• Tidak ada hasil yang ditemukan

TESIS. Oleh. MAULIDA KARYANTI /M.Kn

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TESIS. Oleh. MAULIDA KARYANTI /M.Kn"

Copied!
126
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

Oleh

MAULIDA KARYANTI 127011059/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2014

(2)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

MAULIDA KARYANTI 127011059/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2014

(3)

Nomor Pokok : 127011059 Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD)

Pembimbing Pembimbing

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)

Tanggal lulus : 24 November 2014

(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD Anggota : 1. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN

2. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum

3. Dr. Utary Maharani Barus, SH, MHum

4. Notaris Syafnil Gani, SH, MHum

(5)

Nim : 127011059

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : ANALISIS YURIDIS TENTANG TAKHARUJ (KELUAR)

DALAM MENERIMA BAGIAN WARISAN DAN

AKIBAT HUKUMNYA MENURUT FIKIH ISLAM (STUDI KASUS DI KECAMATAN LAMPRIT KOTA BANDA ACEH)

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

Nama : MAULIDA KARYANTI

Nim : 127011059

(6)

i

masalah di dalam keluarga pewaris. Sebagaimana yang tercantum dalam hasil Ijtihad dari Ibnu ‘Abbas r.a tentang membolehkan adanya perjanjian takharuj dan Kitab Undang-undang Hukum Warisan Mesir pasal 48 yang membenarkan takharuj (keluar) dari bagian warisan. Oleh karena itu perlu dikaji faktor-faktor yang mendorong ahli waris mengundurkan diri, bagaimana status harta warisan yang menjadi ahliwaris yang mengundurkan diri, dan bagaimana akibat hukum dari ahli waris yang mengundurkan diri.

Penelitian menggunakan penelitian deskriptif analitis, dengan metode pendekatan yuridis normative dan yuridis empiris. Data sekunder dikumpulkan meliputi Undang-undang, hasil Ijtihad para ulama, peraturan-peraturan dan buku- buku yang berkaitan dengan penelitian. Sedangkan data primer untuk mendukung data sekunder yang diperoleh dari wawancara dengan ahli waris yang mengundurkan diri dari bagian warisan, di Banda Aceh.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa faktor yang mendorong ahli waris mengundurkan diri adalah karena adanya rasa saying dan rasa ingin membantu kepada ahli waris yang tidak mampu dalam hal ekonomi, didalam fiqih Islam dibolehkan asal dengan sukarela, seperti yang tercantum dalam pasal 183 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa “para ahli waris sepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing mengetahui bagiannya”. Status harta warisan ahli waris yang mengundurkan diri menjadi milik dari ahli waris yang tidak mengundurkan diri. Akibat Hukum ahli waris yang mengundurkan diri adalah setiap ahli waris yang akan mengundurkan diri tidak dapat mengundurkan diri apabila belum mengadakan perdamaian antara semua ahli waris, menurut pasal 183 Kompilasi Hukum Islam.

kata kunci: Takharuj (keluar), Warisan, Fiqih Islam

(7)

ii

is stipulated in the outcome of the ijtihad (individual interpretation and judgement) of Ibnu ‘Abbas r.a. on the permision for takharuj (withdrawal) agreement and of Egypt’s Inheritance Law, Article 48, which justifies takhruj (withdrawal) from a part of inheritance. Therefore, it is necessary to do a study on what has caused an heir to withdraw, how about the status of the inheritance of the heir who withdraws, and how about the legal consequence of the heir who withdraws.

The research was descriptive analytic with judicial normative and judicial empirical approaches. Secondary data were gathered by using legal provisions, the outcome of the ijtihad of ulama (the Islamic scholars), regulations, and books which were related to the subject matter of the research. Primary data which was used to support secondary data were gathered by conducting interviews with the heirs who withdrew from the part of the inheritance in Banda Aceh.

The result of the research showed that the factor which caused heirs to withdraw was that he loved the other destitute heirs and wanted to help them. In the Islamic fiqh (laws dealing with ritual obligation), it is allowable when it is done voluntarily as it is stipulated in Article 183 of the Compilation of the Islamic Law which states that “the heirs agree to reconcilein the distribution of the inheritance after each of them kows his own share.” The status of the inheritance of the heir who has withdrawn becomes the share of those who do not withdraw. The legal consequence is that a heir cannot withraw before there is the reconciliation among all heirs according to Article 183 of the Compilation of the Islamic Law.

Keywords: Takharuj (Withdrawal), Inheritance, Islamic Fiqh

(8)

iii

“ANALISIS YURIDIS TENTANG TAKHARUJ (KELUAR) DALAM MENERIMA BAGIAN WARISAN DAN AKIBAT HUKUMNYA MENURUT FIKIH ISLAM (STUDI KASUS DI KECAMATAN LAMPRIT KOTA BANDA ACEH)”sebagai suatu persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Magister dalam bidang Ilmu Kenotariatan (M.Kn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ini dapat selesai, penulis menyadari bahwa tesis ini masih terdapat banyak sekali kekurangan, akan tetapi penulis telah berusaha untuk mencoba menyajikannya dalam bentuk penyajian yang singkat dan di format sesederhana mungkin dikarenakan keterbatasan yang ada.

Harapan penulis, semoga tesis ini dapat memberikan manfaat bukan hanya pada penulis sendiri, tetapi juga bagi masyarakat pada umumnya, dan bagi mahasiswa khususnya yang berada, di lingkungan pendidikan hukum. Penulis sangat menyadari bahwa penulisan tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, karena penulis adalah manusia biasa dan tak luput dari kesalahan dan kekurangan.

Pada kesempatan ini tak lupa penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar- besarnya kepada semua pihak yang telah membantu penyusunan tesis ini dengan memberikan berbagai referensi buku dan sumber pustaka lainnya yang dapat penulis jadikan sebagai acuan dalam penyusunan tesis ini. Untuk itu ucapan terimakasih yang mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada :

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Pogram Studi S2

Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(9)

iv

telah meluangkan waktu dan member motivasi, bimbingan, dorongan, saran dan perhatian hingga selesainya penulisan tesis ini.

6. Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, MHum, selaku Pembimbing Ketiga yang telah meluangkan waktu dan member motivasi, bimbingan, dorongan, saran dan perhatian hingga selesainya penulisan tesis ini.

7. Para Bapak/ibu Dosen Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan ilmu pengetahuan yang sangat bermanfaat selama penulis mengikuti pendidikan.

8. Seluruh Staf Biro Pendidikan Magister Kenotariatan yang telah banyak memberikan bantuan kepada penulis selama ini.

9. Sahabat-sahabatku di Magister Kenotariatan dan seluruh kawan-kawan stambuk 2012.

10. Keluarga penulis tercinta, orangtua penulis yaitu Ayahanda Bastian dan Ibunda Kartini, Spd.

Hanya Allah yang dapat membalas segala kebaikan dan jasa-jasa yang diberikan mereka semua. Dengan penuh kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak atas segala kekurangan yang penulis sadari sepenuhnya terdapat dalam tesis ini guna perbaikan dikemudian hari.

Medan, November 2014 Penulis

(MAULIDA KARYANTI)

(10)

v

Nama : Maulida Karyanti

Tempat Tanggal Lahir : Kd. Kandang, 12 Desember 1984 Jenis Kelamin : Perempuan

Status : Belum Menikah

Agama : Islam

Alamat : Jln. Bunga Cempaka No. 38, Padang Bulan

II. DATA KELUARGA

1. Nama Ayah : Bastian 2. Nama Ibu : Kartini, Spd.

3. Nama Saudara : Hendra Karyanto

III. PENDIDIKAN FORMAL

1. MIN 1 Kd.Kandang Lulus Tahun 1998

2. MTsN Suaq Bakung Lulus Tahun 2001

3. SMU N I Suaq Bakung Lulus Tahun 2002

4. SI Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Lulus Tahun 2009

(11)

vi

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR ISTILAH ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian ... 12

E. Keaslian Penelitian ... 13

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 13

1. Kerangka Teori ... 13

2. Konsepsi ... 17

G. Metode Penelitian ... 18

1. Spesifikasi Penelitian ... 18

2. Teknik Pengumpulan Data ... 19

3. Alat Pengumpulan Data ... 20

4. Analisa Data ... 21

BAB II FAKTOR-FAKTOR YANG MENDORONG AHLI WARIS MENGUNDURKAN DIRI DARI AHLI WARIS ... 23

A. Waris dan Dasar Hukum Waris ... 23

1. Pengertian Waris ... 23

2. Syarat-syarat dan Rukun Waris ... 26

3. Prinsip-prinsip dan Asas Waris ... 29

4. Jenis-jenis Ahli waris ... 34

(12)

vii

3. Tata Cara atau Prosedur Ahli Waris Mengundurkan Diri.... 45

4. Tata Cara Pelaksanaan Takharuj ... 50

C. Faktor-faktor yang Mendorong Ahli Waris Mengundurkan Diri 53 1. Alasan Yuridis ... 53

2. Alasan Sejarah ... 58

3. Alasan Filosofi ... 60

4. Alasan Sosiologi ... 61

BAB III STATUS HARTA WARISAN YANG MENJADI HAK AHLI WARIS YANG MENGUNDURKAN DIRI ... 67

A. Cara Penyelesaian Masalah Warisan (At-takharuj) ... 67

B. Kewajiban Terkait Harta Peninggalan ... 71

C. Macam-macam Harta Peninggalan Pewaris... 75

D. Status Harta Warisan dari Ahli Waris yang Mengundurkan Diri 78 BAB IV AKIBAT HUKUM DARI AHLI WARIS YANG MENGUNDURKAN DIRI DILIHAT DARI FIQIH ISLAM ... 87

A. Sebab-sebab Terjadinya Pewarisan ... 87

B. Alasan Ahli Waris Mengundurkan Diri dalam Bagian Warisan 94 C. Penghalang Mewarisi (Mawani’ Al-irs) ... 98

D. Akibat Hukum dari Ahli Waris Yang Mengundurkan Diri ... 100

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 105

A. Kesimpulan ... 105

B. Saran ... 106

DAFTAR PUSTAKA ... 108

(13)

viii

Efreght : hukum yang mengatur tentang apa yang terjadi dengan harta kekayaan seseorang yang telah meninggal dunia.

Radd : mengembalikan sisa lebih kepada penerima warisan.

Aul : pembagian harta waris, dimana jumlah bagian para ahli waris lebih besar daripada asal masalahnya, sehingga harus dinaikkan menjadi sebesar jumlah bagian- bagiannya.

Fiqh al - muwaris : fiqih tentang warisan dan tata menghitung harta waris yang ditinggalkan.

Ash - habul furudh : ahli waris yang memiliki bagian yang sudah pasti . Ashabah : ahli waris yang menerima sisa harta peninggalan.

Tirkah : harta peninggalan.

Maujud : benar-benar ada; nyata; konkret; berwujud.

Mawani’ al - irs : penghalang terlaksananya waris mewarisi.

Ash - haabul furuudh : orang-orang yang telah ditentukan bagiannya

Ashabaat nasabiyah : ahli waris yang menerima sisa harta yang telah dibagikan.

Mutakharaj : pihak yang diundurkan.

Mudhakalah : apabila angka-angka penyebut pada bagian-bagian warisan yang ada dalam satu kasus itu saling memasuki.

Mumatsalah : apabila angka-angka penyebut pada bagian-bagian warisan yang ada dalam suatu kasus itu sama besarnya.

Mubayanah : apabila angka-angka penyebut pada bagian-bagian warisan yang ada dalam suatu kasus itu berbeda antara satu dengan yang lain.

Muwafaqah : angka penyebut pada bagian-bagian warisan yang ada dalam suatu kasus itu berbeda antara satu dengan yang lain, tetapi angka-angka penyebut tersebut mempunyai persekutuan.

Ijma’ : kesepakatan antara ulama.

Kharij : orang yang keluar

Etimologi : pengertian secara bahasa

Nasab : hubungan darah, keluarga, keturunan.

Nash Al-Qur’an : dalil hujjah, landasan hukum yang berasal dari Al-

Qur’an.

(14)

i

masalah di dalam keluarga pewaris. Sebagaimana yang tercantum dalam hasil Ijtihad dari Ibnu ‘Abbas r.a tentang membolehkan adanya perjanjian takharuj dan Kitab Undang-undang Hukum Warisan Mesir pasal 48 yang membenarkan takharuj (keluar) dari bagian warisan. Oleh karena itu perlu dikaji faktor-faktor yang mendorong ahli waris mengundurkan diri, bagaimana status harta warisan yang menjadi ahliwaris yang mengundurkan diri, dan bagaimana akibat hukum dari ahli waris yang mengundurkan diri.

Penelitian menggunakan penelitian deskriptif analitis, dengan metode pendekatan yuridis normative dan yuridis empiris. Data sekunder dikumpulkan meliputi Undang-undang, hasil Ijtihad para ulama, peraturan-peraturan dan buku- buku yang berkaitan dengan penelitian. Sedangkan data primer untuk mendukung data sekunder yang diperoleh dari wawancara dengan ahli waris yang mengundurkan diri dari bagian warisan, di Banda Aceh.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa faktor yang mendorong ahli waris mengundurkan diri adalah karena adanya rasa saying dan rasa ingin membantu kepada ahli waris yang tidak mampu dalam hal ekonomi, didalam fiqih Islam dibolehkan asal dengan sukarela, seperti yang tercantum dalam pasal 183 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa “para ahli waris sepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing mengetahui bagiannya”. Status harta warisan ahli waris yang mengundurkan diri menjadi milik dari ahli waris yang tidak mengundurkan diri. Akibat Hukum ahli waris yang mengundurkan diri adalah setiap ahli waris yang akan mengundurkan diri tidak dapat mengundurkan diri apabila belum mengadakan perdamaian antara semua ahli waris, menurut pasal 183 Kompilasi Hukum Islam.

kata kunci: Takharuj (keluar), Warisan, Fiqih Islam

(15)

ii

is stipulated in the outcome of the ijtihad (individual interpretation and judgement) of Ibnu ‘Abbas r.a. on the permision for takharuj (withdrawal) agreement and of Egypt’s Inheritance Law, Article 48, which justifies takhruj (withdrawal) from a part of inheritance. Therefore, it is necessary to do a study on what has caused an heir to withdraw, how about the status of the inheritance of the heir who withdraws, and how about the legal consequence of the heir who withdraws.

The research was descriptive analytic with judicial normative and judicial empirical approaches. Secondary data were gathered by using legal provisions, the outcome of the ijtihad of ulama (the Islamic scholars), regulations, and books which were related to the subject matter of the research. Primary data which was used to support secondary data were gathered by conducting interviews with the heirs who withdrew from the part of the inheritance in Banda Aceh.

The result of the research showed that the factor which caused heirs to withdraw was that he loved the other destitute heirs and wanted to help them. In the Islamic fiqh (laws dealing with ritual obligation), it is allowable when it is done voluntarily as it is stipulated in Article 183 of the Compilation of the Islamic Law which states that “the heirs agree to reconcilein the distribution of the inheritance after each of them kows his own share.” The status of the inheritance of the heir who has withdrawn becomes the share of those who do not withdraw. The legal consequence is that a heir cannot withraw before there is the reconciliation among all heirs according to Article 183 of the Compilation of the Islamic Law.

Keywords: Takharuj (Withdrawal), Inheritance, Islamic Fiqh

(16)

1

Hukum kewarisan Islam di Indonesia adalah hukum waris yang bersumber kepada Al-Qur’an dan Hadits, hukum yang berlaku universal. Namun jika ada beberapa perbedaan paham di kalangan ulama mazhab dengan tidak mengurangi ketaatan umat Islam kepada ketentuan Allah dan Rasul-Nya, maka perbedaan pendapat tersebut dibolehkan dan dapat dipandang sebagai rahmat.

Kewarisan (Al-miras), yang disebut juga sebagai faraidh berarti bagian tertentu dari harta warisan sebagaimana telah diatur dalam nash Al-Qur’an dan Al- Hadits, sehingga dapat disimpulkan bahwa pewarisan adalah perpindahan hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang yang telah meninggal dunia terhadap orang- orang yang masih hidup dengan bagian-bagian yang telah ditetapkan dalam nash- nash, baik Al-Qur’an dan Al-Hadits

1.

Hukum kewarisan termasuk salah satu aspek yang diatur dalam Al-Qu’ran surah an-nisa ayat 7 secara jelas dalam. Hal ini membuktikan bahwa masalah kewarisan cukup penting dalam agama Islam. Apalagi Islam pada awal pertumbuhanya telah mampu merombak tatanan atau sistem kewarisan yang berlaku pada masyarakat arab jahiliyah

2

.

Menurut istilah hukum Indonesia, ilmu faraidh ini disebut dengan “Hukum Waris”

(erfrecht) yaitu hukum yang mengatur tentang apa yang terjadi dengan harta

1

Habiburrahman, Rekontruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia.(Guanung Djti bandung.2001) hal 1.

2

Abdul Ghofur, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, ( Yogyakarta : Gajah Mada press,2012

hal 173

(17)

kekayaan seseorang yang telah meninggal dunia.Pembagian warisan didalam agama Islam merupakan suatu kemestian (infaq ijbari).Penetapan dan pembagian warisan yang telah tercantum dalam Al-Qur’an tidak boleh ditolak oleh ahli waris yang berhak menerimanya, sebelum dilakukan pembagian warisan.

Pembagian harta warisan menurut Al-Qur’an/Al-hadist, dapat diketemukan ketentuan hukumnya, dari Ibnu Abbas ra. Ia berkata, “Rasulullah saw Bersabda, Serahkanlah Pembagian Warisan itu kepada ahlinya , bila ada yang tersisa, maka berikanlah kepada keluarga laki-laki terdekat”. (Hadist disepakati Imam Bukhari dan Imam Muslim)

3

. Dengan adanya kewajiban untuk menjalankan syari’at Islam dalam perkara waris maka wajib (wajib kifa’i) pula hukum belajar dan mengajarkan ilmu Faraidh

4

.

Menurut hukum Islam, pembagian harta warisan secara normatif antara anak laki-laki dan perempuan adalah 2:1 sebagaimana firman Allah “Allah mengisyaratkan bagimu tentang (pembagian warisan) untuk anak-anakmu, yaitu : bagian anak-laki sama dengan bagian dua anak perempuan “. (QS. An- Nisa’

[4]:11). artinya anak laki-laki mendapatkan dua kali bagian dibandingkan dengan anakperempuan. Namun kondisi tersebut juga bisa saja dibagi rata setelah masing- masing ahli waris mengetahui bagiannya, berdasarkan asas keadilan

5

.

3

Suhrawardi Lubis, Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam (Jakarta: Sinar Grafika,1995), hal 31

4

Otji Salman, Mustafa Haffas, Hukum Waris Islam(Bandung: PT.Refika Aditama, 2006)hal 4

5

pembagian warisan.-anak-anak laki-lakihttp://lampung.tribunnew..Diakses tanggal 24

februari 2014

(18)

Masalah harta pusaka, sering menjadi sumber sengketa dalam keluarga.Terutama untuk menentukan siapa-siapa yang berhak dan tidak berhak mendapat warisan yang pada gilirannya bisa menimbulkan sengketa dalam keluarga.

Menurut salah satu pihak dianggap sudah adil sedangkan menurut pihak lain masih menganggap tidak adil.Para ulama fikih memberikan defenisi ilmu waris (faraidh) yaitupenentuan bagian bagi ahli waris, ketentuan bagian warisan yang ditetapkan oleh Syariat Islam dan ilmu fikih yang berkaitan dengan pembagian pusaka, serta mengetahui perhitungan dan kadar harta pusaka yang wajib dimiliki oleh orang yang berhak

6.

Berdasarkan terminologis, ilmu faraidh memiliki beberapa defenisi, yakni sebagai berikut:

1. Penetapan kadar warisan bagi ahli waris berdasarkan ketentuan syara’ yang tidak bertambah, kecuali dengan radd (mengembalikan sisa lebih kepada penerima warisan) dan tidak berkurang, kecuali dengan Aul (pembagian harta waris, dimana jumlah bagian para ahli waris lebih besar daripada asal masalahnya, sehingga harus dinaikkan menjadi sebesar jumlah bagian-bagian itu).

2. Pengetahuan tentang pembagian warisan dan tata cara menghitung yang terkait dengan pembagian harta waris dan pengetahuan tentang bagian yang wajib dari harta peninggalan untuk setiap pemilik hak waris.

6

Hamin Husein Nasution, Hukum Kewarisan, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2012), hal

49-50

(19)

3. Disebut juga dengan fiqh al-mawarits fiqih tentang warisan dan tata cara menghitung harta waris yang ditinggalkan.

4. Kaidah-kaidah fiqh dan cara menghitung untuk mengetahui bagian setiap ahli waris dari harta peninggalan, yang termasuk dalam defenisi ini adalah batasan-batasan dan kaidah-kaidah yang berkaitan erat dengan keadaan ahli waris, seperti Ash-habul furudh ahli waris yang memiliki bagian yang sudah pasti, ashabah, ahli waris yang menerima sisa harta peninggalan dari ash- habul furudh, dzawi al-arham,ahli waris yang tidak termasuk ash-habul furudh dan ashabah, dan hal-hal yang erat hubungannya dengan cara menyelesaikan pembagian harta waris, berupa hajb,aul, radd, dan yang terhalang mendapatkan warisan.

5. Disebut juga dengan ilmu yang digunakan untuk mengetahui ahli waris yang dapat mewarisi dan yang tidak dapat mewarisi serta mengetahui kadar bagian setiap ahli waris

7.

Didalam hukum waris Islam merupakan pengunduran diri seorang ahli waris dari hak yang dimilikinya untuk mendapatkan bagian (secara syar’i).dalam hal ini dia hanya meminta imbalan berupa sejumlah uang atau barang tertentu dari salah seorang ahli waris lainnya yang disebut At-takharuj min at-tarikah

8

.

Status At-kharuj adalah perjanjian dua pihak, pembagian harta warisan antara pihak ahli waris yang menyatakan diri keluar dari hak untuk menerima warisan dan menyerahkan bagiannya

9.

7

Addys Aldisar, Fathurrahman, Hukum Waris, (Jakarta: Senayan Abadi,2004)hal 13.

8

Abu Umar Basyir, Warisan (Surakarta : Rumah Dzikir 2006)hal 211

9

Abu Umar Basyir, Warisan (Surakarta : Rumah Dzikir 2006)hal 211-212.

(20)

Menurut syariat islam ahli waris juga memperbolehkan salah seorang pewaris menyatakan dirinya tidak akan mengambil hak warisnya, kemudian memberikanya kepada ahli waris yang lain atau yang ditunjukannya,hal ini dikenal dengan istilah

“Pengunduran diri” atau “ menggugurkan diri dari hak warisnya.”dimana menurut sejarah Islam diriwayatkan Abdurrahman bin Auf r.a adalah

10

.

“Seorang sahabat yang mempunyai empat orang isteri, ketika dia wafat, salah seorang isterinya, Numandhir binti Al-Asbagh, menyatakan bahwa dirinya hanya akan mengambil hak waris sekedar seperempat dari seperdelapan yang menjadi haknya. Jumlah yang diambilnya senilai seratus ribu dirham.”.

At-takharuj dalam hukum waris Islam ialah berdamainya salah seorang ahli waris untuk keluar (tidak mengambil) tirkah (harta peninggalan), sebagai Imbalannya dari harta yang telah diambilnya atau sebab lainnya. Dengan kata lain apabila para ahli waris mengadakan perdamaian dengan jalan mengeluarkan sebagian ahli dari haknya atas bagian harta warisan dengan imbalannya menerima sejumlah harta tertentu, dari harta warisan atau harta lain disebut juga takharuj (tashaluh).

Takharuj dapat terjadi misalnya salah seorang ahli waris mengadakan persetujuan damai dengan dengan ahli waris lain, bahwa bagiannya diserahkan kepada ahli waris lain dengan ketentuan bahwa cukup dengan menerima Rp.200.000, (dua ratus ribu rupiah) Saja. Atau kemungkinan lain, salah seorang ahli waris mengadakan persetujuan damai dengan semua ahli waris lainnya bahwa ia tidak akan

10

Muhammad Ali Ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, (Jakarta : Gema Insani

Press, 1996) hal 141

(21)

mengambil bagiannya dari harta warisan, tetapi harus diganti dengan sejumlah uang yang harus dibayar oleh ahli waris lain itu, bukan dengan sebagian harta warisan melainkan dari uang mereka sendiri

11.

Dasar hukum Pembagian harta warisan merupakan hasil ijtihad (atsar sahabat) atas peristiwa yang terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Usman bin Affan. Atsar tersebut sebagai berikut yang artinya

12

: “Dari Abi Yusuf dari seseorang yang menceritakan kepadanya, dari Amru bin Dinar dari ibnu Abbas:Salah seorang istri Abdurrahman bin ‘Auf diajak untuk berdamai oleh para ahliwaris terhadap harta sejumlah delapan puluh tiga ribu dengan mengeluarkannya dari pembagian harta warisan.

Para ulama faradiyun sepakat bahwa dari harta peninggalan (tirkah) tersebut harta waris dapat dikalkulasikan dan dibagikan kepada ahli waris setelah dikurangi biaya-biaya penyelenggaraan jenazah (tajhiz), penunaian hutang-hutang yang menininggal dunia dan pelaksanaan wasiat. Selanjutnya para ulama faradyun sepakat bahwa dari harta peninggalan (tirkah) tersebut harta waris dapat dikalkulasikan dan dibagikan kepada ahli waris setelah dikurangi biaya-biaya penyelenggaraan jenazah (tajhiz), penunaian hutang-hutang yang menininggal dunia dan pelaksanaan wasiat.

Selanjutnya mereka juga menyepakati bahwa penyelenggaraan jenazah (tajhiz) ditanggung dengan harta peninggalan yang meninggal dunia tersebut lebih

11

Pahing sembiring, Hukum Islam II Bidang Hukum Waris Islam (Medan Fakultas Hukum Universita Sumatera Utara, 2002)hal 102

12

http://blogspot.com//al-takharruj-dan-praktik-pembagian. Diakses tanggal 4 maret 2014

(22)

diutamakan terlebih dahulu ketimbang penunaian hutang-hutang yang meninggal dunia tersebut, maka oleh karna itu sebelum harta warisan dibagikan lebih baik diselesaikan dahulu mengenai biaya penyelenggaraan jenazah (tajhiz)

13

.

Menurut pelaksanaan syari’at Islam termasuk pembagian harta warisan menurut faraidh, telah mendapat dasar hukum yang kuat dengan adanya Undang- undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dan Inpres Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Di dalam pasal 49 Undang-undang tersebut ditentukan bahwa Pengadilan Agama berwenang mengadili perkara warisan orang Islam. Berdasarkan ketentuan ini perkara warisan orang Islam akan diadili berdasarkan hukum waris Islam (faraidh)

14

. Untuk menunjang usaha meningkatkan kesadaran berhukum kewarisan Islam dikalangan umat Islam dikalangan umat Islam yang merupakan bagian terbesar masyarakat Indonesia, perlu diberikan pengetahuan secara luas dalam banyak kesempatan, baik dalam lingkungan sekolah maupun pengajian sehingga dapat benar-benar dirasak an bahwa hukum kewarisan Islam merupakan curahan rahmat Allah SWT. khususnya bagi kaum muslimin.

Hukum waris Islam menetapkan adanya beberapa ahli waris mutlak, yaitu bagian ahli waris laki-laki dan ahli waris perempuan, sejalan dengan dengan beban kewajiban dalam hidup keluarga menurut ketentuan hukum Islam. Laki-laki yang

13

Sukris Sarmadi, Transendasi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, (Jakarta :PT.

Raja Grafindo Persada, 1997)hal 38

14

Afdol, Penerapan Hukum Islam secara adil, (Surabaya : Airlangga University Press,

2003)hal 16

(23)

dibebani kewajiban kebendaan lebih besar daripada bagian yang diberikan kepada perempuan

15

.

Khalifah Umar bin al-Khattab berijtihad dalam rangka konsistensi perbandingan bahagian ibu dan ayah, Menurut Al-Qur’an an-Nisa’ ayat 11 : “jika ahli waris hanya terdiri dari ayah maka bagian ibu sedang ia pewaris tidak meninggalkan anak atau cucu, maka bagian ibu adalah sepertiga harta warisan sedangkan bagian ayah adalah sisan-Nya, yaitu dua pertiga harta warisan. Dengan demikian dalam kasus harta warisan tersebut perbandingan bagian ayah dan ibu adalah 2:1, jika bersama ayah dan ibu ada ahli waris lain suami atau istri, maka perbandingan perolehan ayah dan ibu tidak lagi 2:1 sebab jika ahli waris terdiri dari ayah, ibu dan suami, bagian suami adalah ½ harta warisan , bagian ibu 1/3 dan sisanya untuk ayah, maka suami akan mendapat 3/6, ibu 2/6 dan ayah 1/6.

16

.

Sejumlah ketentuan tentang faraidhtelah diatur secara jelas didalam Al- Qur’an, yaitu di dalam surat An-Nisa’ ayat 7,11,12,176, dan surat-surat lainnya sejumlah ketentuan lainnya diatur di dalam Al-Hadits dan sejumlah ketentuan lainnya diatur di dalam ijma’ dan ijtihat para sahabat, imam madzhab, dan para mujtahid lainnya

17

.

Seseorang ahli waris mengundurkan seorang ahli warisyang lain dengan memberikan sejumlah uang atau barang yang diambilkan dari miliknya sendiri,

15

Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris, (Yogyakarta : UII Pres Yogyakart, 2001)hal 153-159

16

Hasballah Thaib, Tajdid, Reaktualisasi dan Elastisitas Hukum Islam , (Medan : Karya Pribadi,2003), hal 26

17

Otje Salman, Mustofa Haffas, Hukum Waris Islam, (Bandung PT. Refika Aditama, 2006)

hal 3

(24)

hendak lah dicari dulu berapa besar saham atau penerimaan masing-masing ahli waris juga saham Pihak yang diundurkan harus dianggap dan diperhitungkan sebagai ahli waris yang maujud yang harus dicari besar kecilnya saham yang seharusnyaditerimaKemudian saham pihak yangdiundurkantersebut dikumpulkan kepada saham pihak yang mengundurkannya.Besarnyaasal masalah dalam pembagian harta warisan sebelum terjadinya takharuj tetapdipakai sebagai asal masalah dalam pembagian harta pusaka setelah terjadinya perjanjian takharuj

18

.

Salah satu ahli waris mengunduran diri dalam menerima bagian warisan, sudah dipastikan akan menimbulkan akibat-akibat terhadap orang-orang yang berkaitan dalam sebuah keluarga, salah satu ahli waris yang merasa dirugikan akibat harta bagian yang mengundurkan diri tersebut tidak diberikan kepada ahli waris tersebut.

Karena sebagai ahli waris yang mengundurkan diri tersebut masih mempunyai keluarga seperti seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan.Setidaknya harta yang yang sudah dibagikan bisa memberikan kesejahteraan kepada yang menerima bagian warisan tersebut untuk biaya hidup anak-anak dari ahli waris yang mengundurkan diri.

Kasus yang terjadi di Banda Aceh, pada keluarga Masnidar, si ayah yang meninggal dunia meninggalkan harta, sebidang tanah dan sebuah rumah, keluarga yang ditinggalkan adalah seorang istri dan lima orang anak perempuan dan lima

18

Ahamad Azhar Basyir,Hukum Waris Islam,(Yogyakarta, UII Press Yogyakarta,2014) hal,

103

(25)

orang anak laki-laki, maka anak-anaknya mengundurkan diri dari bagian warisan masing-masing dan menyerahkan harta warisan yang berbentuk tanah dan rumah tersebut kepada ibu mereka, atau isteri Almarhum. Dengan demikian, warisan itu hanya dibagikan kepada isterinya saja

19

.

Menurut ahli waris Suhelmi, ahli waris yang mengundurkan diri yang meninggalnya seorang ayahdan meninggalkan seorang isteri dan seorang anak perempuan, dan dua anak laki-laki harta yang ditinggalkan adalah uang Rp.20.000.000,- (dua puluh juta rupiah) dan sebuah rumah kemudian salah seorang anak laki-laki itu menggugurkan haknya dan memberikannya kepada salah seorang saudara perempuannya.Tanpa imbalan apapun, dengan demikian warisan tersebut hanya dibagikan kepada istri, satu orang anak laki-laki dan satu orang anak perempuan, Karena anak perempuan yang mendapat bagian warisan dari saudara laki- laki itu sedang dalam menjalani pendidikan yang bisa membantu biaya pendidikannya. Terjadinya pengunduran diri oleh seseorang karena adanya faktor ekonomi dan bebean hidup yang semakin meningkat, oleh karena itu tidakSalahnya seorang sodara membantu meringankan beban hidup terhadap saudaranya sendiri

20

.

Ahli waris yang mengundurkan diri dari saudara Masnidar, harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal dunia seperti sebuah rumah dan tanah, sertifikat yang sebelumnya atas nama Alhmarhum sekarang sudah diproses dan dibalik namakan atas nama istri Almarhum atau ibu dari saudari masnidar, maka ahli waris

19

Wawancara dengan Masnidar, (salah satu ahli waris yang mengundurkan diri dalam menerima bagian warisan di Banda Aceh), pada tanggal 4 maret 2014

20

Wawancara dengan Suhelmi, (salah satu ahli waris yang mengundurkan diri dalam bagian

warisan di Banda Aceh), pada tanggal 3 maret 2014.

(26)

sepakat memengundurkan diri dalam bagian warisan tersebut yang berupa rumah dan sebidang tanah tersebut kepada ibu mereka.begitu juga dari keluarga ahli waris yang mengundurkan diri dari saudara Suhelmi yang memberikan bagiannya kepada saudara perempuannya atau adik kandungnya sendiri. Dengan begitu saudara laki-laki yang lain dari saudara suhelmi merasa tidak adil karna bagiannya sedikit.

Berdasarkan uraian-uraian diatas, perlu suatu penelitian lebih lanjut mengenai masalah, “ANALISIS YURIDIS TENTANG TAKHARUJ (KELUAR) DALAM MENERIMA BAGIAN WARISAN DAN AKIBAT HUKUMNYA MENURUT FIKIH ISLAM (STUDI KASUS DI KECAMATAN LAMPRIT KOTA BANDA ACEH”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan diatas, adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian tesis ini adalah sebagai berikut :

1. Apakah faktor-faktor yang mendorong ahli waris mengundurkan diri dari ahli waris?

2. Bagaimana status harta warisan yang menjadi hak ahli waris yang mengundurkan diri?

3. Bagaimana akibat hukumdari ahli waris yang mengundurkan diri dilihat dari fikih islam?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan permasalahan diatas, maka tujuan penulisan tesis ini

yang akan dilakukan oleh peneliti adalah :

(27)

1. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mendorong ahli waris mengundurkan diri dari ahli waris

2. Untuk mengetahui status hukum dari harta warisan yang menjadi hak ahli waris yang mengundurkan diri.

3. Untuk mengetahui akibat hukum dari ahli waris yang mengundurkan diri dilihat dari fikih islam.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun praktis, yaitu :

1. Manfaat teoritis

Hasil penelitian diharapkan dapat menambah perbendaharaan ilmu sosial budaya dan hukum waris Islam sebagai sumber informasi bagi berbagai pihak yang ingin mengetahui masalah mengundurkan diri didalam menerima bagian warisan, sebagai salah satu sumbangan untuk bisa menjadi acuan atau dasar bagi peneliti yang lebih jauh dan mendalam tentang mengundurkan diri dalam menerima bagian warisan menurut hukum Islam.

2. Manfaat praktis

Dengan adanya penelitian ini dapat memperkaya khazanah ilmu pengetahuan

hukum kepada masyarakat mengenai pemahaman tentang mengundurkan diri

dalam menerima bagian warisan dalam hukum Islam.

(28)

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan Penelusuran kepustakaan khususnya dilingkungan Universitas Sumatera Utara, penelitian mengenai Analisis Yuridis Tentang Mengundurkan diri dalam Menerima Bagian Warisan Menurut Hukum Islam belum pernah dilakukan sebelumnya, namun beberapa penelitian yang membahas mengenai mengundurkan diri dalam menerima bagian warisan, tidak ditemukan, dengan demikian penelitian adalah asli.

Oleh karena itu maka peneliti berkeyakinan bahwa penelitian yang penulis lakukan ini jelas dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah, karena senantiasa memperhatikan ketentuan-ketentuan atau penelitian yang harus dijunjung tinggi baik peneliti maupun akademis.

F. Kerangka Teori dan konsepsi 1. Kerangka Teori

Karangka teori ialah karangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem).Yang menjadi bahan perbandingan pegangan teoritis yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui

21

.

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi

22

. Jelaslah kiranya teori adalah susunan konsep, defenisi

21

Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung : Mandar Maju, 1994)hal 80

22

J.J.J. Wuisman, dengan Penyunting M. Hisyam, Penelitian Ilmu –ilmu Sosial, (Jakarta : jilid

I, FE-UI,1996), hal 126

(29)

yang dalam yang menyajikan pendangan yang sistematis tentang fenomena

23

. Keberadaan teori dalam dunia ilmu sangat penting karena teori merupakan konsep yang akan menjawab suatu masalah.

Agar karangka teori meyakinkan, maka harus memenuhi syarat sebagai berikut

24

.:

1. Teori yang digunakan dalam membangun karangka berfikir harus merupakan pilihan dari sejumlah teori yang dikuasai secara lengkap dengan mencakup perkembangan-perkembangan terbaru.

2. Analisis filsafat dari teori-teori analisis filsafat dari teori-teori keilmuan dengan cara berfikir keilmuan yang mendasari pengetahuan tersebut dengan pembahasan secara eksplisit mengenai postulat, asumsi dan prinsip yang mendasarinya

25

.

3. Mampu mengidentifikasi masalah yang timbul sekitar disiplin keilmuan tersebut, teori merupakan pijakan bagi peneliti untuk memahami persoalan yang diteliti untuk memahami persoalan yang diteliti dengan benar dan sesuai dengan karangka berfikir ilmiah

26

.

Kerangka teori yang digunakan dalam menganalisa permasalahan dalam tesis ini adalah teori keadilan dalam hukum Islam, atau menetapkan hukum dengan benar

23

Sofian Safitri Haraha, Tips Menulis Skripsi dan Menghadapi Ujian Komprehensif, (Jakarta : pusaka Quantum, 2001), hal 40

24

Jujun S. Suariasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Popular, (Jakarta : Pustaka Sinar Hrapan), hal 318-321

25

Jonathan Sarwono. Metode Penelitian Kuantitatif, (Yogyakarta :Graha Ilmu, 2006) hal 26

26

Zamakhsyari Hasballah, Teori-teori Hukum Islam Dalam fiqih dan ushul fiqih, (Bandung :

CitaPustaka Media Perintis, 2013),hal 94

(30)

menurut Zamakhsyari Hasballah, dan H.M. Hasballah Thaib, dalam bukunya teori- teori Hukum Islam dalam fiqh, dan Tafsir Tematik Al-Qur’an II.

Menurut Zamakhsyari Hasballah dalam bukunya berjudul Teori-teori hukum Islam ‘Adl/menetapkan hukum dengan benar, jadi seorang yang adil adalah berjalan lurus dan sikapnya selalu menggunakan ukuran yang sama, bukan ukuran ganda.

Persamaan itulah yang merupakan makna asal kata ‘adl,yang menjadikan pelakunya

“tidak berpihak” kepada salah seorang yang berselisih, dan pada dasarnya pula seorang yang ‘adil berpihak kepada yang benar, karena baik yang benar maupun yang salah sama-sama harus memperoleh haknya dalam menerima bagian warisan

27

Sebagai pegangan bagi kita, dapat kita katakan bahwa defenisi adil mempunyai 4 (empat ) arti yaitu

28

:

1. Adil dalam arti sama : artinya tidak membedakan antara yang satu dengan yang lain sebagai contoh adalah, Hakim dipengadilan harus memandang sama, menempatkan tempat yang sama antara penggugat dan tergugat.

Maksudnya penggugat dan tergugat memiliki hak yang sama. Firman Allah di surat An-nisa’ayat 58, Yang artinya : “apabila kamu memutuskan perkara diantara manusia, maka hendaklah kamu memutuskannya dengan adil”

2. Adil artinya seimbang dalam arti proporsional yaitu keadilan yang diperlikan pada hukum waris islam. Misalnya hak anak laki-laki 2 x bahagian anak

27

Hasballah Thaib, Zamakhsyari Hasballah, Tafsir Tematik Al-Qur’an II, (Medan, Pustaka bangsa, 2007),hal 245

28

Hasballah Thaib, Zamakhsyari Hasballah, Tafsir Tematik Al-Qur’an II, (Medan, Pustaka

bangsa, 2007),hal 245

(31)

perempuan karena tanggung jawab anak laki-laki lebih berat, karna anak laki- laki nantinya akan menjadi ayah, akan menjadi suami, tentu saja wajib mengeluarkan harta lebih banyak disbanding anak perempuan yang akan menjadi isteri atau ibu.

3. Adil dalam arti hak-hak individu artinya setiap orang memiliki haknya masing-masing, atau dengan kata lain disebut menempatkan sesuatu pada tempatnya.

4. Keadilan Allah yang tidak mampu akal manusia untuk memahaminya, keadilan Allah pada hakikatnya merupakan rahmat dan kebaikannya

29

.

Keadilandalam kewarisan, sebagaimana dikemukakan oleh Hasanani Muhammad Makhluf, ahli fiqih kontenporer asal mesir, bahwa islam mensyaratkan aturan hukum yang adil karena menyangkut penetapan hak milik seseorang, yakni hak yang harus dimiliki seseorang sebagai ahli waris dengan sebab meninggalnya seseorang yang lain

30

.

MenurutRobert N. Bellah sebagai mana yang dikutip oleh Daud Rasyid, mengakui bahwa masyarakat yang dibangun Nabi di Madinan adalah masyarakat yang menegakkan keadilan dan menjadi masyarakat yang sangat demokratis untuk masa dan zamannya

31

.

29

ibid, hal 246-248

30

Hasanain Muhammad al-Makhluf, Almawaris fi al-Syari’ah al-islamiyah, (Kairo : Daar al- Fadhilah, 2007), hal 125

31

DaudRasyid, Islam dalam berbagai dimensi, (Bandung : CiptaPustaka, 1998), hal 158

(32)

Keadilan dalam warisan tidak berarti membagi sama rata harta warisan kepada semua ahli waris, tetapi berpihak kepada kebenaran sebagaimana yang telah digariskan Allah dalam Al-Qur’an. Jika laki-laki memperoleh lebih banyak dari perempuan ini terkait dengan tanggung jawab laki-laki yang lebih besar dari pada perempuan untuk membiayai rumah tangganya. Jika menyimpang dari apa yang telah digariskan dalam Al-Qur’an berarti pembagiannya telah dilakukan secara adil

32

. 2. Konsepsi

Konsepsi berasal dari bahasa latin, yaitu conseptus memilik arti sebagai suatu kegiatan atau proses cara berpikir, daya berpikir khususnya penalaran dan pertimbangan. Karangka konsepsi merupakan alat yang dipakai oleh hukum disamping yang lain-lain seperti asas dan standar.Sehingga kebutuhan untuk membentuk konsep merupakan salah satu dari hal-hal yang dirasakan pentingnya oleh hukum

33

. Konsepsi digunakan juga untuk memberi pegangan pada proses penelitian, oleh karena itu dalam rangka penelitian ini perlu dirumuskan serangkaian defenisi agar tidak menimbulkan perbedaan penafsiran

34

.oleh karena itu, dalam penulisan tesis ini dirangkaikan karangka konsepsi sebagia berikut :

1. Mengundurkan diri adalah salah seorang ahli waris yang menggurkan haknya sebagai ahli waris dan menolak bagian dari harta warisan, tetapi bagiannya tersebut dibagikan kepada ahli waris lainnya yang disebut dalam hukum Islam adalah takharuj

35

.

32

Zamakhsyari, Teori-teori Hukum Islam Dalam Fiqih dan Ushul Fiqih(Bandung : Citapustaka Media Perintis, 2013), hal 106-107

33

Satcipto Raharjo, Ilmu Hukum, (Bandung :Citra Adiya Bakti, 1996), hal 397

34

Masri Singarimbun

,

Metode Penelitian Survey, (Jakarta : LP3ES, 1999), hal 71

35

Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam, (UUI Press Yogyakarta, 2001)hal 103

(33)

2. Hukum Islam adalah hukum syar’i, dalambanyak istilah disebut hukum syara’

atau hukum syari’at atau hukum syari’ah, dan oleh dalam masyarakat Indonesia lebih dikenal sebagai hukum Islam adalah salah satu Sub sistem hukum yang berlaku di Negara Indonesia dan menjadi unsur yang membentuk (sumber bahan hukum) ssitem hukum nasionalindonesia

36

.

3. Warisan adalah berpindahnya hak dan kewajiban atas segala sesuatu baik harta maupun tanggungan dari orang yang telah meninggal dunia kepada keluarganya yang masih hidup

37

.

4. Bagian ahli waris adalah terdapat bagian tertentu bagian ahli waris dzawil furudz(saham/bagian yang sudah ditentukan jumlahnya untuk ahli waris pada harta peninggalan)

38

.

5. Harta peninggalan adalah sesuatu yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia, baik yang berbentuk benda (harta benda) dan hak-hak kebendaan serta hak-hak yang bukan hak kebendaan

39

.

G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian

Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten.

Metodologi berarti sesuai dengan metode atau dengan cara tertentu, sistematis adalah

36

http://hukum-on.blogspot.com /2014/02/sistem-hukum-di-indonesia.html. diakse tanggal 4 maret 2014

37

http://contoh-dakwah-islam.blgspot.pengertian-warisan.diakses tanggal 19 maret 2014.

38

Ahmad Basyir, Hukum Waris, (Yogyakarta : UII Press Yogyakarta, 2001) hal, 148

39

Suhrawardi, Komis Simanjuntak, (Jakarta:Sinar Grafika,2004) hal 47

(34)

berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu

40

.

Sifat dari penelitian ini adalah bersifat deskriptif analisis, artinya adalah akan menganalisis dan memberikan gambaran atau pemaparan atas subjek dan objek penelitian sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan

41

.

Penelitian ini menguraikan/memaparkan sekaligus menganalisa terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan mengundurkan diri dalam menerima bagian warisan menurut hukum Islam.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian dengan pendekatan yuridis normatiFdimana dilakukan pendekatan terhadap permasalahan dengan mengkaji berbagai aspek hukum dengan mempelajari ketentuan perundang-undangan, buku-buku, yuresprudensi yang berkaitan dengan permasalahan.

2. Teknik Pengumpulan data

Penelitian dilakukan dengan melakukan penelaahan terhadap bahan pustaka atau data sekunder berasal dari penelitian kepustakaan (Library Research) sebagai berikut :

a. Bahan hukum Primer, yaitu bahan yang terdiri dari : 1. Al-Qur’an dan Hadits

2. Kompilasi Hukum Islam

40

Soerjono Sukanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta :UI Pres, 1986), hal 34

41

Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif& Empiris,

(Yogyakarta : Pustaka Belanja, Cetakan I, 2010), hal 183

(35)

b. Bahan hukum sekunder yaitu “semua bahan hukum yang merupakan publikasi dokumen tidak resmi meliputi buku-buku dan karya ilmiah.

c. Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan informasi dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder misalnya kamus hukum, kamus fiqih, majalah, surat kabar, kamus bahas Indonesia, internet, dan jurnal-jurnal.

3. Alat pengumpulan Data

Alat-alat pengumpulan data diawali engan kegiatan penelusuran peraturan perundang-undangan dan sumber hukum positif lain dari sistem hukum yang dianggap relevan dengan pokok persoalan hukum yang sedang dihadapi

42

.

Untuk mendapatkan hasil penelitian yang optimal dan dapat dibuktikan kebenarannya serta dapat dipertanggung jawabkan hasilnya. Alat pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah studi :

a. Studi dokumen yang dilakukan dalam penelitian ini adalah menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahan-bahan kepustakaan yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.

b. Wawancara untuk menghimpun data dengan melakukan wawancara kepada informan yang berhubungan dengan materi ini. Dalam melakukan penelitian lapangan ini dipergunakan metode wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (dept interview) secara langsung yaitu kepada : Masnidar dan

42

Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009) hal 109

(36)

Suhelmi (ahli waris yang mengundurkan diri dalam menerima bagian warisan).

4. Analisis Data

Puncak kegiatan pada siatu penelitian ilmiah hukum adalah menganalisa data yang merupakan hasil penelitian yang telah dilakukan

43

.

Analisis data dapat diartikan sebagai proses menganalisa, manfaatkan data yang terkumpul untuk digunakan dalam pemecahan masalah penelitian. Dalam proses pengolahan, analisis dan pemanfaatan data dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif yaituprosedur penelitian yang menghasilkan data yang deskriptif, yang bersumber dari tulisan atau ungkapan dan tingkah laku yang dapat diobservasi dari manusia

44

Mengingat sifat penelitian maupun objek penelitian ,maka semua data yang diperoleh akan dianalisa secara kualitatif, yaitu dengan cara data yang telah terkumpul dipisah-pisahkan menurut kategori masing-masing dan kemudian ditarikkesimpulan dengan menggunakan metode deduktif.

Adapun tahap-tahap melakukan analisis secara kualitatif adalah

45

.

a. Mengumpulkan bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahn yang diteliti.

b. Memilih kaidah-kaidah atau dokrin yang sesuai dengan peneliti.

43

Tampil Anshari Siregar, Metode Penelitian Hukum, ( Medan : Pustaka Bangsa Pres 2007), 104

44

Buhan Anshofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Rineka Cipta 2007), hal 16

45

Ibid

(37)

c. Mensistematisasikan kaidah-kaidah hukum, asas atau dokrin.

d. Menjelaskan hubungan-hubungan antara berbagai konsep, pasal atau dokrin yang ada.

e. Menarik kesimpulan dengan metode deduktif.

(38)

BAB II

FAKTOR-FAKTOR YANG MENDORONG AHLI WARIS MENGUNDURKAN DIRI DARI AHLI WARIS

A. Waris dan Dasar Hukum Waris 1. Pengertian Waris

Waris adalah setiap yang berhak menerima harta warisan, disebut dengan istilah Ash-haabul Furudh, atau ‘ashabah.Baik mengambil bagian ataupun tidak tetap disebut waris

46

.Dalam kaitannya dengan mengundurkan diri dalam warisan, pemberian harta tersebut dapat berupa uang, rumah dan tanah.Ataupun yang lainnya yang dianggap bermanfaat oleh orang yang bersangkutan.

Mengenai defenisi waris ini dalam Kompilasi Hukum Islam, juga dijelaskan bahwa waris adalah ilmu yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (Tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.

Menurut fiqih waris adalah harta, benda dan hak yang ditinggalkan oleh orang yang mati untuk dibagikan kepada yang berhak menerimanya.Pembagian itu lazim disebut faraidh, artinya menurut syara’ ialah pembagian pusaka bagi yang berhak menerimanya

47

. Dasar hukum waris adalah surat An-Nisaa’ ayat 11 yakni : “Allah mensyaratkan bagimu tentang (pembagian pusaka) untuk anak-anakmu, yaitu bahagian seorang anak laki-laki sama dengan bahagian dua orang anak

46

Abu Umar Basyir, Warisan, (Solo, Rumah Dzikir, 2006)hal 28

47

Rifa’I, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, (Semarang : PT. Karya Toha Putra,1978) hal 513

23

(39)

perempuan”. (S.An-Nisa, ayat 11).Dengan demikian, istilah faraidh, fardu, dan waris lebih dikenal di masyarakat, terutama diindonesia.

Waris adalah ilmu yang mengatur peninggalan harta seseorang yang telah meninggal dunia diberikan kepada yang berhak, dan berlaku sesuai dengan kaedah hukum Islam misalnya cara pembagiannya

48

.

Al-mirats, dalam bahasa arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata waritsa-yaritsu irtsan-miiraatsan. Makanya menurut bahasa adalah “ berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain atau dari suatu kaum kepada kaum lain.

Pengertian menurut bahasa ini tidaklah terbatas hanya kepada hal-hal yang berkaitan dengan harta, tetapi mencakupi harta benda dan non harta benda. Sedangkan makna al-miirats menurut istilah yang dikenal para ulama ialah perpindahan hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masuh hidup, baik yang yang ditinggalkan itu berupa harta (uang) tanah,atau apa saja yang berupa hak milik legal syar’i

49

.

Dasar hukum waris Islam diantaranya adalah : 1. Sebahagian besar dari Al-Qur’an.

2. Sebahagian dari As-Sunnah dan putusan-putusan Rasul.

3. Sebahagian kecil dari Ijma’.

4. Beberapa masalah diambil dari Ijtihad sahabat.

48

http://eightiswordpress.com.ilmu –waris-pandangan –tentang-waris.2013, diakses tanggal 7 juni 2014.

49

Ibid

(40)

Ahli waris merupakan orang-orang yang karena sebab-sebab, keturunan, perkawinan/perbudakanberhak mendapatkn bagian dari harta pusaka orang yang meninggal dunia.Dari sisi hubungan kekeluargaan terdapat dua macam perbedaan status hak waris yaitu

50

.

a. Ahli waris : keluaraga yang saling mewarisi.

b. Ulul arhaam : mempunyai hubungan keluarga, tapi tidak saling mewarisi langsung, atau dengan kata lain, dia mewarisi jika tidak ada golongan ahli waris.

Adapun pengertian waris diantaranya adalah orang yang menerima atau memiliki hak warisan dari tirkah (harta peninggalan), orang yang meninggal dunia (pewaris).Untuk berhaknya dia menerima harta warisan itu diisyaratkan dia telah dan hidup saat terjadinya kematian pewaris. Dalam hal ini termasuk pengertian ahli waris janin yang telah hidup dalam kandungan. Meskipun kepastian haknya baru ada setelah ia lahir dalam keadaan hidup. Hal ini juga berlaku terhadap seseorang yang belum pasti kematiannya. Tidak semua alhi waris mempunyai kedudukan yang sama.

Melainkan mempunyai tingkatan yang berbeda-beda secara tertib sesuai dengan hubungannya dengan orang yang meninggal dunia

51.

Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa waris merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang ketentuan-ketentuan harta pusaka bagi ahli waris dan mengatur tentang apa yang harus terjadi dengan harta kekayaan

50

http://ukhwahislah.blogspot.com.kumpulan-makalah-artikel-ah-waris.2013, diakses tanggal 8 juni 2014

51

Ibid

(41)

seseorang yang meninggal dunia. Demikian pula dalam Al-Qur’an dan Hadits terdapat ketentuan-ketentuan pembagian warisan secara rinci dan jelas.Apabila ada perintah dalam Al-Qur’an atau Hadits dengan nas yang sarih, maka hukum melaksanakannya adalah wajib, selama tidak ada dalil nas yang menunjukkan ketidakwajibannya sebagaimana qaidah ushul fiqih

52

.

2. Syarat-syarat dan Rukun Waris

Menurut istilah didalam Islam syarat-syarat adalah bentuk jamak dari syarth

‘syarat’ diartikan juga sebagai ‘pasukan yang menjaga dengan tanda’ karena mereka mempunyai tanda yang mereka ketahui. Namun ada beberapa syarat yang dipenuhi dalam waris islam. Oleh karena itu persoalan waris memerlukan syarat-syarat sebagai berikut

53

.

a. Orang yang mewariskan (muwaris) bener telah meninggal dunia dan dapt dibuktikan secara hukum bahwa ia telah meninggal. Ini berarti bahwa apabila tidak ada kematian, maka tidak ada pewarisan. Pemberian atau pembagian harta kepada keluarga pada masa hidupnya, tidak termasuk ke dalam kategori waris mewarisi, tetapi pemberian atau pembagian ini disebut Hibah.

b. Orang yang mewarisi (ahli waris atau waris) hidup pada saat orang yang mewariskan meninggal dunia dan bisa dibuktikan secara hukum. Termasuk dalam pengertian hidup disini adalah anak (embrio) yang hidup dalam kandungan ibunya pada saat orang yang mewariskan meninggal dunia, dan

52

Amin Husein Nasution, Hukum Kewarisan, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada,2012)hal 50

53

bid, hal 71-72

(42)

orang yang menghilang dan tidak diketahui tentang kematiannya, dalam hal ini perlu adanya keputusan hakim yang mengatakan bahwa ia masih hidup.

c. Ada hubungan pewarisan antara orang yang mewariskan dengan orang yang mewarisi, yaitu hubungan nasab (keturunan, kekerabatan)baik pertalian garis lurus keatas (Ushul al-Mayyit), seperti ayah, kakek dan lainnya atau pertalian lurus kebawah (furu’al Mayyit) seperti anak, cucu. Hubungan pernikahan yaitu seseorang dapat mewarisi disebabkan menjadi suami atau istri dari orang yang mewariskan, hubungan perbudakan (wala), yaitu seseorang berhak mendapatkan warisan dari bekas budak yang dimerdekakannya (dibebaskannya), dan terakhir karena hubungan agama Islam, yaitu apabila seorang meninggal dunia tidak meninggalkan orang yang mewarisi, maka hartanya akan diserahkan kepada Baitul Mal (perbendarahaan negara Islam) untuk dimanfaatkan bagi kemaslahatan umat Islam

54

.

Ada juga pendapat yang mengatakan syarat-syarat waris adalah sebagai berikut

55

:

1. Matinya orang yang mewariskan, kematian orang yang mewariskan, menurut ulama dibedakan menjadi 3 (tiga) bagian: Mati hakiki (sejati), Mati hukmy(

menurut putusan hakim), Mati taqdiry (menurut perkiraan).

2. Ahli waris yang hidup, baik secara hakiki maupun hukmy setelah kematian si mayit, sekalipun hanya sebentar , memiliki hak atas harta waris.

54

Ibid, hal 71-72

55

Ibid, hal 73-78

(43)

3. Mengetahui sebab-sebab yang mengikat ahli waris setelah kematian si mayit , dilakukan dengan pengujian, pendeteksian dan kesaksian dua orang yang adil.

Rukun waris adalah sesuatu yang harus ada untuk mewujudkan bagian harta waris tidak akan ditemukan bila tidak ada rukun-rukunya, rukun-rukun untuk mewarisi ada tiga yaitu

56

:

a. Al-Muwarits, yaitu orang yang meninggal dunia atau mati baik mati hakiki maupun mati hukmy, suatu kematian yang dinyatakan oleh keputusan hakim atas dasar beberapa sebab, kendati sebenarnya ia belum mati, yang meninggalkan harta atau hak.

b. Al-Warits, yaitu orang hidup atau anak dalam kandungan yang mempunyai hak mewarisi, meskipun dalam kasus tertentu akan terhalang.

c. Al-Mauruts, yaitu harta benda yang menjadi warisan, sebagian ulama faraidh menyebutnya dengan mirats, Termasuk dalam kategori warisan adalah harta- harta atau hak-hak yang mungkin dapat diwariskan, seperti hak qishash (perdata), hak menahan barang yang belum dilunasi pembayarannya, dan hak menahan barang gadaian.

Pendapatlain mengelompokkan rukun waris sebagai berikut

57

:

1. Yang mewariskan, yaitu orang yang meninggal dunia atau dianggap telah meninggal dunia, seperti orang hilang.

56

Addys aldizar, Fathurrahman,Hukum Waris (Jakarta : Cv. Kuwais Media Krasindo, 2001)hal 28-29

57

Ibid, hal 27

(44)

2. Ahli waris, yakni yang berhak untuk menguasai atau menerima harta peninggalan yang meninggal dunia dikarekan adanya ikatan kekerabatan (nasab), ikatan pernikatan, atau yang lainnya. Ahli waris harus masih hidup atau yang dianggap setara dengan yang hidup, seperti janin dalam kandungan, mereka berhak terhadap harta warisan, meskipun bisa saja tidak diperbolehkan mengambilnya, karena adanya penghalang.

3. Harta warisan yaitu segala jenis benda atau kepemilikan yang ditinggalkan yang meninggal dunia, baik berupa uang, tanah dan sebagainya yang semuanya itu harus terbebas dari milik orang lain.

3. Prinsip-prinsip dan Asas Waris

Kewarisan menurut hukum Islam ialah proses pemindahan harta peninggalan seseorang yang telah meninggal, baik yang berupa benda yang wujud maupun yang berupa hak kebendaan, kepada keluarganya yang dinyatakan berhak menurut hukum islam. Maka dalam waris Islam ada prinsip yang mengaturnya adapun prinsip tersebut dapat disimpulkan yaitu:

58

:

a. Waris menempuh jalan tengah antara memberi kebebasan kepada seseorang untuk memindahkan harta peninggalannya dengan jalan wasiat kepada orang lain yang dikehendaki seperti yang berlaku dalam masyarakat individualis/kapitalis, dan melarang sama sekali pembagian harta peninggalan seperti yang menjadi prinsip komunisme yang tidak mengakui adanya

58

Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam, (Yogyakarta : UUI Pres Yogyakarta, 2001, hal

132-134

(45)

lembaga hak milik perorangan, yang dengan sendirinya tidak mengenal sistem kewarisan.

b. Waris merupakan ketetapan hukum yang mewariskan tdak dapat menghalangi ahli waris dari haknya atas harta peninggalan dan ahli waris berhak atas harta peninggalan tanpa memerlukan pernyataan menerima dengan sukarela atau atas putusan pengadilan tetapi ahli waris tidak dibebani melunasi hutang pewaris dari harta pribadinya.

c. Waris terbatas dalam lingkungan keluarga, dengan adanya hubungan perkawinan atau pertalian darah.keluarga yang lebuh dekat hubungannya dengan pewaris lebih diutamakan daripada keluaraga yang lebih jauh.

d. Waris Islam lebih condong untuk membagi harta warisan kepada sebanyak mungkin ahli waris yang sederajat, dengan menentukan bagian tertentu kepada bebrapa ahli waris, misalnya jika ahli waris terdiri dari ibu, istri, seorang anak perempuan dan saudara perempuan kandung, semuanya mendapat bagian.

e. Waris tidak membedakan hak anak atas harta peninggalan, anak yang sulung, menengah atau bungsu, telah besar atau atau baru saja lahir, telah berkeluarga atau belum, semua berhak atas harta peninggalan orang tua.

f. Waris Islam membedakan besar kecil bagian tertentu ahli waris diselaraskan

dengan kebutuhannya dalam kehidupan sehari-hari, disamping memandang

jauh dekatnya hubungan kekeluargaan dengan pewaris.

(46)

Asas berasal dari bahas arab, yang artinya dasar, alas, fundamen, dan yang dimaksud dengan asas hukum waris adalah suatu kebenaran yang menjadi pokok dasar atau tumpuan hukum waris Islam. Asas- asas hukum waris Islam ada 5 (lima) yaitu, asas Ijbari, asas bilateral, asas individual, asas keadilan berimbang semata akibat kematian

59

:

1. Asas Ijbari

Asas ijbari merupakan peralihan harta seseorang yang telah meninggal kepada yang masih hidup berlaku dengan sendirinya, yang dalam pengertian hukum Islam berlaku secara ijbari, kata ijbari secara etimologi mengandung arti paksaan (compulsory), yaitu melakukan sesuatu diluar kehendak sendiri. Adanya asas ijbari dalam waris Islam dapat dilihat dari beberapa segi yaitu

60

:

a. Segi peralihan harta

Contoh : bagi seorang anak laki-laki ataupun perempuan ada nasib = (bagian, saham atau jatah dalam bentuk sesuatu yang diterima dari pihak lain), dari harta peninggalan orang tua dan karib kerabat.

b. Segi jumlah harta beralih

Contoh : sudah ditentukan jumlahnya dan harus dilakukan sedemikian rupa secara mengikat dan memaksa.

c. Segi kepada siapa harta beralih.

59

Pahing Sembiring, Hukum Islam II Bidang Hukum Waris Islam (Faraidh), (Medan, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2002), hal 4-7

60

Ibid, hal. 5

(47)

Contoh : orang-orang yang berhak atas harta peninggalan itu sudah ditentukan secara pasti, hingga tidak ada sesuatu kekuasaan manusia dapat mengubahnya.

2. Asas Bilateral

Asas bilateral dalam waris Islam berarti seseorang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak garis kerabat yaitu pihak kerabat garis keturunan laki-laki dan pihak dan pihak kerabat keturunan perempuan

61

.Asas bilateral dalam kewarisan mengandung arti bahwa harta warisan beralih kepada atau melalui dua arah, hal ini berarti bahwa setiap orang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak garis kerabat, garis keturunan, laki-laki dan pihak kerabat garis keturunan perempuan. Asas bilateral ini dapat secara nyata dilihat dalam firman Allah dalam surah An-nisa’ (4) : 7,11,12, dan 176. Dalam ayat 7 dijelaskan bahwa seorang laki-laki berhak mendapat warisan dari pihak ayahnya dan juga dari pihak ibunya.Ayat ini merupakan dasar bagi kewarisan bilateral itu.Secara terinci asas bilateral itu dapat dipahami dalam ayat-ayat selanjutnya

62

.

1. Anak perempuan berhak menerima warisan dari kedua orang tuanya sebagaimana yang didapat oleh anak laki-laki dengan bandingan seseorang anak lak-laki menerima sebanyak yang didapat dua orang anak perempuan.

2. Ibu berhak mendapat warisan dari anaknya, baik laki-laki maupun perempuan.

Begitu pula ayah sebagai ahli waris laki-laki berhak menerima warisan dari

61

Fatchur Rahman,Ilmu Waris, (Bandung : Sinar Baru, 2006) hal 112

62

Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta : Prenada, 2004) hal, 20

(48)

anak-anaknya, baik laki-laki maupun perempuan sebesar seperenam bagian, bila pewaris ada meninggalkan anak .

3. Asas individu

Waris Islam mengajarkan asas kewarisan secara individual, dengan arti bahwa harta warisan dapat dibagi-bagi untuk dilikiki secara perorangan, jadi maksud dari asas individu adalah keseluruhan harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang mungkin dibagi-bagi, kemudian jumlah tersebut dibagikan kepada setiap ahli waris berhak atas bagian yang didapatnya tanpa terikat kepada ahli waris yang lain. Hal ini didasaekan kepada ketentuan bahwa setiap insan sebagai pribadi mempunyai kemampuan untuk menerima hak dan menjalankan kewajibaan (ahliyatu al wujub)

63

. 4. Asas Keadilan Berimbang

Dalam Al-qur’an terdapat kata ‘adlu’ dalam hal hubungan waris dapat diartikan keseimbangan antara hak dan kewajibandan keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan. Ditinjau dari segi jumlah bagian pada waktu menerima hak, memang terdapat ketidaksamaan, tetapi hal tersebut bukanlah tidak adil , kkarena keadilan tidak hanya diukur dengan pendapatan waktu menerima hak tetapi juga dikaitkan dengan kegunaan dan kebutuhan

64

.

5. Asas Kewarisan Semata Akibat Kematian

Waris Islam menetapkan bahwa peralihan harta seseorang kepada orang lain dengan nama kewarisan berlaku sesudah meninggalnya yang mempunyai harta, asas

63

Muhibbin, Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta :Sinar Grafika, 2001) hal 76

64

Ibid, hal 77

(49)

ini berarti bahwa harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain secara kewarisan selama yang mempunyai masih hidup

65

.

4. Jenis-jenis Ahli Waris

Antara ahli waris yang satu dengan yang lainnya mempunyai perbedaan tingkat dan urutannya.Artinya, warisan itu diberikan terlebih dahulu kepada tingkat pertama, dan bila tidak ada, baru kepada yang selanjutnya.Yang termasuk golongan pertama itu adalah

66

.

a. Ash-Haabul furuudh.Golongan ini lah yang pertama diberi bagian harta warisan, mereka adalah orang-orang yang telah ditentukan bagiannya dalam Al-Qu’an, As-Sunnah, dan Ijma’.

b. Ashabaat nasabiyah.Setelah Ash-Haabul furuudh, barulah giliran Ashabaatnasabiyah menerima bagian.‘Ashabaat nasabiyah yaitu setiap kerabat (nasab) mayit yang menerima sisa harta warisan yang telah dibagikan, bahkan, jika tidak ada ahli waris lainnya, ia berhak mengambil seluruh harta peninggalan.Contohnya anak laki-laki yang meninggal dunia, cucu dari anak laki-laki, dan saudara kandung.

c. Penambahan Jatah Bagi as-haabull furuudh sesuai bagian (kecuali suami istri), Apabila harta warisan yang telah dibagikan kepada semua ahli warisnya masih juga tersisa, hendaknya diberikan kepada ashahabul furuudh, masing- masing sesuai dengan bagian yang telah ditentukan.Adapun suami atau istri

65

Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta : Prenada, 2004) hal 24

66

Abu Umar Basyir, Warisan, (Solo, Rumah Dzikir, 2006) hal 40

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Pengetahuan masyarakat terhadap pemberlakuan Kawasan Tanpa Rokok ini menunjukkan pemahaman tentang qanun bahwa pihak pengelola RSUDZA telah berhasil dalam melakukan

Penelitian ini menyimpulkan bahwa UIN Sunan Gunung Djati Bandung melalui Pusat Penelitian dan Penerbitan Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M)

Pada penelitian ini digunakan umpan model limbah emulsi minyak dengan fasa terdispersi berupa minyak pelumas, bensin dan solar.Fasa kontinu adalah air, sedangkan surfaktan

Pada Terminal BBM Semarang Group mesin pompa produk yang sering breakdown, yang dapat membuat kerugian waktu pengiriman bahan bakar ke SPBU di Jawa Tengah dan

Asam lemak tersebut ditransportasikan oleh albumin ke jaringan yang memerlukan dan disebut sebagai asam lemak bebas (free fatty acid/ FFA) Secara ringkas, hasil akhir dari

Adapun isi pesan yang ingin disampaikan iklan layanan masyarakat versi SME Tower adalah Upaya pemberdayaan UKM dengan didirikan SME Tower, anjuran untuk menggunakan

Pelaksanaan penilaian kinerja karyawan yang dilihat dari kompetensi ini dilakukan secara objektif sehingga diharapkan bisa berakibat positif bagi karyawan seperti