dan masukan untuk perbaikan tulisan ini Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Informasi Geografis (SIG)
2.3 ALOS PALSAR
ALOS adalah satelit milik Jepang yang diluncurkan pada tahun 2006 Menggunakan roket HIII dan didesain untuk dapat beroperasi selama 3I5 tahun. Satelit ALOS merupakan generasi lanjutan dari JERSI1 ( # ' #
(1) dan ADEOS (# # ) yang
dilengkapi dengan teknologi yang lebih maju. Pertama teknologi yang mampu mengerjakan data dalam kapasitas yang sangat besar dengan kecepatan tinggi, dan selanjutnya kapasitas untuk menentukan posisi satelit dengan ketinggian yang lebih tepat (JAXA 2006).
Tabel 2 Karakteristik satelit ALOS
Data Keterangan
Alat Peluncuran Roket HIIIA
Tempat Peluncuran Pusat Ruang Angkasa Tanagashima
Berat Satelit 4000 Kg
Power 7000 W
Waktu Operasional 3I5 Tahun
Orbit SunISynchronous SubIRecurr Orbit
Recurrent Period: 46 Hari Sub Cycle 2 hari Tinggi Lintasan: 692 km diatas Ekuator Inklinasi: 98,2°
Sumber: JAXA 2006
PALSAR merupakan sensor gelombang mikro aktif menggunakan frekuensi LIband. Sensor ini memberikan kinerja yang lebih tinggi daripada sensor SAR
( # ) pada satelit JERSI1. Hal ini memungkinkan
instrumen PALSAR untuk melakukan pengamatan yang bebas dari tutupan awan pada siang atau malam hari.
Sinyal radar dapat ditransmisikan dan diterima dalam bentuk polarisasi yang berbeda. Polarisasi merupakan arah rambat dari gelombang mikro aktif yang dipancarkan dan ditangkap oleh sensor radar. Sensor PALSAR memiliki 4 jenis polarisasi yaitu HH, HV, VH, dan VV.
2.4 Biomassa
Biomassa hutan adalah jumlah total bobot kering semua bagian tumbuhan hidup, baik seluruh atau sebagian tubuh organisme, produksi atau komunitas dan dinyatakan dalam berat kering per satuan luas (ton/ha). Menurut Brown (1997) biomassa merupakan jumlah total dari bahan organik hidup yang dinyatakan dalam berat kering oven ton per unit area. Menurut Chapman (1976) biomassa adalah berat organik suatu organisme per satuan unit area pada suatu saat, berat bahan organik umumnya dinyatakan dengan satuan berat kering ( ) #) atau kadangIkadang dalam berat kering bebas abu ( # ) #).
Biomassa dapat dibedakan ke dalam dua kategori yaitu, biomassa tumbuhan atas permukaan tanah ( ) dan biomassa bawah permukaan tanah ( ) ). Lebih jauh dikatakan biomassa atas permukaan tanah adalah berat bahan unsur organik per unit luas pada waktu tertentu yang dihubungkan ke dalam suatu fungsi sistem produksi, umur tegakan hutan dan distribusi organik (Kusuma 1993).
Faktor yang mempengaruhi laju peningkatan karbon biomassa pohon diantaranya ialah suhu dan curah hujan (Kusuma 1993). Selain itu juga yang mempengaruhi besarnya biomassa yang dihasilkan adalah umur dan kerapatan tegakan, komposisi dan struktur tegakan, serta kualitas tempat tumbuh (Satoo dan Madgwick 1982). Biomassa tegakan hutan dipengaruhi oleh umur tegakan hutan, sejarah perkembangan vegetasi, komposisi dan struktur tegakan (Lugo dan Snedaker 1974).
Pengukuran biomassa pada dasarnya mengacu pada empat teknik pengukuran, yaitu : (1) teknik pemetaan pemanenan atau teknik sampling destruktif (2) teknik sampling tanpa pemanenan atau teknik nonIdestruktif (3) pengukuran berdasarkan data remote sensing yang dihasilkan oleh sistem airborne/spaceborne, dan (4) estimasi menggunakan model. Menurut IPCC (2006), terdapat dua pendekatan dalam mengestimasi nilai kandungan biomassa yaitu, pendugaan langsung melalui persamaan alometrik pada sample plot dan pendekatan tidak langsung melalui penggunaan nilai *
(BEF). Metode ini termasuk metode non destruktif sampling karena tidak memerlukan pemanenan pohon contoh dalam pendugaan biomassanya.
Pendugaan biomassa juga dapat dilakukan dengan memanfaatkan teknologi penginderaan jauh. Data yang digunakan adalah data biomassa yang diukur di lapangan dan kemudian menghubungkan data tersebut dengan data nilai citra. Dengan menganalisis hubungan tersebut, akan diperoleh persamaan yang bisa digunakan untuk menduga potensi biomassa melalui peta citra. Metode ini memiliki akurasi data yang cukup baik, di samping itu waktu dan biaya yang dibutuhkan juga relatif tidak mahal (Bergen and Doubson 1999).
Penelitian mengenai pendugaan nilai biomassa dengan memanfaatkan teknologi pengindraan jauh telah banyak dilakukan diantaranya ialah Rauste ,
(2007) melakukan penelitian mengenai pemprosesan dan analisis data citra ALOS PALSAR didaerah Heinavesi, Finlandia. Pada penelitian tersebut diperoleh kesimpulan bahwa polarisasi silang (HV) dari LIband SAR memiliki korelasi yang lebih baik dengan biomassa hutan dibandingkan dengan polarisasi searah (HH) dengan nilai saturasi sekitar 150 m3/ha.
Hasil penelitian Woisiri (2011) menyatakan bahwa pada hutan tanaman grandis peubah tinggi pohon,volume, dan biomassa menyebabkan variasi pada nilai . Hasil penelitian Syarif (2011) dengan menggunakan citra ALOS PALSAR resolusi 50 m dan 12,5 m pada tgekan jati di KPH Kebonharjo menyimpulkan bahwa hubungan antara HH dengan biomassa tidak terlalu erat, hal tersebut ditunjukan oleh nilai koefisien determinasi terkoreksi yang rendah dan error yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan hubungan antara biomassa dengan HV. Penelitian yang dilakukan oleh Riska (2011) dengan menggunakan citra ALOS PALSAR resolusi 50 m dan 12,5 m menyimpulkan bahwa pendugaan biomassa pinus pada kawasan hutan KPH Banyumas Barat dapat dilakukan dengan menggunakan metode alometrik yang menggunakan dua variabel polarisasi HH dan HV. Hasil yang didapatkan dari penelitian tersebut menunjukan adanya hubungan yang cukup baik antara nilai dengan kandungan biomassa.
# ) + (MIMICS) memberikan
pemahaman terhadap hamburan balik ( ) radar pada vegetasi. Beberapa bentuk hamburan yang dapat dikalkulasi adalah hamburan pada permukaan dan volume tajuk, hamburan langsung pada permukaan tanah, hamburan langsung pada batang, hamburan dari permukaan tanah ke batang, dan hamburan dari permukaan tanah ke tajuk.
Hamburan balik yang kuat dari vegetasi akan dihasilkan oleh tipe vegetasi rapat. Sistem radar LIband bekerja pada gelombang maksimum untuk citra radar yang tersedia. LIband memiliki kemampuan besar untuk menembus daunIdaunan hingga ke pokok batang yang paling bawah.
2.5 Jati ( Linn.F)
Tanaman jati diklasifikasikan ke dalam famili Verbenaceae, genus Tectona, dengan nama species terbanyak di Indonesia adalah " Linn.F, dimana jenis ini merupakan jenis terbaik dibandingkan dengan jenis Jati lainnya. Sejak abad ke 9 tanaman jati yang merupakan tanaman tropika dan subtropika telah dikenal sebagai pohon yang memiliki kayu kualitas tinggi dan bernilai jual tinggi. Tanaman jati yang tumbuh di Indonesia berasal dari India. Secara historis, nama berasal dari bahasa Portugis ( ) yang berarti tumbuhan yang memiliki kualitas tinggi. Di negara asalnya, tanaman jati dikenal dengan banyak nama daerah, seperti # (, (di wilayah Asam); - (Bengali);
(Bombay) (Sumarna 2001).
Tempat tumbuh yang optimal 0I700 m dari permukaan laut. Di Indonesia, memang masih dijumpai jati pada ketinggian 1300 mdpl namun dengan pertumbuhannya menjadi kurang optimal. Selain itu untuk tumbuh dengan optimal jati memerlukan daerah dengan musim kering yang nyata (meski bukan syarat mutlak), memiliki curah hujan 1200I3000 mm/tahun, intensitas cahaya cukup tinggi, 75I100% dan suhu berkisar 22°CI31°C (Mahfudz 2005). Ditinjau dari sifat fisiknya, kayu jati mempunyai berat jenis 0,62I0,75. Dan memiliki kelas kuat II dengan penyusutan hingga kering tanur 2,8% sampai 5,3% (Sumarna 2001).
Jati memiliki wilayah persebaran yang cukup luas, meliputi sebagian besar India, Myanmar, Laos, Kamboja, bagian Barat Thailand dan IndoIChina. Di Indonesia, jati terdapat di sebagian Pulau Jawa dan beberapa kepulauan kecil seperti di Muna, Kangean, Sumba dan Bali. Tanaman jati ini khususnya yang tumbuh di Jawa dapat tumbuh terutama pada daerahIdaerah panas dengan tanah yang rendah dan berbukitIbukit, sifatnya agak kurus dan kurang air, yang terdiri dari formasi tua kapur dan margalit (Fahutan UGM 1976). Hutan jati yang sebagian besar berada di Pulau Jawa dikelola oleh Perum Perhutani. Dimana luas daerah pengelolaannya mencapai 2,6 juta ha yang terdiri dari 54 KPH (Kesatuan Pemangkuan Hutan). Produksi hutan jati yang dikelola oleh Perhutani rataIrata 800.000 m3/tahun, dimana sebagian besar produksi hutan jati dijual dalam bentuk log.
Pada penelitian ini digunakan beberapa parameter tegakan jati diantaranya ialah tinggi pohon dan umur pohon untuk membantu dalam pendugaan biomassa atas permukaan. Tinggi pohon adalah salah satu dimensi yang di gunakan untuk mengetahui nilai volume pohon. Tinggi pohon pada tegakan seumur juga merupakan parameter yang penting dalam pemilihan pohon benih dan kunci untuk menentukan perlakuan penjarangan. Peninggi yang didefinisikan sebagai rata rata 100 pohon tertinggi yang tersebar merata dalam areal 1 hektar, dikaitkan dengan umur tegakan jati merupakan komponen informasi yang diperlukan untuk menentukan indeks tempat tumbuh atau kualitas tempat tumbuh. Parameter umur pohon digunakan perhutani untuk membagi wilayahnya pengelolaanya kedalam beberapa kelas umur. Selain itu umur pohon juga bermanfaat untuk menentukan waktu penjarangan dan penebangan. Pada hutan jati seumur, penjarangan dilakukan setiap 3I5 tahun sampai pohon berumur 15 tahun. Setelah berumur lebih dari 15 tahun, penjarangan dilakukan setiap 5I10 tahun. Agar dapat memberikan penghasilan yang maksimal sebaiknya pohon jati ditebang jika telah cukup dewasa untuk menghasilkan kayu berkualitas baik, minimal pohon telah berumur sekitar 15I20 tahun (CIFOR 2010).
Saat ini apresiasi masyarakat terhadap kayu jati semakin tinggi. Pemanfaatan yang dilakukan lebih terfokus pada penggunaan jati untuk nilai estetika (keindahan). Hal tersebut terjadi karena penampilan kayu jati yang menarik sari segi warna kayu teras dan kayu gubalnya yang bervariasi, dari cokelat muda, cokelat kelabu, sampai cokelat merah tua atau merah cokelat. KadangIkadang diselingi warna putih kekuningan dengan lingkaran tumbuh tampak jelas, baik pada bidang transversal maupun radial, sehingga menimbulkan ornament yang indah. Sehingga penggunaannya lebih banyak diarahkan untuk keperluan pembuatan bahan mebel atau dan bahan baku pembuatan kerajinan (# ). Namun ada pula yang digunakan untuk keperluan bahan bangunan dan industri (Tini & Amri 2002).
BAB III
METODOLOGI
3.1 Lokasi dan Waktu PenelitianPenelitian ini dilakukan di KPH Kebonharjo Perum Perhutani Unit I, Jawa Tengah. Meliputi Bagian Hutan (BH) Tuder dan Balo, pada Kelas Perusahaan Jati. Penelitian dilakukan dengan mengolah data sekunder pada bulan Agustus 2011 sampai dengan Januari 2012 di Laboratorium Remote Sensing dan GIS Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Data lapangan diambil pada bulan November 2010 sampai dengan Maret 2011.