• Tidak ada hasil yang ditemukan

Alur Pengolahan Data

Dalam dokumen ANDINI SEPTIANI FKIK (Halaman 76-150)

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN

Bagan 4.3 Alur Pengolahan Data

H. Analisis Data

Analisis data lanjutan menggunakan analisis univariat dan bivariat sebagai berikut.

a. Analisis univariat digunakan untuk melihat gambaran distribusi frekuensi dari DDS, asupan zat gizi (energi, protein, vit A, vit C, Fe, Ca, dan Zn), serta kecukupan zat gizi yang dinilai dengan nilai NAR dan MAR.

b. Analisis Bivariat digunakan untuk mengetahui ada atau tidak adanya hubungan serta kekuatan hubungan antara DDS dengan kecukupan zat gizi yang dilihat dengan MAR dan NAR dari ketujuh zat gizi dengan menggunakan uji korelasi. Selain itu analisis kurva ROC antara skor DDS pada balita dengan standar MAR sebesar 75% AKG yang didapat dari rata-rata nilai kecukupan energi dan protein sebesar 70% AKG, serta kecukupan vitamin A, vitamin C, Kalsium, Zat besi, dan Zink sebesar 77% AKG. Analisis ROC dilakukan untuk mengetahui nilai sensitivitas dan spesifisitas dari metode DDS, serta menentukan cut off terbaik

dari DDS dengan melihat nilai sensitivitas dan spesifisitas yang paling optimal atau nilai dari keduanya sama-sama tinggi (Morton, Hebel, & McCarter, 2009).

5 BAB V

HASIL PENELITIAN A. Gambaran Karakteristik Umum

Responden dalam penelitian ini merupakan seluruh balita dalam penelitian Studi Diet Total (SDT) Survey Konsumsi Makanan Individu (SKMI) Balitbangkes tahun 2014 yang terdiri dari 33 Provinsi di Indonesia. Total sampel dalam penelitian sebanyak 3085 balita yang terdiri dari balita usia 24-47 bulan sebanyak 2022 balita, serta yang berusia 48-59 bulan sebanyak 1154balita. Sampel penelitian telah diukur konsumsi makanan dengan menggunakan recall individu 1x24 jam dan diukur berat badannya

serta sudah tidak mengkonsumsi ASI. Berikut tabel distribusi karakteristik individu dari balita.

Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Individu Balita 24-59 Bulan di Indonesia Tahun 2014

Karakteristik Individu Frekuensi

N % Jenis Kelamin Laki-Laki 1606 52,1 Perempuan 1479 47,9 Usia 24-47 bulan 1974 64 48-59 bulan 1111 36 Total 3085 100

Pada tabel 5.1 digambarkan karakteristik individu dari balita. Proporsi antara balita laki-laki dan perempuan sebesar 52.1% dan 47.9%. Dari 3085 balita, sebesar 64% berusia 24-47 bulan dan 36% berusia 48-59 bulan.

Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Berat Badan Pada Balita Usia 2-59 Bula di Indonesia Tahun 2014

Berat Badan

Mean SD Min-Maks 95% CI

14,29 2,27 9.6-20,9 14,22-14,38

Dari Tabel 5.2, diketahui dari 3085 balita rata-rata berat badannya sebesar 14,29 kg (14,22-14,38) dengan berat terendah 9,6 kg dan tertinggi 20,9 kg.

B. Analisis Univariat

Analisis univariat pada penelitian ini menggambarkan distribusi frekuensi asupan zat gizi (energi, protein, vitamin A, vitamin C, kalsium, zat besi, dan zink), distribusi frekuensi kecukupan zat gizi yang dihitung dengan nilai Nutrient Adequacy Ratio (NAR) dari ketujuh zat gizi dan nilai

kecukupan zat gizi keseluruhan dengan menggunakan Mean Adequacy

Ratio (MAR), distribusi frekuensi dan proporsi Dietary Diversity Score,

distribusi frekuensi asupan berdasarkan kelompok pangan, distribusi frekuensi kelompok pangan berdasarkan skor DDS, serta distibusi frekuensi skor DDS dan nilai MAR. pada balita di tiap provinsi Indonesia.

1. Distribusi Frekuensi Asupan Zat Gizi Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Indonesia Tahun 2014

Asupan zat gizi pada balita didapat dari hasil recall 1x24 jam yang

telah dilakukan dalam penelitian Studi Diet Total (SDT) Survey Konsumsi Makanan Individu (SKMI) Balitbangkes pada tahun 2014. Gambaran dari asupan serta kecukupan zat gizi pada balita sebagai berikut:

Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Asupan Zat Gizi Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Indonesia Tahun 2014

Zat Gizi Rata-rata SD Median Rerata

Usia 24-47 48-59 24-47 48-59 Total Total

Energi (kkal) 854.88 1208,28 188,15 250.65 975 982.15 Protein (gr) 23,20 34,69 8,15 11,54 26,3 27,34 Vitamin A (mcg) 267,92 337,74 138,26 162,26 306 293.07 Vitamin C (mg) 17,44 21,91 13,62 16.67 16,2 19,05 Kalsium (mg) 252,45 337,23 174,59 249,45 232,9 282,98 Fe (mg) 3,92 5,17 1,94 2,30 4,1 4,37 Zn (mg) 2,81 3,75 0,87 1,16 3,2 3,14

Berdasarkan tabel 5.3 dapat dilihat rata-rata, standar deviasi, serta nilai median dari asupan energi, protein, vitamin A, vitamin C, kalsium, zat besi dan zink. Dari tabel tersebut diketahui rata-rata asupan zat gizi pada usia 48-59 bulan lebih tinggi dibandingkan usia 24-47 bulan.

2. Distribusi Frekuensi Kecukupan Zat Gizi Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Indonesia Tahun 2014

Kecukupan zat gizi dilihat dengan menggunakan nilai MAR yang di dapat dari rata-rata nilai NAR energi, protein, vitamin A, vitamin C, kalsium, zat besi dan zink. Dibawah ini merupakan tabel distribusi frekuensi kecukupan zat gizi pada balita.

Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Kecukupan Zat Gizi Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Indonesia Tahun 2014

Kecukupan Zat Gizi Rata-rata (%) SD Min-Maks Median NAR Energi 75,82 16,35 26,38-126,43 78,13 NAR Protein 92,79 32,30 11,54-219,23 96,15 NAR Vit A 69,89 35,32 0-173,13 73,75 NAR Vit C 45,44 35,23 0-160,89 39 NAR Kalsium 36,99 26,30 2,03-116,54 30 NAR Fe 52,03 25,05 5-155 48,89 NAR Zn 71,83 22,38 17,5-160 75 MAR 63,54 20,40 16,37-109.07 68,66

Kecukupan zat gizi yang dihitung dengan nilai Nutrient Adequacy

Ratio (NAR), yang didapat dari persentase asupan yang dibandingkan

dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG). Selain nilai NAR juga dilhat nilai Mean Adequacy Ratio (MAR) yang didapat dari rata-rata nilai NAR.

Berdasarkan tabel 5.4, diketahui nilai NAR tertinggi yaitu protein sebesar 92,79% dan nilai NAR terendah yaitu kalsium sebesar 36,99%. Rata-rata nilai MAR dari ketujuh zat gizi tersebut sebesar 63,54%.

3. Distribusi Frekuensi dan Proporsi Dietary Diversity Score (DDS) pada Balita Usia 24-59 Bulan di Indonesia Tahun 2014

Keragaman konsumsi pangan dilihat dengan menggunakan nilai DDS. Gambaran distribusi frekuensi dari DDS sebagai berikut:

Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Dietary Diversity Score (DDS) Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Indonesia Tahun 2014

DDS

N Rata-rata SD Median Min-Maks

3085 5,29 1,31 5 1-9

Dari tabel 5.5 diketaui rata-rata DDS dari 3467 balita sebesar 5,26 dengan skor terendah 1 dan tertinggi 9.

Gambar 5.1 Persentase Dietary Diversity Score (DDS) Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Indonesia Tahun 2014

Dari grafik diatas diketahui skor DDS 5 merupakan skor yang paling tinggi dengan persentase sebesar 33,35% sedangkan skor DDS 1 merupakan skor yang paling rendah dengan persentase sebesar 0,227%.

4. Distribusi Frekuensi Asupan Berdasarkan Kelompok Pangan Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Indonesia Tahun 2014

Asupan berdasarkan kelompok pangan didapat dari hasil recall

individu 1x24 jam. Kelompok pangan dibedakan menjadi 9 kelompok yang mengikuti pengelompokan berdasarkan Dietary Diversity Score (DDS) oleh

Food and Agriculture Organization (FAO). Gambaran distribusi frekuensi dari konsumsi 9 kelompok pangan sebagai berikut:

Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Asupan Berdasarkan Kelompok Pangan Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Indonesia Tahun 2014

No Kelompok Pangan N %

1 Serealia dan umbi-umbian 3082 99,9

2

Daging hewani (daging ternak, unggas, ikan, organ, dll)

2350 76.2

3 Susu dan olahannya 1704 55,2

4 Telur 1460 47,3

5 Kacang-kacangan 1342 43,5

6 Buah, sayur, dan

umbi-umbian kaya vitamin A 1490 48,3

7 Buah lainnya 805 26,1

8 Sayuran lainnya 1204 39,0

9 Lemak dan minyak 2895 93,8

Berdasarkan tabel 5.6 diketahui dari 3085 balita, sebanyak 99,9% balita mengkonsumsi kelompok pangan serealia dan umbi-umbian. Selain itu, konsumsi terbanyak kedua sebesar 93,8% balita mengkonsumsi kelompok pangan lemak dan minyak. Konsumsi terendah sebesar 26,1% yaitu pada kelompok pangan buah lainnya yang terdiri dari buah kaya vitamin C (>18 mg vit C per 100 gr) dan buah yang tidak kaya baik vitamin A atau vitamin C.

5. Distribusi Proporsi Kelompok Pangan Yang Dikonsumsi Balita Usia 24-59 Bulan di Indonesia Berdasarkan Dietary Diversity Score (DDS) Pada Tahun 2014

Hasil penelitian ini menunjukkan persentase dari konsumsi sembilan kelompok pangan pada balita usia 24-59 bulan yang dilihat berdasarkan skor DDS. Hasil tersebut dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 5.7 Persentase Konsumsi Kelompok Pangan Berdasarkan skor DDS

DDS N Serealia dan umbi-umbian Daging hewani (daging ternak, ungags, ikan, organ, dll) Susu dan olahannya Telur Kacang-kacangan Buah, sayur, dan umbi-umbian kaya vit A Buah lainnya Sayuran lainnya Lemak dan minyak 1 7 85,7 0 14,3 0 0 0 0 0 0 2 47 95,7 19,1 19,1 0 4,3 23,4 6,4 8,5 23,4 3 188 100 51,6 16 14,9 10,6 13,8 8 12,8 72,3 4 529 100 65,6 30,8 27,2 23,3 31,9 9,3 18,5 93,4 5 1029 100 76,3 50,6 41,3 37,6 42,8 21,4 33,7 96,3 6 750 100 84,9 70 58,9 55,1 56,1 31,6 45,3 98 7 387 100 86,8 82,9 75,7 70,3 74,2 46 65,4 98,7 8 135 100 93,3 89,6 85,2 83 91,1 66,7 92,6 98,5 9 13 100 100 100 100 100 100 100 100 100

Dari tabel 5.7 diatas diketahui persentase asupan dari 9 kelompok pangan yang dilihat berdasarkan skor DDS dari terendah 1 sampai tertinggi 9. Berdasarkan tabel diatas, diketahui dari 3085 balita sebanyak 1029 balita memiliki skor DDS sebesar 5 dengan konsumsi sebanyak 4 kelompok pangan yang lebih dari 50%. Dari tabel tersebut juga diketahui balita yang memiliki skor DDS 1 sebesar 85,7% mengkonsumsi kelompok pangan serealia dan umbi-umbian serta terdapat 14,3% mengkonsumsi susu dan olahannya. Sedangkan pada balita dengan skor DDS 9 mengkonsumsi 100% dari kesembilan kelompok pangan.

6. Distribusi Frekuensi Keragaman Konsumsi Pangan dan Kecukupan Zat Gizi pada Balita di Tiap Provinsi Indonesia Tahun 2014

Gambaran distribusi frekuensi rerata Dietary Diversity Score (DDS)

dan rerata Mean Adequacy Ratio (MAR) dari 7 zat gizi pada balita di 33

Tabel 5.8 Distribusi Frekuensi Rerata Dietary Diversity Score (DDS) dan Rerata Kecukupan Zat Gizi dengan Mean Adequacy Ratio (MAR)

Berdasarkan Provinsi di Indonesia Tahun 2014

Provinsi N Rata-rata DDS Rata-rata MAR

Aceh 99 5,35 65,30 Sumatera Utara 82 5,35 61,39 Sumatra Barat 87 4,87 56,10 Riau 83 4,95 56,69 Jambi 70 4,84 54,02 Sumatra Selatan 95 4,73 53,80 Bengkulu 94 5,02 60,08 Lampung 105 5,13 61,09 Bangka Belitung 97 5,16 65,28 Kepulauan Riau 95 4,81 58,32 DKI Jakarta 113 5,88 72,07 Jawa Barat 116 4,89 56,25 Jawa Tengah 107 5,21 62,44 DI Yogyakarta 112 5,71 68,66 Jawa Timur 79 5,56 68,32 Banten 123 5,80 71,68 Bali 110 5,78 70,17

Nusa Tenggara Barat 92 5,45 64,55

Nusa Tenggara Timur 82 5,78 70,71

Kalimantan Barat 95 5,73 67,34 Kalimantan Tengah 110 5,39 63,82 Kalimantan Selatan 79 5,49 69,84 Kalimantan Timur 108 5,55 67,85 Sulawesi Utara 84 5,61 68,72 Sulawesi Tengah 79 5,53 66,17 Sulawesi Selatan 108 5,19 63,78 Sulawesi Tenggara 96 5,38 68,61 Gorontalo 113 5,41 68,48 Sulawesi Barat 92 4,95 61,95 Maluku 102 5,05 58,01 Maluku Utara 94 4,69 51,88 Papua Barat 52 4,85 52,59 Papua 32 4,66 53,01 Total 3085 5,29 63,54

Dari tabel 5.8 diketahui rerata skor DDS dan nilai MAR tertinggi terdapat di Provinsi DKI Jakarta sebesar 5,88 untuk DDS dan 72,07% untuk MAR. Sedangkan rerata skor DDS terendah terdapat di Provinsi

Papua sebesar 4,66, untuk nilai mAR terendah terdapat di Provinsi Maluku Utara sebesar 51,88%.

C. Analisis Bivariat

Analisis bivariat pada penelitian ini menghubungkan antara variabel dependen yaitu kecukupan zat gizi dalam MAR dengan variabel independen yaitu keragaman konsumsi pangan dalam DDS. Hubungan antara MAR dengan DDS sebagai berikut:

Tabel 5.9 Analisis Korelasi antara Dietary Diversity Score (DDS) dengan kecukupan zat gizi pada Balita Usia 24-59 Bulan di Indonesia

Kecukupan Zat Gizi DDS

r Pvalue MAR 0,771 0,000 NAR Energi 0,598 0,000 NAR Protein 0,624 0,000 NAR Vitamin A 0,672 0,000 NAR Vitamin C 0,487 0,000 NAR Kalsium 0,565 0,000 NAR Fe 0,673 0,000 NAR Zn 0,656 0,000

Dari tabel 5.9 diketahui hasil uji korelasi Spearman terdapat

hubungan yang signifikan antara DDS dengan kecukupan zat gizi secara keseluruhan (Pvalue<0,05). Selain itu, terdapat hubungan yang sangat kuat antara DDS dengan MAR, yang artinya semakin meningkat nilai DDS maka probabilitas nilai MAR semakin tinggi atau jika menggunakan karakteristik yang berbeda tetap menunjukkan terdapat hubungan antara DDS dengan MAR. Sedangkan hubungan antara DDS dengan kecukupan vitamin C memiliki kekuatan hubungan sedang, yang artinya jika nilai DDS meningkat, nilai kecukupan vitamin C dapat meningkat namun tidak

signifikan. Berikut grafik yang menunjukkan hubungan antara DDS dengan MAR.

Gambar 5.2 Grafik Hubungan antara DDS dengan MAR

Gambar 5.2 menunjukkan hubungan antara MAR dengan DDS. Dari gambar tersebut memperlihatkan kecenderungan semakin tinggi nilai MAR, maka skor DDS semakin tinggi. Skor DDS tertinggi dapat mencapai 89,78% dari rata-rata MAR.

D. Sensitivitas dan Spesifisitas

Nilai sensitivitas dan spesifisitas didapat dari analisis kurva ROC yang membandingkan antara nilai DDS dengan standar nilai MAR sebesar 75% yang didapat dari rata-rata kecukupan energi 70%, kecukupan protein 70%, kecukupan vitamin A 77%, kecukupan vitamin C 77%, kecukupan kalsium 77%, kecukupan zat besi 77%, dan kecukupan zink 77%. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui cut off point terbaik untuk DDS dan dapat

mengidentifikasi balita yang mengalami ketidakcukupan zat gizi

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 1 2 3 4 5 6 7 8 9 M A R (% ) DDS MAR

(sensitivitas tinggi), serta melihat balita dengan kecukupan zat gizi yang baik (sensitifitas).

Gambar 5.3 Sensitivitas dan Spesifisitas dari DDS untuk standar MAR Gambar 5.3 menunjukkan koordinat sensitivitas dan spesifisitas dari analisis kurva ROC untuk standar MAR 75% dengan skor DDS pada balita. Dari gambar tersebut menunjukkan bahwa nilai sensitivitas dan spesifisitas terbaik untuk DDS yaitu pada skor DDS 5,5. Pada skor tersebut menunjukkan nilai sensitivitas sebesar 76,7% dan spesifisitas sebesar 73,5% ketika menggunakan MAR 75% AKG. Artinya, apabila balita mengkonsumsi lebih dari 5 jenis pangan atau ≥6 jenis pangan dalam sehari, dapat mencukupi kecukupan zat gizi sebesar 75% dari AKG.

0.0 20.0 40.0 60.0 80.0 100.0 120.0 1 1.5 2.5 3.5 4.5 5.5 6.5 7.5 8.5 9

%

DDS se_75 sp_75

6 BAB VI PEMBAHASAN A. Keterbatasan Penelitian

Dalam penelitian ini terdapat beberapa kelemahan yang menjadi keterbatasan penelitian, diantaranya adalah

1. Dalam penelitian ini menggunakan data skunder Studi Diet Total Survey Konsumsi Makanan Individu tahun 2014, variabel dalam penelitian tersebut terkait konsumsi individu, konsumsi rumah tangga, serta cemaran kimia makanan. Sehingga faktor-faktor yang mempengaruhi kecukupan zat gizi lainnya yang terdapat dalam kerangka teori tidak dapat diteliti.

2. Penggunaan database dalam aplikasi pengolahan asupan recall

yang digunakan yaitu database Indonesia tahun 2005, sehingga

memungkinkan kurang ter-update dari jumlah zat gizi atau bahan

pangan dalam database tersebut. Hal ini mengharuskan peneliti

untuk mengganti bahan pangan yang tidak terdapat dalam database tersebut dengan bahan pangan yang sejenis atau serupa

kandungan gizinya, atau dengan menggunakan database lainnya

yaitu database USDA SR25 (2012) terutama pada beberapa

B. Asupan Zat Gizi Balita

Hasil penelitian ini memperlihatkan rerata dari asupan zat gizi energi, protein, vitamin A, vitamin C, kalsium, zat besi, dan zink. Penilaian asupan zat gizi didapat dari data recall 1x24 jam Studi Diet Total Survey

Konsumsi Makanan Individu tahun 2014. Dari data yang didapat, rerata dari ketujuh zat gizi tersebut masih kurang dari Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan oleh Kementerian Kesehatan pada tahun 2014.

Rerata asupan energi pada balita usia 24-47 bulan sebesar 854,88 kkal dari 1125 kkal yag dianjurkan AKG, sedangkan rerata asupan energi untuk usia 48-59 bulan sebesar 1208,28 kkal dari 1600 kkal yang dianjurkan. Rerata asupan protein pada balita usia 24-47 bulan sebesar 23,20 gram dari 26 gram yang dianjurkan, sedangkan rerata asupan protein pada balita usia 48-59 bulan sebesar 34,69 gram dari 35 gram yang dianjurkan. Rerata asupan vitamin A pada balita usia 24-47 bulan sebesar 267,92 mcg dari 400 mcg yang dianjurkan, pada balita usia 48-59 bulan sebesar 337,74 mcg dari 450 mcg yang dianjurkan. Rerata asupan vitamin C pada balita usia 24-47 bulan sebesar 17,44 mg dari 40 mg yang dianjurkan, pada balita usia 48-59 bulan sebesar 21,91 mg dari 45 mg yang dianjurkan. Begitu pula dengan rerata asupan kalsium, zat besi dan zink yang masih kurang dibandingkan dengan AKG 2014. Hasil penelitian ini menunjukkan asupan zat gizi yang diteliti masih kurang dari AKG yang dianjurkan di Indonesia.

Sedangkan jika dibandingkan dengan nilai median, pada hasil penelitian sebelumnya oleh Marlina (2011) diketahui nilai median asupan energi pada balita usia 24-59 bulan sebesar 1115,79 kkal sedangkan nilai median pada penelitian ini sebesar 975 kkal. Hanya median asupan zink dalam penelitian ini lebih tinggi sebesar 3,2 mg jika dibandingkan dengan penelitian Marlina (2011) sebesar 2,89 mg. Lain halnya dengan nilai median asupan vitamin A sebesar 306 mcg dan vitamin C sebesar 16,2 mg dalam penelitian ini lebih tinggi jika dibandingkan penelitian Kennedy (2009) pada anak usia 24-71 bulan di Filipina dengan median asupan vitamin A sebesar 142 mcg dan vitamin C sebesar 13 mg.

Asupan zat gizi sangat dipengaruhi oleh asupan makanannya, terutama pada balita yang sudah tidak konsumsi ASI (Murphy, Yaktine, Suitor, & Moats, 2011). Transisi dari konsumsi ASI menjadi konsumsi makan keluarga menjadi salah satu masalah dalam balita. Karakteristik balita yang sulit makan, memilih-milih makanan yang hanya disukainya, serta makan sedikit dan lambat dapat menjadi salah satu penyebab kurangnya asupan zat gizi pada balita (Michael, Gootman, & Kraak, 2006). Dalam penelitian ini tidak diteliti terkait kebiasaan makan atau pola makan pada balita, namun dapat diduga masalah makan pada balita pada umumnya dapat mempengaruhi asupan zat gizinya.

Selain itu jika dilihat dari konsumsi jenis pangan dan keragaman pangan, rata-rata balita mengkonsumsi sebanyak 5 jenis pangan dalam sehari, namun hanya konsumsi kelompok pangan serealia dan umbi umbian, lemak dan minyak, serta daging-dagingan yang mencapai lebih dari 50%.

Hal ini menunjukkan dari asupan kelompok pangan yang mengandung zat gizi mikro masih rendah seperti kelompok pangan sayur dan buah yang kaya vitamin dan mineral, kacang-kacangan yang banyak mengandung kalsium masih rendah (Selby, 2010). Hal ini dapat menjadi salah satu penyebab asupan zat gizi pada balita rendah dikarenakan asupan berdasarkan kelompok pangan sumber zat gizi seperti zat gizi mikro rendah.

C. Kecukupan Zat Gizi Balita

Kecukupan zat gizi balita dinilai dengan menggunakan Nutrient

Adequacy Ratio (NAR) dari ketujuh zat gizi dan nilai kecukupan zat gizi

keseluruhan dengan menggunakan Mean Adequacy Ratio (MAR).

Berdasarkan hasil penelitian ini, diketahui NAR dari 3085 balita untuk energi, protein, vitamin A, vitamin C, kalsium, zat besi, dan zink secara berurutan sebesar 75,82%; 92,79%; 69,89%; 45,44%; 36,99%; 52,03%; 71,83%. Sedangkan nilai MAR dari ketujuh zat gizi tersebut sebesar 63,54%. Berdasarkan hasil penelitian ini, diketahui hanya kecukupan terhadap protein yang mendekati angka 100% dari Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar balita masih kurang mengonsumsi zat gizi yang diperlukan tubuhnya dalam masa pertumbuhan.

Kecukupan gizi dipengaruhi dari asupan zat gizi, dimana kecukupan zat gizi dihitung dari asupan yang dibandingkan dengan nilai AKG tiap kelompok usia. Asupan zat gizi yang hampir mendekati AKG dalam penelitian ini yaitu asupan protein, sehingga kecukupan akan protein hampir

mencapai 100% yaitu 92,79%. Hal ini berkaitan dengan asupan pangan sumber protein yaitu kelompok daging-dagingan sebesar 76,2% ditambah kelompok pangan lainnya seperti telur, susu dan olahannya, maupun sumber protein nabati seperti kacang-kacangan (Marshall, 2009).

Kecukupan zat gizi yang paling rendah yaitu kecukupan kalsium, hal ini mungkin dikarenakan konsumsi terhadap pangan sumber kalsium seperti susu dan olahannya serta sayuran dan biji-bijian tidak mencapai 50%. Walaupun konsumsi kelompok pangan susu dan olahannya mencapai 55,2%, jumlah konsumsi dalam recall juga mempengaruhi asupan kalsium,

sehingga mungkin jika jumlah porsi dalam konsumsi susu dan olahannya dalam jumlah yang sedikit sehingga asupan kalsium rendah. Selain asupan terhadap sumber kalsium yang masih rendah, dalam proses absorpsi kalsium, beberapa zat gizi tertentu seperti protein, natrium, serat, fitat dan oxalat yang tinggi juga dapat menyebabkan rendahnya asupan kalsium (Kemenkes, 2014). Sejalan dengan penelitian Kennedy (2009), probabilitas ketidakcukupan zat gizi dengan nilai Probability of Adequate (PA) yang

paling tinggi pada anak usia 24-71 bulan yang tidak ASI yaitu kalsium. Hal tersebut dikarenakan konsumsi pada kelompok pangan susu dan olahannya hanya sebesar 38,3%.

Hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Marlina (2011) nilai median pada kecukupan zat gizi terendah yaitu zink sebesar 32,95%, hal ini dikarenakan asupan sumber zink seperti ikan dan daging yang masih rendah. Dalam penelitian ini nilai median kecukupan terhadap zink sebesar

71,83% yang menunjukkan asupan terhadap pangan sumber zink seperti ikan, kerang, dan daging sudah tercukupi. Hal ini dapat dilihat dari kecukupan terhadap protein yang mencapai 92,79%. Sedangkan jika dibandingkan dengan nilai MAR, rata-rata MAR pada anak usia 1-8 tahun di Afrika Selatan sebesar 63,3% (Steyn dkk., 2009), angka yang tidak berbeda jauh dengan MAR Indonesia dalam penelitian ini. Sedangkan di Negara Filipina rata-rata kecukupan zat gizi pada balita usia 24-71 bulan non ASI sebesar 33% (Kennedy, 2009), lebih rendah jika dibandingkan dengan Indonesia.

Kecukupan zat gizi tertinggi di Indonesia terdapat di Provinsi DKI Jakarta yaitu sebesar 72,07%. Jika dibandingkan dengan rata-rata nilai MAR di Kota Bandung dari penelitian Marlina (2011) sebesar 71,61%, lebih rendah dibandingkan dengan penelitian ini namun tidak berbeda jauh. Hal ini dimungkinkan karena DKI Jakarta merupakan provinsi atau ibukota Indonesia, yang merupakan pusat pemerintahan dan pusat perekonomian Indonesia. Sama halnya dengan Kota Bandung yang juga merupakan salah satu kota besar di Indonesia dengan perekonomian yang cukup tinggi. Tingkat perekonomian masyarakat dapat mempengaruhi pola konsumsi dan asupan (Gilarso, 2007). Sedangkan provinsi dengan kecukupan zat gizi yang paling rendah yaitu Provinsi Maluku Utara. Hal ini dapat berkaitan dengan akses pangan di daerah timur Indonesia yang masih sulit di jangkau serta informasi terhadap gizi juga masih minim (World Food Programme, 2015).

D. Keragaman Konsumsi Pangan Balita

Keragaman konsumsi pangan dinilai dengan menggunakan Dietary

Diversity Score (DDS) dengan melihat 9 kelompok pangan. Berdasarkan

hasil penelitian ini rerata skor DDS dari 3085 balita sebesar 5,29 kelompok pangan. Hal ini menunjukkan rerata balita mengkonsumsi sekitar 5 kelompok pangan dalam sehari. Hasil penelitian ini tidak berbeda jauh dengan hasil penelitian sebelumnya oleh Marlina (2011) menyatakan rerata DDS pada balita usia 24-59 bulan di Kota Bandung sebesar 5,67 kelompok pangan. Sedangkan hasil penelitian Kennedy (2009) diketahui rerata DDS pada anak usia 24-71 bulan yang tidak ASI di Filipina sebesar 4,91 kelompok pangan. Sedangkan hasil penelitian Steyn., dkk (2009) menunjukkan rerata DDS pada anak usia 1-8 tahun di Afrika Selatan sebesar 3,58 kelompok pangan. Hal ini menunjukkan keragaman konsumsi di Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan Negara Filipina dan Afrika Selatan.

Faktor sosial ekonomi menjadi salah satu penyebab keberagaman konsumsi pangan (Surachman dkk., 2013). Indonesia merupakan negara dengan keberagaman sosial ekonomi, budaya, adat istiadat, suku, dan agama yang beragam. Hal ini dapat menunjukkan terdapat banyaknya lapisan kelompok masyarakat mulai dari masyarakat dengan ekonomi sangat rendah sampai sangat tinggi (Moeis, 2008). Hal tersebut dapat menjadi salah satu penyebab keragamanan konsumsi pangan pada balita di Indonesia lebih tinggi jika dibandingkan dengan negara lainnya.

Jika dilihat berdasarkan provinsi sama halnya dengan kecukupan zat gizi, Provinsi DKI Jakarta juga merupakan provinsi dengan skor DDS tertinggi di Indonesia yaitu sebesar 5,88. Seperti yang dikemukakan oleh Hardinsyah (2007) bahwa keadaan ekonomi berpengaruh besar pada konsumsi pangan. Pada umumnya jika pendapatan meningkat, maka jumlah dan jenis makanan cenderung membaik juga (Perdana dkk., 2014). Provinsi DKI Jakarta dianggap sebagai provinsi dengan tingkat pendapatan penduduknya yang cukup tinggi dan merupakan kota besar dengan tingkat konsumsi tinggi pula hal ini yang dapat menyebabkan DKI Jakarta merupakan provinsi dengan keragaman konsumsi pangan dan kecukupan zat gizi tertinggi di Indonesia. Sedangkan provinsi dengan keragaman rendah yaitu Provinsi Papua. Provinsi Papua merupakan provinsi yang terletah di

Dalam dokumen ANDINI SEPTIANI FKIK (Halaman 76-150)

Dokumen terkait