• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prosedur Perceraian di Pengadilan Agama

BAB III PROSEDUR PERCERAIAN DI PERADILAN AGAMA

D. Prosedur Perceraian di Pengadilan Agama

1. Kekuasaan Pengadilan

Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman (Judicial Power) di Indonesia dilaksanakan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara, yang puncaknya pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi. Pengadilan pada keempat lingkungan peradilan itu memiliki cakupan dan batasan-batasan kekuasaan masing-masing.17

Kekuasaan pengadilan pada masing-masing tingkangan terdiri dari atas kekuasaan relatif dan kekuasaan mutlak. Kekuasaan relatif (relative competentie) berhubungan dengan daerah hukum suatu pengadilan, baik pengadilan tingkat pertama maupun tingkat banding. Adapun kekuasaan mutlak (absolute compententie) pengadilan berkenaan dengan jenis perkara dan sengketa kekuasaan pengadilan.18

Sebenarnya tidak ada perbedaan dalam pemeriksaan perkara perdata di lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama. Hukum acara yang diterapkan dalam lingkup keduanya yaitu hukum acara perdata umum. Mengenai hukum acara yang dipergunakan Peradilan Agama adalah yang termuat dalam Undang-undang No.7 Tahun 1989 amandemen dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, sebagai aturan khusus (lex specralis) ditambah dengan hukum acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum sebagai aturan umum (lex

17

Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2003), h. 217.

18

generalis) bagi hal-hal yang tidak ditemukan dalam Undang-undang No.7 tahun 1989, amandemen Undang-undang No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.19

Akan tetapi, dalam pemeriksaan sengketa perkawinan utamanya dalam perkara perceraian berlaku hukum acara khusus dalam lingkungan Peradilan Agama, hal tersebut diatur dalam:

a. Undang-undang No. 7 Tahun 1989, Amandemen Undang-undang No. 3 Tahun 2006. tentang Peradilan Agama (Pasal 54-91)

b. Undang-undang No. l Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, tentang pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun 1974. c. Intruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. d. Peraturan Menteri Agama No. 2 Tahun 1987 tentang Wali Hakim. e. Peraturan-peraturan lainnya yang berkenaan dengan sengketa

perkawinan.

f. Kitab-kitab fiqh sebagai sumber penemuan hukum. g. Yurisprudensi sebagai sumber hukum.20

Pemutusan perkara bagi umat Islam yang sesuai dengan ketentuan Undang-undang dan hukum keluarga Islam diharapkan dapat berjalan ketentuan hukum yang adil demi tercapainya penegakan supremasi hukum (law enforcement), khususnya hukum keluarga Islam di Indonesia.

19

Raihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002). Cet. ke-9, h. 47.

20

E. Proses Administrasi Perkara

Proses administrasi perkara di Pengadilan Agama, secara singkat adalah sebagai berikut: 21

1. Penggugat atau kuasanya datang ke bagian pendaftaran perkara di pengadilan agama, untuk menyatakan bahwa ia ingin mengajukan gugatan. Gugatan dapat diajukan dalam bentuk tertulis, lisan atau dengan kuasa yang ditunjukan kepada Ketua Pengadilan Agama dengan membawa surat bukti identitas diri seperti KTP.

2. Penggugat wajib membayar uang muka (voorschot) biaya atau ongkos perkara (Pasal 121 ayat 4 HIR)

3. Panitera pendaftaran perkara menyampaikan gugatan kepada bagian perkara, sehingga gugatan secara resmi dapat diterima dan didaftarkan dalam buku register perkara.

4. Setelah melalui proses pendaftaran, gugatan diteruskan kepada Ketua Pengadilan Agama dan diberi catatan mengenai nomor, tanggal perkara dan ditentukan hari sidangnya.

5. Ketua Pengadilan Agama menentukan Majelis Hakim yang akan mengadili dan menentukan hari sidang.

6. Hakim Ketua atau majelis Hakim (yang akan memeriksa perkara) memeriksa kelengkapan surat gugatan.

7. Panitera memanggil penggugat dan tergugat dengan membawa surat panggilan sidang secara patut.

21

Sulaiman Lubis, Wismar `Ain Marzuki, Gemata Dewi, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana. 2006), Cet. Ke-2, h. 117-118.

8. Semua proses pemerikasaan perkara dicatat dalam Berita Acara Persidangan.

A. Kasus Posisi

Putusan hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur No. 1609/Pdt. G/2006/ PA. AJ merupakan putusan kasus cerai gugat yang diajukan oleh AL Binti Ir. TC. I (penggugat/istri) terhadap suaminya MIK Bin Drs. MS (tergugat) yang diproses sejak tanggal 08 Desember 2006. Kasus ini diputuskan oleh majlis hakim pada hari Rabu, 14 Febuari 2007. Gugatan ini diajukan oleh AL Binti Ir. TCI karena di dalam kehidupan rumah tangganya sering terjadi perselisihan dan pertengkaran. Pernikahan mereka yang masih seumur jagung itu diresmikan 18 November 2006 dihadapan pejabat PPN KUA Kecamatan Makasar, Kota Jakarta Timur dengan akad nikah No: 1427 / 93 / XI / 2006 tanggal 20 November 2006.

Menurut pernyataan penggugat, permasalahan dalam rumah tangganya muncul sejak hari pertama mereka hidup bersama di bulan November 2006. Pihak tergugat kemudian meninggalkan rumah yang beralamat di Jl. Kebon Kelapa, Jakarta Timur dan tidak menjalankan hak dan kewajibannya sebagaimana layaknya seorang suami, baik itu sifatnya lahiriah maupun batiniyah. Selain itu, penggugat mengaku belum pernah diduhul oleh pihak tergugat selama hidup bersama sehingga mereka belum dikaruniai anak.

Dalam proses peradilan pihak tergugat tidak mau menghadiri sidang meski sudah dilakukan pemanggilan secara patut oleh pihak pengadilan sehingga putusan yang dihasilkan dalam kasus ini adalah verstek, yaitu putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran tergugat.

Perselisihan dan pertengkaran yang sering terjadi di dalam kehidupan rumah tangga mereka menurut pernyataan penggugat adalah: a. Tergugat sering berselisih paham/berbeda pendapat dalam hal urusan

rumah tangga

b. Tergugat dengan penggugat pernikahannya dijodohkan oleh orang tua masing-masing

c. Tergugat meninggalkan kediaman bersama sejak bulan November 2006 tanpa seijin istri sampai saat ini kurang lebih 3 minggu tanpa nafkah lahir batin

d. Tergugat telah membuat surat pernyataan cerai yang ditandatangani di atas matrai pada tangga 30 November 2006

Sebab titik terang permasalahan rumah tangga mereka tidak ditemukan walau pihak hakam sudah mencoba untuk mendamaikan mereka, pihak penggugat membuat gugatan ke pengadilan agama Jakarta Timur dengan harapan:

a. Majelis hakim mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya b. Menjatuhkan talak satu (1) tergugat terhadap penggugat

c. Menetapkan biaya perkara ini sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku

Setelah proses persidangan ini berjalan dengan sebagaimana mestinya, maka pihak majlis hakim menjatuhkan putusan talak satu (1) ba’in sugra dengan segala pertimbangan yang sudah dijelaskan dalam

berkas perkara. Putusan ini dijatuhkan atas dasar pernyataan majlis hakim setelah melakukan pertimbangan sebagai berikut:

a. Menyatakan bahwa tergugat telah dipanggil secara sah dan patuh untuk datang menghadap di persidangan tidak hadir

b. Mengabulkan gugatan penggugat dengan verstek

c. Menjatuhkan talak ba’in sugra tergugat, MIK Bin Drs MS, atas diri pengggugat AL Binti Ir. TCI

d. Membebankan kepada penggugat untuk membayar biaya perkara ini sejumlah Rp. 335.000,- (Tiga ratus tiga puluh lima ribu rupiah)

Putusan hakim terhadap kasus ini berdasarkan hukum dan undang-undang pernikahan, yaitu:

a. Al-quran surat Ar-Rum ayat 21 b. Al-quran surat An-Nisa ayat 34

c. Pasal 34 ayat (3) UU No. 1 Tahun 1979 jo Pasal 77 ayat (5) Kompilasi Hukum Islam (KHI)

d. Pasal 19 huruf (f )

e. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 jo Pasal 116 huruf (f) KHI f. Pasal 22 ayat 2

g. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 jo Pasal 134 KHI h. Pasal 33, 34 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974

i. Pasal 33 UU No. 1 Tahun 1974 jo Pasal 116 huruf (f) dan (g) KHI j. Al-quran surat al-Baqarah ayat 228

Kasus sidang cerai ini diketuai oleh Drs. Achmad Busyro, M.H dan hakim anggota Drs. Achmad Harun Shofa, S.H dengan panitera pengganti Rodjuki, S.H.

B. Putusan Cerai Gugat Nomor 1609/Pdt.G/2006/PA.JT.1 a. Duduk Perkaranya

Dalam duduk perkara mengenai cerai gugat dalam putusan pengadilan dengan nomor perkara 1609/Pdt.G/2006/PA.JT, antara AL Binti Ir. TC.I, umur 27 tahun, Agama Islam, pendidikan D3, pekerjaan Karyawati Swasta, tempat tinggal di jalan Kebon Kelapa RT 002 RW 010 No. 21-22 Kelurahan Utan Kayu Selatan Kecamatan Matraman Kota Jakarta Timur, sebagai Penggugat melawan MIK Bin Drs. MS , umur 30 tahun, Agama Islam, pendidikan S1, pekerjaan Karyawan Swasta, tempat tinggal di jalan Hanjuang VI RT 08 RW 08 No 77,Kelurahan Pondok Gede Bekasi, selanjutnya disebut Tergugat

Berdasarkan keterangan yang dikemukakan dari pihak Penggugat, bahwa mereka (antara Penggugat dan Tergugat) telah melangsungkan pernikahan pada tanggal 18 Nopember 2006 dihadapan Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Makasar dengan Akta Nikah Nomor 1427/93/XI/2006.

Selanjutnya, keterangan Penggugat mengatakan sebenarnya ia dan Tergugat setelah pernikahan hidup rukun, telah/belum berhubungan badan

1

Putusan ini diperoleh penulis dari Siti Khodijah, S.HI selaku Staff Panitera Muda Gugatan

dan bertempat tinggal di Kebon Kelapa selama 1 hari, namun keduanya belum dikaruniai anak. Akan tetapi sejak bulan Nopember 2006 kehidupan rumah tangga keduanya mulai terjadi perselisihan dan percekcokan terus menerus yang tidak ada lagi harapan bagi keduanya untuk hidup rukun dalam bahtera rumah tangga. Penyebab percekcokan, seperti yang dijelaskan Penggugat antara lain, yaitu:

a. Tergugat sering berselisih paham/ berbeda pendapat dalam hal urusan rumah tangga

b. Tergugat derngan penggugat pernikahannya dijodohkan oleh orang tua masing-masing.

c. Tergugat telah membuat surat pernyataan cerai yang di tanda tangani di atas materai cukup pada tanggal 30 november tahun 2006.

Bahwa, akibat perselisihan dan pertengkaran tersebut akhirnya pada bulan November tahun 2006 hingga sekarang kurang lebih 3 minggu, Penggugat dan Tergugat telah berpisah tempat tinggal/berpisah ranjang karena telah pergi meninggalkan kediaman bersama, sehingga hak dan kewajiban tidak terlaksana sebagaimana mestinya, tidak memberi nafkah lahir maupun batin, karena itu Penggugat memohon kepada Pengadilan Agama Jakarta Timur/ Majelis Hakim untuk menjatuhkan putusan sebagai berikut :

a. Mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya.

b. Menjatuhkan jatuh talak satu Tergugat MIK bin MS terhadap penggugat AL Binti Ir. TCI.

c. Menetapkan biaya perkara ini sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pada surat putusan Majelis Hakim telah memikirkan adanya bahwa Penggugat selalu hadir dalam persidangan yang telah ditentukan, pemeriksaan tetap dilakukan dengan pihak Tergugat yang tidak pernah hadir dan tidak menyuruh orang lain, sedangkan Jurusita Pengadilan telah memanggil pihak Tergugat dengan resmi dan patut. Upaya Majelis Hakim tetap tidak berhasil dengan upaya perdamaian dan menasehati pihak Penggugat. Penggugat meminta kepada Majelis Hakim untuk mengabulkan putusnya perkawinan karena telah banyak percekcokan yang hadir di antara kedua belah pihak tersebut. Dan Penggugat mempunyai alat bukti yang tertulis berupa:

a. Satu buah buku kutipan Akta Nikah Nomor: 1447/93/XI/2006 pada tanggal 20 Nopember 2006 yang dikeluarkan oleh KUA Kecamatan Makasar.

b. Surat pernyataan cerai yang ditandatangani di atas materai.

Dengan adanya hal tersebut, Penggugat juga mengajukan 2 orang saksi bernama:

Saksi pertama Joko Nurhayadi bin H. Hadarna bersumpah bahwa:

a. Hubungan saksi dengan Penggugat adalah sebagai Paman Penggugat dan kenal dengan Tergugat sebagai suami Penggugat, dan saksi mengetahui bahwa antara penggugat dan tergugat adalah sebagai suami isteri dan belum dikaruniai anak, saksi mengetahui bahwa setelah hidup rukun sejak satu minggu kemudian pisah sampai sekarang sudah 4 bulan yang lalu, kedua belah pihak pernikahannya dijodohkan orang tua dan tidak saling mencintai.

b. Saksi kedua bernama Maman Kusumawanto Bin Kusman bersumpah bahwa saksi menyatakan kenal dengan penggugat dan tergugat serta ada hubungan famili dengan penggugat sebagai paman, dan saksi mengetahui bahwa antara penggugat dan tergugat adalah sebagai suami isteri dan belum dikaruniai anak, saksi mengetahui bahwa setelah hidup rukun sejak satu minggu kemudian pisah sampai sekarang sudah 4 bulan, serta pihak keluarga telah berusaha menasehati dan mendamaikan tetapi tidak berhasil.

b. Pertimbangan Hukum

Berdasarkan bukti dan keterangan saksi di atas bahwa antara Penggugat dan Tergugat pernah hidup rukun sebagaimana layaknya suami isteri yang baik dalam keadaan rukun dan belum dikaruniai anak. Dengan adanya perselisihan di antara Tergugat dan Penggugat disebabkan sering berselisih paham dan karena pernikahannya dijodohkan orang tua,dan tergugat meninggalkan kediaman bersama sejak bulan Nopember 2006 tanpa seizin tergugat kurang lebih 3 minggu tanpa nafkah lahir dan batin, akhirnya dijadikan sebagai alasan untuk bercerai. Dengan begitu pihak Penggugat memohon kepada Majelis Hakim untuk putusnya hubungan perkawinan dengan pihak Tergugat.

Selama persidangan berjalan terdapat bukti-bukti yang nyata, bahwa Tergugat tidak pernah hadir dalam persidangan dan tidak diwakilkan karena disebabkan oleh suatu halangan yang sah, serta

Tergugat tidak melawan hukum. Sedangkan ada surat panggilan yang resmi dan patut. Saksi yang diajukan oleh Penggugat adalah orang yang bisa dipercaya, dan penggugat sudah menetapkan pada pendiriannya yaitu ingin tetap bercerai.2

Menurut hukum Islam khususnya pada masalah perkawinan, bahwa pernikahan itu adalah akad yang sangat kuat, melaksanakan dan mentaati perintah-Nya adalah merupakan ibadah. Berdasarkan fakta yang ada, sekiranya rumah tangga yang sudah tidak ada kecocokannya lagi memang sudah tidak dapat lagi dipertahankan. Tanpa keterikatan yang kuat (mitsaqon ghalidzo), maka kedua belah pihak akan mengalami ketidakharmonisan dalam rumah tangga. Dan ikatan suami isteri itu tidak dapat dipertahankan kembali. Jikalaupun dipertahankan akan menimbulkan kemudharatan yang lebih besar.

Dengan pertimbangan-pertimbangan yang ada di atas telah jelas adanya bahwa Penggugat tetap pada keputusannya yang dimaksudkannya yaitu tetap bercerai dan Majelis Hakim memutuskan verstek dikarenakan Tergugat tidak pernah menghadiri persidangan tersebut, dengan berbagai alasan dan pelanggaran dari pihak Tergugat serta tiada menafikan pasal yang 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 junto pasal 116 huruf (f), (g), permohonannya untuk menggugat cerai yaitu jatuh talak

2

satu ba’in sughro yang bersifat alternatif dari petitum sebelumnya yang telah dikabulkan.3

Namun setelah penulis menelaah berkas perceraian tersebut ada beberapa kerancuan yang penulis temukan, terutama relefansi kutipan dalil dan redaksi berkas yang ditulis oleh panitera. Hal ini akan coba penulis jelaskan dan elaborasi pada sub bab berikutnya, yaitu sub bab tentang analisa putusan hakim.4

C. Analisis Putusan Nomor 1609/Pdt.G/2006/PA.JT

Dalam perkara cerai gugat ini, dapat diketahui dengan jelas alasan-alasan yang membuat pihak isteri selaku Penggugat menuntut cerai dari suaminya selaku Tergugat, yaitu sering berselisih paham dan karena pernikahannya dijodohkan orang tua dari kedua pihak dan tergugat meninggalkan kediaman bersama sejak bulan Nopember 2006 tanpa seijin tergugat kurang lebih 3 minggu tanpa nafkah lahir dan batin.

Kemudian pertimbangan hukum berikutnya, Tergugat pada tanggal 25 November 2005 membuat surat pernyataan yang intinya bercerai. Dari deskripsi singkat faktor perceraian ini penulis akan menganalisa baik secara hukum Islam maupun yuridis konstitusional. Jika kita melihat kembali pada

3

Ibid, h. 8. 4

Masalah pertimbangan hakim sedikit dilematis dalam suatu putusan hal ini sebagaimana yang diutarakan oleh Bapak Muhammad Busyro yang mengatakan bahwa: Jika masalah verstek itu pertimbangannya apa, maka itulah yang diajukan. Kalau tidak vestek, pertimbangan bisa meluas, juga bisa pada fakta-fakta yang terjadi. Banyak lagi alasan. Terkadang yang penting cerai terserah alasannya apa saja. Karena jika didetail hitam di atas putih, pihak keluarga atau naka-anaknya nanti akan membaca, jika ada yang tidak bisa menerima, masalah akan menjadi rumit, maka alasannya kadang ditutupi yang penting bercerai. Untuk mengantisipasi hal tersebut, ia menyatakan; menikah baik-baik, maka cerai diusahakan bisa baik-baik, tidak saling mengungkit permasalahan. Wawancara bersama Drs. Muhammad Busyro, Kamis, 16 Juli 2009.

permasalahan di atas, ada 3 (tiga) faktor penyebab terjadinya perceraian, faktor pertama; terjadi pertengkaran (syiqoq) secara terus menerus antara Penggugat dan Tergugat. Ini merupakan akar masalah yang selalu terjadi dalam rumah tangganya dan selalu menjadi alasan penggugat dalam menggugat cerai suaminya. Melihat keadaan seperti ini hakim tidak serta merta langsung mengabulkan perkara karena sebab pertengkaran, akan tetapi, hakim menawarkan solusi pada awal sidang, yaitu menempuh jalan perdamaian dengan adanya campur tangan dari kedua belah pihak keluarga sebagai mediator (hakam). Hal ini tercantum pada rumusan Pasal 31 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, yang berbunyi :

(1) Hakim yang memeriksa gugatan perceraian berusaha mendamaikan kedua belah pihak.

(2) Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap persidangan.5

Selain itu juga merujuk pada Al-Qur’an aurat An-Nisa ayat 35 telah digariskan adalah sebagai berikut :

Artinya: “Dan jika kamu khawatir ada persengketaan (perselisihan) antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laik-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan…”

5

M. Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan, dan Acara Peradilan Agama, UU No. 7 Tahun 1989. (Jakarta: Sinar Grafika, 2005) Cet. Ke-3, h. 67.

Pasal 76 ayat 2 undang No. 7/1989, amandemen Undang-undang No. 3/2006, menyebutkan bahwa hakam diangkat dalam perkara yang didasarkan syiqaq (percekcokan) itupun setelah proses pemeriksaan perkara melewati tahap pemeriksaan saksi. Hal itu dapat disimpulkan dari kalimat yang berbunyi “setelah mendengar keterangan saksi tentang sifat persengketaan… dapat mengangkat… menjadi hakam” 6

Adapun kewenangan hakam dalam perkara syiqaq terdapat beberapa pandangan, yaitu pertama: hakam adalah wakil dari pihak suami isteri, oleh karena itu penunjukkan hakam harus terdapat izin suami isteri masing-masing. Dalam hal ini hakam tidak mempunyai wewenang untuk menceraikan kedua belah pihak. Peranan hakam hanya terbatas pada hal-hal yang diberi wewenang untuk mewakili mereka di muka majelis hakim, kedua: hakam adalah orang yang bertindak dan menjalankan fungsi hakim dan bebas mengambil keputusan, mendamaikan atau menceraikan.7

Perkara di atas menunjukkan pihak Penggugat telah berusaha mengatasi masalah dengan cara bermusyawarah, tapi maksud baik agar rumah tangga dapat dipertahankan kembali tidak berhasil. Adapun dasar hukum perceraian karena percekcokan dapat diajukan ke pengadilan karena pertimbangan Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 jo Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi: “Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.” Perdamaian yang

6

M. Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan, dan Acara Peradilan Agama, UU No. 7/1989, h. 251.

7

selalu diusung dalam perselisihan perkawinan tidak akan ada hasilnya apabila dalam rumah tangga tidak ada keharmonisan lagi.

Faktor kedua, yaitu pernikahannya dijodohkan orang tua. Pada dasarnya, perjodohan diterapkan bertujuan untuk menghimpun sebuah rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah.8 Terciptanya rumah tangga yang demikian bukan serta merta terjadi begitu saja. Ada syarat mutlak yang harus dipenuhi untuk mencapai tujuan baik tersebut, yaitu suka sama suka atau kecocokan. Apabila syarat tersebut tidak terpenuhi, maka tidak akan mungkin tercipta keluarga yang diharapkan.9

Faktor ketiga, yaitu suami (Tergugat) meninggalkan kediaman bersama sehingga suami (Tergugat) meninggalkan isteri (Penggugat) tanpa memberikan nafkah lahir maupun batin. Memperhatikan pada Pasal 34 (1) UU No. 1/1974, tentang perkawinan yang berbunyi “Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya” dan pasal yang sama pada ayat ke 3 juga menyebutkan “Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan ke pengadilan”.

Landasan hukum tersebut terdapat pada Pasal 34 Undang-undang No. 1/1974, tentang Perkawinan yang menyebutkan “Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan ke

8Lihat surat ar-Rum ayat 21 dan an-Nisa ayat 34 9

Kalau nikah maka harus sama-sama tau dan pengertian kedua belah pihak. Wawancara bersama Drs. Ahmad Busyro, MH, Kamis, 16 Juli 2009.

pengadilan.” Begitu juga Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 77 (5) mengatakan hal yang sama seperti pada Undang-undang Perkawinan.

Pada Putusan No. 1609/Pdt.G/2006/PA.JT yang ditetapkan oleh hakim berdasarkan bukti dan pengakuan penggugat dalam kasus cerai gugat ini merupakan ketentuan yang sah.10 Talak yang jatuh adalah ba’in shugra, tepatnya qabla dukhul.11 Putusan yang dilakukan oleh Majelis Hakim dengan cara versteks, sudah benar dan tepat, melihat pihak Tergugat yang sudah dipanggil dengan patut, tetap tidak menghadiri sidang. Hal ini jelas sudah diatur dalam hukum acara perdata pada Pasal 125 H.I.R yang berbunyi sebagai berikut:12

1) Jika tergugat tidak datang pada hari perkara itu akan diperiksa lagi pula ia tidak menyuruh orang lain menghadap sebagai wakilnya, walaupun dipanggil dengan patut, maka tuntutan itu diterima dengan putusan tidak hadir, kecuali kalau nyata Pengadilan Negeri bahwa tuntutan itu melawan hak atau tidak beralasan.

2) Akan tetapi jika si tergugat dalam surat jawabannya yang tersebut pada pasal 121, mengemukakan eksepsi (penangkisan) bahwa pengadilan negeri tidak berkuasa akan memeriksa perkaranya, maka meskipun ia sendiri atau wakilnya tidak datang, wajiblah pengadilan negeri memberi keputusan tentang eksepsi itu, sesudah didengarnya orang yang menggugat itu, hanya

10

Putusan hakim mempunyai 3 (tiga) macam kekuatan, yaitu: (1.) Kekuatan mengikat; Artinya putusan hakim itu mengikat para pihak yang berperkara dan yang terlibat dalam perkara itu, (2.) Kekuatan pembuktian; Artinya dengan putusan hakim itu telah diperoleh kepastian tentang sesuatu yang terkandung dalam putusan itu, dan (3.) Kekuatan eksekutorial; Yakni kekuatan untuk dilaksanakan apa yang ditetapkan dalam putusan itu secara paksa oleh alat-alat Negara. Umar Mansyur Syah, SH, “Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Menurut Teori dan Praktek,” (Bandung: Sumber Bahagia, 1991), Cet. Ke-1, h. 172-173.

11

Lihat lampiran berkas gugatan pertama. Karena pada berkas putusan ada ketidak jelasan mengenai status dukhul seorang istri, qabla atau ba’da. Di sini penulis lebih memegang berkas gugatan pertama, Sebab berkas tersebut merupakan hasil pengakuan penggugat yang dibuat dengan sebenar-benarnya.

12

jika eksepsi itu tidak dibenarkan, maka pengadilan negeri akan memutuskan pokok perkara itu.

3) Jika tuntutan diterima (disahkan), maka atas perintah ketua diterangkan pula kepadanya, bahwa ia berhak mengajukan perlawanan putusan tak hadir di muka majelis pengadilan itu juga di dalam waktu dan dengan cara yang ditentukan pada pasal 129.

Dokumen terkait