• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.4 Alternatif Program/Intervensi Mengatasi Stunting

Strategi untuk mencegah stunting meliputi promosi pemberian air susu ibu (ASI), pemberian suplemen vitamin A, seng, zat besi, yodium pada ibu dan/atau anak, pemberian bantuan pangan, pendidikan gizi, bantuan tunai langsung, dan pemberian obat cacing pada ibu hamil dan anak. Pemberian obat cacing pada ibu hamil dan anak dapat membunuh cacing parasit dalam tubuh ibu dan anak sehingga zat gizi yang dikonsumsi ibu dan anak dapat dimanfaatkan tubuh tanpa berbagi dengan cacing parasit tersebut. Bhutta et al. (2008) menyimpulkan bahwa promosi pemberian ASI dapat meningkatkan sedikit pertumbuhan linier. Lebih jauh disimpulkannya bahwa pemberian suplemen vitamin A (pada periode neonatal dan akhir masa bayi), seng (untuk pencegahan), zat besi (pada anak- anak), dan gram beriodium (pada ibu-ibu dan anak-anak) pada anak 36 bulan dapat menurunkan prevalensi stunting dari 54 menjadi 36%.

Pada populasi yang rawan pangan, pemberian suplemen multivitaminmineral pada makanan (dengan atau tanpa penyuluhan) anak 4 bulan selama 3 bulan dapat meningkatkan nilai z-skor TB/U sebanyak 0.41 (p<0.05: 0.05-0.76 cm). Pada populasi yang tidak rawan pangan, penyuluhan makanan

pendamping ASI dapat meningkatkan nilai z-skor TB/U sebanyak 0.25 cm (p<0.05: 0.01-0.49). Bantuan langsung tunai dapat meningkatkan tinggi badan anak 0-12 bulan sebanyak 0.44 cm. Pemberian obat cacing pada ibu hamil dan anak-anak dapat meningkatkan tinggi badan 0.14 cm (0.04-0.23 cm) (Bhutta et al.

(2008).

UNICEF, WFP and WHO (2010) melaporkan bahwa:

1. Pencegahan stunting harus fokus pada "window of opportunity" dari minus 9 sampai 24 bulan dan juga pada konteks siklus kehidupan dengan mempertimbangkan aspek-aspek masalah antar generasi.

2. Suatu wilayah yang mendesak tetapi terabaikan dari intervensi yaitu pencegahan stunting selama 6-24 bulan sejak penurunan persen terbesar panjang badan menurut umur (PB/U) pada kelompok umur ini, dan tingginya prevalensi stunting yang terjadi pada kuintil pendapatan atas pada negara- negara berkembang menunjukkan bahwa ini utamanya merupakan masalah perilaku. Komunitas dengan ketidaktahanan pangan akan membutuhkan intervensi-intervensi tambahan yang telah terbukti dari praktek-praktek meningkatkan pemberian makanan pendamping air susu ibi (MPASI) atau pencegahan stunting seperti produksi makanan rumahan khususnya untuk pangan yang kaya zat besi, suplementasi dengan MPASI yang difortifikasi dan program-program perlindungan sosial seperti bantuan tunai langsung.

3. Intervensi perubahan perilaku dapat berkontribusi besar untuk mencegah

stunting dengan meningkatkan praktek pemberian MPASI.

4. Karena anemia pada ibu hamil pada trimester pertama merupakan salah satu faktor yang berkontribusi terhadap berat lahir rendah dan anemia pada bayi 0-5 bulan, dan mempertimbangkan bahwa ibu hamil di negara-negara berkembang paling sering memeriksakan kehamilan ke petugas kesehatan setelah trimester pertama, pencegahan anemia (dan gizi salah pada ibu) sebaiknya dimulai sebelum hamil (semakin awal maka semakin baik) untuk memutus siklus gizi salah antar generasi.

5. Negara-negara diketahui membutuhkan panduan untuk memperkuat kebijakan dan program serta menyertakan bukti intervensi baru yang telah teruji, hemat biaya, dan tingkat peningkatan. Negara-negara juga menggarisbawahi

6. Dukungan terhadap makanan bayi dan anak serta intervensi gizi pada ibu membutuhkan suatu pendekatan rangkaian kepedulian antar sektor yang bertujuan untuk meningkatkan status wanita, higiene dan sanitasi, terutama sekali mencuci tangan yang terkait dengan pemberian makan pada bayi, disertai dengan pesan yang jelas dalam kurikulum pendidikan remaja, pelatihan personel medis dan paramedis, memperkuat aturan-aturan keamanan pangan dan pengurangan kemiskinan.

pentingnya kapasitas membangun, kepemimpinan dan koordinasi yang lebih baik di antara usaha yang sedang dilakukan.

7. Pendekatan dan metode monitoring dan evaluasi perlu mempertimbangkan luasnya program yang sedang dikembangkan dan dimplementasikan. Perbaikan pengetahuan tentang bagaimana mengurangi stunting akan berhasil hanya dengan penyelenggaraan dan evaluasi yang baik serta dokumentasi proses-proses yang dapat menjelaskan hasil tersebut.

Bappenas (2012) menjelaskan bahwa Gerakan 1 000 Hari Pertama Kehidupan (Gerakan 1 000 HPK) merupakan upaya untuk menurunkan prevalensi kekurangan gizi pada anak balita, termasuk stunting. Maksud 1 000 hari yaitu dari masa kehamilan hingga anak usia 2 tahun (hamil 9 bulan = 270 hari; 2 tahun = 730 hari). Tujuan Gerakan 1 000 HPK yaitu meningkatkan efektivitas dari inisiatif yang telah ada yaitu meningkatkan koordinasi termasuk dukungan teknis, advokasi tingkat tinggi, dan kemitraan inovatif, dan partisipasi untuk meningkatkan keadaan gizi dan kesehatan masyarakat, dan pembangunan.

UN (2010) melaporkan bahwa kegiatan intervensi lintas sektor yang terkait dengan faktor penyebab tidak langsung masalah gizi, ternyata sensitif pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak pada 1 000 HPK. Dokumen Scaling Up Nutrition (SUN) Inggris menyebutkan bahwa intervensi spesifik yang umumnya dilaksanakan oleh sektor kesehatan hanya 30% efektif mengatasi masalah gizi 1000 HPK. Mengingat kompleksnya masalah gizi khususnya masalah beban ganda, yaitu kombinasi masalah anak kurus, pendek, gemuk dan penyakit tidak menular (PTM), yang terjadi pada waktu yang relatif bersamaan di masyarakat yang miskin, penuntasan yang 70% memerlukan keterlibatan banyak sektor pembangunan lain di luar kesehatan.

Stunting dapat berdampak menimbulkan overweight dan penyakit. WHO (2010) menyimpulkan bahwa anak yang stunting dapat menimbulkan berat badan lebih ketika dewasa.

Bappenas (2012) menjelaskan penyebab tidak tuntasnya masalah gizi antara lain disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut. Pertama, kebijakan program gizi selama ini masih bersifat umun belum mengacu pada kelompok 1 000 HPK sebagai sasaran utama. Kedua, kegiatan intervensi gizi masih sektoral, khususnya kesehatan. Ketiga, cakupan pelayanan yang masih rendah untuk imunisasi lengkap, suplementasi tablet besi-folat pada ibu hamil, pemanfaatan KMS dan SKDN, promosi ASI eksklusif, cakupan garam beryodium dan sebagainya. Keempat, tindakan hukum terhadap pelanggar WHO Code

tentang Breast Feeding belum dilaksanakan karena Peraturan Pemerintah tentang ASI baru diumumkan awal tahun 2012. Kelima, lemahnya penguasaan substansi masalah gizi oleh para pejabat tertentu, petugas gizi dan kesehatan baik yang di tingkat pusat, provinsi, kabupaten dan lapangan khususnya tentang perkembangan terakhir dan prospeknya dimasa depan, masalah anak stunting, beban ganda, dan kaitan gizi dengan penyakit tidak menular.

Intervensi yang telah dilakukan selama ini meliputi intervensi spesifik dan intervensi sensitif. Contoh intervensi spesifik yaitu imunisasi, PMT ibu hamil dan balita, monitoring pertumbuhan balita di Posyandu, suplemen tablet besi-folat ibu hamil, promosi ASI Eksklusif, MP-ASI. Adapun conth intervensi sensitif yaitu penyediaan air bersih, sarana sanitasi, berbagai penanggulangan kemiskinan, ketahanan pangan dan gizi, fortifikasi pangan, pendidikan dan KIE Gizi, pendidikan dan KIE Kesehatan, kesetaraan gender, keluarga berencana, jaminan kesehatan masyarakat, jaminan persalinan universal, dan perlindungan terhadap kurang yodium.

Bappenas (2012) melaporkan bahwa suatu penelitian US-AID (2010) di daerah miskin di Jakarta menunjukkan hanya 9.5% mendapat MP-ASI yang benar. Thaha (2012) menjelaskan bahwa di Indonesia pada tahun 2006 dikembangkan MP-ASI lokal tetapi tidak efektif karena kandungan zat gizi mikro yang rendah. Bappenas (2012) menjelaskan bahwa penelitian menemukan bahwa MP-ASI lokal umumnya kurang padat-energi, rendah lemak, kurang zat gizi

mikro, rendah protein dan mengandung zat-zat yang menghambat absorpsi zat gizi di usus. Agar MP ASI lokal efektif mencukupi kebutuhan zat gizi mikro anak, diperkenalkan MP-ASI lokal dengan fortifikasi rumahan (home fortification) dengan menambahkan bubuk zat gizi mikro yang dikenal dengan "Taburia". Di Indonesia, kegiatan pilot fortifikasi zat gizi mikro pada tingkat rumah tangga telah dilaksanakan di 24 kabupaten/kota melalui Proyek NICE dengan label kegiatan Taburia. Fortifikasi pangan untuk mengatasi masalah kekurangan zat gizi mikro pada kelompok 1 000 HPK yaitu zat yodium, zat besi, seng, asam folat, dan vitamin A. Ada 12 kegiatan yang akan dilakukan untuk menurunkan prevalensi masalah gizi anak ibu hamil dan anak baduta, termasuk stunting (Lampiran 1).

BAB 3