• Tidak ada hasil yang ditemukan

Alat Pengumpulan Data

Dalam dokumen TESIS. Oleh. MAULIDA KARYANTI /M.Kn (Halaman 35-126)

BAB I PENDAHULUAN

G. Metode Penelitian

3. Alat Pengumpulan Data

Alat-alat pengumpulan data diawali engan kegiatan penelusuran peraturan perundang-undangan dan sumber hukum positif lain dari sistem hukum yang dianggap relevan dengan pokok persoalan hukum yang sedang dihadapi42.

Untuk mendapatkan hasil penelitian yang optimal dan dapat dibuktikan kebenarannya serta dapat dipertanggung jawabkan hasilnya. Alat pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah studi :

a. Studi dokumen yang dilakukan dalam penelitian ini adalah menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahan-bahan kepustakaan yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.

b. Wawancara untuk menghimpun data dengan melakukan wawancara kepada informan yang berhubungan dengan materi ini. Dalam melakukan penelitian lapangan ini dipergunakan metode wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (dept interview) secara langsung yaitu kepada : Masnidar dan

42Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009) hal 109

Suhelmi (ahli waris yang mengundurkan diri dalam menerima bagian warisan).

4. Analisis Data

Puncak kegiatan pada siatu penelitian ilmiah hukum adalah menganalisa data yang merupakan hasil penelitian yang telah dilakukan43.

Analisis data dapat diartikan sebagai proses menganalisa, manfaatkan data yang terkumpul untuk digunakan dalam pemecahan masalah penelitian. Dalam proses pengolahan, analisis dan pemanfaatan data dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif yaituprosedur penelitian yang menghasilkan data yang deskriptif, yang bersumber dari tulisan atau ungkapan dan tingkah laku yang dapat diobservasi dari manusia44

Mengingat sifat penelitian maupun objek penelitian ,maka semua data yang diperoleh akan dianalisa secara kualitatif, yaitu dengan cara data yang telah terkumpul dipisah-pisahkan menurut kategori masing-masing dan kemudian ditarikkesimpulan dengan menggunakan metode deduktif.

Adapun tahap-tahap melakukan analisis secara kualitatif adalah45.

a. Mengumpulkan bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahn yang diteliti.

b. Memilih kaidah-kaidah atau dokrin yang sesuai dengan peneliti.

43Tampil Anshari Siregar, Metode Penelitian Hukum, ( Medan : Pustaka Bangsa Pres 2007), 104

44Buhan Anshofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Rineka Cipta 2007), hal 16

45Ibid

c. Mensistematisasikan kaidah-kaidah hukum, asas atau dokrin.

d. Menjelaskan hubungan-hubungan antara berbagai konsep, pasal atau dokrin yang ada.

e. Menarik kesimpulan dengan metode deduktif.

BAB II

FAKTOR-FAKTOR YANG MENDORONG AHLI WARIS MENGUNDURKAN DIRI DARI AHLI WARIS

A. Waris dan Dasar Hukum Waris 1. Pengertian Waris

Waris adalah setiap yang berhak menerima harta warisan, disebut dengan istilah Ash-haabul Furudh, atau ‘ashabah.Baik mengambil bagian ataupun tidak tetap disebut waris 46 .Dalam kaitannya dengan mengundurkan diri dalam warisan, pemberian harta tersebut dapat berupa uang, rumah dan tanah.Ataupun yang lainnya yang dianggap bermanfaat oleh orang yang bersangkutan.

Mengenai defenisi waris ini dalam Kompilasi Hukum Islam, juga dijelaskan bahwa waris adalah ilmu yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (Tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.

Menurut fiqih waris adalah harta, benda dan hak yang ditinggalkan oleh orang yang mati untuk dibagikan kepada yang berhak menerimanya.Pembagian itu lazim disebut faraidh, artinya menurut syara’ ialah pembagian pusaka bagi yang berhak menerimanya47. Dasar hukum waris adalah surat An-Nisaa’ ayat 11 yakni : “Allah mensyaratkan bagimu tentang (pembagian pusaka) untuk anak-anakmu, yaitu bahagian seorang anak laki-laki sama dengan bahagian dua orang anak

46Abu Umar Basyir, Warisan, (Solo, Rumah Dzikir, 2006)hal 28

47Rifa’I, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, (Semarang : PT. Karya Toha Putra,1978) hal 513

23

perempuan”. (S.An-Nisa, ayat 11).Dengan demikian, istilah faraidh, fardu, dan waris lebih dikenal di masyarakat, terutama diindonesia.

Waris adalah ilmu yang mengatur peninggalan harta seseorang yang telah meninggal dunia diberikan kepada yang berhak, dan berlaku sesuai dengan kaedah hukum Islam misalnya cara pembagiannya48.

Al-mirats, dalam bahasa arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata waritsa-yaritsu irtsan-miiraatsan. Makanya menurut bahasa adalah “ berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain atau dari suatu kaum kepada kaum lain.

Pengertian menurut bahasa ini tidaklah terbatas hanya kepada hal-hal yang berkaitan dengan harta, tetapi mencakupi harta benda dan non harta benda. Sedangkan makna al-miirats menurut istilah yang dikenal para ulama ialah perpindahan hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masuh hidup, baik yang yang ditinggalkan itu berupa harta (uang) tanah,atau apa saja yang berupa hak milik legal syar’i49.

Dasar hukum waris Islam diantaranya adalah : 1. Sebahagian besar dari Al-Qur’an.

2. Sebahagian dari As-Sunnah dan putusan-putusan Rasul.

3. Sebahagian kecil dari Ijma’.

4. Beberapa masalah diambil dari Ijtihad sahabat.

48http://eightiswordpress.com.ilmu –waris-pandangan –tentang-waris.2013, diakses tanggal 7 juni 2014.

49Ibid

Ahli waris merupakan orang-orang yang karena sebab-sebab, keturunan, perkawinan/perbudakanberhak mendapatkn bagian dari harta pusaka orang yang meninggal dunia.Dari sisi hubungan kekeluargaan terdapat dua macam perbedaan status hak waris yaitu50.

a. Ahli waris : keluaraga yang saling mewarisi.

b. Ulul arhaam : mempunyai hubungan keluarga, tapi tidak saling mewarisi langsung, atau dengan kata lain, dia mewarisi jika tidak ada golongan ahli waris.

Adapun pengertian waris diantaranya adalah orang yang menerima atau memiliki hak warisan dari tirkah (harta peninggalan), orang yang meninggal dunia (pewaris).Untuk berhaknya dia menerima harta warisan itu diisyaratkan dia telah dan hidup saat terjadinya kematian pewaris. Dalam hal ini termasuk pengertian ahli waris janin yang telah hidup dalam kandungan. Meskipun kepastian haknya baru ada setelah ia lahir dalam keadaan hidup. Hal ini juga berlaku terhadap seseorang yang belum pasti kematiannya. Tidak semua alhi waris mempunyai kedudukan yang sama.

Melainkan mempunyai tingkatan yang berbeda-beda secara tertib sesuai dengan hubungannya dengan orang yang meninggal dunia51.

Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa waris merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang ketentuan-ketentuan harta pusaka bagi ahli waris dan mengatur tentang apa yang harus terjadi dengan harta kekayaan

50http://ukhwahislah.blogspot.com.kumpulan-makalah-artikel-ah-waris.2013, diakses tanggal 8 juni 2014

51Ibid

seseorang yang meninggal dunia. Demikian pula dalam Al-Qur’an dan Hadits terdapat ketentuan-ketentuan pembagian warisan secara rinci dan jelas.Apabila ada perintah dalam Al-Qur’an atau Hadits dengan nas yang sarih, maka hukum melaksanakannya adalah wajib, selama tidak ada dalil nas yang menunjukkan ketidakwajibannya sebagaimana qaidah ushul fiqih52.

2. Syarat-syarat dan Rukun Waris

Menurut istilah didalam Islam syarat-syarat adalah bentuk jamak dari syarth

‘syarat’ diartikan juga sebagai ‘pasukan yang menjaga dengan tanda’ karena mereka mempunyai tanda yang mereka ketahui. Namun ada beberapa syarat yang dipenuhi dalam waris islam. Oleh karena itu persoalan waris memerlukan syarat-syarat sebagai berikut53.

a. Orang yang mewariskan (muwaris) bener telah meninggal dunia dan dapt dibuktikan secara hukum bahwa ia telah meninggal. Ini berarti bahwa apabila tidak ada kematian, maka tidak ada pewarisan. Pemberian atau pembagian harta kepada keluarga pada masa hidupnya, tidak termasuk ke dalam kategori waris mewarisi, tetapi pemberian atau pembagian ini disebut Hibah.

b. Orang yang mewarisi (ahli waris atau waris) hidup pada saat orang yang mewariskan meninggal dunia dan bisa dibuktikan secara hukum. Termasuk dalam pengertian hidup disini adalah anak (embrio) yang hidup dalam kandungan ibunya pada saat orang yang mewariskan meninggal dunia, dan

52Amin Husein Nasution, Hukum Kewarisan, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada,2012)hal 50

53bid, hal 71-72

orang yang menghilang dan tidak diketahui tentang kematiannya, dalam hal ini perlu adanya keputusan hakim yang mengatakan bahwa ia masih hidup.

c. Ada hubungan pewarisan antara orang yang mewariskan dengan orang yang mewarisi, yaitu hubungan nasab (keturunan, kekerabatan)baik pertalian garis lurus keatas (Ushul al-Mayyit), seperti ayah, kakek dan lainnya atau pertalian lurus kebawah (furu’al Mayyit) seperti anak, cucu. Hubungan pernikahan yaitu seseorang dapat mewarisi disebabkan menjadi suami atau istri dari orang yang mewariskan, hubungan perbudakan (wala), yaitu seseorang berhak mendapatkan warisan dari bekas budak yang dimerdekakannya (dibebaskannya), dan terakhir karena hubungan agama Islam, yaitu apabila seorang meninggal dunia tidak meninggalkan orang yang mewarisi, maka hartanya akan diserahkan kepada Baitul Mal (perbendarahaan negara Islam) untuk dimanfaatkan bagi kemaslahatan umat Islam54.

Ada juga pendapat yang mengatakan syarat-syarat waris adalah sebagai berikut55:

1. Matinya orang yang mewariskan, kematian orang yang mewariskan, menurut ulama dibedakan menjadi 3 (tiga) bagian: Mati hakiki (sejati), Mati hukmy(

menurut putusan hakim), Mati taqdiry (menurut perkiraan).

2. Ahli waris yang hidup, baik secara hakiki maupun hukmy setelah kematian si mayit, sekalipun hanya sebentar , memiliki hak atas harta waris.

54Ibid, hal 71-72

55Ibid, hal 73-78

3. Mengetahui sebab-sebab yang mengikat ahli waris setelah kematian si mayit , dilakukan dengan pengujian, pendeteksian dan kesaksian dua orang yang adil.

Rukun waris adalah sesuatu yang harus ada untuk mewujudkan bagian harta waris tidak akan ditemukan bila tidak ada rukun-rukunya, rukun-rukun untuk mewarisi ada tiga yaitu56:

a. Al-Muwarits, yaitu orang yang meninggal dunia atau mati baik mati hakiki maupun mati hukmy, suatu kematian yang dinyatakan oleh keputusan hakim atas dasar beberapa sebab, kendati sebenarnya ia belum mati, yang meninggalkan harta atau hak.

b. Al-Warits, yaitu orang hidup atau anak dalam kandungan yang mempunyai hak mewarisi, meskipun dalam kasus tertentu akan terhalang.

c. Al-Mauruts, yaitu harta benda yang menjadi warisan, sebagian ulama faraidh menyebutnya dengan mirats, Termasuk dalam kategori warisan adalah harta-harta atau hak-hak yang mungkin dapat diwariskan, seperti hak qishash (perdata), hak menahan barang yang belum dilunasi pembayarannya, dan hak menahan barang gadaian.

Pendapatlain mengelompokkan rukun waris sebagai berikut57:

1. Yang mewariskan, yaitu orang yang meninggal dunia atau dianggap telah meninggal dunia, seperti orang hilang.

56 Addys aldizar, Fathurrahman,Hukum Waris (Jakarta : Cv. Kuwais Media Krasindo, 2001)hal 28-29

57Ibid, hal 27

2. Ahli waris, yakni yang berhak untuk menguasai atau menerima harta peninggalan yang meninggal dunia dikarekan adanya ikatan kekerabatan (nasab), ikatan pernikatan, atau yang lainnya. Ahli waris harus masih hidup atau yang dianggap setara dengan yang hidup, seperti janin dalam kandungan, mereka berhak terhadap harta warisan, meskipun bisa saja tidak diperbolehkan mengambilnya, karena adanya penghalang.

3. Harta warisan yaitu segala jenis benda atau kepemilikan yang ditinggalkan yang meninggal dunia, baik berupa uang, tanah dan sebagainya yang semuanya itu harus terbebas dari milik orang lain.

3. Prinsip-prinsip dan Asas Waris

Kewarisan menurut hukum Islam ialah proses pemindahan harta peninggalan seseorang yang telah meninggal, baik yang berupa benda yang wujud maupun yang berupa hak kebendaan, kepada keluarganya yang dinyatakan berhak menurut hukum islam. Maka dalam waris Islam ada prinsip yang mengaturnya adapun prinsip tersebut dapat disimpulkan yaitu:58:

a. Waris menempuh jalan tengah antara memberi kebebasan kepada seseorang untuk memindahkan harta peninggalannya dengan jalan wasiat kepada orang lain yang dikehendaki seperti yang berlaku dalam masyarakat individualis/kapitalis, dan melarang sama sekali pembagian harta peninggalan seperti yang menjadi prinsip komunisme yang tidak mengakui adanya

58Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam, (Yogyakarta : UUI Pres Yogyakarta, 2001, hal 132-134

lembaga hak milik perorangan, yang dengan sendirinya tidak mengenal sistem kewarisan.

b. Waris merupakan ketetapan hukum yang mewariskan tdak dapat menghalangi ahli waris dari haknya atas harta peninggalan dan ahli waris berhak atas harta peninggalan tanpa memerlukan pernyataan menerima dengan sukarela atau atas putusan pengadilan tetapi ahli waris tidak dibebani melunasi hutang pewaris dari harta pribadinya.

c. Waris terbatas dalam lingkungan keluarga, dengan adanya hubungan perkawinan atau pertalian darah.keluarga yang lebuh dekat hubungannya dengan pewaris lebih diutamakan daripada keluaraga yang lebih jauh.

d. Waris Islam lebih condong untuk membagi harta warisan kepada sebanyak mungkin ahli waris yang sederajat, dengan menentukan bagian tertentu kepada bebrapa ahli waris, misalnya jika ahli waris terdiri dari ibu, istri, seorang anak perempuan dan saudara perempuan kandung, semuanya mendapat bagian.

e. Waris tidak membedakan hak anak atas harta peninggalan, anak yang sulung, menengah atau bungsu, telah besar atau atau baru saja lahir, telah berkeluarga atau belum, semua berhak atas harta peninggalan orang tua.

f. Waris Islam membedakan besar kecil bagian tertentu ahli waris diselaraskan dengan kebutuhannya dalam kehidupan sehari-hari, disamping memandang jauh dekatnya hubungan kekeluargaan dengan pewaris.

Asas berasal dari bahas arab, yang artinya dasar, alas, fundamen, dan yang dimaksud dengan asas hukum waris adalah suatu kebenaran yang menjadi pokok dasar atau tumpuan hukum waris Islam. Asas- asas hukum waris Islam ada 5 (lima) yaitu, asas Ijbari, asas bilateral, asas individual, asas keadilan berimbang semata akibat kematian59:

1. Asas Ijbari

Asas ijbari merupakan peralihan harta seseorang yang telah meninggal kepada yang masih hidup berlaku dengan sendirinya, yang dalam pengertian hukum Islam berlaku secara ijbari, kata ijbari secara etimologi mengandung arti paksaan (compulsory), yaitu melakukan sesuatu diluar kehendak sendiri. Adanya asas ijbari dalam waris Islam dapat dilihat dari beberapa segi yaitu60:

a. Segi peralihan harta

Contoh : bagi seorang anak laki-laki ataupun perempuan ada nasib = (bagian, saham atau jatah dalam bentuk sesuatu yang diterima dari pihak lain), dari harta peninggalan orang tua dan karib kerabat.

b. Segi jumlah harta beralih

Contoh : sudah ditentukan jumlahnya dan harus dilakukan sedemikian rupa secara mengikat dan memaksa.

c. Segi kepada siapa harta beralih.

59Pahing Sembiring, Hukum Islam II Bidang Hukum Waris Islam (Faraidh), (Medan, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2002), hal 4-7

60Ibid, hal. 5

Contoh : orang-orang yang berhak atas harta peninggalan itu sudah ditentukan secara pasti, hingga tidak ada sesuatu kekuasaan manusia dapat mengubahnya.

2. Asas Bilateral

Asas bilateral dalam waris Islam berarti seseorang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak garis kerabat yaitu pihak kerabat garis keturunan laki-laki dan pihak dan pihak kerabat keturunan perempuan61.Asas bilateral dalam kewarisan mengandung arti bahwa harta warisan beralih kepada atau melalui dua arah, hal ini berarti bahwa setiap orang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak garis kerabat, garis keturunan, laki-laki dan pihak kerabat garis keturunan perempuan. Asas bilateral ini dapat secara nyata dilihat dalam firman Allah dalam surah An-nisa’ (4) : 7,11,12, dan 176. Dalam ayat 7 dijelaskan bahwa seorang laki-laki berhak mendapat warisan dari pihak ayahnya dan juga dari pihak ibunya.Ayat ini merupakan dasar bagi kewarisan bilateral itu.Secara terinci asas bilateral itu dapat dipahami dalam ayat-ayat selanjutnya62.

1. Anak perempuan berhak menerima warisan dari kedua orang tuanya sebagaimana yang didapat oleh anak laki-laki dengan bandingan seseorang anak lak-laki menerima sebanyak yang didapat dua orang anak perempuan.

2. Ibu berhak mendapat warisan dari anaknya, baik laki-laki maupun perempuan.

Begitu pula ayah sebagai ahli waris laki-laki berhak menerima warisan dari

61Fatchur Rahman,Ilmu Waris, (Bandung : Sinar Baru, 2006) hal 112

62Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta : Prenada, 2004) hal, 20

anak-anaknya, baik laki-laki maupun perempuan sebesar seperenam bagian, bila pewaris ada meninggalkan anak .

3. Asas individu

Waris Islam mengajarkan asas kewarisan secara individual, dengan arti bahwa harta warisan dapat dibagi-bagi untuk dilikiki secara perorangan, jadi maksud dari asas individu adalah keseluruhan harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang mungkin dibagi-bagi, kemudian jumlah tersebut dibagikan kepada setiap ahli waris berhak atas bagian yang didapatnya tanpa terikat kepada ahli waris yang lain. Hal ini didasaekan kepada ketentuan bahwa setiap insan sebagai pribadi mempunyai kemampuan untuk menerima hak dan menjalankan kewajibaan (ahliyatu al wujub)63. 4. Asas Keadilan Berimbang

Dalam Al-qur’an terdapat kata ‘adlu’ dalam hal hubungan waris dapat diartikan keseimbangan antara hak dan kewajibandan keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan. Ditinjau dari segi jumlah bagian pada waktu menerima hak, memang terdapat ketidaksamaan, tetapi hal tersebut bukanlah tidak adil , kkarena keadilan tidak hanya diukur dengan pendapatan waktu menerima hak tetapi juga dikaitkan dengan kegunaan dan kebutuhan64.

5. Asas Kewarisan Semata Akibat Kematian

Waris Islam menetapkan bahwa peralihan harta seseorang kepada orang lain dengan nama kewarisan berlaku sesudah meninggalnya yang mempunyai harta, asas

63Muhibbin, Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta :Sinar Grafika, 2001) hal 76

64Ibid, hal 77

ini berarti bahwa harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain secara kewarisan selama yang mempunyai masih hidup65.

4. Jenis-jenis Ahli Waris

Antara ahli waris yang satu dengan yang lainnya mempunyai perbedaan tingkat dan urutannya.Artinya, warisan itu diberikan terlebih dahulu kepada tingkat pertama, dan bila tidak ada, baru kepada yang selanjutnya.Yang termasuk golongan pertama itu adalah66.

a. Ash-Haabul furuudh.Golongan ini lah yang pertama diberi bagian harta warisan, mereka adalah orang-orang yang telah ditentukan bagiannya dalam Al-Qu’an, As-Sunnah, dan Ijma’.

b. Ashabaat nasabiyah.Setelah Ash-Haabul furuudh, barulah giliran Ashabaatnasabiyah menerima bagian.‘Ashabaat nasabiyah yaitu setiap kerabat (nasab) mayit yang menerima sisa harta warisan yang telah dibagikan, bahkan, jika tidak ada ahli waris lainnya, ia berhak mengambil seluruh harta peninggalan.Contohnya anak laki-laki yang meninggal dunia, cucu dari anak laki-laki, dan saudara kandung.

c. Penambahan Jatah Bagi as-haabull furuudh sesuai bagian (kecuali suami istri), Apabila harta warisan yang telah dibagikan kepada semua ahli warisnya masih juga tersisa, hendaknya diberikan kepada ashahabul furuudh, masing-masing sesuai dengan bagian yang telah ditentukan.Adapun suami atau istri

65Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta : Prenada, 2004) hal 24

66Abu Umar Basyir, Warisan, (Solo, Rumah Dzikir, 2006) hal 40

tidak berhak menerima tambahan bagian dari sisa harta yang ada.Sebab hak waris bagi suami atau istri disebabkan adanya nasab lebih utama mendapatkan tambahan dibandingkan lainnya67.

d. Uulul arhaam (kerabat),Yang dimaksud dengan kerabat disini adalah kerabat mayit yang masih memiliki kaitan rahim, tidak termasuk ash-haabul furuudh juga ashabah.Contohnya paman (saudara ibu), bibi (saudara ibi), bibi (saudara ayah), cucu laki-laki dari anak perempuan, dan cucu perempuan dari anak perempuan.Bila yang meninggal tidak mempunyai kerabat sebagai ash-haabul furuudh maupun ‘ashabah, maka para kerabat yang masih punya ikatan rahim dengannya berhak mendapatkan warisan68.

e. Tambahan hak waris bagi suami atau istri, bila pewaris tidak mempunyai ahli waris yang termasuk ash-haabul furuudh, ‘asahabah, maupun kerabat yang memiliki ikatan rahim,maka harta warisan tersebut seluruhnya menjadi milik suami atau istri, contohnya seorang suami meninggal tanpa memiliki kerabat yang berhak untuk mewarisi, maka istri mendapatkan bagian seperempat dari harta warisan, sedangkan sisanya merupakan tambahan hak warisnya, dengan demikian istri, dalam kondisi demikian, memiliki sekuruh harta peninggalan suaminya. Begitu juga sebaliknya suami terhadap harta peninggalan istri yang meninggal69.

67Ibid, hal, 41

68Ibid, hal 42

69Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam, ( Yogyakarta : UII Yogyakarta, 2001) hal 38

f. ‘Ashabah karena sebab.Ada beberapa bentuk yang disebut dengan ‘ashabah karena sebab yaitu:

Pertama, orang-orang yang memerdekakan budak (baik budak laki-laki maupun budak perempuan).Contohnya bekas budak meninggal dan mempunyai harta warisan, maka orang yang pernah memerdekakannya termasuk salah satu ahli warisnya, posisinya sebagai ashabah.Tetapi pada masa kini sudah tidak ada lagi.

Kedua, orang yang diberi wasiat lebih dari sepertiga harta warisan, yang dimaksud disini adalah orang lain, artinya bukan salah seorang ahli waris, contohnya, seseorang meninggal maka ia memberiakan hartanya kepada orang lain yang bukan termasuk ahli warisnya70.

Menurut pendapat Hanafi dan Hambali boleh memberikan seluruh harta warisan bila memang wasiatnya demikian.Adapun jenis-jenis ahli waris yang mendapat warisan menurut fikih Islam adalah orang yang mempunyai hubungan pewarisan dengan orang yang mewariskan yaitu kekerabatan yang didasarkan pada hubungan nasab/keturunan, perkawinan, perbudakan dan seagama Islam.Secara umum ahli waris dapat dikelompokkan yaitu ahli waris sababiyah dan ahli waris nasabiyah71.

70Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam, ( Yogyakarta : UII Yogyakarta, 2001) hal 38

71Amin Husein Nasution, Hukum Kewarisan, (Jakarta, PT.Raja Grafindo,2012) hal 71

1. Ahli waris sababiyah adalah orang yang berhak mendapatbagian harta warisan, karena adanya sebab, yaitu adanya akad perkawinan, sehingga antara suami dan istri mempunyai hubungan salin mewarisi.

2. Ahli waris nasabiyah ialah orang yang berhak memperoleh harta warisan karena ada hubungan nasab, (hubungan darah/keturunan). Ahli waris nasabiyah ini dapat dibedakan tiga jenis, yaitu furu’ al-mayyit, usul al-mayyit dan al-hawasyi.

a. Furu’ al-mayyit, yaitu hubungan nasab menurut garis lurus keturunan kebawah, yang termasuk kedalamnya adalah anak laki-laki, anak perempuan, anak dari laki-laki (cucu laki-laki atau cucu perempuan) dan seterusnya kebawah keturunan laki-laki.

b. Usul al-mayyit, yaitu ahli waris yang merupakan asal keturunan dari orang yang mewariskan atau hubungan nasab garis keturunan ke atas. Mereka ini ialah ayah, ibu, ayah dari ayah atau ibu dari ibu (nenek dari pihak ayah atau nenek dari pihak ibu).

5. Kedudukan Waris dalam Fiqih Islam

5. Kedudukan Waris dalam Fiqih Islam

Dalam dokumen TESIS. Oleh. MAULIDA KARYANTI /M.Kn (Halaman 35-126)

Dokumen terkait