• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

6. Alat-alat Pertanian

Alat yang digunakan dalam usaha pembesaran lele phyton adalah ember, jaring pelindung, seser, tong, dan diesel. Sebagian besar peralatan tersebut adalah milik petani sendiri. Kecuali untuk diesel, beberapa petani menyewa pada petani yang mempunyai alat tersebut atau menyewa ke kelompok tani sekitar atau ke petani yang lainnya, dengan biaya sewa rata-rata adalah Rp 25.000,- per sekali sewa. Pembelian alat tidak dilakukan setiap kali akan produksi, karena alat-alat yang digunakan tersebut dapat digunakan beberapa kali sampai tidak dapat digunakan kembali namun mengalami penyusutan nilainya.

7. Modal

Modal yang digunakan oleh petani sampel berasal dari modal sendiri dan modal pinjaman. Sebagian besar petani menggunakan modal sendiri (modal pribadi) sebagai modal usahanya yaitu sebanyak 25 petani (83,33%). Sisanya 5 orang petani meminjam uang di Bank untuk biaya produksinya yaitu untuk pembelian pakan dan benih. Rata-rata pinjaman modal petani adalah sebesar Rp 26.796.600,- per tahun, dengan bunga pinjaman berbeda-beda untuk setiap petaninya. Perbedaan suku bunga ini tergantung pada Banknya.

Analisis Penggunaan Input dalam Usahatani Lele Phyton di Kecamatan Seyegan

Usahatani merupakan salah satu bagian dari sistem agribisnis. Dimana dalam menjalankan usahatani diperlukan input-input yang akan diproses menjadi bahan baku untuk dipasarkan atau diolah lebih lanjut. Usahatani lele phyton merupakan proses produksi lele phyton dari ukuran benih hingga mencapai ukuran konsumsi. Dalam proses produksi ini terkandung hubungan antara tingkat penggunaan faktor-faktor produksi dengan produk atau hasil yang akan diperoleh. Penggunaan input dalam usahatani itu tergantung pada jenis usahataninya. Dalam usahatani lele phyton input yang digunakan antara lain adalah luas kolam, benih, pakan, kapur, dan tenaga kerja.

Penelitian ini membahas penggunaan input dalam usahatani lele phyton sesuai dengan tujuan pertama. Analisis input bertujuan untuk mengetahui tingkat penggunaan input benih, pakan, kapur, dan tenaga kerja pada berbagai luas kolam yang diusahakan oleh petani lele phyton di Kecamatan Seyegan. Input adalah semua masukan yang digunakan untuk menghasilkan keluaran (output). Output yang optimum adalah tujuan yang ingin dicapai oleh petani dalam menjalankan usahataninya. Begitu pula dengan usahatani lele phyton, hasil panen lele phyton yang optimal adalah tujuan yang ingin dicapai oleh petani lele dari penggunaan input-inputnya. Penggunaan input tersebut berbeda-beda pada tiap luasan kolam yang diusahakan. Dalam hal ini kolam dijadikan sebagai ukuran pembanding karena kolam (lahan) merupakan input yang dikuasai oleh petani di lokasi penelitian, dan menggambarkan status petaninya. Sehingga untuk dapat membandingkan dalam analisis ini luas kolam yang diusahakan oleh petani dikelompokkan menjadi tiga ukuran yaitu ukuran kolam luas, sedang, dan sempit, seperti terlihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 14 Rata-rata penggunaan input dan produktivitas per 100 m2 per tahun Variabel

Luas Kolam Total

Luas n = 5 Sedang n = 12 Sempit n =13 n = 30 Jumlah benih (Ekor) 89 461 70 974 90 297 82 428 Jumlah Pakan (Kg) 7 962 6 343 8 525 7 558 Jumlah kapur (Kg) 74.731 69.712 90.582 79.709 Tenaga Kerja (HOK) 96.992 76.087 137.160 106.036 Produktivitas (Kg) 7 976 6 575 8 563 7 670 Keterangan :

luas = > 786 m2

Sedang = 282 m2– 786 m2 sempit = < 282 m2

Tabel diatas menunjukkan perbandingan tingkat pengunaan input dan output yang dihasilkan pada tiga ukuran luas kolam. Petani yang mengusahakan kolam luas sebanyak 5 orang, kolam sedang sebanyak 12 orang, dan kolam sempit sebanyak 13 orang. Dalam hal ini luas kolam dijadikan sebagai variabel yang menjelaskan sedangkan jumlah benih, jumlah pakan, jumlah kapur, tenaga kerja, dan output adalah variabel dijelaskan. Luas kolam seperti halnya lahan (tanah) dalam usahatani secara umum, merupakan salah satu indikator yang sering digunakan untuk mengukur besar kecilnya usahatani. Tanah sebagai salah satu faktor produksi merupakan pabrik hasil-hasil pertanian, yaitu tempat dimana produksi berjalan dan darimana hasil produksi keluar, Mubyarto (1989). Begitu juga halnya dengan kolam dalam usaha pembesaran lele phyton, menjadi indikator yang mengukur besar kecilnya usahatani tersebut serta menjadi tempat dimana produksi berjalan dan hasil produksi diperoleh.

Berdasarkan tabel di atas, penggunaan input pada kolam yang sempit lebih banyak dibandingkan dengan penggunaan input pada kolam sedang dan luas. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan input pada kolam yang sempit lebih intensif. Secara lebih rinci perbandingan penggunaan input dan output yang diperoleh pada masing-masing luasan kolam akan dijelaskan dibawah ini:

1.

Hubungan luas kolam dengan jumlah benih

Benih merupakan faktor utama dalam usahatani lele phyton, karena usaha pembesaran lele ini adalah kegiatan yang bertujuan untuk memelihara benih menjadi lele ukuran konsumsi. Sehingga jumlah benih lele yang ditebar menentukan hasil panen yang diperoleh oleh petani. Tabel 14 menunjukkan bahwa penggunaan benih pada kolam sempit lebih intensif dibandingkan dengan kolam yang luas dan sedang. Rata-rata penggunaan benih terbanyak adalah pada kolam yang sempit, yaitu 90.297 ekor per 100 m2 per tahun, sedangkan pada kolam luas penggunaan benihnya sebesar 89.461 ekor per 100 m2 per tahun, dan pada kolam yang sedang sebesar 70.974 per 100 m2 per tahun.

Lele phyton merupakan komoditas yang dapat dipelihara dengan padat tebar yang tinggi. Petani di lokasi penelitian juga berfikir bahwa jika kolam yang di usahakannya sempit, untuk mengoptimalkan produksinya adalah

dengan memadatkan tebaran benihnya. Hal ini sesuai dengan teori dalam Budiarto (2008) yang mengatakan bahwa padat tebar tinggi lebih menguntungkan daripada padat tebar rendah. Walaupun memerlukan masa panen yang lebih lama dan frekuensi panen per tahun tidak sesering penebaran rendah, tetapi produktivitas yang dihasilkan dari padat tebar tinggi lebih tinggi daripada padat tebar rendah.

Petani yang mengusahakan kolam sempit cenderung lebih intensif karena ingin mengoptimalkan produksinya guna mencapai keuntungan yang maksimum. Jika dikaitkan dengan karakteristik petani sampelnya, petani yang mengusahakan kolam sempit masih berada dalam kisaran usia yang produktif dan rata-rata pendidikannya SMA dan S1. Hal tersebut tentu berpengaruh pada pola pikir petani dan kemampuan petani untuk mencapai keuntungan maksimum dari usahanya, sehingga mereka lebih mengintensifkan penggunaan benihnya.

Berdasarkan hasil wawancara jumlah benih yang ditebar per saru kolamnya oleh petani dengan ukuran kolam sempit, sedang, dan luas tidak jauh berbeda berbeda, masing-masing adalah 5.962 ekor per kolam, 5.292 ekor per kolam, dan 5.640 ekor per kolam. Hal tersebut berpengaruh pada kepadatan benih setiap 100 m2nya. Semakin sempit kolam yang diusahakan jika jumlah benih yang digunakan sama, maka akan semakin padat tebaran benih per 100 m2 nya.

Jika dilihat dari keragaman data penggunaan benih per 100 m2 per tahun, pada kolam yang sempit memiliki keragaman yang tinggi yaitu 52.353. Dari 13 petani yang mengusahakan lahan sempit terdapat 2 orang petani yang menggunakan benih dengan jumlah yang sangat tinggi sehingga rata-rata pengguaan benih dari ke 13 petani menjadi tinggi. Pada kolam yang luas keragaman datanya lebih tinggi dibandingkan dengan kolam yang sempit yaitu 64.210. Akan tetapi rata-rata penggunaan benihnya lebih sedikit karena jumlah petani yang mengusahakan kolam luas hanya 5 orang dan dari 5 orang petani tersebut, hanya 1 petani yang menggunakan benih dengan jumlah cukup tinggi. Sedangkan pada kolam kategori sedang keragaman datanya lebih rendah yaitu 26.821. Pada kolam ini penggunaan benih oleh 12 petani sampel cenderung homogen, sehingga rata-ratanya pun menjadi lebih rendah dibandingkan dengan kolam sempit dan luas.

Ukuran ideal padat tebar benih yang intensif menurut Budiarto (2008) adalah 200-350 ekor per 1 m2 dengan kedalaman kolam 1 muntuk satu kali produksi, sehingga dalam 1 tahun (4 kali produksi) padat tebar ideal per 100 m2 adalah 80.000 – 140.000 ekor. Secara keseluruhan rata-rata pada tebar benih dari 30 petani sampel dilokasi penelitian adalah 82.482 ekor per 100 m2. Artinya, usahatani lele phyton di Kecamatan seyegan sudah tergolong intensif di dalam industri perikanan lele phyton. Akan tetapi, jumlah tebar benih tersebut belum mencapai batas maksimalnya. Begitu juga halnya dengan padat tebar benih untuk kolam luas, sedang, dan sempit belom maksimal dan memungkinkan untuk ditingkatkan sehingga produktivitas lebih tinggi. Khususnya pada kolam ukuran sedang berdasarkan jumlah tebar benihnya belum dapat dikatakan intensif karena masih dibawah jumlah tebar yang ideal.

Jika dilihat dari penggunaan benih per petani sampel di lokasi penelitian, ternyata sebagian besar petani belum mengusahakan lele phyton secara

intensif. 60 persen atau 18 petani menggunakan ukuran padat tebar benih di bawah idealnya, sehingga tidak masuk kedalam golongan usahatani intensif. Sedangkan petani yang menggunakan benih dalam jumlah yang intensif sebanyak 27 persen atau 8 petani. Petani yang menggunakan padat tebar intensif di atas 100.000 ekor sebanyak 2 petani yaitu 106.762 ekor per 100 m2 per tahun dan 109.091 ekor per 100 m2 per tahun, sedangkan 6 petani menggunakan padat tebar di bawah 100.000 ekor per 100 m2 per tahun. Sebanyak 4 petani atau 13 persen menggunakan padat tebar di atas ukuran tensif yaitu melehihi 140.000 ekor per 100 m2 per tahunnya. Jumlah padat tebar tertinggi adalah 205.550 ekor per 100 m2 per tahun.

2. Hubungan luas kolam dengan jumlah pakan

Pakan merupakan input produksi yang menghabiskan biaya terbesar dalam usaha pembesaran lele phyton, karena pakan sangat berpengaruh pada hasil panen yang ingin dicapai oleh petani. Selain itu pakan yang digunakan juga merupakan pakan buatan pabrik yang memiliki kandungan nutrisi yang dibutuhkan ikannya (pelet) sehingga harganya cukup tinggi. Oleh karena itu manajemen pakan sangat diperlukan agar penggunaan pakan lebih efektif dan efisien, sehingga petani tidak merugi. Kemampuan menejemen tentu dipengaruhi oleh usia, pengalamn, dan tingkat pendidikan dari masing-masing petani.

Petani lele phyton di Kecamatan Seyegan merasa kesulitan untuk menghitung jumlah pakan yang ditebar untuk setiap kali tebar karena pemberian pakan dilakukan dengan teknik at satiation, yaitu teknik pemberian pakan sekenyangnya sesuai dengan kebutuhyan ikan tersebut. Sehingga pemberian pakan dilakukan terus menerus selama lelenya masih terus memakan pakan tersebut, dan pemberian pakan dihentikan ketika gerak lele untuk memakan pakan tersebut sudah melamban dan terlihat kenyang. Akan tetapi beberapa petani yang memiliki pendidikan S1/S2 telah melakukan pencatatan harian berdasarkan pemberian pakannya. Selain itu mereka juga melakukan trial an error untuk mendapatkan jumlah pakan yang paling efektif dan efisien dalam usahatani serta selalu mencari informasi tentang alternatif strategi untuk menekan biaya pakannya. Sedangkan petani yang memiliki pendidikan lebih rendah cenderung mengikuti apa yang dilakukan oleh petani dengan pendidikan tinggi tersebut.

Berdasarkan waktu pemberian pakannya, petani di lokasi penelitian kurang memperhatikan teori mengenai teknis budidayanya. Pemberian pakan yang baik dilakukan 3-5 kali pada waktu yang tepat sedangkan pemberian pakan di lokasi penelitian hanya dilakukan 2 kali. Berdasarkan hasil wawancara, hanya terdapat satu petani yang melakukan teknik pemberian pakan secara benar, dimana petani tersebut memiliki pengalaman usaha di bawah rata-rata, akan tetapi usianya masih muda dan berpendidikan tinggi. Hal tersebut membuat petani itu aktif mencari informasi mengenai teknis budidaya, khususnya manajemen pakan serta mempraktekkan di dalam usahataninya.

Tabel 14 menunjukkan bahwa penggunaan pakan pada kolam sempit juga lebih banyak dibandingkan dengan kolam luas dan sedang. Hal ini dikarenakan penggunaan pakan oleh masing-masing petani disesuaikan dengan jumlah tebar benihnya. Berdasarkkan hasil wawancara dengan petani dilokasi

penelitian, rata-rata jumlah pakan yang digunakan oleh petani adalah 90 kg untuk setiap 1000 ekor benih. Sehingga jika semakin banyak jumlah benih yang digunakan akan semakin banyak pula jumlah pakan yang digunakan. Seperti telah dijelaskan di atas bahwa tebar benih pada kolam sempit lebih tinggi dibandingkan dengan kolam sedang dan luas, sehingga jumlah pakannya pun mengikuti. Pada kolam yang sempit, rata-rata penggunaan pakannya adalah 8.525 kg per 100 m2 per tahun lebih banyak dibandingkan kolam sedang yaitu 6.343 kg per 100 m2 per tahun dan kolam luas yaitu 7.962 kg per 100 m2 per tahun.

Selain itu, rata-rata penggunaan pakan yang lebih tinggi juga dipengaruhi dari nilai keragaman datanya. Pada kolam sempit memiliki keragaman yang paling tinggi yaitu 4.914. Dari 13 petani yang mengusahakan kolam sempit terdapat 3 orang petani yang menggunakan pakan dalam jumlah yang cukup tinggi sehingga rata-rata penggunaan pakan dalam kolam yang sempit menjadi tinggi. Pada kolam luas memiliki keragaman data yang lebih rendah dibandingkan dengan kolam sempit yaitu 4.736. Dari 5 petani sampel hanya terdapat 1 orang petani yang menggunakan pakan dalam jumlah yang cukup tinggi, sehingga rata-rata penggunaan pakannya lebih rendah jika dibandingkan dengan kolam sempit. Sedangkan pada kolam sedang, penggunaan pakan oleh 12 petani sampel cenderung homogen sehingga keragaman datanya rendah yaitu 1.652 dan rata-ratanya juga rendah.

3. Hubungan luas kolam dengan jumlah kapur

Kapur termasuk salah satu faktor produksi yang digunakan pada waktu pengapuran. Kapur berfungsi menaikkan pH tanah, membunuh hama, parasit, dan penyakit ikan. Jenis kapur yang digunakan oleh petani di Kecamatan Seyegan adalah kapur dolomit.

Penggunaan kapur di lokasi penelitian dapat dilihat pada tabel 14 yang menunjukkan bahwa pada kolam yang sempit, penggunaan kapurnya lebih tinggi, hal ini dikarenakan penggunaan kapur oleh masing-masing petani berbeda-beda, disesuaikan dengan kebutuhannya. Berdasarkan data hasil wawancara, petani yang luas kolamnya sempit cenderung lebih banyak menggunakan kapurnya dibandingkan dengan petani yang luas kolamnya sedang dan besar, sehingga jumlah kapur per 100 m2nya mejadi lebih banyak pula. Penggunaan kapur ini juga dipengaruhi oleh jumlah benihnya. Petani yang memiliki lahan sempit memiliki padat tebar benih yang tinggi sehingga keasaman kolamnya juga lebih tinggi akibat kotoran ikannya yang lebih banyak. Hal ini berpengaruh pada penggunaan kapur yang semakin tinggi.

Jika dilihat dari keragaman data per 100 m2 per tahunnya, pada petani yang mengusahakan kolam ukuran sempit keragaman datanya tinggi yaitu 80,741. Pada kolam yang sedang keragamannya lebih rendah daripada kolam sempit, hanya saja lebih tinggi daripada kolam luas yaitu 71,818. Sedangkan pada kolam luas keragaman datanya paling kecil yaitu 31,533. Hal tersebut menyebabkan rata-rata penggunaan kapur pada kolam sempit sebesar 90,582 kg per 100 m2 per tahun lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata penggunaan kapur pada kolam luas sebesar 74,731 kg per 100 m2 per tahun, dan kolam sedang yaitu 69,712 kg per 100 m2 per tahun.

Ukuran ideal penggunaan kapur dalam usaha lele phyton yang intensif adalah 60 gr/m2 setara dengan 6.000 gr per 100 m2 atau 6 kg per m2. Apabila dalam satu tahun dilakukan 4 kali produksi maka jumlah ideal kapur yang dihabiskan adalah 24 kg per 100 m2 per tahun. Jika dibandingkan dengan ukuran idealnya, rata-rata penggunaan kapur pada masing-masing ukuran kolam di lokasi penelitian lebih banyak. Petani tentu memiliki beberapa pertimbangan dalam menggunakan sejumlah kapur tersebut. Berdasarkan hasil wawancara dengan petani di lokasi penelitian, beberapa pertimbangan tersebut antara lain adalah kondisi dari hasil panen lelenya pada waktu itu dan kondisi musim di daerah tersebut pada waktu itu.

Dokumen terkait