• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PROSEDUR PERCERAIAN DI PERADILAN AGAMA

C. Alasan Mengajukan Perceraian

Penyebab terjadinya perceraian muncul ketika terjadinya kekisruhan rumah tangga yang mungkin tidak dapat dicegah lagi, antara lain:

1. Nusyuz Isteri

Nusyuz bermakna kedurhakaan yang dilakukan seorang isteri terhadap suami. Hal ini dapat terjadi berupa pelanggaran-pelanggaran dari

garis norma kehidupan isteri. Pelanggaran tersebut, bisa berupa penyelewengan yang bisa mengganggu keharmonisan rumah tangga. Tidak mentaati perintah suami pun bisa menjadi prioritas terjadinva perceraian. Berkenaan dengan hal ini Allah SWT memberikan tuntunan bagaimana mengatasi nusyuz istri agar tidak terjadi perceraian8;

Allah SWT, berfirman dalam surat An-Nisa: 4/ 43, yang artinya:

Wanita-wanita yang kamu khawatir berbuar nusyuznya maka nasihatilah mereka dan pisahkan diri dari tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.

Dalam penjelasan surat an-Nisa tersebut Al-Qur'an memberikan pilihan-pilihan kepada suami sebagai berikut:

a. Apabila isteri berbuat salah, agar ditegur dan dinasehati dengan cara yang ma’ruf supaya dia tidak mengulangi kesalahannya kembali. b. Pisah ranjang atau pisah rumah. Hukuman ini di maksudkan untuk

hukuman yang bersifat psikologis. Tujuannya agar isteri merenungi semua kesalahan yang dilakukannva terhadap suami.

c. Hukuman yang terakhir ini merupakan pilihan yang ditawarkan oleh tuntunan al-Qur'an, yaitu dengan cara memukulnya. Dalam memukul istri yang, berbuat nusyuz haruslah di bagian-bagian yang tidak membahayakan.

2. Nusyuzsuami terhadap Isteri

Bukan hanya isteri yang berbuat nusyuz, akan tetapi suami yang notabene sebagai penanggung jawab bisa, bahkan kerap melakukan

8

nusyuz. Kelalaian dengan cara tidak memberikan nafkah lahir maupun batin, tindak kekerasan, maupun perselingkuhan merupakan hal-hal yang sering terjadi dalam diri suami.9 Firman Allah SWT:

Artinya: “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz, atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenarnya, dan perdamalan itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu menggaull istrimu dengan baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. An-Nisa' : 128)

Dijelaskan pada ayat di atas, seorang isteri hanya dianjurkan agar sabar, dan dikaruniai hak-haknya untuk sementara waktu yang tujuannya tidak lain, agar tidak terjadi perceraian

3. Terjadinya Syiqoq (pertengkaran)

Pertengkaran (syiqoq) memang masalah yang paling sering terjadi dalam kehidupan rumah tangga, hal ini menyebabkan perceraian yang paling banyak dan sering terjadi. Alasan ekonomi, Perbedaan prinsip,

9

menjadi salah satu penyebabnya.10 Dalam mengatasi konflik yang terjadi rumah tangga, Allah SWT berfirman dalam surat an-Nisa ayat 35, menyatakan harus mencarikan jalan keluarnya dengan cara mengutus hakam (juru damai) untuk mengantarkan kerukunan dalam membina rumah tangga.

4. Salah Satu Pihak Melakukan Perbuatan Zina, yang Menimbulkan saling Tuduh.

Apabila salah satu sudah berbuat dan saling menuduh berbuat zina, maka cara mencari bukti-bukti serta data-data yang konkrit dan faktual. Dengan cara itu mungkin juga bisa mencegah terjadinya perceraian. Li'an ini sebenarnya sudah memasuki gerbang putusnya perkawinan, dan bahkan untuk selama-lamanya, karena akibat li'an ialah terjadinya talak ba’in kubro.11

Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, tentang pelakasanaan Undang-undang No. 1/1974, Pasal 19 menyatakan hal-hal yang menyebabkan perceraian, dengan alasan sebagai berikut:

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sulit disembuhkan.

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama (2) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.

c. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang

10

Ibid, h. 194 11

membahayakan pihak lain.

d. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri.

Kompilasi Hukum Islam dalarn Pasal 116 Bab XVI menjelaskan secara luas dan terperinci, walaupun dalam hal ini tidak berbeda jauh dengan Undang-undang Perkawinan. Perceraian dapat terjadi dengan alasan sebagai berikut:

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sulit disembuhkan.

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

d. Salah satu pihak melakukan kekajaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami isteri.

f. Antara suami isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

g. Suami melanggar ta'lik talak.

h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.

Sudah dijelaskan di atas bahwa Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, tentang Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 19 dan Kompilasi Hukum Islam Pasal 116 tidak ada pasal yang berbeda secara garis besar, dalam Kompilasi Hukum Islam hanya dia tambah huruf (g) yang menyatakan suami yang melanggar ta'lik talak akan menyebabkan rusaknya perkawinan (perceraian). Begitu juga dengan keluarnya (murtad) suami isteri dari agama yang dianut (Islam), bisa memicu dan ketidakrukunan dalam rumah tangga sehingga karena perbedaan yang mencolok dalam hal yang prinsip.

Hal yang dapat menimbulkan perceraian dalam sighot taklik talak, sebagaimana yang telah dirumuskan umumnya, yaitu:

a. Suami meninggalkan isterinya selama enam bulan berturut-turut, b. Suami tidak memberikan nafkah wajib selama tiga bulan lamanya, c. Suami menyakiti (memukul) isterinya sampai berbekas,

d. Suami tidak lagi memperlakukan isterinya sebagaimana layaknya seorang istri, tetapi ia juga tidak menceraikannnya.12

Perceraian (thalak) ditinjau dari cara dan waktu menjatuhkannya terbagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu:

a. Talak Sunni; adalah talak yang pelaksanaannya telah sesuai dengan petunjuk agama dalam Al-Qur'an atau sunnah Nabi.” Bentuk talak sunni yang disepakati oleh ulama adalah talak yang dijatuhkan suami

12

Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1986), Cet. Ke-5, h. 107. Lihat juga Daniel S. Lev, Peradilan Agama Islam di Indonesia, terj. Zaini A. Noeh, (Jakarta: PT. Intermasa, 1986), Cet. ke-2, h. 204-205

sewaktu isteri tidak dalam keadaan haid atau dalam masa suci yang pada masa itu belum pernah dicampuri oleh suaminya.13

b. Talak bid'iy Sedangkan talak bid'iy ialah talak yang dijatuhkan tidak menurut ketentuan agama. Bentuk talak yang disepakati oleh ulama dalam kategori talak bid'iy ialah talak yang dijatuhkan sewaktu istri dalam keadaan haid atau dalam keadaan suci, namun telah digauli oleh suami. Hukum talak bid'iy adalah haram dengan alasan memberikan mudarat pada isteri.14

Melihat kemungkinan bolehnya suami kepada isterinya istilah talak dalam hukum perceraian terdapat beberapa istilah yang mempunyai kedudukan hukum yang bebeda-beda, yaitu:

a. Talak raj'i, yaitu talak yang dijatuhkan suami kepada isterinya yang sudah digauli (bersenggama).

b. Talak ba'in, yaitu talak yang dijatuhkan suami kepada isterinya yang belum pernah digauli (bersenggama).15

Talak ba'in terbagi menjadi dua macam, yaitu (1) Talak bain sughro (2) Talak bain kubro. Talak bain sughra ialah talak yang suami tidak boleh ruju' kepada mantan isterinya, tetapi ia dapat kawin lagi dengan nikah baru tanpa melalui muhallil. Adapun yang termasuk talak bain sughra yaitu sebagai berikut:

a. Talak yang dilakukan sebelum isteri digauli oleh suami (qobla dukhul).

13

Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia; Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, h. 217.

14

Ibid, 218 15

Dan talak semacam ini tidak ada iddahnya sebagaimana firman Allah dalam surat al-Ahzab (33) ayat 49:

b. Talak yang dilakukan dengan cara membayar iwadh dari pihak isteri, yang juga disebut dengan khulu'.

c. Perceraian melalui putusan hakim di pengadilan atau juga disebut fasakh.16

Hal di atas sesuai dengan Pasal 119 Kompilasi Hukum Islam, mengenai talak ba'in sughra.

Adapun talak ba’in kubra, yaitu talak yang tidak memungkinkan suami kembali lagi kepada mantan isterinya. Boleh kembali kepada mantan isterinya akan tetapi isterinya telah kawin dengan laki-laki lain dan bercerai pula serta habis masa iddahnya (Pasal 120 Kompilasi Hukum Islam).

Mengenai ketentuan talak bain kubra, diterangkan dalam al-Qur'an surat al-Baqarah ayat 230 yang menyatakan:

16 Ibid, h. 221-222

Artinya: “Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) Mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah: 230)

Melihat dari penjelasan pengertian talak seperti yang disebutkan oleh undang-undang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, talak bukanlah hak milik suami semata, akan tetapi dalam mentalak isterinya harus mempunyai syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang suami. Sahnya perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang peradilan, sesuai dengan Pasal 139 (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974, tentang perkawinan:

(1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan yang bersangkutan setelah pengadilan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

Dan juga kompilasi Hukum Islam pasal 115, yang menyatakan: “Perceraian hanya dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah piliak. Dengan adanya pasal tersebut, menyebutkan suami tidak bisa seenaknya menceraikan istrinya tanpa adanya ketuk palu (keputusan hakim).”

Dokumen terkait