• Tidak ada hasil yang ditemukan

KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI DAN ASUPAN ZAT GIZI ANAK 0-23 BULAN

Aslis Wirda Hayati1, Hardinsyah2, Fasli Jalal3, Siti Madanijah2, Dodik Briawan2

1

Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Pontianak

2

Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor

3

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji sosial ekonomi dan asupan gizi anak stunting dan tidak stunting 0-23 bulan. Penelitian menggunakan data Riskesdas 2010 yang dilaksanakan oleh Balitbangkes, Kemenkes. Sub-set data Riskesdas 2010 diperoleh dalam bentuk e-files. Dari 6 634 data anak baduta dalam e-files tersebut, sejumlah 3 539 data anak dikeluarkan, sehingga anak yang menjadi sampel sebanyak 3 095 anak. Disain penelitian yaitu cross-sectional. Data yang gunakan dalam penelitian ini meliputi karakteristik anak, tingkat kecukupan dan mutu gizi konsumsi pangan, kesehatan anak dan sanitasi lingkungan, karakteristik orang tua, dan karakteristik rumah tangga. Data dikumpulkan dengan teknik wawancara dengan menggunakan kuesioner. Status gizi diolah menggunakan WHO AntroPlus, pengolahan data lainnya menggunakan program Excel dan SPSS. Uji Chi-square digunakan untuk menganalisis hubungan antar peubah. Ada hubungan stunting anak dengan umur anak, berat bayi lahir anak, berat badan menurut umur anak, pendidikan orang tua, tinggi ibu dan status gizi ibu, dan status ekonomi, asupan kalsium, asupan fosfor, asupan vitamin A, asupan vitamin B1 dan asupan vitamin C. Perlu diteliti pangan-pangan yang kaya zat gizi dan yang terjangkau oleh kelompok berpendatan rendah untuk sebagai salah satu upaya mencegah stunting.

Abstract

The objective of this study was to analyze socio-economics and nutrients intake in young children of 0-23 months old (YC) using the Data from Riskesdas 2010. A cross-sectional study design was applied in this study. From 6,634 YC, 3,539 were screened out, so 3,095 of YC were recruited. Data of characteristics of YC, the nutrients adequacy and food nutritional quality of YC, health of YC, environmental sanitation, parental characteristics of YC, family characteristics were collected using interview method. Nutritional status data were processed using the WHO AnthroPlus 2007, while the other data/statistics were processed using the Excel 2007 and SPSS 16.0 for windows. Chi-square test was applied to analyze the relationship. There were association between calcium intake, phosphor intake, vitamin A intake, vitamin B1 intake, vitamin C intake, age of YC, birth’s weight of YC, weight of YC, parent’s education, mother’s height, mother’s nutrition status, family economic status and stunting of YC. It is necessary to study the food that rich of nutrients and affordable to poor families.

Pendahuluan

Stunting pada anak 0-23 bulan sudah menjadi masalah terutama di negara- negara berkembang termasuk Indonesia. WHO (2006) melaporkan bahwa prevalensi stunting di atas 20% dianggap tinggi dan merupakan masalah kesehatan masyarakat. Kemenkes (2010) melaporkan bahwa prevalensi stunting anak 1 dan 2 tahun masing-masing sebanyak 32.1 dan 41.5%. Adapun Bhutta et al. (2008) menyimpulkan bahwa rata-rata prevalensi stunting anak 1 dan 2 tahun di 36 negera berkembang yang mereka teliti berturut-turut sebanyak 40% dan 54%.

Faktor yang terkait dengan stunting pada anak 0-23 bulan antara lain adalah karakteristik anak. Penelitian yang terkait dengan karakteristik anak stunting antara lain oleh Specker et al. (1986) yang menyimpulkan bahwa jenis kelamin tidak memberi efek yang signifikan pada hormon pengatur pertumbuhan pada anak baru lahir sampai umur 18 bulan. Di sisi lain, WHO (2001) melaporkan pula bahwa semakin awal anak-anak menjadi stunting, semakin parah hambatan pertumbuhan mereka. Alive and Thrive (2010) melaporkan bahwa rata- rata z-skor PB/U menurun secara nyata selama 23 bulan pertama setelah lahir. Waterlow dan Schürch (1994) menyimpulkan bahwa meskipun anak-anak umumnya tidak mencapai tahap yang diklasifikasikan sebagai stunting (PB/U <-2 SD) sampai usia 2 atau 3 tahun, namun proses perlambatan pertumbuhan linier sebenarnya dimulai jauh lebih awal yaitu usia 2 atau 3 bulan. Selain itu, Schmidt et al. (2002) menyimpulkan bahwa pertumbuhan mulai tersendat-sendat pada usia 6-7 bulan

Temuan terkini yang berhubungan dengan asupan energi dan zat gizi anak stunting yaitu oleh WHO (2001) melaporkan bahwa sulit menafsirkan hubungan antara asupan energi dan pertumbuhan. Attwood (2003) yang menjelaskan bahwa pada jumlah tertentu konsumsi protein yang diikuti dengan konsumsi kalsium yang baik terbukti memberi pengaruh nyata terhadap terbentuknya kepadatan tulang yang baik. Selain itu, Kosnayani (2007) menyimpulkan bahwa terdapat hubungan positif yang kuat antara jumlah asupan kalsium yang dikonsumsi dengan kepadatan tulang. Kalsium dibutuhkan untuk pembentukan mineral tulang dan penting untuk pengaturan proses fisiologik dan biokimia. Kalsium diperlukan

untuk memaksimalkan puncak massa tulang dan mempertahankan densitas tulang yang normal (Shroff & Pai 2000). Khomsan (2002) menyimpulkan bahwa rasio kalsium dan fosfor untuk pertumbuhan tulang yang ideal adalah 1:1 hingga 2:1. Di samping itu, Frongillo (1999) menyimpulkan bahwa faktor gizi yang dapat menyebabkan pertambahan tulang pada anak meliputi kalsium dan fosfor susu formula. Sebelumnya, WHO (1998) menjelaskan bahwa anak di bawah dua tahun membutuhkan suatu diet yang berbeda dengan diet orang dewasa. Di sisi lain, Specker et al. (1986) menyimpulkan bahwa diet memberi efek yang signifikan pada hormon pengatur pertumbuhan pada masa anak-anak. WHO (2001) melaporkan bahwa makanan pendamping air susu ibu (MPASI) yang digunakan di negara berkembang meskipun sebagian besar dari mereka dapat menyediakan energi dan protein yang cukup, namun tidak ada yang menyediakan mineral dan vitamin yang cukup.

Hal lain yang terkait dengan stunting yaitu sanitasi lingkungan dan karakteristik rumah tangga anak stunting. WHO (2001) melaporkan bahwa efek positif suplementasi mikronutrien pada pertumbuhan linier tidak disebabkan oleh asupan makanan yang meningkat, tetapi tampaknya dipengaruhi oleh penurunan morbiditas. Adapun Victoria et al. (2008) menyimpulkan bahwa ibu yang pendek waktu usia 2 tahun cenderung bertubuh pendek pada saat meninjak dewasa; dan apabila hamil ibu pendek akan cenderung melahirkan bayi yang BBLR. Selain itu, Linver et al. (2002) menyimpulkan bahwa pendapatan keluarga berkaitan dengan outcomes anak-anak. Di sisi lain, Hansen et al. (1979) menjelaskan bahwa variasi diet bisa menjadi fungsi dari status ekonomi.

Indonesia memerlukan informasi profil anak, asupan gizi dan karakteristik rumah tangga anak stunting dan tidak stunting 0-23 bulan dari kajian epidemiologi di Indonesia sebagai salah satu upaya untuk mengatasi masalah stunting. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji karakteristik anak, tingkat kecukupan dan mutu gizi konsumsi pangan, kesehatan anak dan sanitasi lingkungan, karakteristik orang tua, dan karakteristik rumah tangga anak 0-23 bulan stunting dan tidak stunting. Penelitian ini merupakan bagian penelitian payung ”Faktor-faktor risiko stunting dan pola konsumsi pangan, asupan energi dan zat gizi anak stunting 0-23 bulan”.

Metode

Sampel

Penelitian ini menggunakan data Riskesdas 2010 yang dilaksanakan oleh Balitbangkes, Kemenkes. Populasi target penelitian adalah anak yang berdomisili di Indonesia dari bulan Mei sampai dengan Agustus 2010. Sample adalah bagian dari populasi target yang memenuhi kriterian inklusi: berusia 0-23 bulan dan kriteria eksklusi: data berat badan dan panjang badan anak tidak lengkap; nilai nilai asupan energi dan z-skor BB/U, PB/U dan IMT/U termasuk pencilan; dan pengumpulan data asupan pangan saat kondisi tidak biasa yaitu perhelatan/hari besar/sakit.

Pemilihan sampel dilakukan secara acak dalam dua tahap. Tahap pertama dilakukan pemilihan Blok Sensus (BS) dan tahap kedua pemilihan rumah tangga, yaitu sejumlah 25 rumah tangga setiap BS. Besar sampel yang direncanakan sebanyak 2 800 BS. Sampel BS tersebut tersebar di 33 Provinsi dan 441 Kabupaten/Kota. Data yang berhasil dikumpulkan sebanyak sejumlah 2 798 BS sampel (99.9%) dari 2 800 BS sampel yang direncanakan. Pengumpulan dan entri data dilakukan tenaga kesehatan terlatih (minimal tamat D3 kesehatan). Pemeriksaan kelengkapan dan kebenaran data dilakukan oleh Penanggung Jawab Teknis Kabupaten/Kota, kemudian data dikirim secara elektronik kepada tim manajemen data di Balitbangkes.

Disain dan sampel penelitian

Desain Riskesdas 2010 adalah cross-sectional. Penelitian ini menganalisis sebagian data Riskesdas tahun 2010. Kemudian sampel dikelompokkan menjadi dua yaitu stunting dan tidak stunting.

Sub-set data Riskesdas 2010 diperoleh dalam bentuk e-files. Dari 6 634 data anak baduta dalam e-files tersebut, sejumlah 3 539 data anak dikeluarkan (screened out) karena: 1) data berat badan dan panjang badan anak tidak lengkap (644 orang), 2) nilai z-skor BB/U, PB/U dan IMT/U termasuk pencilan berdasarkan Blössner et al. (2009) yaitu -6>BB/U>5; -6>PB/U>6; -5>IMT/U>5 (447 orang), 3) pengumpulan data asupan pangan saat kondisi tidak biasa yaitu perhelatan/hari besar/sakit (46 orang), dan 4) nilai asupan energi termasuk pencilan berdasarkan Amilia (2011) yaitu asupan energi <0.3 BMR atau

>3.0 BMR (2 402 orang). Sehingga total sampel dalam penelitian ini adalah 3 095 anak.

Pengumpulan dan analisis data

Data Riskesdas 2010 meliputi keterangan rumah tangga dan keterangan anggota rumah tangga. Keterangan rumah tangga meliputi identitas, fasilitas pelayanan kesehatan, sanitasi lingkungan dan pengeluaran. Keterangan individu antara lain meliputi identitas individu, kesehatan anak, dan konsumsi makanan dalam 24 jam terakhir. Pengukuran tinggi badan/panjang badan dan berat badan dilakukan pada setiap responden.

Data yang gunakan dalam penelitian ini meliputi tinggi badan (z-skor PB/U), identitas anak (jenis kelamin, umur, berat lahir, berat badan anak -z-skor BB/U), tingkat kecukupan dan mutu gizi konsumsi pangan (tingkat kecukupan energi, tingkat kecukupan protein, tingkat kecukupan kalsium, tingkat kecukupan fosfor, tingkat kecukupan zat besi, tingkat kecukupan vitamin A, tingkat kecukupan vitamin B1, tingkat kecukupan vitamin C, mutu gizi asupan pangan, densitas asupan protein, densitas asupan kalsium, densitas asupan zat besi, densitas asupan vitamin A, densitas asupan vitamin B1, densitas asupan vitamin C), kesehatan anak dan sanitasi lingkungan (status pemberian ASI, status pemberian kapsul vitamin A, status kepemilikan KMS, status imunisasi Hepatitis B-0, kualitas air minum, tempat air limbah rumah tangga), karakteristik orang tua (umur, pendidikan, pekerjaan, tinggi badan, indeks massa tubuh), dan karakteristik rumah tangga (jumlah anak balita, besar keluarga, kota/desa, status ekonomi). Data dikumpulkan dengan teknik wawancara dengan menggunakan kuesioner. Data tersebut merupakan yang terkait dengan pertumbuhan linier anak 0-23 bulan pada data Riskesdas 2010.

Anak disebut stunting apabila z-skor PB/U<-2 SD dan tidak stunting apabila z-skor PB/U≥-2 SD (Jahari 2009). Anak berat lahir bayi rendah (BBLR) apabila BBL<2 500 g dan tidak BBLR apabila BBL≥2 500 g. Anak underweight apabila z-skor BB/U < - 2 SD dan tidak underweight apabila z-skor BB/U≥-2 SD (Jahari 2009).

Umur orang tua dikelompokkan menjadi: <25 tahun, 25-35 tahun, dan >35 tahun. Pendidikan orang tua dikelompokkan: SD, SLTP, SLTA, dan PT.

Pekerjaan orang tua dikelompkkan menjadi: tidak bekerja/sekolah, buruh/petani/nelayan, dan TNI/PNS/wiraswasta. Tinggi badan (TB) ibu dikategorikan pendek apabila TB ibu<145 cm dan tidak pendek apabila TB ibu≥145 cm. TB ayah pendek apabila TB ibu<150 cm dan tidak pendek apabila TB ibu≥150 cm. Indeks massa tubuh orang tua dikelompokkan menjadi: <18.5, 18.5-25, dan >25.

Berdasarkan data asupan zat gizi anak, diperoleh data tingkat kecukupan zat gizi. Tingkat kecukupan energi, protein, serta vitamin dan mineral masing- masing dikategorikan kurang apabila berturut-turut <70, 80, dan 50% dan cukup apabila ≥70, 80, dan 50%. Mutu gizi konsumsi pangan dihitung berdasarkan formula Hardinsyah (2001). Mutu gizi konsumsi pangan dikategorikan kurang apabila mutu gizi konsumsi pangan <70% dan cukup apabila mutu gizi konsumsi pangan ≥70%.

Densitas asupan zat gizi (DG) dihitung berdasarkan Drewnowski (2005). DG dikategorikan kurang apabila DG < standar FAO dan cukup apabila DG ≥ standar FAO kecuali protein (Tabel 1).

Tabel 1 Standar densitas asupan zat gizi

Zat Gizi FAO

Protein*, g - rendah < 20 - cukup 20-40 - tinggi > 40 Kalsium, mg 500-800 Zat besi, mg 7-40 Vitamin A, µg RE 700-1 000 Vitamin B1, mg 1.0-1.6 Vitamin C, mg 50-60

Sumber: Drewnowski (2005); Keterangan: *

Jumlah balita banyak jika jumlahnya lebih dari 1 orang dalam rumah tangga, dan sedikit jika hanya 1 orang. Keluarga besar jika anggota dalam rumah tangga lebih dari 4 orang, dan kecil jika kurang atau sama dengan 4 orang. Status ekonomi keluarga bawah apabila termasuk kuintil 1 dan 2, dan menengah atas apabila termasuk kuintil 3, 4 dan 5.

Diadaptasi berdasarkan WHO (1998) dan Drewnowski (2005)

Status pemberian ASI pada anak (anak pernah diberi ASI), status pemberian kapsul vitamin A pada anak, status immunisasi Hepatitis B-0, dan kualitas air minum keluarga memenuhi syarat masing-masing dikategorikan menjadi dua, yaitu tidak dan ya.

Status gizi diolah menggunakan WHO AnthroPlus 2007, pengolahan data lainnya menggunakan program Excel 2007 dan SPSS 16.0 for windows. Analisis hubungan menggunakan Chi-square.

Hasil

Karakteristik anak

Sebanyak 37.4% anak 0-23 bulan mengalami stunting. Tidak ada hubungan antara stunting dengan jenis kelamin (p>0.05), namun ada hubungan dengan umur (p<0.01), berat bayi lahir (p<0.01), dan berat badan menurut umur (p<0.01) anak 0-23 bulan.

Tidak adanya hubungan antara stunting dengan jenis kelamin anak 0-23 bulan menunjukkan bahwa stunting tidak ditentukan oleh jenis kelamin anak. Baik anak perempuan maupun anak laki-laki, keduanya berisiko untuk menjadi stunting. Prevalensi stunting anak perempuan tidak berbeda dengan anak laki- laki, masing-masing sebanyak 35.9% dan 38.7% (Tabel 2).

Tabel 2 Sebaran subjek berdasarkan status stunting dan karakteristik anak 0-23 bulan

Peubah Stunting Tidak Stunting Total Nilai p

Jenis kelamin 0.103 Perempuan 532 (35.9) 951 (64.1) 1 483 (100.0) Laki-laki 624 (38.7) 988 (61.3) 1 612 (100.0) Total 1 156 (37.4) 1 939 (62.6) 3 095 (100.0) Umur** 0.000 0–5 bulan 56 (24.5) 173 (75.5) 229 (100.0) 6–11 bulan 228 (32.8) 467 (67.2) 695 (100.0) 12–23 bulan 872 (40.2) 1 299 (59.8) 2 171 (100.0) Berat lahir** 0.000 <2 500 g 73 (53.3) 64 (46.7) 137 (100.0) ≥2 500 g 1 083 (36.6) 1 875 (63.4) 2 958 (100.0) Z-skor BB/U** 0.000 <-2 SD 306 (62.3) 185 (37.7) 491 (100.0) ≥-2 SD 850 (32.6) 1 754 (67.4) 2 604 (100.0) Keterangan: **p<0.01, *p<0.05; (n, %)

Prevalensi stunting meningkat seiring dengan bertambahnya umur anak. Prevalensi stunting anak 0-5, 6-11, dan 12-23 bulan berturut-turut sebanyak 24.5, 32.8, dan 40.2%. Prevalensi stunting pada anak dengan berat lahir rendah (BBLR) lebih banyak dibanding anak yang tidak BBLR, masing-masing yaitu 53.3 dan 36.6%. Prevalensi stunting pada anak yang underweight lebih banyak dibanding anak yang tidak underweight, masing-masing yaitu 62.3 dan 32.6%.

Tingkat Kecukupan dan Mutu Gizi Konsumsi Pangan

Tidak ada hubungan antara stunting dengan tingkat kecukupan energi, protein, zat besi, vitamin A, vitamin C, dan mutu gizi konsumsi pangan anak 0-23 bulan; demikian pula dengan densitas asupan zat besi, vitamin B1, dan vitamin C (p>0.05). Ada hubungan antara stunting dengan tingkat kecukupan kalsium (p<0.01), fosfor (p<0.01), dan vitamin B1 (p<0.05); begitu juga dengan densitas asupan protein (p<0.05), kalsium (p<0.01) dan vitamin A (p>0.01) (Tabel 3).

Prevalensi stunting anak 0-23 bulan yang tingkat kecukupan energi kurang tidak berbeda dengan anak yang kecukupan energinya cukup, masing-masing sebanyak 37.5 dan 37.2%. Begitu juga dengan prevalensi stunting anak yang tingkat kecukupan proteinnya kurang tidak berbeda dengan anak yang cukup, masing-masing sebanyak 38.4 dan 36.9%.

Prevalensi stunting anak 0-23 bulan yang tingkat kecukupan vitamin C- nya kurang tidak berbeda dengan anak yang tingkat kecukupan vitamin C-nya cukup, masing-masing sebanyak 37.9 dan 35.2%; demikian juga densitas asupan vitamin C, masing-masing sebanyak 37.5 dan 34.4%.

Prevalensi stunting anak 0-23 bulan yang tingkat kecukupan zat besinya kurang tidak berbeda dengan anak yang tingkat kecukupan zat besinya cukup, masing-masing sebanyak 37.6 dan 36.8%; demikian juga densitas asupan zat besi, masing-masing sebanyak 36.9 dan 40.5%.

Prevalensi stunting anak 0-23 bulan lebih tinggi pada anak yang kecukupan kalsium, fosfor dan vitamin B1–nya rendah, yaitu masing-masing 39.6, 41.7, dan 41.6% pada tingkat kecukupan yang rendah; sedangkan pada tingkat kecukupan yang tinggi masing-masing 35.1, 35.0 dan 36.3%. Pola yang sama juga dijumpai untuk densitas proetin, kalsium dan vitamin A, yaitu prevalensi stunting lebih tinggi pada anak yang densitas protein, kalsium dan vitamin A-nya rendah, yaitu masing-masing 39.1, 39.5 dan 39.2% pada densitas yang rendah, sedangkan pada densitas yang tinggi masing-masing 35.8, 33.7% dan 34.1%.

Prevalensi stunting anak 0-23 bulan yang mutu gizi konsumsi pangannya kurang dan anak yang mutu gizi konsumsi pangannya cukup, masing-masing sebanyak 38.6 dan 35.4%.

Tabel 3 Sebaran subjek berdasarkan status stunting dan tingkat konsumsi, mutu, dan densitas gizi anak 0-23 bulan

Keterangan: Tk = tingkat kecukupan; **p<0.01, *

Peubah

p<0.05; n (%)

Stunting Tidak Stunting Total Nilai p

Tk. energi 0.847 < 70% 521 (37.5) 867 (62.5) 1 388 (100.0) ≥ 70% 635 (37.2) 1 072 (62.8) 1 707 (100.0) Total 1 156 (37.4) 1 939 (62.6) 3 095 (100.0) Tk. protein 0.732 < 80% 382 (38.4) 614 (61.6) 996 (100.0) ≥ 80% 774 (36.9) 1 325 (63.1) 2 099 (100.0) Tk. kalsium** 0.010 < 50% 621 (39.6) 949 (60.4) 1 570 (100.0) ≥ 50% 535 (35.1) 990 (64.9) 1 525 (100.0) Tk. fosfor** 0.000 < 50% 454 (41.7) 634 (58.3) 1 088 (100.0) ≥ 50% 702 (35.0) 1 305 (65.0) 2 007 (100.0) Tk. zat besi 0.688 < 50% 840 (37.6) 1 396 (62.4) 2 236 (100.0) ≥ 50% 316 (36.8) 543 (63.2) 859 (100.0) Tk. vitamin A 0.209 < 50% 421 (38.8) 663 (61.2) 1 084 (100.0) ≥ 50% 735 (36.5) 1 276 (63.5) 2 011 (100.0) Tk. vitamin B1* 0.016 < 50% 254 (41.6) 357 (58.4) 611 (100.0) ≥ 50% 902 (36.3) 1582 (63.7) 2484 (100.0) Tk. vitamin C 0.214 < 50% 940 (37.9) 1 541 (62.1) 2 481 (100.0) ≥ 50% 216 (35.2) 398 (64.8) 614 (100.0)

Mutu gizi konsumsi pangan 0.073

< 70% 718 (38.6) 1 141 (61.9) 1 859 (100.0)

≥ 70% 438 (35.4) 798 (64.6) 1 236 (100.0)

Densitas asupan protein*

0.029 < 25 g per 1 000 kkal 572 (39.1) 890(60.9) 1462 (100.0)

≥ 25 g per 1 000 kkal 584 (35.8) 1049 (64.2) 1633 (100.0)

Densitas asupan kalsium** 0.001

< 500 mg per 1 000 kkal 774 (39.5) 1 186 (60.5) 1 960 (100.0)

≥ 500 mg per 1 000 kkal 382 (33.7) 753 (66.3) 1 135 (100.0)

Densitas asupan zat besi 0.165

< 7 mg per 1 000 kkal 996 (36.9) 1 704 (63.1) 2 700 (100.0)

≥ 7 mg per 1 000 kkal 160 (40.5) 235 (59.5) 395 (100.0)

Densitas asupan vitamin A** 0.005

< 700 µg RE per 1 000 kkal 773 (39.2) 1 199 (60.8) 1 972 (100.0)

≥ 700 µg RE per 1 000 kkal 383 (34.1) 740 (65.9) 1 123 (100.0)

Densitas asupan vitamin B1 0.520

< 1.0 mg per 1 000 kkal 539 (38.0) 881 (62.0) 1 420 (100.0)

≥ 1.0 mg per 1 000 kkal 617 (36.8) 1 058 (63.2) 1 675 (100.0)

Densitas asupan vitamin C 0.404

< 50 mg per 1 000 kkal 1 103 (37.5) 1 837 (62.5) 2 940 (100.0)

Kesehatan Anak dan Sanitasi Lingkungan

Tidak ada hubungan antara stunting dengan status pernah disusui (diberi ASI), mendapatkan kapsul vitamin A, kepemilikan KMS, imunisasi Hepatitis B-0, kualitas air minum, dan tempat pembuangan air limbah di rumah tangga anak 0-23 bulan (p>0.05).

Prevalensi stunting anak 0-23 bulan yang tidak pernah disusui (diberi ASI) tidak berbeda dengan anak yang pernah diberi ASI, masing-masing sebanyak 37.1 dan 37.4%. Begitu pula dengan status mendapatkan kapsul vitamin A dalam 6 bulan terakhir, masing-masing yaitu 36.9 dan 37.6% (Tabel 4).

Tabel 4 Sebaran subjek berdasarkan status stunting, kesehatan anak dan sanitasi lingkungan anak 0-23 bulan

Peubah Stunting Tidak Stunting Total Nilai p

Pemberian ASI 0.920

Tidak 112 (37.1) 190 (62.9) 302 (100.0) Ya 1 044 (37.4) 1 749 (62.6) 2 793 (100.0) Total 1 156 (37.4) 1 939 (62.6) 3 095 (100.0)

Mendapatkan kapsul vit. A 0.716

Tidak 433 (36.9) 739 (58.6) 1 172 (100.0) Ya 723 (37.6) 1 200 (62.4) 1 923 (100.0) Kepemilikan KMS 0.624 Tidak 43 (35.2) 79 (64.8) 122 (100.0) Ya 1 113 (37.4) 1 860 (62.6) 2 973 (100.0) Imunisasi Hepatitis B-0 0.184 Tidak 132 (34.3) 253 (65.7) 385 (100.0) Ya 1 024 (37.8) 1 686 (62.2) 2 710 (100.0)

Kualitas air minum 0.652

Tidak memenuhi syarat 12 (41.4) 17 (58.6) 29 (100.0) Memenuhi syarat 1 144 (37.3) 1 922 (62.7) 3 066 (100.0)

Tempat air limbah 0.447

Terbuka 931 (37.0) 1 583 (63.0) 2 514 (100.0) Tertutup 225 (38.7) 356 (61.3) 581 (100.0)

Keterangan: **p<0.01, *

Prevalensi stunting anak 0-23 bulan yang tidak memiliki atau tidak dapat menunjukkan (disimpan di tempat lain) catatan kesehatan berupa KMS/Buku KIA/catatan kesehatan lain seperti Buku Catatan Kesehatan Anak (selain KMS dan KIA) tidak berbeda dengan anak yang memiliki dan dapat menunjukkan catatan kesehatan, masing-masing sebanyak 35.2 dan 37.4%. Demikian pula dengan status mendapat imunisasi Hepatitis B-0 (biasanya diberikan sesaat setelah bayi lahir atau kurang dari 7 hari setelah bayi lahir yang disuntikkan di paha bayi), masing-masing sebanyak 34.3 dan 37.8%. Berikutnya, prevalensi stunting anak yang kualitas fisik air minum di keluarganya tidak memenuhi syarat (keruh,

berwarna, berasa, berbusa, & berbau) dan prevalensi anak yang kualitas fisik air minum yang memenuhi syarat, masing-masing yaitu 41.4 dan 37.3%.

Prevalensi stunting anak yang tempat penampungan air limbah dari kamar mandi/tempat cuci/dapur terbuka (penampungan terbuka di pekarangan, penampungan di luar pekarangan, tanpa penampungan –di tanah-, & langsung ke got/sungai) dan prevalensi stunting anak yang tempat penampungan air limbahnya tertutup (sarana pembuangan air limbah –SPAL- dan penampungan tertutup di pekarangan), berturut-turut yaitu 37.0 dan 38.7%.

Karakteristik Orang Tua

Tidak ada hubungan antara stunting anak 0-23 bulan dengan umur orang tua, pekerjaan orang tua, tinggi badan ayah, dan status gizi (indeks massa tubuh – IMT-) ayah (p>0.05). Namun, ada hubungan antara stunting dengan pendidikan ibu (p<0.05), pendidikan ayah (p<0.01), tinggi ibu (p<0.01) dan status gizi ibu (p<0.05).

Prevalensi anak stunting dengan umur ibu kurang dari 25 tahun, prevalensi stunting anak dengan umur ibu 25-35 tahun, dan prevalensi stunting umur ibu yang lebih dari 35 tahun, masing-masing berturut-turut 40.8, 36.3, dan 37.0%. Demikian pula dengan umur ayah, masing-masing berturut-turut 40.9%, 37.1%, dan 37.5% (Tabel 5). Separuh orang tua anak berusia 25-35 tahun.

Prevalensi stunting anak 0-23 bulan menurun seiring dengan meningkatnya pendidikan ibu. Prevalensi stunting anak dengan ibu berpendidikan SD, SLTP, SLTA, dan PT berturut-turut sebanyak 40.2, 37.5, 34.7 dan 33.7%. Demikian juga dengan pendidikan ayah, yaitu 41.9%, 36.9%, 34.1% dan 30.5%. Sekitar 40% orang tua berpendidikan SD.

Prevalensi stunting anak 0-23 bulan tidak berbeda pada setiap kelompok pekerjaan orang tua. Prevalensi anak stunting dengan ibu tidak bekerja/sekolah, buruh/petani/nelayan, TNI/PNS/wiraswasta berturut-turut yaitu 37.6, 37.6 dan 37.3%; demikian juga dengan pekerjaan ayah, yaitu 45.7, 39.1 dan 35.5%.

Tabel 5 Sebaran subjek berdasarkan status stunting dan karakteristik orang tua anak 0-23 bulan

Peubah Stunting Tidak Stunting Total Nilai p

Umur ibu 0.062

< 25 tahun 270 (40.8) 391 (59.2) 661 (100.0) 25-35 tahun 650 (36.3) 1 143 (63.7) 1 793 (100.0) > 35 tahun 219 (37.9) 359 (62.1) 578 (100.0) Tidak ada data 17 (27.0) 46 (73.0) 63 (100.0) Total 1 156 (37.4) 1 939 (62.6) 3 095 (100.0)

Umur ayah 0.779

< 25 tahun 61 (40.9) 88 (59.1) 149 (100.0) 25-35 tahun 569 (37.1) 964 (62.9) 1 533 (100.0) > 35 tahun 430 (37.5) 716 (62.5) 1 146 (100.0) Tidak ada data 96 (36.0) 171 (64.0) 267 (100.0)

Pendidikan ibu* 0.030

SD 506 (40.2) 754 (59.8) 1 260 (100.0) SLTP 268 (37.5) 446 (62.5) 714 (100.0) SLTA 277 (34.7) 521 (65.3) 798 (100.0) PT 87 (33.7) 171 (66.3) 258 (100.0) Tidak ada data 18 (27.7) 47 (72.3) 65 (100.0)

Pendidikan ayah** 0.001

SD 479 (41.9) 663 (58.1) 1 142 (100.0) SLTP 208 (36.9) 356 (63.1) 564 (100.0) SLTA 295 (34.1) 571 (65.9) 866 (100.0) PT 78 (30.5) 178 (69.5) 256 (100.0) Tidak ada data 96 (36.0) 171 (64.0) 267 (100.0)

Pekerjaan ibu 0.445

Tidak bekerja/sekolah 696 (37.6) 1 154 (62.4) 1 850 (100.0) Buruh/petani/nelayan 240 (37.6) 398 (62.4) 638 (100.0) TNI/PNS/wiraswasta 202 (37.3) 340 (62.7) 542 (100.0) Tidak ada data 18 (27.7) 47 (72.3) 65 (100.0)

Pekerjaan ayah 0.089

Tidak bekerja/sekolah 37 (45.7) 44 (54.3) 81 (100.0) Buruh/petani/nelayan 527 (39.1) 821 (60.9) 1 348 (100.0) TNI/PNS/wiraswasta 496 (35.5) 903 (64.5) 1 399 (100.0) Tidak ada data 96 (36.0) 171 (64.0) 267 (100.0)

Tinggi ibu** 0.000 < 145 cm 156 (50.0) 156 (50.0) 312 (100.0) ≥ 145 cm 1 000 (35.9) 1 783 (64.1) 2 783 (100.0) Tinggi ayah 0.107 < 150 cm 25 (48.1) 27 (51.9) 52 (100.0) ≥ 150 cm 1 131 (37.2) 1 912 (62.8) 3 043 (100.0) IMT ibu* 0.029 < 18.5 133 (42.9) 177 (57.1) 310 (100.0) 18.5 s/d 25 738 (37.5) 1 228 (62.5) 1 966 (100.0) > 25 270 (35.6) 489 (64.4) 759 (100.0) Tidak ada data 15 (25.0) 45 (75.0) 60 (100.0)

IMT ayah 0.254

< 18.5 108 (39.0) 169 (61.0) 277 (100.0)

18.5 s/d 25 781 (38.2) 1 264 (61.8) 2 045 (100.0)

> 25 167 (33.6) 330 (66.4) 497 (100.0) Tidak ada data 100 (36.2) 176 (63.8) 276 (100.0)

Prevalensi stunting anak 0-23 bulan yang ibunya pendek (tinggi badan ibu<145 cm) lebih banyak dibanding yang ibunya tidak pendek (tinggi badan ibu≥145 cm), berturut-turut yaitu 50.0 dan 35.9%. Namun demikian, prevalensi stunting anak yang ayahnya pendek (tinggi badan ayah<150 cm) tidak berbeda dengan yang ayahnya tidak pendek (tinggi badan ayah≥ 150 cm), berturut-turut yaitu 48.1 dan 37.2%.

Prevalensi stunting anak 0-23 bulan menurun seiring dengan meningkatnya status gizi ibu (indek massa tubuh). Prevalensi stunting anak pada ibu yang berstatus gizi kurus, normal, dan gemuk berturut-turut 42.9, 37.5, dan 35.6%. Namun, prevalensi stanting tidak berbeda dengan meningkatnya status gizi ayah, berturut-turut sebanyak 39.0, 38.2, dan 33.6%.

Karakteristik Keluarga

Tidak ada hubungan antara stunting anak 0-23 bulan dengan jumlah anak balita, besar keluarga, dan tempat tinggal mereka di kota/di desa (p>0.05). Namun, ada hubungan antara stunting dengan status ekonomi (p<0.01). Lebih dari seperlima keluarga anak 0-23 bulan memiliki banyak anak balita. Disamping itu, sekitar separuh keluarga anak 0-23 termasuk keluarga besar, bertempat tinggal