• Tidak ada hasil yang ditemukan

disajikan pada Gambar 21.

Gambar 21 Nilai bobot alternatif strategi pengembangan Kota Jambi menuju riverfront city

Alternatif strategi pengembangan yang merupakan prioritas utama adalah peningkatan koordinasi antar stakeholders dengan bobot nilai sebesar 0,247 (24,7%), namun demikian berhubung bobot nilai antar alternatif strategi tidak berbeda jauh mengindikasikan bahwa semua alternatif tersebut penting dan saling terkait.

5.4.2.1 Peningkatan Koordinasi antar Stakeholders

Alternatif strategi pengembangan Kota Jambi menuju riverfront cityyang pertama adalah peningkatan koordinasi antar stakeholders. Koordinasi berasal dari kata bahasa Inggris coordination yang berarti being co-ordinate, yaitu adanya koordinat yang bersamaan dari dua garis dalam bidang datar, yang dapat diartikan bahwa dua garis yang berpotongan pada koordinat tertentu. Koordinasi adalah bekerja bersama seerat-eratnya dibawah seorang pemimpin (Penjelasan UUD). Koordinasi kegiatan vertikal di daerah adalah upaya yang dilaksanakan oleh Kepala Wilayah guna mencapai keselarasan, keserasian dan keterpaduan baik perencanaan maupun pelaksanaan tugas serta kegiatan semua instansi vertikal, dan antara instansi vertikal dengan dinas daerah agar

0% 5% 10% 15% 20% 25% PKS PM PH PDDAS RS PKIH

Alternatif Strategi

80

tercapai hasil guna dan daya guna (PP. No. 6 th 1988). Menurut Basyuni (2009), koordinasi pada hakekatnya merupakan upaya memadukan (mengintegrasikan), menyerasikan dan menyelaraskan berbagai kepentingan dan kegiatan yang saling berkaitan beserta segenap gerak, langkah dan waktunya dalam rangka pencapaian tujuan dan sasaran bersama.

Menurut Basyuni (2009), terdapat beberapa prinsip koordinasi, antara lain (1) mempunyai kesamaan persepsi, saling pengertian, hormat menghormati yang perlu dibina; (2) obyek sasaran yang menjadi acuan koordinasi harus diterima semua pihak; (3) mengorientasikan perilaku semua pihak pada sasaran secara terpadu; (4) merancang pertemuan berkala guna memonitor kemajuan dan penanganan masalah; (5) mendorong semangat kerjasama dan etos kerja semua pihak guna mengefektifkan kegiatan bersama; (6) menasehati dan mengarahkan serta negosiasi agar tindakan tidak menyimpang; (7) mengintensifkan pemecahan masalah penghambat koordinasi; (8) mengarahkan semua potensi sumber daya hanya kepada sasaran atau tujuan; (9) menyempurnakan dan menyederhanakan sistem kerja bila diperlukan; (10) menginformasikan semua kebijakan dan mendengarkan pendapat semua pihak dalam membina kesamaan persepsi dari semua pihak.

Peningkatan koordinasi antar stakeholders perlu ditingkatkan agar berbagai kepentingan dari masing-masing stakeholders dapat diakomodasi dalam pengembangan riverfront city. Bappeda Kota Jambi sangat berperan dalam mengkoordinasikan rencana pengembangan riverfront city kepada seluruh instansi yang terkait. Kerjasama dan koordinasi yang baik antara Bappeda Kota Jambi dengan Dinas Tata Ruang dan Perumahan Kota Jambi sangat diperlukan agar dalam rencana tata ruang wilayah Kota Jambi arah pengembangan riverfront city dapat lebih terarah. Koordinasi juga harus tetap dilakukan dengan stakeholders di hulu seperti Dinas Kehutanan Prov. Jambi, BWSS VI, dan BPDAS. Koordinasi akan berjalan dengan baik jika kedua belah pihak menjalin komunikasi aktif dua arah dan menghilangkan ego sektoral.

Peningkatan koordinasi antar stakeholders dalam pengembangan Kota Jambi sebagai riverfront city dapat mengacu pada pembentukan kelembagaan Rhine Riverfront. Bentuk kelembagaan stakeholders yang dilaksanakan dalam Rhine Riverfront adalah (a) adanya pertemuan tingkat Menteri; (b) pembentukan komisi untuk perlindungan Sungai Rhine (Steereing Commitee for International Commitee for Protected the Rhine/ICPR); (c) pembentukan komisi koordinator

81

ICPR; (d) pembentukan kelompok kerja (kualitas air, emisi dan banjir); (e) adanya kelompok ahli dan (f) pembentukan sekretariat. Dari bentuk kelembagaan yang telah dijalankan pada pengelolaan Sunga Rhine maka dapat diaplikasikan untuk pengembangan Kota Jambi menuju riverfront city dengan pembentukan panitia kerja khusus yang dapat dilihat pada Gambar 22.

Gambar 22 Rencana koordinasi pengembangan Jambi riverfront city

5.4.2.2 Pemberdayaan Masyarakat

Alternatif strategi Kota Jambi menuju riverfront city yang kedua adalah pemberdayaan masyarakat. Definisi pemberdayaan masyarakat menurut Direktorat Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan Wisata Alam Kementerian Kehutanan (PJLWA Kemenhut) adalah segala bentuk kegiatan yang bertujuan untuk terus meningkatkan keberdayaan masyarakat, untuk memperbaiki kesejahteraan dan meningkatkan partisipasi mereka dalam segala kegiatan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya secara berkelanjutan. Menurut Awandana (2010), pemberdayaan masyarakat adalah suatu proses yang membangun manusia atau masyarakat melalui pengembangan kemampuan masyarakat, perubahan perilaku masyarakat, dan pengorganisasian masyarakat.

Pertemuan tingkat Instansi

Pembentukan Steering Commitee Jambi Riverfront City:

• Penunjukan ketua program pengembangan

• Pembagian tugas dan kewenangan

• Pensinergian program kerja

Pertemuan tingkat Kadis • Instansi/stakeholders terkait • Akademisi • LSM • Masyarakat • Swasta Pembentukan kelompok kerja dan komisariat Walikota Jambi Bappeda Kota Jambi Sosialisasi program/konsultasi publik • Masyarakat • Swasta

82

Definisi tersebut menggambarkan tiga tujuan utama dalam pemberdayaan masyarakat yaitu mengembangkan kemampuan masyarakat, mengubah perilaku masyarakat, dan mengorganisir diri masyarakat. Perilaku masyarakat yang perlu diubah adalah perilaku yang merugikan masyarakat atau yang menghambat peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pengorganisasian masyarakat merupakan suatu upaya masyarakat untuk saling mengatur dalam mengelola kegiatan atau program yang mereka kembangkan. Disini masyarakat dapat membentuk panitia kerja, melakukan pembagian tugas, saling mengawasi, merencanakan kegiatan, dan lain-lain.

Pemberdayaan masyarakat bisa berjalan apabila warganya ikut masyarakat secara aktif dan kritis disebut dengan program pembangunan partisipatif (Nugroho, 2001). Program pembangunan partisipatif pada intinya adalah program pembangunan yang mengedepankan tanggung jawab bersama dengan porsi setimbang antara pemerintah dan masyarakat dalam proses pembangunan. Suatu usaha hanya berhasil dinilai sebagai "pemberdayaan masyarakat" apabila kelompok komunitas atau masyarakat tersebut menjadi agen

Ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya air khususnya keberadaan Sungai Batanghari sangatlah tinggi. Sehingga diperlukan peran aktif masyarakat dalam lingkungannya secara baik secara swadaya dan mandiri. Dengan pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan riverfront city, masyarakat merasa memiliki sehingga secara aktif turut menjaga keberadaan sungai dan berperan aktif dalam pengembangan riverfront city tersebut.

Kemampuan masyarakat yang dapat dikembangkan antara lain kemampuan untuk berusaha, kemampuan untuk mencari informasi, kemampuan untuk mengelola kegiatan, kemampuan berperan serta aktif dalam memberikan saran dan masih banyak lagi sesuai dengan kebutuhan atau permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Lembaga adat yang sudah ada seperti Lembaga Adat Jambi sebaiknya perlu dilibatkan karena lembaga inilah yang sudah mapan.

5.4.2.3 Penegakan Hukum Beserta Regulasinya

Alternatif strategi pengembangan Kota Jambi menuju riverfront city yang ketiga adalah penegakan hukum beserta regulasinya. Definisi penegakan hukum (law inforcement) secara luas menurut Hamzah (1997), meliputi kegiatan

83

preventif yang meliputi negosiasi, supervisi, penerangan dan nasehat) dan represif yang meliputi mulai dari kegiatan penyelidikan, penyidikan sampai penerapan sanksi baik administratif maupun hukum pidana. Penegakan hukum lingkungan merupakan mata rantai terakhir dalam dalam siklus pengaturan (regulatory chain) perencanaan kebijakan lingkungan. Urutan siklus pengaturan perencanaan kebijakan yakni : 1) perundang-undangan (legislation); 2) penentuan standar (standard setting); 3) pemberian izin (lizensing); 4) penerapan (implementation); dan penegakan hukum (law enforcement).

Lemah kuatnya penegakan hukum oleh aparat akan menentukan persepsi ada tidaknya hukum oleh masyarakat. Bila penegakan hukum oleh aparat lemah, masyarakat akan mempersepsikan bahwa hukum di lingkungannya tidak ada atau seolah berada dalam hutan rimba yang tanpa aturan.

Lemahnya penegakan hukum yang berhubungan dengan Sungai Batanghari ini dapat dilihat dari masih pelanggaran pemanfaatan sempadan, seperti pembangunan mall dan hotel hingga ke badan air yang tidak sesuai dengan RTRW Kota Jambi serta lemahnya instansi daerah dalam hal ini Badan Lingkungan Hidup daerah untuk menindak industri yang membuang limbah cairnya diatas baku mutu. Penegakan hukum sangat diperlukan dalam pengembangan riverfront city. Penegakan hukum ini diberlakukan terhadap kegiatan-kegiatan pemanfaatan Sungai Batanghari baik dari hulu hingga hilir, sempadan sungai maupun badan sungai.

Keberhasilan penegakan hukum dalam pengembangan riverfront city dipengaruhi oleh kemampuan penegak hukum dalam mengatasi hambatan dan kendala sebagai berikut: (1) hambatan dan kendala yang bersifat alamiah antara lain keragaman suku bangsa dan bahasa dapat menyebabkan persepsi hukum yang berbeda, (2) kesadaran hukum masyarakat masih rendah, (3) belum lengkapnya peraturan hukum terkait penataan ruang dan pemanfaatan lahan sepanjang sempadan sungai, (4) penegak hukum belum mantap, (5) masalah pembiayaan.

5.4.2.4 Penyempurnaan Database DAS

Basis data (database) merupakan pengolahan data yang secara prinsip memiliki nilai yang lebih dibandingkan dengan data mentah. Lebih dari itu basis data adalah pusat sumber data yang caranya dipakai oleh banyak pemakai untuk berbagai aplikasi. Inti dari basis data adalah database management system

84

(DBMS) yang membolehkan pembuatan, modifikasi dan pembaharuan basis data, membangkitkan kembali data dan membangkiitkan laporan. Tujuan database yang efektif yaitu: 1) memastikan bahwa data dapat dipakai diantara pemakai untuk berbagai aplikasi; 2) memelihara data baik keakuratan maupun kekonsistenannya; 3) memastikan bahwa semua data yang diperlukan untuk aplikasi sekarang dan yang akan datang dapat tersedia dengan cepat; 4) membolehkan basis data untuk berkembang dan kebutuhan pemakai untuk berkembang; dan 5) membolehkan pemakai membangun pandangan personalnya.

Database DAS merupakan bagian dari sistem informasi sumberdaya air (UU No.7 Tahun 2004). Sistem informasi sumber daya air (khususnya DAS) merupakan jaringan informasi sumberdaya air yang tersebar dan dikelola oleh berbagai jaringan institusi. Jaringan informasi ini harus dapat diakses oleh berbagai pihak yang berkepentingan dalam bidang pengelolaan sungai. Sungai Batanghari yang merupakan bagian dari DAS Batanghari, membutuhkan database yang akurat dan kontinyu dalam rangka perancangan pengembangan riverfront city. Database DAS yang perlu disempurnakan dalam pengembangan riverfront city Sungai Batanghari antara lain kondisi hidrologis, hidrometereologis, hidrogeologis, prasarana dan teknologi.

Dalam konteks pengembangan riverfront city, database mengenai tata ruang juga sangat diperlukan. Menurut Idris (2006) diperlukan dua kegiatan dalam penyempurnaan database tata ruang Kota Jambi beserta DAS Batanghari, yakni: 1) strukturisasi database tataguna tanah, dampak tata ruang (tataguna air, banjir, limbah, erosi, dll), pembagian wilayah, rencana solusi, sehingga data ini mudah digunakan untuk mengindikasikan hubungan yang ada dan pelibatan unit adm terkait; 2) operasional model analisis tata ruang yang mampu secara sistematis memelihara inventarisasi ruang yang dinamis beserta fungsinya bagi daerah yang bersangkutan. Dengan menggunakan proyeksi kebutuhan ruang sesuai peruntukannya (misalnya dengan memperhatikan konservasi beberapa wilayah khusus untuk fungsi tertentu) bagi total wilayah model ini akan merelokasikan ruang untuk kepentingan masa depan sesuai dengan rancangan khusus pengembangan tata ruang. Informasi strategis tentang potensi, opsi, dan interrelasi sangat penting untuk mendukung proses harmonisasi tata ruang.

85

5.4.2.5 Revitalisasi Sungai

Secara umum stakeholders berpendapat bahwa revitalisasi/normalisasi Sungai Batanghari sangat mendesak untuk dilakukan. Revitalisasi sungai hal yang umum dilakukan dalam perbaikan kondisi sungai. Akan tetapi perlu diingat istilah revitalisasi/noralisasi kurang tepat untuk digunakan, karena sebenarnya sungai secara alami sudah normal. Secara alami sungai selalu merubah kondisi fisiknya sesuai dengan perubahan yang terjadi di sungai (Kodatie, et al. 2010). Kegiatan yang biasanya dilakukan dalan revitalisasi sungai antara lain pelurusan, pengerasan dinding sungai, pembuatan tanggul dan pengerukan serta penghilangan tumbuhan, lumpur, pasir, dan batuan di kiri kanan sungai akan dapat memberikan dampak negatif bagi ekologis sungai seperti hilangnya berbagai kemampuan dan potensi daerah ekoton dalam mengontrol aliran energi dan nutrien yang diperlukan bagi biota yang hidup di sungai. Hilangnya daerah ekoton akhirnya berdampak pada manusia sendiri karena terjadi banjir di hilir, erosi di dasar sungai yang menyebabkan longsor dan sedimentasi atau pendangkalan di hilir karena tererosinya material sepanjang sungai, serta terputusnya daur kehidupan pendukung ekosistem (Haryani, 2006). Sebagai contoh Sungai Kayamanya yang karena mengalami "normalisasi" dengan pembuatan dinding beton dan penghilangan batuan kecil dan tumbuhan di kiri-kanan sungai menyebabkan tempat berlindung anakan ikan sidat dari arus kuat dan tempat mencari makan hilang. Kegiatan revitalisasi sungai saat ini telah ditinggalkan oleh negara-negara Eropa dalam pengembangan riverfront. Melihat besarnya kerugian akibat hilangnya daerah ekoton, negara-negara maju mulai mengembalikan sungai dari pelurusan ke kondisi alamiahnya ke kelokan aslinya seperti sungai Rhine di Jerman yang pada abad ke-18 sampai ke-19 diluruskan sekarang kembali dibuat berkelok-kelok seperti aslinya dahulu.

Program revitalisasi yang akan dilakukan pada Sungai Batanghari sebaiknya bukan memakai paradigma tersebut akan tetapi revitalisasi dalam konteks pengembangan Sungai Batanghari adalah mengembalikan kembali atau memperbaiki kondisi sungai dengan tetap memperhatikan kelangsungan ekosistem sungai, maka hal yang harus dihindarkan dalam pengembangan ini adalah pembuatan tanggul permanen untuk mengatasi erosi. Keberadaan tanggul dapat digantikan dengan rekayasa teknik bioengineering yang ramah lingkungan seperti penggunaan live stake dan gabion wall yang mampu mengikuti kelokan sungai.

86

5.4.2.6 Pengembangan Kawasan Industri Hijau

Menurut pada Keppres No.41 Tahun 1996 pengembangan kawasan industri yaitu kewenangan untuk menyiapkan dan mengembangkan kawasan industri, kewenangan di bidang perijinan, penyediaan lahan dan penerbitan hak pemilikan tanah, menetapkan lokasi kawasan industri, bentuk perusahaan kawasan industri, hak dan kewajiban perusahaan kawasan industri termasuk pengelolaan lingkungan.

Kawasan industri hijau (Eco Industrial Park/EIP) merupakan evolusi dari konsep kawasan-kawasan industri yang sudah ada. Konsep kawasan industri yang selama ini hanyalah merupakan kumpulan-kumpulan yang hampir sama sekali tidak memiliki keterkaitan terutama dalam hal pengelolaan lingkungan, atau dengan kata lain, konsep kawasan industri tradisional tidak mengindahkan co-lokasi (lo-casion) dalam pengembangannya. Konsep co-lokasi mengembangkan cara baru untuk meraih sutau kesinergisan dan efisiensi yang lebih besar lagi dengan memperkuat prospek-prospek peningkatan nilai tambah dalam proses-proses industri yang diambil dari keuntungan yang diperoleh karena pengelompokan industri dalam suatu kawasan.

Dua definisi penting untuk sebuah EIP menurut Lowe (2001), pertama bahwa sebuah EIP merupakan suatu komunitas bisnis yang bekerja sama satu sama lain dan serta melibatkan masyarakat di sekitarnya untuk lebih mengefesiensikan pemanfaatan sumber daya (informasi, material, air, energi, infrastruktur, dan habitat alam) secara bersama-sama, meningkatkan kualitas ekonomi dan lingkungan, serta meningkatkan sumber daya manusia bagi kepentingan bisnis dan juga masyarakat sekitarnya. Definisi kedua adalah bahwa EIP merupakan suatu sistem industri yang merencanakan adanya pertukaran material dan energi guna meminimalisasi penggunaan energi dan bahan baku, meminimalisasi sampah/limbah, dan membangun suatu ekonomi berkelanjutan, ekologi dan hubungan sosial.

Keberadaan EIP sebaiknya menjadi pertimbangan Pemkot Jambi dalam RTRW Kota Jambi kedepan dalam mengantisipasi relokasi industri yang berada di sepanjang Sungai Batanghari. Dalam RTRW Kota Jambi tahun 2010-2030 kawasan Selincah ditetapkan sebagai kawasan strategis Pusat Industri Selincah yang dimaksudkan untuk menggerakkan kegiatan industri pengolahan skala besar di Kota Jambi dalam suatu kompleks yang terintegrasi dan memiliki konektivitas yang baik ke Bandara Sultan Thaha dan Pelabuhan Talang Duku.

87

Kawasan ini mencakup Kelurahan Payo Selincah dan sebagian Kelurahan Sijinjang dengan luas 698,49 Ha. Dalam perencanaan Pusat Industri Selincah oleh pemerintah Kota Jambi ini sebaiknya mengarah pada pembentukan EIP bukan hanya sebagai kawasan industri konvensional. Dengan konsep EIP banyak manfaat yang akan didapat seperti peningkatan PAD khususnya dari industri yang dilokasikan dalam satu kawasan, dan tentunya keberlangsungan ekologis sungai dapat terjamin di waktu yang akan datang.

Mendisain sebuah Eco-Industrial Park (EIP) tidak terlepas dari usaha-usaha bagaimana mengintegrasikan EIP ini dengan masyarakat di sekitarnya, karena bagaimana pun masyarakat akan langsung merasakan dampak dari suatu kawasan industri. Selain itu, pengembangan sebuah kawasan juga akan memberikan suatu pertimbangan bagi pembangunan wilayah yang tidak lain bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di wilayah tersebut. Untuk itu, penerapan sebuah EIP juga tidak lepas dari suatu usaha bagaimana untuk menciptakan suatu masyarakat yang berkelanjutan (sustainable community). Definisi sustainable community fokus pada pendekatan sistem yang terintegrasi untuk jangka panjang, diantaranya isu-isu yang berhubungan dengan isu ekonomi, lingkungan, dan sosial. Konsep ini memandang bahwa isu-isu yang berhubungan dengan ekonomi, lingkungan, dan sosial tersebut merupakan suatu yang terintegrasi dan memiliki hubungan saling kebergantungan. Yang berhubungan dengan isu-isu masalah ekonomi dalam sustainable community ini adalah bagaimana untuk menciptakan pekerjaan-pekerjaan yang baik bagi komunitas, gaji yang baik, bisnis yang stabil, implementasi dan pengembangan teknologi yang sesuai, pengembangan bisnis dan lain-lain. Menurut Khanna (1999) dalam Fatah (2009), pembangunan berkelanjutan akan berimplikasi terjadinya keseimbangan dinamis antara fungsi maintenance (sustainability) dan transformasi (development) dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup. Perencanaan pembangunan berkelanjutan harus mempertimbangkan adanya trade off antara level produksi-konsumsi dengan kapasitas asimilasi ekosistem. Sesuai dengan konsep daya dukung (carrying capacity), peningkatan kualitas hidup hanya dapat dilakukan jika pola dan level produksi-konsumsi memiliki kesesuaian dengan kapasitas lingkungan biofisik dan sosial. Strategi perencanaan EIP sebagai bagian dari perencanaan pembangunan berkelanjutan membutuhkan informasi yang tepat tentang pilihan-pilihan penggunaan sumberdaya, teknologi, pola konsumsi, perubahan struktur sistem, tingkat

88

kualitas hidup yang diharapkan serta status lingkungan yang menjamin berkurangnya tekanan ekologis oleh berbagai proses ekonomi. Dari sudut pandang lingkungan, suatu masyarakat hanya dapat berkelanjutan dalam jangka panjang bila semua aktivitas yang dilakukan dalam komunitas tersebut tidak menurunkan kualitas lingkungannya atau terlalu banyak menghabiskan sumber daya yang sudah terbatas jumlahnya. Perhatian terhadap lingkungan disini diarahkan pada usaha-usaha untuk proteksi terhadap kesehatan manusia dan lingkungan, menjamin ekosistem dan habitat yang sehat, serta usaha-usaha yang berhubungan dengan pengurangan polusi terhadap air, udara, dan daratan; menyediakan ruang hijau yang cukup, rekreasi, dan bagi penggunaan lain; melakukan manajemen ekosistem serta melindungi keanekaragaman hayati; dan lain-lain.

Isu-isu sosial dalam sustainable community meliputi keterlibatan masyarakat dalam mengatasi masalah-masalah pendidikan, kesehatan, hak kekayaan, community building, kerohanian, penegakan hukum untuk kepentingan lingkungan, dan lain-lain. Sustainable community sangat terkait dalam usaha-usaha untuk mengembangkan suatu EIP. Sebab, bagaimana pun keterlibatan masyarakat pada suatu wilayah tidak hanya terbatas pada masalah partisipasi mendukung aktivitas-aktivitas industri yang positif, tetapi pada umumnya masyarakat sekitar industri juga merupakan pekerja yang langsung terlibat dalam aktivitas industri tersebut. Bahkan dalam beberapa studi, menunjukan bahwa perkembangan industri-industri suatu wilayah mendorong terwujudnya suatu sustainable community (Djayadiningrat, 2001).

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

1. Berdasarkan aspek legal ada sebelas kelurahan tidak memenuhi GSS Batanghari tidak bertanggul dan satu kelurahan tidak memenuhi GSS Batanghari bertanggul yang telah ditetapkan. Dari aspek ekologis, segmen 1 dan 4 memiliki nilai sinousitas yang sangat tinggi sedangkan segmen 2 dan 3 terkategori tinggi. Dari aspek biofisik, kualitas air Sungai Batanghari telah tercemar berat, untuk kualitas alami sungai yang tertinggi adalah Pulau Sijenjang dan Teluk Kenali, terendah adalah Pasar Jambi. Dari aspek sosial, fungsi Sungai Batanghari bagi masyarakat adalah sebagai transportasi dan tempat pembuangan sampah. Maka dalam rangka pengembangan Kota Jambi menuju riverfront city yang didasarkan pada aspek legal, ekologis dan biofisik ada tiga model pengembangan yaitu zona alami, zona semi alami dan zona multi fungsi. 2. Berdasarkan analisis stakeholders, terdapat sepuluh institusi sebagai

subjects yaitu Balai Wilayah Sungai Sumatera VI (BWSS VI), Balai Pengelolaan DAS Batanghari, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Jambi, Dinas Perikanan Kota Jambi, Badan Pengendali Dampak Lingkungan Daerah Prov. Jambi (BAPEDALDA), Balai Lingkungan Hidup Kota Jambi (BLH), PPM-DAS Unja, masyarakat sekitar sempadan sungai, industri crumb rubber dan saw mill, lima institusi sebagai key players yaitu Bappeda Kota Jambi, Dinas Tata Ruang Kota Jambi, PU Kota Jambi, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Jambi dan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Prov. Jambi, tiga institusi sebagai context setters yaitu Bappeda Prov. Jambi, PU Prov. Jambi, dan Lembaga Adat Jambi, dan tiga institusi sebagai crowd yaitu Dinas Kehutanan Prov Jambi, Warsi dan Walhi.

3. Alternatif strategi dalam pengembangan Kota Jambi menuju riverfront city adalah: a) peningkatan koordinasi antar stakeholders; b) pemberdayaan

masyarakat; c) penegakan hukum beserta regulasinya; d)

penyempurnaan database DAS; e) revitalisasi sungai; serta f) pengembangan kawasan industri hijau. Alternatif strategi pengembangan yang merupakan prioritas utama adalah peningkatan koordinasi antar

90

Dokumen terkait