• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUKUM MENGIKUTI PERAYAAN HARI BESAR NON-MUSLIM

Dalam dokumen Hukum Merayakan Ibadah Non-Muslim (Halaman 42-57)

A. Hukum Mengikuti Perayaan Hari Besar Non-Muslim

Secara garis besar, orang-orang non-muslim disini dibagi menjadi 4 kelompok: Kelompok Ahli Kitab, Kelompok Atheis dan Murtad, Kelompok Paganis (penyembah berhala) dan Musyrikin, dan Kelompok orang-orang munafik.

a. Kelompok Ahl al-Kitȃb

Siapakah yang disebut ahli al-kitâb? Mereka adalah orang-orang yang beragama berdasarkan salah satu kitab samawi, dan mengikuti salah seorang nabi.1 Menurut Maududi, Imam as-Syafi’i memehami istilah Ahl al-Kitȃb sebgai orang Yahudi dan Nasrani. Alasan beliau, antara lain adalah bahwa Nabi Mûsȃ dan Isa as. Hanya diutus kepada mereka, bukan kepada bangsa-bangsa lain.2 Orang yang tetap berpegang pada agama yang dibawa nabinya sebelum kenabian Muhammad SAW. Atau sesudah kedatangan beliau tapi dakwah Islam belum sampai kepadanya, maka dia adalah orang yang Mukmin. Sedangakan

Kafir menurut bahasa adalah orang yang menolak atau mengingkari sesuatu. Dalam arti teologis, sebutan kafir diberikan oleh masyarakat suatu agama

1Abullah Nashih 'Ulwan, Sikap Islam Terhadap Non Muslim, Penerjemah Kathur Suhardi,

(jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1993), h. 32.

2M. Quraish Shihab, M. Quraish Shihab Menjawab-1001 Soal Keislaman yang patut anda ketahui (Jakarta : Lentera Hati, 2008), h. 595.

34

kepada orang lain yang menolak atau tidak mempercayai seruan pembawa agama itu. Dalam teologi islam, sebutan kafir tersebut diberikan kepada siapa saja yang mengingkari atau tidak percaya kepada kerasulan Nabi Muhammad (570-632 M) atau dengan kata lain tidak percaya bahwa agama yang diajarkan olehnya berasal dari Allah SWT, pencipta alam. Kendati orang Kristen atau Yahudi meyakini adanya Tuhan, mengakui adanya wahyu, membenarkan adanya akhirat, dan lain-lain, mereka dalam teologi Islam tetap saja dapat diberi predikat Kafir, karena mereka menolak kerasulan Nabi Muhammad agama wahyu yang dibawanya.1

Dari sini akan muncul satu pertanyaan, mengapa ahli kitab ini tetap kufur, padahal sudah mengetahui dakwah Nabi Muhammada SAW? Bukankah mereka pengikut salah satu seorang nabi? Bukankah mereka memeluk salah satu agama samawi? Pertanyaan yang sangat mengena, namun kalau memahami hakikatnya secara mendalam, tentu tak akan ada kebimbangan dalam diri orang yang bertanya seperti itu, dan dia boleh tarik kembali perkataannya.

Sudah kita uraikan diatas bahwa risalah Islam adalah penutup seluruh risalah sekaligus mencakup semua syariat yang terdahulu. Risalah Islam mempunyai keistimewaan yaitu bersifat universal untuk seluruh alam, abadi dan aktual sepanjang zaman. Kitab- kitab samawi yang sebelum islam yang

1Tim penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedia Hukum Islam (Jakarta: Djambatani, 1992),

35

35

masih beredar diantara kelompok Yahudi dan Nashara sudah bermacam-macam versinya, saling berbeda dan banyak menyimpang atau dirubah. Sedangkan Al-Qur'an tak akan pernah dapat dirubah ataupun diselewengkan.2 Firman Allah SWT :

َنو ُڤِڭٰ َحَل مُل اانِ َرَ كِدَٱ اَۡ ناڒَن ُنۡۡ َ اانِإَ

)

رجحا

/

٥١

:

١

(

Artinya : "”Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya" .

Syariat Islam juga tidak akan bisa disamai oleh undang-undang atau tatanan-tatanan lain.

ۡنَمَو

ۡحَأ

َنِم ُن َس

ٱ

ۡڳُح ِ اَ

مڹ

ۡوَقِدل ا

لم

َنوُنِقوُي

(

/ ةدئاما

١

:

١٥

(

Artinya : "dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin."

Atas dasar ini, sudah seharusnya setiap ahli al-kitâb, baik yahudi maupun Nashara yang telah tahu dakwah Islam untuk beriman kepada Nabi yang Ummi, yang telah dikabarkan dalam Taurat dan Injil. Mestinya ia beriman kepada yang tertulis dalam Al-Quran dan syariat-syariat yang ada didalamnya. Kalau tidak, berarti mereka menyembunyikan atau menutupi apa yang tertulis dalam Taurat maupun Injil, kitab mereka sendiri.

Ada hakikat lain yang harus diketahui setiap manusia, bahwa siapa yang beriman kepada sebagian kitab samawi dan mengingkari sebagian yang lain, maka ia adalah orang kafir. Karena diantara kriteria iman ialah percaya kepada

36

kitab-kitab samawi secara keseluruhan, dan beriman kepada semua nabi dan rasul.

a. Kelompok Atheis dan Murtad

Secara bahasa, murtad adalah kembali kejalan yang semula dilauli. Secara istilah, murtad bermakna kembalinya orang yang telah beragama Islam yang berakal dan sudah balig pada kekafiran karena kehendaknya sendiri tanpa ada paksaan dari orang lain.3

Banyak sekali gambaran-gambaran atau bentuk-bentuk keyakinan yang bathil dan pemikiran menyesatkan yang dapat menyeret seseorang pada kemurtadan dan mengeluarkannya dari Islam ini, maka setiap orang muslim harus mawas diri dalam menaggapi keyakinan, atau perkataan atau perbuatan yang menyembul disekitarnya. Ia harus memagari diri dengan perbuatan-perbuatan baik, berpegang teguh pada sendi-sendi Islam dan merujuki para ulama yang mampu menyajikan fatwa dalam rangka menyingkirkan setiap gangguan dan intimidasi yang dapat mengotori aqidah. Sedangkan Atheisme

adalah pengingkaran terhadap dzat Illahi, menolak risalah samawi yang telah diturunkan Allah kepada Rasul-rasul-Nya. Karena seorang Atheis tidak mau menerima agama Allah, mengingkari rukun iman dan dasar-dasar syariat. Meskipun Atheisme termasuk dalam kelompok pengertian kemurtadan, tapi justru ia lebih buruk dan lebih besar bahayanya bagi individu dan masyarakat

37

37

dibandingkan dengan pengertian kemurtadan lain, seperti pemeluk agama Nashrani dan Yahudi.4

b. Kelompok Paganis (penyembah berhala) dan Musyrikin

Siapakah yang disebut Paganis itu? Mereka adalah orang-orang yang membuat sembahan selain Allah, atau ,mengambil tuhan selain Allah. Yang termasuk kedalam kelompok ini adalah orang-orang musyrik Arab. Penyembah api, bintang, orang-orang majusi, dan lain-lainnya yang sama menyembah patung.

Untuk mendekatkan pada tujuan yang dimaksud, kita batasi pembahasan ini dalam dua kelompok, yaitu:

i. Kelompok Musyrik Arab

Dalam menghadapi kelompok ini, Islam menyodorkan 2 pilihan; Islam ataukah perang. Jizyah pun berlaku bagi mereka. Pendapat ini didukung oleh jumhur fiqoha, seperti Hanafiah, Imam Ahmad, Malikiah, Zaidiah, dan lain-lain. Mereka berkata, "Jizyah bisa diambil dari setiap orang kafir selain dari penyembah berhala dari bangsa Arab."

Sedang Al-Auza'I, Ats-Tsauri dan sebagian mazhab Malikiyyah berpendapat bahwa Jizyah bisa diambil dari setiap orang kafir, baik dari bangsa Arab atau non Arab, dari ahli kitab maupun penyembah berhala.

38 ii. Kelompok Paganis selain Arab

Kata Jizyah berasal dari kata jaza’ yang berarti upah atau bayaran. Secara istilah, adalah sejumlah uang yang diwajibkan kepada orang-orang ahlul-kitab yang masuk dalam perlindungan dan perjanjian umat Islam.5

Dari Muhammad bin Hambal berkata, bahwa jaminan tidak berlaku kecuali kepada ahli kitab atau orang seperti mereka, seperti orang-orang Majusi. Negara harus menjamin keamanan mereka dan mereka harus melaksanakan beberapa syarat.

Firman Allah SWT:

ُُلوُسَرَو ُ اَٱ َعارَح اَم َنوُسِدرَ ُُ َََو ِرِخٓٱ ِعۡوَ َۡٱِب َََو ِ اَٱِب َنوُنِمۡؤُي ََ َنيِ اَٱ ْاوُڶِتَٰق

م

ۡڷُهَو لدَي نَع َٿَيۡڒَِٱ ْاو ُطۡعُي ٰ اَِح َټٰ َتِڳۡ ۡلٱ ْاوُتوُأ َنيِ اَٱ َنِم ِدڮَۡحٱ َنيِد َنوُنيِدَي َََو

َنوُرِغٰ َص

)

وتا

ٿب

/

٢:

٩٢

(

Artinya : “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk”.

Para Ulama ahli Fiqih sepakat bahwa Jizyah diambil dari Ahl al-Kitȃb dan Majusi.6 Dalam kitab bidayah al-Mujtahid, Syafi’i Abu Hanifah dan Tsauri berpendapat bahwa kafir dzimmi wajib membayar zakat sama halnya

5Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Kitab al-Jihâd bab al-Jizyah jil. iii, (Dar al-Kutub, 1973) , h. 664. 6Imam Ibn Qayyim, Ahkȃm Ahl az-Dzimmah(Dȃrul al-Hadîts, 2005), h. 11.

39

39

orang Islam, juga seperti yang lain.7

c. Kelompok orang-orang munafik

Hiprokrisi atau kemunafikan adalah suatu sikap pada diri seseorang yang mengaku-ngaku Islam, tetapi jauh dilubuk hatinya menyimpan bara kekufuran yang menyala dan tujuan-tujuan yang menjijikan. Dalam mengahadapi orang-orang yahudi yang berlindung kepada Islam, maka mereka diperlakukan sebagaimana seorang Muslim yang murtad lalu memeluk agama lain. Atau mereka diperlakukan sebagaimana seorang destroyer yang memperlihatkan fanatismenya yang bakal merusak.

Mengenai hukum kehadiran/mengikuti perayaan non-muslim MUI telah mengeluarkan fatwa yang mengatakan bahwa kehadiran orang Islam pada perayaan Natal adalah Haram (dilarang), karena itu umat Islam tidak boleh ikut terlibat dalam upacara-upacara semacam itu. Fatwa itu ditandatangani oleh Syukri Ghozali, ketua, dan Mas’udi, Sekretaris Komisi Fatwa.8

ْۚاكوُفَراَعَ ِت َلِئكاَبَٵَو امبوُعُش ۡڷُكَٰنۡڶَعَجَو ٰ ََنُأَو لرَكَذ نِدم ڷُكَٰنۡقَڶَخ اانِإ ُساانٱ اَڿُيأٓ َيَ

َ اَٱ انِإ ۚۡڷُكٰىَقۡتأ ِ اَٱ َدنِع ۡڷُكَمَرۡٶَ َأ انِإ

ٞرِبَخ ٌڷيِڶَع

)

تارجحا

/

٨٢

:

٥١

(

Artinya : ”Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal".

7Ibnu Rusd, Bidayatul Mujtahid, wa Nihayatu al-Muqtasid, (al-Haramain, t.t), h. 178.

8Muhammad Atho Mudzar, Fatwa-fatwa Majlis Ulama Indonesia: sebuah studi tentang

40

اَيۡنُلٱ ِِ اَڹُڿۡبِحا َصَو ۖاَڹُڿۡعِطُت َََف ٞڷۡڶِع ۦِڽِب َڱَل َړۡيَل اَم ِِ َكِ ُۡۡت نَأ َٓ َل َكاَدَڿٰ َج نِ

الِإ اڷُٯ ۚ اَ لِإ َباَنَ أ ۡنَم َليِبَس ۡعِباتٱَو ۖامفوُرۡعَمَ

َنوُڶَڹۡعَت ۡڷُتنُك اَڹِب ڷُكُٺِدبَنأَف ۡڷُكُعِجۡرَسُ

)

ناڹقل

/

١٥

:

٥٥

(

Artinya : “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”.

ُجِرۡ ُُ ۡڷَلَو ِنيِدلٱ ِِ ۡڷُكوُڶِتَٰقُي ۡڷَل َنيِ اَٱ ِنَع ُ اَٱ ُڷُكٰىَڿۡنَي اَ

َََُت نَأ ۡڷُكِرَٰيِد نِدم ڷُكو

ۡڷُهو

ُټِ ُُ َ اَٱ انِإ ۚۡڷِڿََِۡإ ْاكوُطِسۡقُتَو

َنِطِسۡقُڹۡلٱ

)

ڽنحتڹڹلا

/

٨

:

٠٦

(

Artinya : ”Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”.

Khusus berkaitan dengan perayaan hari-hari besar itu sendiri, menurut kaca mata Al-Kitab, As-Sunnah, Ijma’ maupun Qiyaas.

Dalil-dalil Al-Qur’an yang melarang kita untuk ikut serta dalam hari-hari raya mereka. Adapun menurut Al-qur’an, adalah berdasarkan penafsiran beberapa tabi’in mengenai firman Allah :

امماَرِك ْاوُرَس ِوۡغاڶلٱِب ْاوُرَس اَذِ َروُڒلٱ َنوُدَڿۡشَي ََ َنيِ اَٱَو

)

ناقرڭلا

/

٩٥

:

٢٩

(

Artinya : “Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya”.

41

41

Abu Bakar Al-Khallaal meriwayatkan dalam al-Jâmi’, dengan sanadnya sendiri dari Muhammad bin Sirin, berkenaan dengan firman Allah :

َ

َ َنيَِٱَوا

َروُڒلٱ َنوُدَڿ ۡشَي

)

ناقرڭلا

/

٩٥

:

٢٩

(

Artinya : “dan orang-orang yang tidak menyaksikan kepalsuan/kedustaan ...,”

Artinya adalah menghadiri Sya’âni (hari besar yang diperingati oleh orang kristen dalam rangka mengenang kembali masuknya Al-Masih ke Baitul Maqdis.9

Abu Syaikh Al-Ashbahani meriwayatkan dengan sanadnya sehubungan dengan “syarat-syarat yang dibebankan terhadap Ahli Dzimmah” dari Adh-Dhahak, bahwa arti: “orang-orang yang tidak menyaksikan kepalsuan /kedustaan,” adalah: mereka yang tidak melontarkan kata-kata syirik.

Masih dengan sanadnya, dari Juwaibir, dari Adh-Dhahhak bahwa makna ayat yang artinya: “orang-orang yang tidak menyaksikan kepalsuan/kedustaan,” mereka yang tidak menghadiri hari-hari besar kaum musyrikin.

Pernyataaan para tabi’in bahwa maksud ayat tersebut adalah larangan (menghadiri) hari-hari raya orang kafir, tidak bertentangan dengan pernyataan sebagian mereka bahwa yang dimaksud dengan larangan terhadap perbuatan syirik atau berhala dimasa jahiliyyah, atau pernyataan sebagian mereka adalah larangan

9Ibn Taymiyyah, Iqtida’ al-Sirat al-Mustaqȋm: lilMukhȃlafah Ashȃb al-Jahȋm (Dar El-Fikr Beirut-Libanon, 2003), h.169.

42

terhadap tempat digelarnya kemaksiatan.10 Adapun dalil Sunnah:

نوبعڶي ناموي ڷڿلو ٿنيدڹلا ڷڶس و ڽيڶع َا ىص َا لوسر عدق لاق ړنأ نع

لاقف اڹڿيف

"

ناموَا ناڐه ام

"

ِ اڹڿيف ټعڶن انك اولاق

َا لوسر لاقف ٿيڶهاَا

ڷڶس و ڽيڶع َا ىص

"

عويو ىضأا عوي اڹڿنم ارخ اڹڿب ڷكلدبأ دق َا نإ

رطڭلا

11

(

)دوادوبا هاور

Artinya : Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu meriwayatkan : “ketika Rasulullah Saw tiba di Madinah, Mereka (orang-orang Madinah) telah memiliki dua hari yang mereka jadikan untuk bermain-main (bersuka ria). Beliau bertanya: “Ada apa dengan dua hari ini?” mereka menjawab: “Di masa Jahiliyyah, kami biasa bermain-main pada dua hari itu.” Maka Rasulullah Saw menanggapi; “sesungguhnya Allah telah menggantikan untuk kalian hari yang lebih baik dari hari itu yakni hari Idul Adhâ dan Idul Fitri.”

B. Hukum Memberi Salam dan Mengucapkan Selamat Pada Hari Raya

Non-Muslim

Ada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang melarang seorang Muslim memulai mengucapkan salam kepada orang Yahudi dan Nasrani. Hadits tersebut menyatakan,

َِِأ ْنَع ِڽيِبَأ ْنَع

َ

ََو َدوُڿََا اوُءَدْبَت ْ َ َلاَق َڷاڶَسَو ِڽْيَڶَع ُ اَا اى َص ِ اَا َلوُسَر انَ َأ َةَرْيَرُه

ڽِقَي ْضَأ لِإ ُهوُر َط ْضاَف فڮيِر َط ِِ ْڷُهَدَحَ َأ ْڷُتيِقَل اَذِإَف ِع ََاسلاِب ىَرا َصانا

12

(

هاور

)ملسم

Artinya ; “diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda: Janganlah memulai salam kepada orang Yahudi dan Nasrani. Jika kamu bertemu

10Ibn Taymiyyah, Iqtida’ al-Sirat al-Mustaqȋm, h. 170.

11 Abu Daud, Sunan Abi Daud, hadis no. 1134, jil. 1 (Dar al-Fikr, t.t), h. 364.

12Shahih Muslim, Kitab as- Salâm bab al-nahyu ‘an Ibtida’ Ahlu al-Kitâb bi al-Salâm, hadis no. 2167, jil 4 (Beirut al-‘Arabi: Daru Ihya, t.t), h. 1707

43

43

mereka dijalan, pepetlah jalannya itu ke arah yang lebih sempit”.

Ulama berbeda paham mengenai makna larangan tersebut. Dalam buku Subul as-Salâm karya Muhammad bin Isma’îl al-Kanlani (jil. IV, hlm. 155) antara lain dikemukakan bahwa sebagian ulama bermazhab Syafi’i tidak memahami larangan tersebut dalam arti haram, sehingga mereka membolehkan menyapa non-Muslim dengan ucapan salam. Pendapat ini merupakan juga pendapat sahabat Nabi, Ibnu ‘Abbâs. Al-Qadhi ‘Iyadh dan sekelompok ulama lain membolehkan mengucapkan salam kepada mereka kalau ada kebutuhan. Pendapat ini dianut juga oleh ‘Alqamah dan al-Auza’i.13

Penulis cenderung menyetujui pendapat yang membolehkan itu. Bahkan dalam riwayat Bukhori dijelaskan tentang sahabat Nabi bahwa orang Yahudi bila megucapkan salam terhadap orang Muslim tidak berkata, “Assalâmu’alaikum,” tetapi “Assâmu’alaikum,” yang berarti “kematian atau kecelakaan bagi anda”.14

Rasulullah SAW bersabda:

فړَنأ ِنْب ِرْكَب َِِ َأ ُنْب ِ اَا ُدْيَبُع اَنَ ََْخَأ ٌڷْي َشُه اَنَٯادَح َٿَبْي َش َِِأ ُنْب ُناَڹْثُع اَنَٯادَح

َلاَق ُڽْنَع ُ اَا َ َِِر فڱِلاَم ُنْب ُړَنأ اَنَٯادَحَ

:

ُ ِِانا َلاَق

َڷاڶَس اَذِإ َڷاڶَسَو ِڽْيَڶَع ُ اَا اى َص

ْڷُكْيَڶَعَو اوُلوُقَٴ ِباَتِڳْلا ُلْهَأ ْڷُكْيَڶَع

15

)

ڷڶسس و يراخ هاور

(

13 M. Quraish Shihab Menjawab-1001 Soal Keislaman yang patut anda ketahui (Jakarta : Lentera

Hati, 2008), h. 590.

14M. Quraish Shihab, h. 590.

15Shahih Bukhori, bab kaifa al-Roddu ‘ala Ahlu Dzimmah bi as-Salâm, hadis no. 5903, lihat juga Shahih Muslim, bab an-Nahyu anil Ibtida’ ahl-Kitab, hadis no. 2163, jil. 4, (Beirut al-‘Arabi: Daru Ihya, t.t), 1705.

44

Artinya : “diriwayatkan dari Anas bin Malik r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda, apabila Ahlu Kitab memberi salam kepadamu maka ucapkanlah ‘alaikum (bagi andalah).”

Jika demikian wajarlah apabila Nabi melarang memulai salam untuk mereka dan menganjurkan untuk menjawab salam mereka dengan “ ‘Alaikum,” sehingga jika yang mereka maksud dengan ucapan itu adalah kecelakaan atau kematian, maka jawaban yang mereka terima adalah “bagi andalah (kecelakaan itu)”.

Mengucapkan “Selamat Natal” masalahnya berbeda. Dalam masyarakat kita, banyak ulama yang melarang, tetapi tetapi tidak sedikit juga yang membenarkan dengan beberapa catatan khusus.

Sebenarnya dalam al-Qur’an ada ucapan selamat atas kelahiran Isa:

َعۡوَيَو ُتوُسَأ َعۡوَيَو ُت ِلُو َعۡوَي اَ َل ُڷَٰلاسلٱَو

امديَح ُڃَعۡبأُ

)

ڷيرس

/

٥٢

:

١١

(

Artinya : “Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali.”

Surah ini mengabadikan dan merestui ucapan selamat natal pertama yang diucapkan oleh Nabi mulia itu. Akan tetapi persoalan ini jika diakitkan dengan hukum agama tidak semudah yang diduga banyak orang, karena hukum agama tidak terlepas dari konteks, kondisi, situasi, dan pelaku.

Yang melarang ucapan “Selamat Natal” mengaitkan ucapan itu dengan kesan yang ditimbulkannya, serta makna populernya, yakni pengakuan ketuhanan Yesus Kristus. Makna ini jelas bertentangan dengan akidah Islamiah, sehingga ucapan

45

45

“Selamat Natal” paling tidak dapat menimbulkan kerancuan dan kekaburan.16 Ucapan selamat atas kelahiran Isâ (Natal), manusia agung lagi suci itu, memang ada di dalam al-Qur’an, tetapi kini perayaannya dikaitkan dengan ajaran agama Kristen yang keyakinannya terhadap agama ‘Isâ al-Maŝih berbeda dengan pandangan Islam. Mengucapkan “Selamat Natal” atau menghadirin perayaannya dapat menimbulkan kesalah pahaman dan dapat mengantarkan kita kepada pengaburan akidah. Ini dapat dipahami sebagai pengakuan akan ketuhanan al-Maŝih, satu keyakinan yang secara mutlak bertentanga dengan akidah Islam. Dengan alasan ini lahirlah larangan dan fatwa haram untuk mengucapkan

“Selamat Natal” sampai-sampai ada yang beranggapan ucapan selamat, aktivitas apapun yang berkaitan atau membantu terlaksananya upacara Natal tidak dibenarkan.

Dipihak lain ada juga pandangan yang membolehkan ucapan “Selamat Natal”. Ketika mengabadikan ucapan selamat itu, al-Qur’an mengaitkannya dengan ucapan ‘Isâ,

َو َټٰ َتِڳۡلٱ َ ِِٰىَتاَء ِ اَٱ ُدۡبَع ِدِّإ َلاَق

امديِبَن َِِڶَعَج

)

ڷيرس

/

٥٢

:

١٦

(

Artinya : “sesunguhnya aku ini, hamba Allah. Dia Memberiku al-Kitab dan Dia menjadikan aku seorang Nabi”.

Salahkah bila ucapan “Selamat Natal” dibarengi dengan keyakinan itu? Bukankah al-Qur’an telah memberi contoh? Bukankah ada juga salam yang tertuju

16M. Quraish Shihab, M. Quraish Shihab Menjawab-1001 Soal Keislaman yang patut anda ketahui (Jakarta : Lentera Hati, 2008), h. 590

46

kepada Nûh, Ibrȃhîm, Mûsȃ, Hȃrûn, keluarga Ilyas, serta para Nabi lain? Bukankah setiap Muslim wajib percaya kepada seluruh Nabi sebagai hamba dan utusan Allah ? Apa salahnya kita mohonkan curahan solawat dan salam untuk Isȃ as., sebagaimana kita mohonkan untuk seluruh Nabi dan Rasul? Tidak bolehkah kita merayakan hari lahir (natal) Isa as.? Bukankah Nabi SAW. Juga merayakan hari keselamatan Musa dari gangguan Fir’aun dengan berpuas ‘Asyura’, sambil bersabda kepada orang-orang Yahudi yang sedang berpuasa, seperti sabdanya,

ُج ِنْب ِديِعَس ْنَع ف ِْۡب َِِأ ْنَع ٌڷْي َشُه اَنَ ََْخَأ ََْ َُ ُنْب ََْ َُ اَنَٯادَح

ْنَع ف ْرَب

فساابَع ِنْبا

َدوُڿََا َدَجَوَف َٿَنيِدَڹْ ْلا َڷاڶَسَو ِڽْيَڶَع ُ اَا اى َص ِ اَا ُلوُسَر َعِدَق َلاَق اَڹُڿْنَع ُ اَا َ َِِر

ِڽيِٴ ُ اَا َرَڿ ْظَأ يَِا ُعْوَا َا اَڐَه اوُلاَقَٴ َڱِلَذ ْنَع اوُڶِئ ُسَف َءاَروُش ََ َعْوَي َنوُسو ُصَيْ

وُس

ََ

َڷاڶَسَو ِڽْيَڶَع ُ اَا اى َص ُ ِِانا َلاَقَٴ ُ َل اًڹيِڤْعَت ُڽُمو ُصَن ُنْحَنَٴ َنْوَعْرِف َ َل َليِئاَ ِْْإ َِِبَو

ِڽِمْو َصِب َرَسَأَف ْڷُكْنِم ََوُڹِب َْوَ َأ ُنََْ

17

)

ڷڶسس هاور

(

Artinya : “Dari Ibnu Abbas r.a., katanya: “ketika Rasulullah SAW belum lama tiba di Madinah, didapatinya orang-orang Yahudi puasa pada hari “Asyura. Lalu mereka ditanya perihal hal itu (apa sebabnya mereka puasa pada hari itu). Jawabmereka, “hari ini adalah hari kemenangan Musa dan Bani Israil atas Fir’aun.Karena itu kami puasa pada hari ini untuk menghormati Musa.” Maka besabda Nabi Saw., “kami lebih pantas memuliakan Musa daripada kamu.” Lalu beliau perintahkan supaya kaum Muslimin puasa pada hari ‘Asyura”.

Bukankah “Para Nabi” sebagaimana sabda Nabi Saw., “bersaudara, hanya ibunya yang bebeda?” bukankah seluruh umat bersaudara? Apa salahnya kita bergembira dan menyambut kegembiraan saudara kita dalam batas-batas kemampuan kita, atas batas yang digariskan oleh anutan kita? Kalau demikian

17Shahih Muslim, Kitab Siyâm bab Soum Yaumu ‘Asyura, hadis no. 1130, jil 2 (Beirut al -‘Arabi: Daru Ihya, t.t), h. 795

47

47

halnya, apa salahnya mengucapkan “Selamat Natal” selama akidah masih dapat dipelihara dan selama ucapan itu sejalan dengan apa yang dimaksud oleh al-Qur’an sendiri yang telah mengabadikan “Selamat Natal” itu?

Seperti terlihat, larangan muncul dalam rangka upaya memelihara akidah, karena kekhawatiran kerancuan pemahaman. Oleh karena itu, agaknya larangan tersebut lebih banyak ditujukan kepada meraka yang dikhwatirkan kabur akidahnya. Kalau demikian, jika seseorang ketika mengucapkannya tetap murni akidahnya atau mengucapkannya sesuai kandungan “Selamat Natal’ Qur’ani, kemudian mempertimbangkan situasi dan kondisi dimana ia diucapkan sehingga tidak menimbulkan kerancuan akidah bagi dirinya dan Muslim yang lain, maka agaknya tidak beralasanlah larangan itu.

48 BAB IV

Dalam dokumen Hukum Merayakan Ibadah Non-Muslim (Halaman 42-57)

Dokumen terkait