• Tidak ada hasil yang ditemukan

Alasan dan Dampak Mengikuti Ibadah Non-Muslim a.Alasan mengikuti Ibadah non-Muslim

Dalam dokumen Hukum Merayakan Ibadah Non-Muslim (Halaman 61-73)

HUBUNGAN SOSIAL MUSLIM DENGAN NON-MUSLIM

A. Alasan dan Dampak Mengikuti Ibadah Non-Muslim a.Alasan mengikuti Ibadah non-Muslim

)

ةدعاڹلا

/

٥

:

٩

(

Artinya : “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”

Perbuatab Ahli Kitab diklasifikasikan menjadi tiga bagian :

a. Bagian yang disyariatkan dalam agama kita, selain itu juga disyariatkan kepada mereka, atau kita tidak tahu apakah dahulu hal itu juga disyariatkan kepada mereka, namun yang jelas, sekarang mereka bisa melakukannya.

b. Bagian yang lain, yang pernah disyariatkan kepada mereka, namun telah dihapus dalam ajaran Islam.

c. Bagian yang lain, perbuatan yang tidak pernah disyariatkan kepada mereka. Nemun mereka mengada-adakannya (dalam agama mereka).

Ketiga bagian itu, mungkin berlaku dalam ibadah mahdhah, mungkin juga berlaku hanya dalam adab pergaulan semata, tetapi juga mungkin meliputi ibadah dan sekaligus adab pergaulan.6

A. Alasan dan Dampak Mengikuti Ibadah Non-Muslim a. Alasan mengikuti Ibadah non-Muslim

5Jamȃl al-Dȋn ‘Athiyyah Muhammad, Fiqh Baru bagi Kaum Minoritas, Penerjemah Shofiyullah (Bandung: Marja, 2006), h. 147.

6Ibn Taymiyyah, Iqtida’ al-Sirat al-Mustaqȋm: lil Mukhȃlafah Ashȃb al-Jahȋm, (Dar El-Fikr Beirut-Libanon, 2003), h. 166.

53

Apabila penyerupaan diri dengan orang-orang non-muslim ini telah jelas dan terbukti, maka harus kita nyatakan bahwa mengikuti ibadah hari-hari besar mereka juga tidak diperbolehkan. Sebagaimana yang diulas sebelumnya bahwa membedakan diri dengan Ahli Kitab merupakan perbuatan yang disyariatkan pada agama Islam, dan membedakan diri tersebut mengandung kemaslahatan bagi kita.

Akan tetapi kita akan sangat berlebihan juga hanya memberikan perhatian kita kepadanya (mengikuti ibadah non-muslim) dan membicarakan serta membahasnya berlarut-larut dan juga menganggapnya sebagai masalah yang utama dan puncak tujuan kita. Maka sesungguhnya hal ini akan membawa kesan yang buruk terhadap pemikiran Islam dan amal Islami atau kesan yang tidak baik dalam pemikiran masyarakat awam. Keadaan seperti ini dapat dimanfaatkan oleh musuh-musuh Islam, yang dapat membahayakan syari’at dan

dakwah Islam itu sendiri.7

Untuk golongan pertama, yaitu orang-orang non-Muslim yang berlaku baik terhadap masyarakat Islam, hendaknya kita balas dengan kebaikan dan berlaku moderat terhadap mereka. Yang dimaksud moderat disini adalah berlaku adil. Sedangkan yang dimaksud berbuat baik adalah murah hati dan ramah. Jadi, dalam Islam, perbuatan baik setingkat lebih tinggi dibanding dengan perbuatan

7Khojrojiah, ”Larangan Tsyabbuh Dalam Hukum Islam(studi alasan dan dampak),” (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,2009), h. 45

adil. Karena, definisi adil adalah mengambil hak anda dengan semestinya. Sedangkan berbuat baik adalah, mengambil sebagian hak anda untuk orang lain. Jadi, yang dimaksud adil dan moderat disini adalah memberikan hak seseorang sebagaimana seharusnya, jangan sampai ada sedikitpun hak dia yang terambil. Sedangkan perbuatan baik adalah memberikan hak lebih kepada seseorang dengan menambahkan sikap pemurah dan ramah.

Adapun kalangan lain yang yang diharamkan untuk berlaku adil dan baik adalah mereka yang telah memusuhi Islam dan kaum muslimin, memerangi dan mengusir mereka dari tanah kelahirannya dengan cara yang zalim, kacuali ketika telah mengucapkan "Allah adalah Tuhan kami". Hal tersebut sama seperti yang telah dilakukan oleh masyarakat Quraisy dan musyrik Mekah terhadap Rasulullah SAW dan para sahabat beliau.8

Umat Kristen dengan senang mengundang orang-orang Islam datang keperayaan-perayaan demikian dengan alasan kerukunan antar umat beragama menurut asas ideologi negara Pancasila. Banyak orang Islam yang segan untuk menolak undanga-undangan serupa itu, justru karena takut akan dituduh tidak bertoleransi terhadap agama lain. Jika bagi pihak umat Kristen kehadiran

8Yusuf Al-Qardhawi, Fiqih Minoritas: Fatwa Kontemporer Tehadap Kehidupan Kaum Muslimin

55

orang Islam pada perayaan natal adalah kesempatan paling baik untuk mendekatkan tamu mereka itu pada kekristenan.9

Terdapat sejumlah pertimbangan yang perlu diperhatikan ketika membahas solusi untuk problem pada skripsi ini, yaitu:

1. Orang Muslim yang tinggal di Negara non-Muslim, atau kaum muslim minoritas yang jumlahnya cukup banyak, seperti di India. Jumlah kaum Muslimin di India merupakan kaum minoritas. Akan tetapi jumlah kaum minoritas ini mencapa 135 juta jiwa, sehingga tidak aneh kalau ada peraturan hukum keluarga khusus bagi mereka.10

2. Seorang pelajar yang sedang melaksanakan pendidikannya di negara non-Muslim.

3. Seorang pekerja/pegawai di perusahaan asing atau atasannya merupakan seorang non-Muslim.

4. Seorang pimpinan daerah, atau bahkan juga seorang Ulama yang mendapatkan undangan demi terjalinnya hubungan antar umat beragama.

Setelah kita mengetahui beberapa contoh di atas, dapat kita ketahui bahwa mereka semua adalah golongan orang-orang yang hubungannya tidak terlepas dengan non-muslim.

9 Muhammad Atho Mudzar, Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia: sebuah studi tentang

pemikiran hukum Islam di Indonesia, 1975-1988, Penerjemah Soedarso Soekarno (Jakarta: INIS, 1993), h. 118.

10Jamaludin Athiyah Muhammad, Fiqih Baru Bagi Kaum Minoritas: Ham dan Supremasi Hukum

Setiap perbuatan secara sadar dilakukan oleh seseorang pasti mempunyai tujuan tertentu yang jelas, tanpa mempersoalkan apakah perbuatan yang dituju itu baik atau buruk, mendapatkan manfaat atau menimbulkan madharat. Sebelum sampai pada perbuatan yang dituju itu ada serentetan perbuatan yang mendahuluinya.11

b. Dampak mengikuti ibadah non-muslim

Meniru mereka dalam hal sepele yang dapat menjadi jalan dan tangga menuju berbagai perbuatan buruk hukumnya adalah haram, apalagi kalau sampai menggiring kepada kekufuran kepada Allah? Seperti mengambil berkah salib, atau menerima pembabtisan (dari mereka) atau seperti orang yang

menyatakan: “yang kita sembah sebenarnya sama yaitu yang Esa hanya saja

caranya yang berbeda-beda,” dan pernyataan-pernyataan dan perbuatan sejenis yang meliputi:

Adanya anggapan bahwa syariat agama Nasrani dan Yahudi yang telah diubah dan bahkan telah dihapuskan adalah penghubung menuju ibadah kepada Allah SWT.

Selebihnya ada juga yang beranggapan bahwa sebagian diantara kandungan ajaran mereka yang bertentangan dengan agama Allah itu baik.12

11 Amir Syarifudin, Ushul Fiqh (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2001) h. 396. 12Ibnu Taimiyah, Iqtia as-Siratal Mustaqim., h. 197.

57

Tabiat dasar manusia cenderung punya hasrat untuk meniru. Yakni, bahwa manusia juga bahkan seluruh makhluk hidup telah dicipta untuk memiliki hasrat untuk dapat tampil seperti yang ditirunya. Semakin besar kemiripan antara yang ditiru dengan dirinya, semakin besar dan semakin besar hasratnya untuk dapat menyamainya dalam karakter dan sifatnya. Sehingga ujung-ujungnya akan sampai pada kesamaan antara keduanya.13

Meniru-niru gaya hidup secara lahiriyah akan menimbulkan rasa cinta dan kasih sayang serta simpati dan loyalitas dalam hati. Demikian juga sebaliknya, kecintaan dalam hati juga menimbulkan sikap meniru gaya hidup secara lahiriyah. Ini hal yang dapat dibuktikan secara kongkrit berdasarkan pengalaman. Sehingga bila ada dua orang lelaki yang berasal dari satu negeri, kemudian keduanya saling bersua di rantau, antara keduanya pasti timbul rasa cinta, simpati dan keakraban yang amat sangat. Meskipun di negeri mereka sendiri keduanya tidak saling mengenal atau bahkan mungkin saling berjauhan.14

B. Analisa Penulis Mengenai Tasyabbuh Terhadap Peribadatan non-Muslim Telah kita sebutkan dalil-dalil dari Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’, atsar-atsar dan qiyas, yang kesemuanya menunjukan bahwa tasyabbuh diri dengan mereka (ahli kitab) secara garis besar dilarang. Sebaliknya membedakan diri dari tata cara

13Ibnu Taimiyah, Iqtia as-Siratal Mustaqim., h. 201. 14Ibnu Taimiyah, Iqtia as-Siratal Mustaqim., h. 202.

hidup mereka adalah disyariatkan. Bisa jadi wajib, mungkin juga disunnahkan atau bahkan boleh-boleh saja, tergantung pada situasi dan kondisi.

Di sini penulis akan mengemukakan beberapa pandangan penulis mengenai hukum mengikuti peribadatan non-Muslim dilihat dari beberapa sudut.

Pertama, pandangan penulis mengenai seseorang yang menghadiri ibadah non-Muslim, bagi seseorang yang tinggal di daerah atau di Negeri non-Muslim akan sangat kesulitan untuk hidup bermasyarakat dengan mereka terutama apabila sedang dilaksanakannya hari-hari besar mereka. Mereka (non-Muslim) pasti akan menunjukkan sikap kegembiraan mereka dengan mengajak kita untuk mengikuti perayaan mereka. Tidak mungkin kita akan menolaknya karena bisa jadi itu merupakan penghinaan bagi mereka atau mungkin nantinya kita pun akan dikucilkan yang berakibat tidak baik bagi kehidupan bermasyarakat kita. Maka, berdasarkan kaidah tidak dikira tasyabbuh melainkan dengan niat, seseorang yang tinggal di daerah atau negeri yang mayoritas non-Muslim boleh saja mengikuti perayaan hari besar mereka demi untuk menghargai kehidupan beragama dan adat istiadat mereka. Begitu juga dengan seorang kepala daerah, yang sudah pasti akan mendapat undangan apabila sedang terjadi perayaan hari-hari besar non-Muslim. Maka bagi kepala daerah tersebut boleh saja menghadiri undangan tersebut dengan tidak disertai niat untuk merayakan hari besar tersebut. Dan bagi seorang ulama yang mendapat undangan pada hari besar non-muslim, menurut pendapat penulis itu bisa menjadi hubungan yang baik antar umat beragama dan juga menjadi jalan dakwah untuk menyebarkan Islam.

59

Kedua, pandangan penulis mengenai seseorang yang menghadiri ibadah non-Muslim adalah haram, karena diantara yang mereka lakukan di hari raya mereka ada berupa kekufuran, ada juga berupa kemaksiatan. Maka, sebagai seorang Muslim sebaiknya berusaha keras untuk menjauhi hal tersebut.

Ketiga, bagi seorang pekerja atau pegawai di perusahaan asing atau memiliki atasan yang memiliki keyakinan berbeda (non-Muslim) seringkali mendapat undangan dari atasannya untuk ikut merayakan hari besar mereka. Undangan atau ajakan dari atasan tersebut biasanya mempengaruhi kepada hasil kerja atau bahkan kedudukan orang tersebut sebagai bawahannya. Maka dalam hal ini orang tersebut boleh saja mengikuti undangan atasannya selama masih tidak bertentangan dengan hal-hal yang disyari’atkan dalam Islam. Begitu juga seperti halnya seorang pelajar yang berada di negeri yang mayoritas non-Muslim atau bahkan Universitas/ sekolah tempat ia belajar adalah bukan sekolah Islam yang sering melaksanakan hari-hari besar non-muslim. Maka bagi pelajar tesebut boleh saja ikut merayakan hari besar tersebut dengan menghindari hal-hal seperti kamaksiatan dan kekufuran. Selanjutnya penulis menambahkan bahwa ajaran Islam adalah ajaran yang mudah dipahami dan diamalkan. Ketika seseorang tidak bisa melakukan salat dengan beridiri, maka ia boleh melakukannya dengan duduk, ketika ia tidak bisa melakukan salat dengan duduk, maka ia boleh melakukannya dengan sambil berbaring, ketika ia tidak bisa melakukan salat sambil berbaring, maka ia boleh melakukannya dengan isyarat.

ُديِرُي

ٱ

ُڷُكِب ُ اَ

ٱ

ُڷُكِب ُديِرُي ََو َ ُۡۡيۡلَ

ٱ

َ ُۡۡعۡل

(

ةرقابلا

/

٩

:

٥٨٥

(

Artinya : “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki

kesukaran bagimu”.

Dalam hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhori dari Sa’id Maqbari, juga

disebutkan bahwa Rasulullah Saw bersabda :

ُڽَبَڶَغ َِإ ٌدَحا َأ َنيِدلا ادا َشُي ْنَلَو ٌ ُْۡي َنيِدلا انِإ

15

(

)يراخب هاور

Artinya :“agama Islam ini mudah, tidaklah seseorang mempersulit urusan agama kecuali ia akan kalah”.

61 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan penelitian dalam skripsi ini, maka penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut:

1. Tasyabbuh adalah perbuatan menyerupai non-Muslim, melakukan sesuatu seperti apa yang mereka lakukan, bertingkah laku seperti tingkah laku mereka, gaya hidup seperti gaya hidup mereka, berpikir seperti gaya berpikir mereka, lebih tepatnya dari segi aspek zahir dan batin. Adapun tasyabbuh pada zaman sekarang bila dikaitkan dengan cara berpakaian, berjalan, berpenampilan, gaya hidup sungguh tidak relevan lagi. Maka, yang lebih tepatnya dalam hal tasyabbuh pada zaman sekarang yaitu dalam hal cara berpikir yang lebih cenderung seperti mereka.

2. Dalam hal berhubungan dengan non-Muslim adalah hanya sebatas hubungan yang bersifat ta’aruf (saling mengenal), saling tolong menolong, saling berbuat kebaikan dan berbuat adil. Hubungan tersebut akan menciptakan perdamaian, kebaikan dan interaksi yang harmonis dengan mereka. Dari sinilah Islam tidak membedakan antara orang muslim dengan kafir dzimmi (orang yang hidup di tengah masyarakat Islam, dan mendapat perlindungan dari pemerintah Islam). 3. Hukum merayakan ibadah non-Muslim adalah haram apabila di dalamnya

terdapat kekufuran dan juga kemaksiatan. Hukum merayakan ibadah non-Muslim adalah mubah yakni apabila terlepas dari kerusakan yang ditimbulkan

akibat penyerupaan diri tersebut. Hukum merayakan ibadah non-Muslim adalah mubah apabila diniatkan hanya untuk menjaga hubungan antar umat beragama, memenuhi undangan dan menghormati mereka.

Selanjutnya penulis menambahkan, bahwa Islam adalah agama yang indah dan universal, mengatur seluruh umatnya dalam segala aspek kehidupannya, baik hubungan dengan Tuhan (vertikal) maupun hubungan dengan sesama manusia (horizontal). Semua aturan dari Allah yang ditujukan kepada manusia pasti untuk kebaikan manusia itu sendiri. Menurut pendapat penulis, kita sebagai umat Islam yang berusaha memenuhi perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, sudah sepatutnya menjauhkan diri dari perbuatan tasyabbuh tersebut agar terhindar dari laknat Allah dan Rasul-Nya. Sudut pandang dari dampak yang ditimbulkan bagi seseorang yang mengikuti ibadah non-muslim adalah akan menimbulkan semacam simpati serta loyalitas dalam hati yang akan merusak imannya. Sebagai sabda Rasulullah Saw. “Berbedalah kalian dengan orang-orang musyrik, cukurlah kumis

dan panjangkan jenggot” dan juga Rasul melarang memakai pakaian seperti pendeta. Apabila meniru-meniru dalam urusan dunia saja dilarang apalagi dalam masalah ibadah dan agama.

A. Saran

Untuk kepentingan penelitian selanjutnya, maka peneliti menyarankan : Pertama, perilaku ikut merayakan ibadah non-muslim bahkan sudah banyak diperaktekan dikalangan masyarakat kecil, karena biasanya pada hari-hari besar

63

akan ada pembagian bingkisan atau uang, yang bagi masyarakat kecil itu merupakan hal yang sangat membantu bagi kehidupan mereka.

Kedua, juga diharapkan adanya penelitian tentang bagaimana kehidupan seorang muslim di tengah-tengah masyarakat non-muslim agar penelitian ini lebih sempurna dan hasilnya lebih maksimal.

Ketiga, penulis menyarankan kepada berbagai elemen masyarakat, tokoh masyarakat, alim ulama, agar memantau dan memberikan kontribusinya kepada masyarakat dalam pemahaman agama, lebih dalamny yaitu dalam hubungan antar umat beragama.

Dalam dokumen Hukum Merayakan Ibadah Non-Muslim (Halaman 61-73)

Dokumen terkait