomi berbasis lingkungan
dapat saling menguatkan peran, REDD+ memiliki kemungkinan tidak dapat
berhasil tanpa proses penghijauan secara global, namun bisa menjadi kontributor
penting dalam perjalanan menuju ekonomi berbasis lingkungan.
B. REDD+ dan Pembangunan Berkelanjutan
Pembagian manfaat dalam skema REDD+ menimbulkan sejumlah
persoalan termasuk siapa penerima manfaat yang sah, efesiensi biaya distribusi,
keterlibatan struktur lembaga yang diperlukan dalam proses keuangan dan
pengambilan keputusan serta implementasi mekanisme kerja. Kebanyakan definisi
manfaat dalam kepustakaan REDD+ hanya mengacu pada manfaat moneter yang
tersedia untuk pengurangan emisi dan peningkatan stok karbon Namun,
peluang untuk menghasilkan berbagai manfaat, selain manfaat moneter langsung
seperti misalnya90
• Manfaat langsung, yang timbul dari pelaksanaan REDD+. Dalam hal ini
termasuk peningkatan pekerjaan, peningkatan mata pencaharian, dan
manfaat ekosistem secara langsung, yang meliputi hasil hutan nonkayu
(HHNK), kayu bakar, pakan ternak dll. :
• Manfaat tidak langsung, yang terdiri dari perbaikan tata kelola seperti
penguatan hak-hak penguasaan lahan dan penegakan hukum, yang terkait
dengan fase kesiapan REDD+) dan meningkatkan partisipasi dalam
pengambilan keputusan mengenai manfaat penyediaan infrastruktur.
Manfaat ekosistem tak langsung mencakup perlindungan kualitas tanah
dan air, perlindungan keanekaragaman hayati dan stabilisasi iklim.
Dalam konteks pembagian manfaat REDD+, pembagian juga disebar
kepada pemangku kepentingan. Mekanisme pembagian manfaat dibagi kedalam
dua jenis yaitu pembagian manfaat vertikal dan pembagian manfaat horizontal.
Pembagian manfaat vertikal meliputi pembagian manfaat lintas tingkatan
(pemerintahan) dari tingkat nasional hingga tingkat lokal atau daerah. Sementara
pemabagian manfaat secara horizontal meliputi pembagian manfaat dalam level
yang sama yaitu pada masyarakat dan para pemangku kepentingan lokal lainnya.
90
Kedua jenis pembagian manfaat tersebut dirancang berdasarkan prinsip 3E yaitu
ekuitas, efektif dan efesien dengan penjelasan sebagai berikut:
• Untuk memaksimalkan ekuitas (kesetaraan) di antara aktor-aktor yang
bertanggung jawab untuk pengurangan deforestasi dan degradasi hutan, • Untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan hutan, dan
• Untuk meningkatkan efisiensi dari program nasional dan sub
nasional (umumnya dicapai dengan meminimalkan biaya pelaksanaan
dan transaksi).
Dalam konsep pembangunan berkelanjutan, pembangunan ekonomi harus
sejalan dengan pengelolaan sumberdaya alam yang bersahabat. Dalam hal
mekanisme REDD+ di Indonesia, CDM memang sejalan dengan prinsip
pembangunan berkelanjutan. Melalui manfaat horisontal sebelumnya, skema
pengelolaan hutan berbasis masyarakat dan pengelolaan hutan bersama
menempatkan masyarakat sebagai pelaku sekaligus penerima manfaat dari hutan.
Hal penting yang mempengaruhi pengelolaan sumberdaya alam ialah penetapan
prioritas pembangunan yang melekat pada status Indonesia sebagai negara
berkembang. Melalui kebijakan pembangunannya, pemerintah bertujuan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 7% (pro‑pertumbuhan), mengurangi
memperbesar penyerapan sumberdaya manusia ke dalam pasar tenaga kerja
(pro‑pekerjaan)91
Dari perspektif pelaksanaan prioritas pembangunan bidang SDA dan
Lingkungan Hidup, pembangunan kehutanan ditujukan guna memberikan
dampak pada pemanfaatan sumberdaya hutan untuk pembangunan ekonomi,
serta peningkatan kualitas dan kelestarian lingkungan hidup, yang secara
bersamaan akan memberikan kontribusi pada upaya peningkatan kesejahteraan
rakyat.
.
Meskipun sikap pro‑lingkungan hidup muncul baru‑baru ini, prinsip 3E
masih menjadi fokus utama. Fokus ini terlihat pada rencana jangka panjang dan
jangka menengah pemerintah, yang menempatkan pendidikan dan kesehatan pada
urutan teratas (Peraturan Presiden No. 5/2010). Persoalan lingkungan hidup
timbul karena strategi untuk mencapai pembangunan masih sangat bergantung
pada eksploitasi sumberdaya alam. Meskipun APBN mencantumkan sektor
kehutanan hanya menyumbang sebesar 1% dari jumlah pendapatan negara,
pendapatan dari kegiatan terkait seperti pertambangan berpengaruh langsung
terhadap laju deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia.
92
Aktor atau pelaku REDD+ di Indonesia terbagi dalam empat kelompok
besar yaitu pemerintah, masyarakat yang menetap di sekitar kawasan hutan,
3.4 Aktor-aktor yang Terlibat Dalam Skema REDD+ di Indonesia A. Aktor Dalam Skema REDD+
91
Op.Cit. Indrarto, G.B. Hal. 108
92
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan swasta. Setiap aktor memiliki peran
serta kapasitas pengetahuannya masing-masing. Proses pelembagaan oleh
aktor-aktor tersebut berlangsung sangat cepat bahkan sebelum pelaksanaan COP 13 di
Bali. Melalui Kementerian Kehutanan pada tahun 2007 membentuk IFCA
bersama negara-negara pemberi donor, akademisi, swasta dan kelompok
masyarakat.
Dalam pelaksanannya IFCA lahir sebagai hasil konsultasi Badan
Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kehutanan. IFCA bertanggungjawab
untuk seluruh persiapan pembentukan REDD tahap awal dan mensinergikan
seluruh upaya yang bertujuan untuk berperan dalam misi pengurangan emisi hasil
deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia. Pada hakekatnya, IFCA diharapkan
menghimpun upaya pemerintah, pengusaha, masyarakat madani, dan masyarakat
internasional dalam mewujudkan pengelolaan hutan secara lestari sehingga pada
akhirnya memberi sumbangsih bagi stabilisasi iklim.93
Kehadiran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau Non Government
Organization (NGO) dalam pelaksanaan REDD+ di Indonesia sebenarnya
menunjukkan pemerintah Indonesia membutuhkan asistensi dalam menjalankan
mekanisme tersebut. Dalam perkembangannya, beberapa LSM mengalami pro
kontra terhadap konsep dan pelaksanaaan skema ini. Beberapa pihak memandang
skema REDD+ ini merupakan solusi atas persoalan sektor kehutanan di Indonesia.
93
Namun dipihak yang berbeda ada juga pihak yang secara terang-terangan
mempertanyakan bahkan menolak mekanisme kerja REDD+.
Beberapa NGO yang paling berperan aktif mendukung REDD+ di
Indonesia adalah WWF, TNC, CI dan CIFOR. Salah satu diantaranya seperti
CIFOR (Center For Internasional Forestry Research), merupakan NGO berskala
internasional yang banyak melakukan kegiatan penelitian pada lingkungan,
khususnya sektor kehutanan dan saat ini sudah hadir lebih dari 50 negara
dibelahan dunia paling kontras mendukung implementasi REDD+ di Indonesia.
CIFOR juga banyak melakukan riset tentang hutan Indonesia terutama skema
REDD+. Saat ini pekerjaan CIFOR mendapat banyak dukungan dana dari
berbagai donor internasional seperti
Peran yang dilakukan CIFOR tersebut di laksanakan dalam beberapa
program dan kegiatan, yaitu pertama, Global Comparative Study dengan
melakukan kajian atau studi komparative secara global yang bertujuan mengkaji
dan menganalisa mengenai skema REDD+ yang dijalankan di negara-negara
dan skema-skema REDD+ yang dijalankan di tiap daerah proyek REDD+..
Kedua yaitu pelatihan, konferensi dan publikasi terkait dengan upaya CIFOR
sektor hingga semua sektor bisa mendukung upaya mitigsi REDD+ tersebut.
Ketiga, pembagunan website REDD Indonesia yaitu kegiatan kerjasama dengan
Kementrian Kehutanan Indonesia dalam hal mengupayakan semua hasil
penelitian dan semua informasi bisa diakses oleh masyarakat dan para
stakeholder, juga menjadi acuan pembelajaran bagi kalangan penstudi.94
Sebagai lembaga internasional CIFOR tentu memiliki kepentingan tertentu
pada mekanasime REDD+ di Indonesia belum lagi CIFOR dilengkapi dengan
tenaga ahli dari luar negeri. Beberapa kepentingan CIFOR oleh Hendrik
Manullang (2011) menuliskan pertama, CIFOR berada dalam IFCA merupakan
LSM titipan asing yang ditugasi mengarahkan agar skema REDD disetujui oleh
pemerintah Indonesia. Kedua, CIFOR berupaya meyakinkan Indonesia untuk
membiarkan REDD masuk dalam skema pasar bebas. Ketiga, CIFOR memiliki
kepentingan agar LSM seperti mereka bisa menjadi pelaksana proyek REDD
sehingga pada nantinya mereka bisa menjadi broker perdagangan karbon dan
mendapat dana dari hasil menjual karbon tersebut.95
Berbeda dengan CIFOR, beberapa LSM justru menolak keberadaan skema
REDD+. Kritik terhadap skema REDD+ berawal dari pengalaman kelompok
94
Ibnu Hajar. 2017. Peran Center For Internasional Forestry Research (Cifor) Di Indonesia Terkait Mekanisme Reducing Emission From Deforestation And Forest Degradation (REDD) 2007-2014. Jurnal FISIP UNRI. Volume 4 No.1. Hal. 7
masyarakat adat yang mengalami perampasan hak atas penguasaan dan
pengelolaan hutan dengan alasan pembangunan ekonomi terkhusus masyarakat
yang tinggal disekitar kawasan hutan di luar Pulau Jawa. Arus konsesi
pengelolaan hutan dalam wujud izin untuk menambang menebang kayu,
membuka lahan untuk perkebunan sering sekali mengepung bahkan menggusur
lahan penghidupan ekonomi kampung-kampung masyarakat sekitar hutan.
Kekhawatiran muncul apabila skema REDD+ justru menjadi wajah baru
mekanisme penguasaan lahan melalui konsesi yang diberikan guna menjalankan
restorasi ekosistem terutama ketika konflik tenurial belum diselesaikan.
Di sisi lain, beberapa LSM/NGO seperti WALHI, AMAN, Green Peace,
dan DrE justru melihat skema REDD+ ini memurahkan hutan Indonesia untuk
diperjualbeilkan emisinya di dunia internasional oleh negara-negara maju agar
inkubator industri mereka tetap berjalan. Skema ini juga dianggap sebagai jalan
melarikan diri bagi negaranegara maju dengan cara membeli hak untuk
mengemisi lebih banyak gas rumah kaca dari negara-negara berkembang yang
masih memiliki hutan.96 Pandangan beberapa NGO tersebut melihat REDD
memprioritasikan konservasi dan peranan pemerintah serta kaum kapitalis dari
pada mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kapasitas masyarakat lokal dan
adat layaknya seperti program CDM.97
96
Mann, T. dan M.T. Surya. 2009. REDD Wrong Path: Pathetic Ecobusiness. Jakarta: WALHI bekerjasama dengan Nature and Poverty Alliance.. Hal. 57
97
Selain itu, pihak yang mengkritisi skema REDD+ ini menyatakan dengan
tegas menolak untuk berpartisipasi karena ketidaksepakatan mendasar pada
prinsip-prinsip neoliberalisme yang terkadung dalam skema REDD+.98
Salah satu kelompok kerja membangun Strategi Nasional REDD+,
sedangkan kelompok kerja yang lain menyiapkan perangkat perlindungan
(safeguard); mekanisme pembiayaan; mekanisme pemantauan, pelaporan, dan
verifikasi; pengarusutamaan REDD+ dalam kebijakan; pengelolaan provinsi Berangkat
dari kritik tersebut, pemerimtah membentuk stuktur kelompok kerja yang
membuka ruang partisipasi bagi masyarakat sipil. Kekhawatiran bahwa skema
REDD+ hanya akan menguntungkan segelintir kalangan dapat dilihat dari
penciptaan komoditas karbon yang memberikan ruang bagi pemburu rente karbon
murah untuk mengambil keuntungan pribadi.
Melihat hal itu, pemerintah melalui Satgas REDD+ memberikan ruang
bagi para pihak untuk berpartisipasi dan terlibat dalam sebagai bagian dari
pemerintah. Beberapa representasi LSM seperti Perkumpulan untuk Pembaharuan
Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa), Indonesian Center for
Environmental Law (ICEL), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dan
World Wide Fund for Nature (WWF) terlibat dalam keanggotaan kelompok kerja.
Terdapat setidaknya sembilan kelompok kerja di dalam Satgas REDD+ yang
diberi tugas untuk mengkonsep dan menerjemahkan ide-ide dasar pelaksanaan
REDD+ di Indonesia.
98
percontohan; dan perlibatan multipartisipan.99
Aktivis-aktivis yang terlibat dalam Satgas REDD+ diberi kewenangan
sebagai ahli yang dapat mengatur, membentuk, dan mendefinisikan mekanisme
tata kelola REDD+. Posisi sebagai ahli ini pula yang kemudian membuat para
aktivis ini mesti “menghadapi” rekan-rekan mereka sendiri di gerakan masyarakat
sipil dalam proses-proses konsultasi publik dan kelompok diskusi terarah atau
focus group discussion (FGD). Tidak bisa dimungkiri bahwa pelibatan aktivis
dalam proses-proses pembuatan kebijakan REDD+ telah membawa pendekatan
pemenuhan hak (rights based approach) dalam regulasi dan implementasi
REDD+. Berbagai isu yang menjadi perhatian gerakan masyarakat sipil menjadi
diskursus utama dalam berbagai seminar, workshop, konsultasi publik, pelatihan,
dan FGD. Satu hal yang menarik dalam proses keterlibatan para aktivis ini adalah
terciptanya subjek-subjek baru aktivis yang memandang dirinya sebagai birokrat
pemerintah.
Kekhawatiran-kekhawatiran
mengenai dampak negatif REDD+ yang disuarakan LSM berhasil dikelola dan
diredakan melalui pranata-pranata regulasi, kebijakan, dan mekanisme
perlindungan hak di mana mereka terlibat langsung dalam pembuatannya.
100
Untuk mempermudah aktor dalam merumuskan kebijakan REDD+
dibagi dalam empat hal, yaitu jenis, peran, kedudukan, pengetahuan pelaku yang
dapat dilihat pada tabel berikut:
99
Ibid
100
Tabel3.3 Peran, Posisi dan Pengetahuan Aktor REDD+
Pemerintah daerah dan pusat memiliki tataran pengetahuan yang berbeda. Walaupun pada umumnya, pemerintah pusat memiliki pemahaman yang lebih baik daripada daerah, keadaan tidak dapat disamaratakan karena
masing‑masing daerah memiliki
tingkat pengetahuan yang
berbeda‑beda.
Posisi:
Walaupun posisi pemerintah dalam hal kebijakan REDD didominasi oleh sektor kehutanan, namun sektor lain seperti pertanian juga berperan penting, terutama berkenaan dengan perluasan perkebunan dan pengelolaan lahan gambut di luar kawasan hutan. Oleh karena itu, pemerintah selayaknya tidak membebankan tanggung jawab pelaksanaan REDD hanya pada sektor kehutanan.
Keterangan:
Pemerintah merupakan salah satu penentu keberhasilan. Dalam hal ini, kesenjangan tata kelola dan pengetahuan masih merupakan
masalah mendasar. Perbedaan antarsektor instansi pemerintah juga berpengaruh dalam perbedaan pemahaman tentang REDD karena
perbedaan kepentingan masing‑masing sektor (misalnya pekerjaan
umum, pertanian, energi dan sumber daya mineral).
Masyarakat
• Bergantung pada akses
terhadap hutan.
• Telah menjadi bagian dari
ekosistem hutan
Posisi :
• Memiliki pengetahuan
mendalam mengenai daerah setempat
Pengetahuan:
Pengetahuan masyarakat tentang REDD+ beragam. Sebagai contoh, masyarakat yang dibantu oleh LSM memiliki pemahaman lebih dibandingkan dengan yang belum menerima bantuan tersebut. Kebanyakan masyarakat hutan masih belum memahami berbagai persoalan yang terkait dengan REDD+.
hak masyarakat.
Keterangan:
Masyarakat berperan penting dalam keberhasilan REDD+. Proyek tidak akan berhasil tanpa jaminan persetujuan yang benar dan pemahaman yang jelas mengenai REDD+ dari masyarakat yang terkena dampak proyek. Keputusan UNFCCC pada COP 16 mensyaratkan bahwa pelaksanaan REDD+ memperhatikan kepentingan masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan.
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM/CSO)
Peran:
• Memberikan saran agar
pelaksanaan REDD+ efektif dan efisien
• Menyediakan data mengenai
keadaan nyata di lapangan.
• Dapat menjadi lembaga
pelaksana REDD+
• Memberikan pandangan
kritis terhadap pelaksanaan REDD+
Posisi :
Posisi dari masing‑masing
Pengetahuan:
LSM cenderung memiliki cukup pengetahuan walaupun tidak dapat disamaratakan karena sebagian LSM melihat REDD+ sebagai fokus utama.Sebagian LSM bisa mendatangi pemerintah untuk memberi saran mengenai kebijakan.Walaupun REDD merupakan konsep baru, LSM mempunyai pengetahuan dan informasi yang memadai dalam menggambarkan REDD+ secara cukup jelas.
REDD+ dalam menyelesaikan masalah perubahan iklim.
Keterangan:
Pemerintah ada kalanya memanfaatkan informasi tentang REDD+ yang diberikan oleh LSM sebagai acuan. Sebagian LSM (misalnya FFI, TNC, dan WWF) telah menjadi mitra pemerintah dalam penetapan kebijakan. Dengan informasi yang dimiliki, sebagian LSM (misalnya Walhi, AMAN, dan HuMA) mengecam kebijakan pemerintah tentang REDD+
Swasta Peran:
• Pengembang proyek dan pemanfaat kredit karbon dapat berperan sebagai pedagang/ perantara atau pemrakarsa REDD+.
• Peran perantara cukup besar, terutama ketika peluang REDD+ terbuka pada tingkat daerah.
• Peran pemrakarsa akan benar‑benar penting dalam
Posisi :
pelaksanaan skema imbalan REDD+ nantinya
Pengetahuan:
Pelaku swasta memiliki pemahaman yang baik mengenai REDD+. Mereka yang terlibat langsung dalam proyek REDD+, terlibat dalam pembahasan dan proses kebijakan. Karena REDD akan berdampak menguntungkan swasta, informasi dan pengetahuan yang memadai akan menguntungkan perusahaan.
Keterangan:
Kepentingan swasta ini ialah mengambil keuntungan dari penjualan kredit karbon.
Sumber: Diolah dari CIFOR, 2013
B. Kerangka Pengamanan (Safeguards) REDD+
Dalam menjalankan program REDD+ di Indonesia tentu diperlukan
sebuah kerangka pengamanan disamping harus memnuhi standar akuntabilitas dan
transparansi seharusnya juga tidak memberikan dampak negatif pada sisi sosial
dan lingkungan. Kerangka pengamanan (safeguards) ini bertujuan untuk menjaga
jalannya REDD+ tidak berlawanan dengan pelaksanaan REDD+ itu sendiri
disamping meminimalisir celah terjadinya korupsi. Kerangka pengamanan
tersebut disusun berdasarkan kerangka hukum internasional dan konsultasi dari
disusun berdasarkan dorongan kelompok masyarakat sipil (masyarakat adat atau
masyarakat yang tinggal disekitar kawasan hutan).
Berbagai peraturan, kebijakan maupun program nasional, baik yang
secara langsung terkait dengan hutan maupun sektor lain yang berbasis
lahan telah memiliki beberapa elemen yang berkaitan dengan Cancun
Agreement. Antara lain: Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL),
Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu
(SVLK) telah mencantumkan upaya perlindungan lingkungan, pertimbangan
aspek sosial dan proses yang terbuka dan partisipatif dalam setiap rencana
aktivitas pembangunan maupun rencana ruang.101
Kerangka pengamanan REDD+ yang disebut sebagai PRISAI (Prinsip,
Kriteria, Indikator Safeguards Indonesia) yang memiliki dua tujuan utama,
yaitu102
• Mencegah pelaksanaan REDD+ dari resiko-resiko sosial dan
lingkungan yang bisa mencederai semangat REDD+ sebagai
mekanisme yang potensial menyelamatkan lingkungan hidup dan
manusia :
• Mendorong terwujudnya perubahan kebijakan sumber daya alam,
terutama hutan dan lahan gambut yang merealisasikan prinsip dan
101
Lihat: UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
102
cara kerja tata kelola yang baik, prinsip hak-hak asasi manusia
dan semangat demokrasi.
Kerangka pengamanan ini merupakan sikap pemerintah Indonesia yang
terlihat mengubah paradigma pembangunan yang selama ini masih dari atas ke
bawah (top-down). Melalui Satgas REDD+, pemerintah sudah menyusun
kerangka pengamanan ini kedalam dua kategori prinsip PRISAI, yaitu prinsip
berdasarkan sosial dan lingkungan, dan fidusia. Adapun prinsip-prinsip tersebut
dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 3.4 Prinsip-prinsip Dasar PRISAI Sosial dan Lingkungan, dan Fidusia Prinsip PRISAI Sosial dan
Lingkungan
Prinsip PRISAI Fidusia
Memastikan status hak atas tanah dan wilayah
Asesmen resiko keuangan baik internal maupun eksternal
Melengkapi atau konsisten dengan target pengurangan emisi, konvensi dan kesepakatan internasional terkait
SOP keuangan yang memenuhi standar keuangan yang diakui
Memperbaiki tata kelola kehutanan Audit keuangan yang independen oleh auditor eksternal yang memiliki Certified Public Accountant (CPA) Menghormati dan memberdayakan
pengetahuan dan hak masyarakat adat dan masyarakat lokal
Laporan keuangan ke publik melalui media publik yang antara lain mencakup gambaran rencana dan pelaksanaan rencana keuangan
Partisipasi para pemangku kepentingan secara penuh dan efektif dan mempertimbangkan keadilan gender
Memperkuat konservasi hutan alam, keanekaragaman hayati, jasa ekosistem
Menjunjung tinggi prinsip anti-korupsi: pembayaran berbasis hasil yang nyata dan terukur
Aksi untuk menangani resiko-balik (reversals)
Melalui proses pengadaan yang terbuka, kompetitif dan transparan
Manfaat REDD dibagi secara adil ke semua pemegang hak dan pemangku kepentingan yang relevan
Aksi untuk mengurangi pengalihan emisi
Menjamin informasi yang transparan, akuntabel dan terlembagakan
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Wacana perubahan iklim menjadi sorotan tajam pasca tahun 1970 seiiring
dengan maraknya gerakan politik penyelamatan lingkungan di berbagai belahan
dunia. Eksploitasi terhadap sumber daya alam yang berlebihan dan berkelanjutan
menjadi ancaman serius bagi masa depan bumi. Negara- negara di dunia termasuk
negara maju dan negara sedang berkembang ikut mengambil sikap untuk
mencegah kerusakan lingkungan yang terus terjadi. Salah satu perhatian dunia
pada isu degradasi dan deforestasi hutan pada negara-negara berkembang sebagai
pemicu naiknya emisi gas rumah kaca. Melalui pertemuan COP di Kyoto tahun
1997 yang menghasilkan Protokol Kyoto menjadi titik awal penyelamatan hutan
dengan memberikan beban biaya kepada negara-negara maju untuk mensubsidi
negara berkembang menyelamatkan hutan serta bertujuan untuk menurunkan
emisi gas rumah kaca.
Pertemuan COP di Bali tahun 2007 berhasil merumuskan Bali Roadmap
sebagai titik terang pembahasan mekanisme REDD (Reducing Emission from
Deforestation and Degradation) dan kemudian ada penambahan pada COP
selanjutnya tahun 2008 di Cancun dan tahun 2009 di Kopenhagen. Perubahan
mendasar pada REDD terjadi sangat signifikan salah satunya penambahan ‘+’
yang secara tegas menyampaikan bahwa skema REDD+ mampu mengakomodasi
berbagai jenis pengelolaan pada sektor kehutanan dalam konteks kehutanan
Indonesia. Sektor kehutanan tersebut bisa mencakup hutan lindung, hutan
konservasi, hutan produksi maupun hutan konversi yang telah berubah menjadi
area penggunaan lain. Skema ini dianggap sebagai upaya cepat dalam
menyelamatkan hutan karena mendapatkan inovasi teknologi dari negara-negara
maju. Selain itu juga diasumsikan lebih murah apabila dibanding dengan metode
mitigasi lainnya.
Pemerintah Indonesia ikut menyoroti skema REDD+ ini dengan serius
karena menempati posisi laju deforestasi terbesar ketiga terbesar di dunia. Melihat
hal itu, Pemerintah Indonesia memandang bahwa skema REDD+ mampu
menjawab tantangan deforestasi yang setiap tahun terus meningkat. Secara
ekonomi, pemerintah tidak harus mengeluarkan biaya yang terlalu besar untuk
mitigasi hutan karena model pembiayaan dibebankan kepada negara-negara maju
(Annex I). REDD+ dalam skala cakupan memang sangat luas, tidak hanya
membahas deforestasi semata, tetapi juga menyangkut restorasi, rehabilitasi,
menajeman hutan berkelanjutan dan reforestasi.
Indonesia tentunya memiliki kepentingan tertentu sehingga mau dan ikut
terlibat dalam setiap ptoses pembahasana REDD+ pada pertemuan KTT, COP dan
UNFCCC. Beberapa kepentingan yang dapat dilihat bahwa Pemerintah Indonesia
melihat celah bahwa Indonesia sebagai negara hutan hujan tropis terluas ketiga di
dihasilkan dari skema REDD+ ini, secara politis akan membebaskan Indonesia
dari tudingan dan desakan negara-negara industri maju yang mencoba menekan
pertumbuhan industri dalam negeri yang masih banyak menggunakan material
bersumber dari hutan. Meskipun pengaruh dari negara-negara maju agar Indonesia
terlibat dalam skema REDD+ sangat besar, disisi lain Indonesia memang
memerlukan sebuah mekanisme untuk menyelamatkan hutan.
Keseriusan Pemerintah Indonesia semakin terang setelah Presiden RI ke-6,
Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan mendukung sepenuhnya upaya
penyelamatan hutan dari deferostasi dan degradasi, serta menekan emisi gas
rumah kaca yang berimplikasi pada perubahan iklim. Komitmen tersebut
dibangun dengan target pennurunan emisi sebesar 26 persen hingga tahun 2020.
Selain itu, presiden juga dengan segera menginstruksikan Kemenko
Perekonomian agar menyusun sebuah kerangka kerja REDD+. Kemudian
pemerintah membentuk Satuan Tugas (Satgas) REDD+ yang bertugas menyusun
Strategi Nasional (Stranas) REDD+ yang berfungsi sebagai kerangka pelaksanaan
proyek REDD+ di Indonesia.
Dalam proses pelembagaan REDD+ di Indonesia juga tidak terlepas dari
kontroversi dan perdebatan. Perbedaan mazhab ideologi dalam pengelolaan
lingkungan antar aktor menjadi salah satu penyebab berdampak besar. Banyak
pihak yang mencoba mempengaruhi agar skema ini berjalan global namun ada
juga yang berpendapat harus disesuaikan dengan kondisi masyarakat Indonesia
permasalahan lingkungan seperti WALHI mengkritik bahwa skema REDD+ tidak
lebih dari jual beli karbon dengan harga murah oleh negara-negara maju. Namun
pemerintah berhasil meredamnya dengan melibatkan beberapa LSM seperti
WALHI, AMAN dan Green Peace dalam penyusunan Stranas REDD+ sehingga
bisa mewakili kepentingan masyarakat saat skema tersebut sudah berjalan dan
meredam konflik tenurial, melindungi masyrakat adat serta praktik korupsi pada
sektor kehutanan.
Keterlibatan Indonesia juga tidak terlepas dari beberapa faktor
permasalahan kehutanan di Indonesia. Permasalahan kehutanan disebabkan oleh
inkonsistensi pemerintah dalam mengawasi aktivitas pada sektor kehutanan.
Kemudian, tata kelola hutan yang lemah dan cenderung meletakkan sumber daya
alam khususnya sektor kehutanan sebagai penopang ekonomi negara. Tata kelola
hutan yang lemah ini berdampak besar pada penggunaan areal hutan yang tidak
terkontrol dan sering sekali memberi ruang bagi praktik korupsi.
Kejadian yang sering sekali terjadi ialah penyalahgunaan wewenang
kepala daerah atas pemberian izin pembukaan lahan kepada pihak perusahaan.
Praktik kecurangan ini kerap terjadi dimulai sejak sebelum pemilihan umum,
pengusaha menawarkan sejumlah fasilitas kepada pasangan calon yang akan
diusung dengan perjanjian dan timbal balik dikeluarkannya izin konsesi tanpa
Luas tutupan hutan sampai dengan tahun 2013 hanya tersisa sekitar 82 juta
hektar atau setara dengan 46 persen dari total daratan Indonesia. Meskipun
moratorium pemberian izin pembukaan lahan primer dan lahan gambut sudah
berjalan, namun laju deforestasi seolah tak terbendung. Data Forest Watch
Indonesia menunjukkan laju deforestasi sejak tahun 2000 hingga 2009 mencapai
1,5 juta Ha. Sementara itu, laporan Kementerian Kehutanan pada tahun 2014
mencatat laju deforestasi mencapai 613 ribu Ha pada periode 2011 hingga 2012.
Melihat data tersebut, permasalahan deforestasi akan tetap membayang-bayangi
Pemerintah Indonesia karena selalu mengandalkan sektor kehutanan sebagai
sumber pemasukan negara.
Tingginya deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia secara tidak
langsung dipengaruhi oleh tata kelola hutan yang lemah. Di samping itu penyebab
langsung termasuk diantaranya konversi areal hutan alam menjadi hutan tanaman
tahunan, lahan pertanian dan pertambangan. Adapun hal yang tidak jarang
didengar, kebakaran hutan sudah seperti menjadi agenda tahunan hutan Indonesia
Bahkan pemerintah dari negara-negara tetangga mengecam polusi udara berupa
asap yang sampai ke negaranya dan sampai mengganggu aktivitas dan kesehatan
warganya. Tidak bisa dipungkiri, memang membuka lahan dengan membakar
misalnya untuk areal kebun lebih cepat dan murah dibandingkan metode
pembukaan lahan baru pada umumnya.
Skema memang REDD+ hadir akibat berbagai macam strategi dan praktik
penyelamatan hutan dan perbaikan tata kelola hutan. Keterlibatan aktor-aktor
didalamnya menampilkan diskursus sosial politik kehutanan serta menunjukkan
kepentingan dan tujuan yang ingin dicapai oleh para aktor dalam setiap tahap
pembentukan hingga pelembagaan REDD+ di Indonesia. Pembangunan
berkelanjutan berbasis lingkungan yang ditawarkan REDD+ menjadi gagasan
pamungkas lempangnya skema ini mendapat dukungan dari pemerintah.
4.2 Saran
Perdebatan sejak munculnya skema REDD+ di Indonesia banyak menjadi
pertanyaan bagi para aktivis-aktivis lingkungan. Pertanyaannya seputar
bagaimana model pelaksanaannya, siapa pelaksananya dan bagaiamana
pendanaannya. Namun seiring berjalannya perundingan di tingkat internasional,
menuju kesepakatan untuk menjadikan REDD+ sebagai mekanisme global dalam
menyelamatkan bumi dari perubahan iklim akibat emisi gas rumah kaca hasil
deforestasi dan degradasi hutan, pro dan kontra juga terjadi di arus bawah
kelompok masyarakat Indonesia.
Skema ini memang belum bisa menjamin secara keseluruhan
pelaksanaannya bisa menghentikan deforestasi dan degradasi hutan. Namun
dalam hal kerangka pelaksanaan REDD+ masih menjadi skema yang relevan
ini terus diperlengkapi dengan kerangka pengaman yang mencoba meredam
konflik horizontal dan vertikal di tengah pelaksanaannya.
Pemerintah Indonesia harus mampu melihat peluang dalam skema REDD+
lebih jeli, sehingga tidak hanya fokus pada ekonomi karbonnya saja. Pada sektor
tata kelola hutan, banyak regulasi yang harus diperbaharui untuk mengurangi laju
deforestasi dari proses konversi hutan menjadi penggunaan lain yang bersifat
mengancam bahkan menghilangkan hutan. Pola pembangunan yang selama ini
berbasis sumber daya alam sebaiknya perlu dipertimbangkan menuju
pembangunan yang berbasis lingkungan. Potensi yang dimiliki hutan Indonesia
memang sangat besar, namun masalah pengelolaan menjadi penghalang selama
ini. Dalam skema REDD+ menawarkan proses transfer teknolgi dari negara maju
dalam hal pengelolaan hutan, ini harusnya dimanfaatkan baik oleh pemerintah,
LSM dan kelompok masyarakat yang terlibat langsung.
Dalam penerapannya, Pemerintah Indonesia harus lebih teliti terkait
mekanisme pendanaan REDD+, jangan sampai perseteruan oleh broker emisi
karbon memperebutkan implementasi proyek ini melupakan prinsip dasar REDD+
yang meletakkan masyarakat lokal sebagai subjek yang akan merawat dan
menjaga hutan. Pemerintah sebagai representasi negara harus mampu
mendudukkan hutan dan masyarakat sebagai aspek penting terjadinya