SENSITIVITAS DAN SPESIFISITAS DIETARY DIVERSITY SCORE (DDS) DALAM MENGESTIMASI TINGKAT KECUKUPAN ZAT GIZI PADA
BALITA USIA 24-59 BULAN DI INDONESIA (ANALISIS DATA STUDI DIET TOTAL 2014)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar
Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
Disusun oleh :
ANDINI SEPTIANI NIM : 1112101000048
PEMINATAN GIZI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT PEMINATAN GIZI MASYARAKAT
Skripsi, Maret 2017
ANDINI SEPTIANI, NIM : 1112101000048
Sensitivitas dan Spesifisitas Dietary Diversity Score (DDS) dalam Mengestimasi Kecukupan Zat Gizi pada Balita Usia 24-59 Bulan di Indonesia (Analisis Data Studi Diet Total 2014)
xviii + 90 halaman, 12 tabel, 5 bagan, 3 gambar, 4 lampiran
ABSTRAK
Usia balita merupakan kelompok yang sangat rentan mengalami kekurangan zat gizi, baik makro maupun mikro. Dengan mengonsumsi pangan yang beragam, maka kebutuhan akan zat gizi makro dan mikro akan tercukupi. FAO dan FANTA telah memperkenalkan metode Dietary Diversity Score (DDS) sebagai metode yang simpel dan efektif untuk mengukur kualitas konsumsi serta kecukupan zat gizi dengan melihat keragaman konsumsi. Namun, di Indonesia belum terdapat uji validasi terhadap metode DDS dalam menilai kecukupan zat gizi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai sensitivitas dan spesifisitas DDS dalam mengestimasi tingkat kecukupan zat gizi pada balita usia 24-59 bulan di Indonesia. Penelitian menggunakan desain studi cross-sectional dan menggunakan data skunder Studi Diet Total tahun 2014 dengan sampel sebanyak 3085 balita yang telah diukur konsumsi dengan recall 1x24 jam, sudah tidak ASI, diukur berat badan, dan BB/U normal. Keragaman konsumsi dihitung dengan menggunakan metode DDS dengan menjumlahkan 9 kelompok pangan, dan kecukupan zat gizi dihitung dengan menggunakan nilai Nutrient Adequacy Ratio (NAR) dan Mean Adequacy Ratio (MAR) yang dibandingkan dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG) 2014. Analisis dengan uji korelasi untuk mengetahui hubungan antara DDS dengan MAR serta menghitung sensitivitas dan spesifisitas untuk mengetahui cut-off terbaik dari DDS.
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa rata-rata balita di Indonesia mengkonsumsi sebanyak 5 kelompok pangan (SD 1,31) dan rata-rata MAR 63,54%. Kelompok pangan yang tertinggi dikonsumsi pada balita yaitu kelompok pangan serealia dan umbi-umbian sebesar 99,9% kemudian diikuti kelompok pangan lemak dan minyak sebesar 93,8%. Konsumsi kelompok pangan terendah yaitu pada kelompok pangan buah lainnya sebesar 26,1%. Terdapat hubungan signifikan antara DDS dengan kecukupan tujuh zat gizi, serta terdapat hubungan yang sangat kuat antara DDS dengan MAR (r=0,771; P=0,000). Skor 6 untuk DDS dapat mencukupi 75% AKG sebesar 76,7% sensitivitas dan 73,5% spesifisitas. Provinsi DKI Jakarta merupakan provinsi dengan nilai DDS dan MAR tertinggi di Indonesia.
lebih dari 75% AKG. Diperlukan penelitian lebih lanjut dengan melihat faktor lainnya yang mempengaruhi kecukupan zat gizi pada balita atau karakteristik lainnya.
Kata Kunci : DDS, MAR, sensitivitas, spesifisitas, balita, cut off Daftar bacaan : 71 (2001-2016)
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES
SYARIF HIDAYATULLAH STATE ISLAMIC UNIVERSITY JAKARTA PROGRAME STUDY OF PUBLIC HEALTH SCIENCE
PUBLIC HEALTH NUTRITION CONCENTRATION Undergraduate Thesis, Maret 2017
ANDINI SEPTIANI, NIM : 1112101000048
Sensitivity and Specificity of Dietary Diversity Score (DDS) in Estimating Adequacy of Nutrients in Children 24-59 Months in Indonesia (Studi Diet Total 2014 Data Analysis)
xviii + 90 pages, 12 tables, 5 charts, 3 images, 4 attachments
ABSTRACT
Children under five years old have high risk of malnutrition, either macro and micro nutrients. By eating a variety of foods, then the macro and micro nutrient needs will be met. FAO and FANTA showed us a simple and effective method, called Dietary Diversity Score (DDS). This method is used to measure the quality and the adequacy of nutrient intake by the diversity of consumption. But unfortunately, in Indonesia there has been no test method validation of DDS in assessing the adequacy of nutrients.
This research is designed to study about the sensitivitas and specificity of DDS in estimating the adequacy of nutrients in children aged 24-59 months in Indonesia. This research is using cross- sectional and secondary data of Studi Diet Total 2014 with a sample of 3467 children under five have been measured consumption by recall 1x24 hours, is not breastfeeding, and measured body weight. Diversity consumption was calculated using DDS method with summing 9 food groups and nutrition adequacy is calculated using the value of Nutrient Adequacy Ratio (NAR) and Mean Adequacy Ratio (MAR) that is compared with Recommended Dietary Allowence (RDA) 2014. Corelation analysis test between DDS and MAR, and also calculate the sensitivity and spesificity know the best cut of point of DDS.
The result showed that the average of children under five in Indonesia consume as much as 5 food groups (SD 1.32) and average of MAR is 63,54%. Cerealia and tubers food group has the highest consumption which is 99,9%, and 93,8% on oil and fat group. The lowest consumption is on fruit others group which is only 26,1%. There is a significant correlation between DDS with seven nutrient adequacy, and there is a very strong correlation between the DDS and MAR (r = 0,771; P= 0,000). Score 6 for DDS can suffice about 76,7% sensitivity and 73,5% spesificity in assessing MAR 75% RDA. DKI Jakarta has the highest DDS and MAR score in Indonesia.
Keywords : DDS, MAR, sensitivity, specificity, children under five, cut off Bibliography : 71 (2001-2016)
DAFTAR RIWAYAT HIDUP IDENTITAS PRIBADI
Nama Lengkap : Andini Septiani
Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 24 September 1994
Alamat : Vila ANRI Blok T No. 3 RT 01/RW 015,
Kelurahan Mampang, Kecamatan Pancoran Mas,
Kota Depok
Jenis Kelamin : Perempuan
Kewarganegaraan : Indonesia
Agama : Islam
Email : andini.septiani6@gmail.com
Telepon : 085718571881
PENDIDIKAN FORMAL
2012 – sekarang : Gizi Masyarakat, Kesehatan Masyarakat Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
2009 – 2012 : SMA Negeri 49 Jakarta 2006 – 2009 : SMP Negeri 56 Jakarta 2000 – 2006 : SDN 03 Pagi Ragunan 1999 – 2000 : TK Tunas Wisma Tani
PENGALAMAN ORGANISASI
2007 – 2008 : Ketua Ekstrakulikuler Karya Ilmiah Remaja SMP Negeri 56 Jakarta periode 2007-2008
2009 – 2010 : Ketua Koordinasi Bidang Keterampilan dan Kewirausahaan OSIS-MPK SMA Negeri 49 Jakarta Periode 2009-2010
2010-2011 : Sekretaris Umum OSIS SMA Negeri 49 Jakarta Periode 2010-
2011
Eksekutif Mahasiswa (BEM) Kesehatan Masyarakat UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta Periode 2013-2014
PENGALAMAN BEKERJA
Januari 2015-Maret 2015 : Pengalaman Belajar Lapangan (PBL) di Puskesmas
Paku Alam Tangerang Selatan
Januari 2016-Maret 2016 : Magang di Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan
(BKPP) Provinsi Banten di Bidang Konsumsi dan
Keamanan Pangan
Maret 2017 - Juni 2017 : Internship di PT. Prudential Life Assurance bagian
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
penyusunan Skripsi yang berjudul “Sensitivitas Dan Spesifisitas Dietary Diversity Score (DDS) Dalam Mengestimasi Tingkat Kecukupan Zat Gizi Pada Balita Usia 24-59 Bulan Di Indonesia (Analisis Data Studi Diet Total 2014)” dengan baik.
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk mencapai Gelar S.KM pada
Mahasiswi Kesehatan Masyarakat Peminatan Gizi. Dalam penyusunan dan
penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan serta dukungan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis dengan senang hati
menyampaikan terima kasih kepada:
1. Kedua Orang Tua tercinta Ibu dan Bapak, yang tak henti mendo’akan, mendukung, dan memberi kasih sayang kepada anak-anaknya agar
tercapai semua cita-cita yang diinginkan. Tak henti do’a dipanjatkan agar semua urusan anak-anaknya dimudahkan, salah satunya sampai
terselesaikan skripsi ini dengan hasil yang tidak menghianati proses.
Terimakasih Pak, Bu..
2. Mas dan Wahyu yang tak henti memberikan dukungan semangat agar
skripsi ini cepat selesai, yang setia antar jemput si “anak wedok” ini.
3. Ibu Ratri Ciptaningtyas, MHS selaku Pembimbing 1 yang telah berbaik
hati memberikan bimbingan, pengarahan, nasihat-nasihat, serta dukungan
semangat dalam proses penyusunan skripsi ini.
4. Ibu Dela Aristi, MKM selaku Pembimbing 2 yang telah berbaik hati
memberikan bimbingan, pengarahan, dan dukungan semangat dalam
proses penyusunan skripsi ini.
5. Ibu Mukhlidah Hanun Siregar, M.KM selaku pembimbing pendamping
yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan dengan sabar serta
6. Ibu Fajar Ariyanti, S.KM, M.Kes, PhD selaku Ketua Program Studi
Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
7. Para penguji sidang skripsi yang telah memberikan kritik dan saran agar
menjadikan skripsi ini lebih baik lagi.
8. Sahabat-sahabat seperjuangan, Jijah, Tyas, Nuni, Gopit, Yolan, Vira, Ika,
Widia, dan Cece yang telah memberi dukungan, ilmu, kritik, saran,
pengalaman, dan sebagai stress relief semasa perkuliahan.
9. Teman-teman peminatan Gizi 2012 yang telah mendukung dan bekerja
sama dengan baik semasa perkuliahan.
10.Seluruh pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan dari awal
perkuliahan maupun dalam proses penyusunan skripsi yang tidak dapat
disebutkan satu persatu
Semoga Allah SWT memberikan balasan berupa kebaikan yang berlipat
ganda kepada semua yang telah berjasa dalam proses maupun penulisan skripsi
ini. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat
keterbatasan dan kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan
saran dari semua pihak untuk menyempurnakan skripsi ini. Penulis berharap,
semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi pihak yang membacanya.
Jakarta, Maret 2017
DAFTAR ISTILAH
Angka Kecukupan Gizi (AKG) adalah kecukupan rata-rata zat gizi sehari yang dianjurkan berdasarkan karakteristik tertentu.
Dietary Diversity Score (DDS) adalah indikator keragaman konsumsi pangan yang dinilai dengan 9 kelompok pangan.
Estimated Average Requirement (EAR) adalah rata-rata kebutuhan zat gizi yang diperoleh dari rata-rata kebutuhan gizi berdasarkan hasil penelitian pada
populasi sehat.
Keragaman Konsumsi Pangan adalah jumlah pangan atau kelompok pangan berbeda yang dikonsumsi individu dalam jangka waktu tertentu.
Mean Adequacy Ratio (MAR) adalah rata-rata nilai kecukupan zat gizi secara keseluruhan atau rata-rata dari nilai NAR.
Nutrient Adequacy Ratio (NAR) adalah perbandingan antara zat gizi yang dikonsumsi individu dengan angka kecukupan gizi yang dianjurkan sesuai
kategori usia dan jenis kelamin.
Pangan adalah segala sesuatu yang bersumber dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak.
Sensitivitas adalah kemampuan suatu tes untuk memberikan gambaran positif pada orang yang benar-benar sakit
DAFTAR ISI
PERNYATAAN PERSETUJUAN ... Error! Bookmark not defined.
PANITIA SIDANG UJIAN SKRIPSI ... ii
LEMBAR PERNYATAAN ... iii
ABSTRAK ... v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vii
KATA PENGANTAR ... ix
C. Pertanyaan Penelitian ... 8
D. Tujuan ... 9
1. Tujuan Umum ... 9
2. Tujuan Khusus ... 9
E. Manfaat ... 10
1. Bagi Pemerintah ... 10
2. Bagi Peneliti dan Mahasiswa Lainnya ... 11
F. Ruang Lingkup Penelitian ... 11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 12
A. Kebutuhan Gizi Balita ... 12
1. Kebutuhan Energi... 13
2. Kebutuhan Protein ... 14
3. Kebutuhan Zat Gizi Mikro ... 15
1. Pengertian Pangan ... 19
2. Pengelompokkan Pangan ... 20
C. Konsumsi Pangan Balita ... 22
D. Penilaian Konsumsi Pangan ... 24
E. Keanekaragaman Konsumsi Pangan ... 25
1. Penilaian Keberagaman Konsumsi Pangan ... 26
F. Konsep Dietary Diversity Score (DDS) dan Kecukupan Zat Gizi ... 29
G. Uji Sensitivitas dan Spesifisitas ... 33
H. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecukupan Zat Gizi Balita ... 35
1. Karakteristik Individu ... 35
2. Kebiasaan Makan ... 37
3. Faktor Ibu ... 40
4. Faktor Sosial Ekonomi ... 43
I. Kerangka Teori ... 44
BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 46
A. Kerangka Konsep ... 46
B. Definisi Operasional ... 48
C. Hipotesis Penelitian ... 50
BAB IV METODE PENELITIAN ... 51
A. Desain Penelitian ... 51
B. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 51
C. Populasi dan Sampel Penelitian ... 52
D. Sumber Data Penelitian ... 54
E. Instrumen Penelitian ... 55
F. Pengumpulan Data ... 55
G. Pengolahan Data ... 56
H. Analisis Data ... 59
A. Gambaran Karakteristik Umum ... 60
B. Analisis Univariat ... 61
1. Distribusi Frekuensi Asupan Zat Gizi Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Indonesia Tahun 2014 ... 61
2. Distribusi Frekuensi Kecukupan Zat Gizi Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Indonesia Tahun 2014 ... 62
3. Distribusi Frekuensi dan Proporsi Dietary Diversity Score (DDS) pada Balita Usia 24-59 Bulan di Indonesia Tahun 2014 ... 63
4. Distribusi Frekuensi Asupan Berdasarkan Kelompok Pangan Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Indonesia Tahun 2014 ... 65
5. Distribusi Proporsi Kelompok Pangan Yang Dikonsumsi Balita Usia 24-59 Bulan di Indonesia Berdasarkan Dietary Diversity Score (DDS) Pada Tahun 2014 ... 66
6. Distribusi Frekuensi Keragaman Konsumsi Pangan dan Kecukupan Zat Gizi pada Balita di Tiap Provinsi Indonesia Tahun 2014 ... 67
C. Analisis Bivariat ... 69
D. Sensitivitas dan Spesifisitas ... 70
BAB VI PEMBAHASAN ... 72
A. Keterbatasan Penelitian ... 72
B. Asupan Zat Gizi Balita ... 72
C. Kecukupan Zat Gizi Balita ... 75
D. Keragaman Konsumsi Pangan Balita ... 78
E. Hubungan antara Dietary Diversity Score (DDS) dengan Mean Adequacy Ratio (MAR) pada Balita ... 82
F. Sensitivitas dan Spesifisitas Dietary Diversity Score (DDS) dalam Mengestimasi Kecukupan Zat Gizi pada Balita ... 85
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN ... 88
A. KESIMPULAN ... 88
B. SARAN ... 90
DAFTAR PUSTAKA ... 91
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Angka Kecukupan Zat Gizi... 13
Tabel 2.2 Tabel Dietary Diversity Score (DDS) ... 28
Tabel 3.1 Definisi Operasional ... 48
Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Individu Balita 24-59 Bulan di
Indonesia Tahun 2014 ... 60
Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Berat Badan Pada Balita Usia 2-59 Bula di
Indonesia Tahun 2014 ... 61
Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Asupan Zat Gizi Pada Balita Usia 24-59 Bulan di
Indonesia Tahun 2014 ... 62
Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Kecukupan Zat Gizi Pada Balita Usia 24-59 Bulan
di Indonesia Tahun 2014 ... 63
Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Dietary Diversity Score (DDS) Pada Balita Usia
24-59 Bulan di Indonesia Tahun 2014 ... 64
Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Asupan Berdasarkan Kelompok Pangan Pada
Balita Usia 24-59 Bulan di Indonesia Tahun 2014 ... 65
Tabel 5.7 Persentase Konsumsi Kelompok Pangan Berdasarkan skor DDS ... 66
Tabel 5.8 Distribusi Frekuensi Rerata Dietary Diversity Score (DDS) dan Rerata
Kecukupan Zat Gizi dengan Mean Adequacy Ratio (MAR) Berdasarkan
Provinsi di Indonesia Tahun 2014 ... 68
Tabel 5.9 Analisis Korelasi antara Dietary Diversity Score (DDS) dengan
DAFTAR BAGAN
Bagan 2.1 Kerangka Teori ... 45
Bagan 3.1 Kerangka Konsep ... 46
Bagan 4.1 Alur Cleaning Sampel Penelitian... 54
Bagan 4.2 Alur Pengumpulan Data ... 56
Bagan 4.3 Alur Pengolahan Data ... 58
DAFTAR GAMBAR
Gambar 5.1 Persentase Dietary Diversity Score (DDS) Pada Balita Usia 24-59
Bulan di Indonesia Tahun 2014 ... 64
Gambar 5.2 Grafik Hubungan antara DDS dengan MAR ... 70
Gambar 5.3 Sensitivitas dan Spesifisitas dari DDS untuk ketiga cut off point
DAFTAR LAMPIRAN LAMPIRAN 1 Output Analisis Data
LAMPIRAN 2 Kuesioner Studi Diet Total 2014
LAMPIRAN 3 Surat Permohonan Permintaan Data
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kelompok usia balita merupakan kelompok yang sangat peka
terhadap jumlah asupan dan jenis pangan yang dikonsumsi. Hal ini
dikarenakan terjadi laju pertumbuhan yang sangat pesat pada masa balita
tersebut. Biasanya anak yang paling kecil beresiko lebih tinggi terhadap
kekurangan pangan, karena anak-anak yang paling kecil umumnya makan
lebih lambat dan dalam jumlah yang kecil dibandingkan anggota rumah
tangga yang lain. Hal ini dapat menyebabkan kebutuhan gizi anak
cenderung tidak tercukupi dalam masa pertumbuhannya (Suhardjo, 2010).
Pada usia 6-24 bulan, anak belum mampu mengekspresikan
keinginan mereka memilih jenis-jenis makanan. Sedangkan pada usia 24-59
bulan anak mulai memilih-milih jenis makanan yang hanya disukainya.
Sifat balita dalam memilih jenis makanan yang hanya disukai ini dapat
berakibat kurang beragamnya jenis makanan yang dikonsumsi. Keragaman
jenis-jenis makanan yang dikonsumsi oleh anak sangat menentukan
sumbangan atau kontribusi zat-zat gizi dalam pemenuhan kebutuhan gizi
anak. Selain itu, pada usia 24-59 bulan ini biasanya anak sudah berhenti ASI
sehingga pemenuhan akan zat gizi sepenuhnya dari konsumsi pangan
Dengan mengonsumsi pangan yang beragam, maka kebutuhan akan
zat gizi makro maupun zat gizi mikro bagi balita akan tercukupi.
Berdasarkan hasil penelitian lanjutan terhadap data konsumsi yang
diperoleh dari Riskesdas 2010, didapatkan bahwa jumlah anak balita pendek
usis 24-59 bulan yang mengalami defisit energi sebanyak 31,5%, sedangkan
pada balita yang normal sebesar 24,9%. Demikian juga balita pendek yang
megalami defisit protein sebesar 23.0% sedangkan pada balita normal
sebesar 17,5% (Hermina & Prihatini, 2011). Hal tersebut menunjukkaan
rendahnya asupan zat gizi dapat menyebabkan masalah gizi serta berbagai
gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada balita. Masalah gizi lainnya
yaitu prevalensi kekurangan zat gizi mikro pada balita seperti vitamin A dan
zat besi sebesar 5,7% dan 12,8% (Valentina, Palupi, & Andarwulan, 2014).
Zat gizi mikro yang berperan sangat penting dalam pertumbuhan dan
perkembangan pada balita yaitu vitamin A, vitamin C, zat besi (Fe),
kalsium, dan zink (Zn) (Sharlin & Edelstein, 2011).
Pemenuhan akan zat-zat gizi yang diperlukan tubuh tersebut dapat
terpenuhi dengan mengonsumsi makanan yang beragam. Secara alami
komposisi setiap jenis bahan pangan memiliki kelebihan dan kekurangan
akan zat gizi tertentu, sehingga dengan mengonsumsi jenis pangan yang
beragam, pangan satu dengan yang lainnya akan saling melengkapi
(Rustanti, 2015). Keberagaman konsumsi pangan yang dimaksud adalah
dengan mengonsumsi pangan yang seimbang yang dapat menyediakan zat
tenaga, zat pembangun, dan zat pengatur dalam jumlah yang cukup dan
Keberagaman konsumsi diketahui sebagai elemen kunci dari kualitas
konsumsi dan mempertinggi kecukupan asupan dari zat gizi yang esensial
(FAO, 2010). Dampak jangka pendek jika keragaman pangan yang rendah
akan mengakibatkan pola makan yang tidak seimbang. Selain itu dampak
lainnya dapat munculnya masalah-masalah gizi seperti kekurangan zat gizi
makro dan mikro, kelebihan gizi, dan ketidakseimbangan zat gizi karena
disposisi zat gizi (Ariani, 2010). Kekurangan zat gizi spesifik seperti
kekurangan vitamin dan mineral merupakan masalah yang sering terjadi jika
konsumsi tidak beragam (Hanafie, 2010).
Keragaman konsumsi pangan dapat dinilai dengan menggunakan dua
metode, yaitu penilaian keragaman konsumsi pangan pada tingkat rumah
tangga dan penilaian keragaman konsumsi pangan pada tingkat individu
(FAO, 2010). Di Indonesia, penilaian keragaman konsumsi pangan masih
menggunakan penilaian pada tingkat rumah tangga dengan menggunakan
metode Pola Pangan Harapan (PPH). Metode PPH ini dengan melihat
komposisi dan jumlah atau ketersediaan pangan pada tingkat rumah tangga.
Hasil dari perhitungan PPH tersebut dapat menjadikan evaluasi terhadap
ketahanan pangan suatu wilayah. Keterbatasan pada metode ini yaitu tidak
dapat menggambarkan skor keragamanan konsumsi dari masing-masing
individu dalam rumah tangga (Badan Ketahanan Pangan, 2014b).
Metode lainnya yaitu penilaian konsumsi pangan pada tingkat
individu. Data terkait konsumsi pangan pada tingkat individu juga
masalah gizi secara langsung. Selain itu, data terkait keragaman konsumsi
pangan pada tingkat individu juga dibutuhkan sebagai evaluasi kualitas
konsumsi pangan di masyarakat yang dapat digunakan untuk mengukur,
menilai keberhasilan program intervensi, dan monitoring serta evaluasi
dampak kebijakan dari program gizi. Namun, pengumpulan data konsumsi
individu cenderung lebih mahal, serta diperlukan keahlian tingkat tinggi
baik dalam pengumpulan data maupun analisis (FAO, 2010).
Penilaian konsumsi pangan pada tingkat individu dapat dinilai
dengan Dietary Diversity Score (DDS) dan juga Food Variety Score (FVS).
Penilaian keragaman konsumsi pangan dengan DDS yaitu melihat
keragaman pangan dari 9 kelompok pangan, sedangkan FVS yaitu melihat
keragaman pangan dari item perkelompok pangan. Food and Agriculture
Organization (FAO) dan Food and Nutrition Technical Assistance
(FANTA) telah memperkenalkan metode DDS sebagai metode yang simpel
dan efektif untuk mengukur kualitas konsumsi serta kecukupan zat gizi
dibandingkan dengan metode penilaian gizi lainnya. Studi terkait DDS telah
dikembangkan diberbagai negara berkembang. Dibeberapa negara
menunjukkan DDS sebagai alat yang mudah yang dapat menggambarkan
keberagaman konsumsi pada populasi dan sebagai indikator terbaik dalam
memprediksi kecukupan zat gizi (FANTA, 2006; FAO, 2010).
Dengan menggunakan metode DDS juga dapat menilai kecukupan
dari zat gizi yang dikonsumsi. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan
dengan asupan zat gizi pada anak tidak ASI usia 2-5 tahun di Filipina dan
penelitian Steyn, dkk., (2009) pada anak usia 1-8 tahun di Afrika Selatan.
Penelitian tersebut juga menilai cut-off point terbaik untuk indikator dari
ketidakcukupan asupan zat gizi mikro. Di Filipina, cut-off point untuk
indikator ketidakcukupan asupan zat gizi mikro yaitu 6 kelompok pangan
dapat mengestimasi kecukupan zat gizi sebesar 75%, sedangkan di Afrika
Selatan yaitu 4 kelompok pangan dapat mengestimasi kecukupan zat gizi
kurang dari 50%.
Di Indonesia, penelitian terkait DDS masih belum banyak. Penelitian
yang dilakukan oleh Supriyanti & Nindya (2015) melihat hubungan antara
DDS dengan status gizi pada balita usia 12-59 bulan di Sumenep. Hasil
penelitian tersebut menunjukkan sebagian besar konsumsi balita tidak
beragam dengan skor DDS <4 sebesar 82,7% dan skor DDS ≥4 sebesar 17,3%. Kelemahan dari penelitian ini yaitu tidak terdapat validasi terhadap
metode DDS yang digunakan. Pengkategorian skor DDS menggunakan
panduan dari FAO namun tidak terdapat validasi yang dilakukan di
Indonesia.
Penelitian DDS lainnya di Indonesia yaitu penelitian Marlina (2011)
yang menilai sensitivitas dan spesifisitas indikator keragaman konsumsi
pangan dengan DDS dan FVS dalam mengestimasi kecukupan zat gizi
energi, protein, vitamin A, vitamin C, zat besi, kalsium, dan seng pada balita
usia 24-59 bulan di Kota Bandung. Hasil penelitian tersebut menunjukkan
lebih baik dari pada FVS. Ambang batas terbaik untuk memperkirakan
Mean Adequancy Ratio (MAR) ≤70% adalah 6 untuk DDS dan 9 untuk FVS, yang artinya skor 6 untuk DDS menjadikan cut-off point dari
kecukupan zat gizi sebesar 70% dari Angka Kecukupan Gizi (AKG) balita
usia 24-59 bulan.
Di Indonesia, belum terdapat uji validasi terhadap metode DDS
secara nasional untuk mengetahui kecukupan zat gizi yang dibutuhkan
tubuh terutama pada balita usia 24-59 bulan. Uji validitas terhadap metode
DDS ini diperlukan sebagai penilaian apakah indeks atau alat ukur
penganekaragaman konsumsi pangan dengan menggunakan metode DDS ini
cukup mencerminkan parameter kecukupan zat gizi. Uji validitas ini dapat
menggunakan uji diagnostik dengan menilai sensitivitas dan spesifisitas dari
sebuah alat atau metode. Sensitivitas adalah nilai untuk memprediksi atau
mengidentifikasi kelompok yang mengalami kekurangan zat gizi, sedangkan
spesifisitas merupakan nilai untuk memprediksi kelompok yang kecukupan
zat gizinya baik (Fahmida & Dillon, 2007).
Pentingnya konsumsi beragam pangan pada balita agar terpenuhinya
kecukupan zat gizi, maka diperlukan suatu metode yang secara mudah dan
murah dalam mengestimasi kecukupan zat gizi tersebut. Untuk itu penelitian
ini bertujuan untuk menilai sensitivitas dan spesifisitas metode DDS dalam
mengestimasi kecukupan zat gizi pada balita usia 24-59 bulan di Indonesia
menggunakan data skunder dari Studi Diet Total tahun 2014. Penelitian ini
dalam pengambilan keputusan terkait kebijakan keragaman konsumsi
khususnya pada balita.
B. Rumusan Masalah
Kelompok balita merupakan kelompok yang rentan terhadap
masalah kekurangan asupan zat gizi, baik zat gizi makro maupun zat gizi
mikro. Hal ini dikarenakan kebutuhan akan pangan dan zat gizi yang
meningkat, namun asupan yang cenderung rendah dikarenakan karakteristik
balita yang memilih jenis makanan yang hanya disukai sehingga konsumsi
pangan tidak beragam. Kebutuhan akan gizi bagi tubuh akan tercukupi
apabila mengkonsumsi pangan yang beranekaragam. Dengan mengonsumsi
pangan yang beragam akan mempertinggi kecukupan zat gizi yang esensial.
Dampak jika konsumsi tidak beragam dapat menyebabkan kekurangan zat
gizi spesifik. Keragaman konsumsi pangan dapat dinilai dengan dua metode,
yaitu penilaian keragaman konsumsi pangan pada tingkat rumah tangga dan
pada tingkat individu. Salah satu metode penilaian pada tingkat individu
yaitu Dietary Diversity Score (DDS). DDS merupakan metode yang mudah
serta dapat menilai kecukupan zat gizi. Di berbagai negara metode DDS
telah dikembangkan serta telah diuji sebagai prediktor yang baik untuk
mengestimasi kecukupan zat gizi terutama pada usia balita. Di Indonesia,
penelitian terkait uji validitas metode DDS dalam mengestimasi kecukupan
zat gizi telah dilakukan di Kota Bandung, namun belum terdapat penelitian
secara nasional, untuk itu peneliti ingin meneliti terkait “Sensitivitas dan
Kecukupan Zat Gizi pada Balita Usia 24-59 Bulan di Indonesia” menggunakan data Studi Diet Total tahun 2014.
C. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, berikut yang menjadi
pertanyaan dalam penelitian:
1. Bagaimana distribusi frekuensi asupan zat gizi (energi, protein,
vitamin A, vitamin C, kalsium, Fe, dan Zn) pada balita usia 24-59
bulan di Indonesia pada tahun 2014?
2. Bagaimana distribusi frekuensi kecukupan zat gizi pada balita usia
24-59 bulan di Indonesia pada tahun 2014?
3. Bagaimana distribusi frekuensi dan proporsi Dietary Diversity
Score (DDS) pada balita usia 24-59 bulan di Indonesia pada tahun
2014?
4. Bagaimana distribusi frekuensi asupan berdasarkan kelompok
pangan pada balita usia 24-59 bulan di Indonesia pada tahun 2014?
5. Bagaimana distribusi frekuensi kelompok pangan yang dikonsumsi
balita usia 24-59 bulan di Indonesia berdasarkan Dietary Diversity
Score (DDS) pada tahun 2014?
6. Bagaimana distibusi frekuensi keragaman konsumsi pangan dan
kecukupan zat gizi pada balita usia 24-59 bulan di tiap provinsi
7. Bagaimana hubungan antara keragaman konsumsi pangan dengan
kecukupan zat gizi pada balita usia 24-59 bulan di Indonesia pada
tahun 2014?
8. Bagaimana nilai sensitivitas dan spesifisitas dari DDS untuk
mengestimasi kecukupan zat gizi pada balita usia 24-59 bulan di
Indonesia pada tahun 2014?
D. Tujuan
1. Tujuan Umum
Diketahuinya nilai sensitivitas dan spesifisitas Dietary
Diversity Score (DDS) dalam mengestimasi tingkat kecukupan zat gizi
pada balita usia 24-59 bulan di Indonesia dengan menganalisis data
Studi Diet Total tahun 2014.
2. Tujuan Khusus
a. Diketahuinya distribusi frekuensi asupan zat gizi (energi, protein,
vitamin A, vitamin C, kalsium, Fe, dan Zn) pada balita usia 24-59
bulan di Indonesia pada tahun 2014
b. Diketahuinya distribusi frekuensi kecukupan zat gizi pada balita
usia 24-59 bulan di Indonesia pada tahun 2014
c. Diketahuinya distribusi frekuensi dan proporsi Dietary Diversity
Score (DDS) pada balita usia 24-59 bulan di Indonesia pada tahun
2014
d. Diketahuinya distribusi frekuensi asupan berdasarkan kelompok
e. Diketahuinya distribusi proporsi kelompok pangan yang
dikonsumsi balita usia 24-59 bulan di Indonesia berdasarkan
Dietary Diversity Score (DDS) pada tahun 2014
f. Diketahuinya distibusi frekuensi keragaman konsumsi pangan dan
kecukupan zat gizi pada balita usia 24-59 bulan di tiap provinsi
Indonesia pada tahun 2014
g. Diketahuinya hubungan antara keragaman konsumsi pangan
dengan kecukupan zat gizi pada balita usia 24-59 bulan di
Indonesia pada tahun 2014
h. Diketahuinya nilai sensitivitas dan spesifisitas dari DDS untuk
mengestimasi kecukupan zat gizi pada balita usia 24-59 bulan di
Indonesia pada tahun 2014
E. Manfaat
1. Bagi Pemerintah
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran
informasi data terkait keragaman konsumsi pangan pada balita usia
24-59 bulan di Indonesia. Hal ini dapat dijadikan informasi dalam
pengambilan kebijakan atau dalam evaluasi program gizi khususnya
terkait keberagaman konsumsi pangan. Serta dapat menambah
referensi terkait penilaian keragaman konsumsi pangan pada balita
2. Bagi Peneliti dan Mahasiswa Lainnya
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan
dalam keberagaman konsumsi pangan dengan menggunakan metode
Dietary Diersity Score dan dapat menambah referensi studi terkait
Dietary Diversity Score dan kecukupan zat gizi pada balita.
F. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan oleh mahasiswi Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kedokkteran dan Ilmu Kesehatan UIN syarif Hidayatullah Jakarta
pada tahun 2016. Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan November
2016 sampai Februari 2017. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui
nilai sensitivitas dan spesifisitas metode Dietary Diversity Score (DDS)
dalam mengestimasi kecukupan zat gizi pada balita usia 24-59 bulan di
Indonesia.
Penelitian ini menggunakan data skunder dari Studi Diet Total survei
konsumsi makanan individu Indonesia 2014. Sampel populasi dari
penelitian ini yaitu seluruh balita usia 24-59 bulan di Indonesia yang
merupakan sampel dalam penelitian Riskesdas tahun 2013. Ini merupakan
penelitian kuantitatif dengan desain penelitian cross sectional dan
menggunakan uji korelasi untuk mengetahui hubungan dan kekuatan
hubungan antara skor keragaman konsumsi pangan dengan kecukupan
asupan zat gizi serta analisis kurva ROC untuk mengetahui nilai sensitivitas
dan spesifisitas antara DDS dengan kecukupan zat gizi (MAR) yang dinilai
2BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kebutuhan Gizi Balita
Balita harus mengkonsumsi, energi, protein, vitamin, dan mineral
dengan kualitas yang cukup tinggi untuk bekal dalam masa
pertumbuhannya. Energi yang dihasilkan dari metabolisme zat gizi akan
digunakan untuk mendukung pemeliharaan fungsi tubuh dan sebagai
bahan bakar untuk pertumbuhan serta aktivitas fisik. Oleh karena itu
pemenuhan akan zat gizi pada balita merupakan komponen yang penting
bagi jaringan tubuh (Pipes, 2001).
Kebutuhan zat gizi pada anak usia 2-5 tahun meningkat karena
masih berada pada masa pertumbuhan cepat dan aktivitasnya tinggi.
Demikian juga anak sudah mempunyai pilihan terhadap makanan yang
disukai termaksud makanan jajanan. Oleh karena itu jumlah dan variasi
makanan harus mendapatkan perhatian secara khusus dari ibu atau
pengasuh anak, terutama dalam mengatur kesukaan makanan anak agar
anak mau dan memilih makanan yang bergizi seimbang. Disamping itu
anak pada usia ini sering keluar rumah untuk bermain sehingga mudah
terkena penyakit infeksi dan kecacingan yang dapat menyebabkan
kebutuhan akan zat gizi yang lebih atau perlu perhatian khusus
(Kemenkes, 2014b).
Gizi yang baik dikombinasikan dengan kebiasaan makan yang
masa yang akan datang. Pengaturan makanan yang seimbang menjamin
terpenuhinya kebutuhan gizi untuk energi dan pertumbuhan pada balita.
Pengaturan makan yang baik yang dapat memenuhi kecukupan gizinya
juga dapat melindungi balita dari penyakit dan infeksi serta membantu
perkembangan mental dan kemampuan belajarnya (Thompson, 2006).
Kebutuhan akan zat gizi dipengaruhi oleh tingkat pertumbuhan dan
keterkaitan antara zat gizi lainnya (Pipes, 2001). Banyak faktor yang dapat
mempengaruhi kebutuhan zat gizi pada balita. Usia, berat badan, tinggi
badan, indeks massa tubuh, dan aktivitas fisik. Kebutuhan zat gizi pada
penduduk Indonesia menggunakan standar Angka Kecukupan Gizi (AKG)
tahun 2014 (Kemenkes, 2014a). Berikut tabel angka kecukupan zat gizi
untuk balita usia 2-5 tahun.
Tabel 2.1 Angka Kecukupan Zat Gizi
Kelompok
Energi merupakan salah satu hasil metabolisme zat gizi. Energi
diperlukan untuk proses pertumbuhan dan mempertahankan fungsi
dan gerakan otot untuk aktivitas (Thompson, 2006). Pangan sumber
energi adalah pangan sumber lemak, karbohidrat, dan protein. Contoh
pangan sumber energi yaitu beras, jagung, oat, serealia, umbi-umbian,
tepung, gula, buah, daging, telur, ikan, susu, kacang-kacangan, dan
jenis pangan lainnya (Simanjuntak, 2014).
Perhitungan kecukupan energi dalam Angka Kecukupan Gizi
2014 berdasarkan perhitungan energi model persamaan IOM tahun
2005. Perhitungan kecukupan energi dipengaruhi oleh beberapa faktor
seperti berat dan tinggi badan, pertumbuhan dan perkembangan (usia),
jenis kelamin, energi cadangan bagi anak dan remaja, serta thermic
effect of food (TEF). TEF adalah peningkatan pengeluaran eneri karena
asupan pangan yang nilainya 5-10% dari Total Energy Expenditure
(TEE) (Mahan & Escoot-stump 2008 dalam Kemenkes 2014a). Angka
kecukupan energi pada anak usia 1-3 tahun yang ditetapkan dalam
AKG 2014 yaitu sebesar 1125 kkal, sedangkan untuk anak usia 4-6
tahun sebesar 1600 kkal (Kemenkes, 2014a).
2. Kebutuhan Protein
Protein terdiri dari asam-asam amino. Disamping menyediakan
asam amino esensial, protein juga mensuplai energi dalam keadaan
energi terbatas dari karbohidrat dan lemak. Protein diperlukan untuk
memelihara struktur dan fungsi tubuh setiap saat. Protein ekstra
mungkin diperlukan selama masa pertumbuhan anak-anak, dalam
sumber protein hewani meliputi daging, telur, susu, ikan, dan hasil
olahannya. Pangan sumber protein nabati meliputi kedelai,
kacang-kacangan, dan hasil olahannya seperti tempe, tahu dan lainnya
(Marshall, 2009).
Kecukupan protein seseorang dipengaruhi oleh berat badan,
usia (tahap pertumbuhan dan perkembangan) dan mutu protein dalam
pola konsumsi pangannya. Bayi dan anak-anak yang berada dalam
tahap pertumbuhan dan perkembangan yang pesat membutuhkan
protein lebih banyak per kilogram berat badannya dibandingkan orang
dewasa. Angka kecukupan protein berdasarkan AKG 2014 untuk anak
usia 1-3 tahun sebesar 26 gr/hari sedangkan untuk anak usia 4-6 tahun
sebesar 35 gr/hari (Kemenkes, 2014a)
3. Kebutuhan Zat Gizi Mikro
Zat gizi mikro adalah zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh
dalam jumlah kecil atau sedikit tetapi ada dalam makanan. Zat gizi
yang termasuk kelompok zat gizi mikro adalah mineral dan vitamin.
Vitamin dan mineral merupakan katalisator yang sangat membantu
dalam proses pencernaan dan metabolisme tubuh. Kebutuhan akan
vitamin dan mineral pada balita terus meningkat sejalan dengan
a) Vitamin
Vitamin adalah zat gizi mikro yang sangat dibutuhkan tubuh
manusia meski dalam jumlah sedikit. Kekurangan asupan zat gizi ini
dapat menimbulkan akibat yang akan mempengaruhi status gizi dan
kesehatan seseorang. Fungsi vitamin A yaitu memelihara kesehatan
jaringan epitel, termaksud kulit dan selaput yang melapisi semua
saluran dan kelenjar lainnya (Almatsier, 2010). Defisiensi vitamin A
masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang signifikan di
seluruh dunia, terutama dibelahan Afrika dan Asia Tenggara. Sekitar
250 juta anak-anak balita diperkirakan mengalami defisiensi vitamin A
(DVA) secara subklinis dan berada dalam resiko morbiditas yang
parah dan kematian prematur (WHO, 2009). Pangan sumber vitamin A
yaitu pangan hewani, sayur dan buah yang berwarna oranye, sayuran
berwarna hijau, umbi-umbian. Angka kecukupan vitamin A adalah
jumlah vitamin A yang harus dikonsumsi per hari untuk
mempertahankan status vitamin A pada level cukup. Kebutuhan
vitamin A bagi anak usia 1-3 tahun berdasarkan AKG 2014 sebesar
400 mcg/hari dan untuk usia 4-6 tahun sebesar 450 mcg/hari
(Kemenkes, 2014a).
Vitamin C berfungsi sebagai donor atau penyumbang elektron
(peran antioksidan). Vitamin C terlibat dalam sintesis dan modulasi
beberapa komponen hormone sistem syaraf. Sebagai kofaktor dalam
vitamin C dari buah. Sayur juga sebagai sumber vitamin C tetapi
dalam pengolahan kandungan vitamin C dapat berkurang. Kebutuhan
vitamin C bagi anak usia 1-3 tahun berdasarkan AKG 2014 sebesar 40
mg/hari dan untuk usia 4-6 tahun sebesar 45 mg/hari (Kemenkes,
2014a).
b) Mineral
Mineral merupakan zat inorganik yang dibutuhkan tubuh dalam
jumlah yang sedikit namun diperlukan tubuh untuk memenuhi
kebutuhan yang esensial. Fungsi dari mineral adalah sebagai kofaktor
dalam berbagai reaksi metabolik; sebagai bagian dari senyawa yang
mengandungzat organik seperti enzim, hormon, dan unsur tertentu
dalam darah; sebagai ion yang memungkinkan pergerakan zat zat yang
melintasi membrane sel dan pergerakan otot; serta sebagai unsur
pembentuk tulang (Pandi & Wiakusumah, 2012).
Kalsium merupakan mineral yang paling banyak terdapat
dalam tubuh manusia. hampir seluruh kalsium berada dalam tubuh ada
di tulang dan gizi. Pada tulang kalsium berperan sentral dalam struktur
dan kekuatan tulang. Sedangkan pada gigi, kalsium berperan untuk
memperkokoh struktur gigi dan bersifat menetap. Fungsi kalsium yaitu
sebagai pengaturan dan penyusunan. Pangan sumber kalsium yang
utama yaitu susu dan olahannya. Sumber lainnya yaitu sayuran hijau,
tahun berdasarkan AKG 2014 sebesar 650 mg/hari sedangkan untuk
anak usia 4-6 tahun sebesar 1000 mg/hari (Kemenkes, 2014a).
Zat besi (Fe) merupakan salah satu mineral yang dibutuhkan
tubuh yang berfungsi sebagai senyawa besi dalam hemoglobin,
myoglobin, enzim yang diperlukan dalam fungsi metabolisme, serta
mengangkut dan menyimpan oksigen, mengangkut electron
mitokondria dan sintesis DNA. Akibat jika kekurangan zat besi dapat
menyebabkan anemiazat besi yang ditandai dengan kulit pucat, lemah,
letih akibat kekurangan oksigen, dpaat menurunkan daya kognitif dan
daya tahan tubuh (Soenardi, 2008). Pangan sumber Fe yaitu daging,
jeroan, ikan, unggas, dan sumber pangan non hem seperti sayuran daun
hijau, kacang-kacangan, kedelai dan rumput laut. Kecukupan zat besi
untuk anak usia 1-3 tahun berdasarkan AKG 2014 sebesar 8 mg/hari
dan 9 mg/hari untuk anak usia 4-6 tahun (Kemenkes, 2014a).
Seng (Zn) adalah mineral mikro esensial baik pada manusia.
Fungsi seng yaitu berpern sebagai komponen dalam banyak enzim.
Juga dalam sintesa protein, metabolisme hidrat arang dan energi serta
asam nukleat. Dengan demikian, seng esensial untuk pertumbuhan,
pematangan seks, fungsi kognitif dan imun serta reproduksi. Ikan
terutama kerang dan daging mengandung tinggi seng. Pangan lainnya
seperti serealia juga sumber seng. Seng dari sumber nabati umumnya
B. Pangan
1. Pengertian Pangan
Pangan menurut Peraturan Pemerintah RI nomer 28 tahun 2004
diartikan sebagai segala sesuatu yang bersumber dari sumber hayati
dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah. Pangan
diperuntukkan bagi konsumsi manusia sebagai makanan atau
minuman, termaksud bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan
bahan-bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan,
pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman (Badan
Ketahanan Pangan, 2014b). Pangan merupakan salah satu kebutuhan
dasar manusia, karena itu pemenuhan atas pangan menjadi hak asasi
setiap rakyat Indonesia dalam mewujudkan sumber daya manusia yang
berkualitas untuk melaksanakan pembangunan nasional. Komoditas
pangan harus mengandung zat gizi yang terdiri dari karbohidrat,
protein, lemak, vitamin, dan mineral yang bermanfaat bagi
pertumbuhan dan kesehatan manusia (Pusat Penganekaragaman
Pangan, 2013).
Permasalahan pangan dan gizi mengalami perkembangan yang
sangat cepat dan komplek. Perkembangan masalah lingkungan global
dapat memepengaruhi komoditas terhadap pangan di Indonesia.
Globalisasi juga mendorong perubahan pola konsumsi pangan
masyarakat yang berdampak terhadap masalah kesehatan. Disamping
dalam bentuk gizi kurang atau gizi buruk, kelebihan gizi atau
kegemukan, serta ketahanan pangan maupun keamanan pangan
(Brown, 2011).
2. Pengelompokkan Pangan
Macam-macam jenis pangan atau bahan pangan yang
diperuntukkan sebagai bahan makanan bagi manusia secara umum
terbagi menajdi dua golongan. Penggolongan bahan pangan ini
didasarkan pada sumbernya, yaitu bahan pangan yang berasal dari
tumbuhan yang disebut bahan pangan nabati dan bahan makanan yang
bersumber dari hewan yang disebut bahan pangan hewani (Rustanti,
2015).
Bahan pangan nabati adalah bahan-bahan pangan yang berupa
atau berasal dari tumbuhan, baik yang liar ataupun yang ditanam serta
yang berasal dari produk-produk olahannya. Bahan panga nabati dapat
berupa daun, bunga, akar, batang, umbi, buah, biji ataupun
bagian-bagian tanaman yang lain. Bahan-bahan pangan nabati memiliki sifat
yang beranekaragam, baik sifat fisik maupun sifat kimia (Saparinto,
Cahyo, & Hidayati, 2006).
Bahan pangan hewani merupakan semua bahan makanan yang
berupa daging atau berasal dari berbagai jenis hewan yang layak untuk
dimakan baik dalam bentuk dasarnya ataupun dalam bentuk
organ lainnya yang bersumber dari hewan, baik yang hidup di darat
maupun di air (Saparinto dkk, 2006).
Selain pengelompokkan berdasarkan sumbernya, pangan
dikelompokkan menjadi sembilan jenis pangan yakni (Badan
Ketahanan Pangan, 2014a)
1. Padi-padian atau serealia,
Terdiri dari beras, jagung, gandum, beserta olahannya seperti
terigu.
2. Makanan berpati atau umbi-umbian,
Terdiri dari kentang, ubi kayu, ubi jalar. Sagu, talas, dan
umbi-umbi lainnya.
3. Pangan hewani,
Terdiri dari daging hewan yang hidup di darat maupun di air
seperti ikan, organ lainnya dari hewan yang dapat dikonsumsi,
telur, berserta olahan hewani seperti susu, keju, dan lainnya.
4. Minyak dan lemak,
Yang terdiri dari minyak kelapa, minyak jagung, minyak
kelapa sawit dan margarin atau olahan lainnya.
5. Buah dan biji berminyak,
Terdiri dari kelapa, kemiri, kenari, mete, dan coklat.
6. Kacang-kacangan,
Kacang tanah, kacang hijau, kedelai, kacang merah dan
7. Gula,
Terdiri dari gula pasir, gula merah dan gula lainnya.
8. Sayur dan buah,
Adalah seluruh jenis sayur dan buah yang biasa dikonsumsi.
9. Lain-lainnya,
Terdiri dari teh, kopi, bumbu makanan dan minuman
beralkohol.
C. Konsumsi Pangan Balita
Konsumsi pangan merupakan salah satu faktor yang langsung
mempengaruhi status gizi seseorang. Konsumsi pangan merupakan
informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi oleh
seseorang atau sekelompok orang pada waktu tertentu. Konsumsi pangan
yang tidak dapat memenuhi kebutuhan tubuh, baik dalam kualitas maupun
kuantitas akan menyebabkan masalah gizi (Brown, 2011).
Balita merupakan kelompok yang rentan dalam permasalahan gizi
di keluarga. Balita perlu mengkonsumsi makanan dan minuman dalam
jumlah yang cukup serta teratur setiap harinya untuk dapat hidup sehat.
Karakteristik usia balita terutama usia 2-5 tahun merupakan kelompok usia
yang rawan gizi dan rawan penyakit, karena pada usia ini terjadi transisi
dari makanan bayi menjadi makanan orang dewasa dan anak biasanya
sudah berhenti mendapatkan ASI ekslusif pada usia tersebut. Selain itu,
anak lebih banyak menghabiskan waktu untuk bermain dan beraktivitas di
Kondisi balita sangat peka terhadap jumlah asupan dan jenis
pangan yang dikonsumsi. Hal ini dikarenakan terjadi laju pertumbuhan
yang sangat pesat pada masa balita tersebut. Selain itu, anak yang paling
kecil biasanya yang paling beresiko terhadap kekurangan pangan, karena
anak-anak yang paling kecil umumnya makan lebih lambat dan dalam
jumlah yang kecil dibandingkan anggota rumah tangga yang lain, sehingga
memperoleh bagian yang terkecil dan tidak mencukupi kebutuhan gizi
anak yang sedang tumbuh (Thompson, 2006).
Konsumsi pangan pada balita yang diatur berdasarkan pedoman
gizi seimbang yaitu dengan pembagian porsi makan dalam sehari. Untuk
anak usia 1-3 porsi pangan pokok sebesar 3 porsi, porsi sayur sebesar 1,5
porsi, porsi buah 3, porsi pangan nabati 1, porsi pangan hewani 2, porsi
minyak 3 porsi, dan gula 2 porsi. Sedangkan untuk anak usia 4-6 tahun
porsi pangan pokok 4, sayur 2 porsi, buah 3 porsi, pangan nabati 2 porsi,
pangan hewani 3 porsi, minyak 4 porsi, dan gula 2 porsi (Kemenkes,
2014b). Pesan gizi seimbang untuk anak usia 2-5 tahun yaitu
membiasakan makan 3 kali sehari (pagi, siang, dan malam) bersama
keluarga; Perbanyak mengkonsumsi makanan kaya protein seperti ikan,
telur, tempe, susu, dan tahu; Perbanyak mengkonsumsi sayur dan buah;
Batasi konsumsi makanan selingan yang terlalu manis, asin, dan berlemak;
minum air putih sesuai kebutuhan; dan Biasakan melakukan aktivitas fisik
D. Penilaian Konsumsi Pangan
Penilaian konsumsi merupakan suatu metode penilaian gizi dengan
melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi. Penilaian konsumsi
pangan serta pengumpulan data konsumsi pangan dapat memberikan
gambaran tentang konsumsi berbagai zat gizi pada masyarakat, keluarga
dan individu. Dengan melihat konsumsi pangan ini dapat mengidentifikasi
kelebihan dan kekurangan zat gizi (Gibson, 2005).
Tujuan dari penilaian konsumsi pangan yaitu untuk mengetahui
kebiasaan makan dan gambaran tingkat kecukupan bahan makanan dan zat
gizi pada tingkat kelompok, rumah tangga, dan perorangan serta
faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap konsumsi makanan tersebut.
Penilaian konsumsi pangan dapat memberikan informasi terkait
kecukupan zat gizi serta pola konsumsi. Metode penilaian konsumsi yang
dipilih tergantung pada informasi apa yang dibutuhkan sesuai dengan
tujuan dari studi yang dipelajari (Fahmida & Dillon, 2007).
Metode pengukuran konsumsi pangan dapat dibedakan
berdasarkan sasaran pengamatan. Metode pengukuran konsumsi pangan
untuk tingkat rumah tangga dapat meggunakan metode Pencatatan (food
account), Metode pendaftaran (food list), Metode inventaris (inventory
method), Metode Pencatatan makanan rumah tangga (household food
record). Metode pengukuran konsumsi pangan untuk tingkat individu atau
peroranga dengan menggunakan metode Recall 24 jam, metode stimated
dietary history, dan metode frekuensi makanan (food frequency)
(Supariasa, 2010).
Metode yang umum digunakan dalam survei besar untuk individu
yaitu metode recall 24 jam. Metode ini berguna untuk memperkirakan
asupan keragaman konsumsi dan pola kebiasaan konsumsi pada populasi.
Dalam metode recall 24 jam responden akan ditanya tentang makanan
yang dikonsumsi selama 24 jam sebeumnya. Pencatatan secara rinci baik
makanan dan minuman utama maupun makanan selingan yang dikonsumsi
dicatat oleh pewawancara. Metode ini relatif mudah dilakukan dan relatif
murah serta cepat. Kelemahan dari metode ini karena memerlukan daya
ingat seseorang (Supariasa, 2010).
E. Keanekaragaman Konsumsi Pangan
Keragaman konsumsi pangan merupakan jumlah pangan atau
kelompok pangan berbeda yang dikonsumsi individu dalam jangka waktu
tertentu (Bilinsky & Swindale, 2006). Pentingnya keragaman konsumsi
pangan dalam rumah tangga dibuktikan oleh penelitian Kennedy (2009).
Hasil penelitiannya membuktikan bahwa keragaman konsumsi pangan
merupakan faktor yang dapat mempengaruhi kecukupan zat gizi
(Kennedy, 2009). Hal ini menunjukkan bahwa zat gizi yang diperlukan
tubuh akan terpenuhi jika konsumsi pangan semakin beragam.
Konsumsi pangan yang beragam memberikan manfaat bagi
seseorang terutama pada anak-anak, di antaranya dapat meningkatkan
sehingga mencapai tingkat kecukupan yang normal, memperbaiki status
antropometri anak, serta meningkatkan konsentrasi hemoglobin yang dapat
mempengaruhi kecerdasan dan produktivitas anggota rumah tangga.
Penelitian di Bangladesh pada balita usia 6-59 bulan tahun 2003–2005 oleh Rah dkk (2010) membuktikan bahwa rendahnya keragaman konsumsi
pangan menyebabkan kejadian stunting pada anak. Hal ini dapat
menunjukkan keragaman konsumsi pangan dapat mempengaruhi terhadap
status gizi anak (Rah dkk., 2010). Penelitian di Indonesia juga
menunjukkan bahwa pada anak usia 24-59 bulan yang mengalami stunting
mengkonsumsi makanan yang tidak beragam (Hermina & Prihatini, 2011).
1. Penilaian Keberagaman Konsumsi Pangan
Penilaian keberagaman konsumsi pangan dibedakan menjadi
dua yaitu penilaian keberagaman konsumsi pangan pada rumah tangga
dan penilaian keberagaman konsumsi pangan untuk individu. Penilaian
keberagaman konsumsi pangan dalam skala rumah tangga di Indonesia
kebanyakan masih menggunakan metode penilaian skor Pola Pangan
Harapan (PPH). Pola Pangan Harapan merupakan metode yang
digunakan dengan melihat komposisi dan jumlah atau ketersediaan
pangan pada tingkat rumah tangga. Hasil dari perhitungan PPH
tersebut dapat menjadikan evaluasi terhadap ketahanan pangan suatu
wilayah. Metode PPH ini terbatas pada penilaian ketahanan pangan
suatu wilayah namun tidak dapat menggambarkan skor keragamanan
FAO dan FANTA telah memperkenalkan penilaian
keberagaman konsumsi pangan untuk individu yaitu Dietary Diversity
Score (DDS). Dengan menggunakan metode ini, kita dapat menilai
kualitas konsumsi seseoarang dengan lebih mudah dan simpel. Selain
itu, konsumsi pangan yang dinilai dapat menentukan secara langsung
kecukupan dari zat gizi yang dikonsumsi serta tidak diperlukan melihat
apakah konsumsi makanan di rumah atau di luar rumah sehingga dapat
menilai konsumsi pada individu dalam sehari (FAO, 2010).
Metode DDS ini dapat digunakan dalam segala kondisi dengan
memperhatikan jangka waktu tertentu. Berdasarkan pedoman FAO
untuk mengukur keragaman konsumsi pada rumah tangga dan individu
diperlukan jangka waktu selama 24 jam sebelumnya, menggunakan 24
jam recall memang tidak dapat menggambarkan kebiasaan makan,
namun dapat memberikan penilaian konsumsi pada tingkat populasi
dan dapat digunakan untuk memonitoring kemajuan suatu program dan
intervensi (FAO, 2010).
Penilaian skor dari DDS didasarkan dari 9 kelompok pangan
yang direkomendasikan oleh FAO dalam Individual Dietary Diversity
Tabel 2.2 Tabel Dietary Diversity Score (DDS)
a. Beras/nasi, jagung/tepung jagung, gandum,
sorgum, millet atau biji-bijian lannya atau
makanan yang dibuat dari jenis pangan ini
(mis. Roti, mie, bubur, pasta, atau produk
gandum/biji-bijan lainnya) + makanan lokal
b. Kentang, ubi putih, singkong putih, atau
polong), kedelai dan olahan kedelai,
kacang-kacangan dan biji-bijian
panjang, daun ubi jalar, daun melinjo)
b. Lainnya: labu, tomat, wortel, dan ubi oranye +
c. Jus dan buah kaya vitamin A (manga, blewah,
atau C): apel, anggur, semangka, melon, salak,
nangka, duku, pisang, alpukat
Minyak, mayonnaise, margarin, butter (yang
ditambahkan untuk makanan atau digunakan
untuk memasak), minyak sawit merah
Sumber: Guidelines for Measuring Household and Individual Dietary Diversity (FAO, 2010).
F. Konsep Dietary Diversity Score (DDS) dan Kecukupan Zat Gizi
Keragaman konsumsi atau dietary diversity adalah sejumlah
pangan atau kelompok pangan berbeda yang dikonsumsi individu dalam
jangka waktu tertentu (Bilinsky & Swindale, 2006). Keragaman konsumsi
pangan merupakan metode kualitatif untuk mengukur konsumsi makanan
yang dapat menggambarkan keragaman dari jenis makanan atau pangan
gizi untuk individu (FAO, 2010). Indikator keragaman konsumsi pangan
biasanya hanya dinilai dari jumlah jenis pangan yang dikonsumsi. Di
beberapa negara berkembang, penilaian skoring terkadang memperhatikan
dari jumlah porsi kelompok makanan yang dikonsumsi sesuai dengan
pedoman konsumsi yang berlaku. Namun, indikator biasanya dirancang
untuk mencerminkan kualitas dari makanan yang dikonsumsi tidak dapat
menilai keanekaragaman konsumsi (Ruel, 2002).
Dietary Diversity Score (DDS) merupakan indikator keragaman
konsumsi pangan. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengukur
keragaman konsumsi pangan di beberapa negara berkembang (Kennedy,
2009). Pada penelitian oleh Kennedy (2009) menunjukkan bahwa DDS
berhubungan signifikan dengan asupan zat gizi mikro pada anak tidak ASI
usia 2-5 tahun di Filipina dan anak usia 1-8 tahun di Afrika Selatan.
Penelitian tersebut juga menilai cut-off point terbaik untuk dijadikan
indikator dari ketidakcukupan asupan zat gizi mikro. Di Filipina, cut-off
point untuk indikator ketidakcukupan asupan zat gizi mikro yaitu skor
DDS 6, sedangkan di Afrika Selatan yaitu skor DDS 4.
Penelitian lainnya yang melihat DDS dengan kecukupan zat gizi
yaitu penelitian oleh Moursi dkk (2008) dengan hasil penelitian bahwa
Dietary Diversity Score merupakan indikator yang baik untuk menilai
kecukupan dari mikronutrisi pada anak usia 6-23 bulan di Madagascar.
Penelitian Daniels (2006) juga melihat hubungan DDS dengan kecukupan
dapat menilai kecukupan zat gizi dengan skor terbaik yaitu 4. Penelitian
lainnya yaitu Steyn dkk (2009) yang menunjukkan bahwa DDS
merupakan indikator yang baik untuk menilai kecukupan konsumsi zat
gizi pada anak usia 1-8 tahun di Afrika Selatan dengan skor 4 untuk MAR
<50%.
Di Indonesia terdapat penelitian yang dilakukan oleh Marlina
(2011) yang menilai indikator keragaman konsumsi pangan dengan
menggunakan DDS dan Food Variety Score (FVS). Hasil penelitiannya
yaitu DDS sebagai indikator keragaman konsumsi pangan yang lebih baik
dar FVS. Selain itu skor 6 untuk DDS merupakan cut off baik untuk
menilai kecukupan zat gizi sebesar 70% dari angka kecukupan zat gizi
(AKG) balita usia 24-59 bulan di Kota Bandung.
Kecukupan zat gizi dapat dilihat dengan membandingkan asupan
seseorang dengan standar atau rekomendasi yang dibutuhkan oleh tubuh.
Di Indonesia, rekomendasi yang digunakan adalah Angka Kecukupan Gizi
(AKG) 2013 (Kemenkes, 2014a). Penilaian kecukupan gizi dari beberapa
zat gizi dapat menggunakan nilai Mean Adequacy Ratio (MAR). MAR
menggambarkan evaluasi gambaran asupan zat gizi pada individu. MAR
tidak menggambarkan ketidakcukupan satu jenis zat gizi, sehingga dengan
menggunakan MAR kita dapat mengetahui kecukupan dari beberapa zat
gizi. MAR dihitung dengan menjumlahkan tingkat konsumsi zat gizi
dibagi dengan jumlah jenis zat gizi (Gibson, 2005). Secara keseluruhan,
Adequacy Ratio (NAR) untuk asupan energi dan zat gizi lainnya. NAR
merupakan perbandingan antara zat gizi yang dikonsumsi individu dengan
AKG yang dianjurkan sesuai kategori usia dan jenis kelamin. MAR
menggambarkan indikator bahwa rata-rata zat gizi yang dikonsumsi masih
dibawah AKG atau telah melebihi AKG (Torheim et al., 2004).
Perhitungan dari NAR dan MAR sebagai berikut.
Penilaian kecukupan zat gizi di Indonesia sebatas menggunakan
Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan sebagai terjemahan dari
Recommended Dietary Allowance (RDA). Di Amerika Serikat, penilaian
kecukupan zat gizi menggunakan Dietary Reference Intake (DRI) yang
terdiri dari nilai Estimated Average Requirement (EAR), RDA, Adequate
Intake (AI), dan Tolerable Upper Intake Lavel (UL) (Institude Of
Medicine, 2005).
EAR merupakan rata-rata kebutuhan zat gizi yang diperoleh dari
rata-rata kebutuhan gizi berdasarkan hasil penelitian pada populasi sehat.
Jika diterapkan dalam kehidupan sehari-hari mencakup 50% populasi
sehat. RDA atau AKG adalah angka kecukupan gizi yang bila diterapkan
dalam kehidupan sehari-hari akan memenuhi kebutuhan sekitar 97-98%
Penilaian kecukupan energi dan protein menurut Depkes (1996)
dalam Jayanti, Effendi, & Sukandar (2011) dikatagorikan menjadi lima
yaitu defisit tingkat berat (<70% AKG), defisit tingkat sedang (70-79%
AKG), defisit tingkat ringan (80-89% AKG), normal (90-119% AKG),
serta berlebih (≥120% AKG). Adapun klasifikasi tingkat kecukupan pada
vitamin dan mineral hanya dikategorikan menjadi dua kategori menurut
Gibson (2005), yaitu defisit apabila <77% AKG serta cukup apabila ≥77% AKG.
G. Uji Sensitivitas dan Spesifisitas
Sensitivitas adalah kemapuan suatu tes untuk memberikan
gambaran positif pada orang yang benar-benar sakit. Penggunaan
sensitivitas saja belum tentu dapat mengetahui secara benar keadaan suatu
penyakit. Untuk itu perlu diketahui konsep spesifisitas. Spesifisitas ialah
kemampuan suatu tes untuk memberikan gambaran negatif bila subjek
yang di tes adalah bebas dari penyakit (Masriadi, 2012). Uji sensitivitas
digunakan untuk memprediksi atau mengidentifikasi kelompok yang
mengalami kekurangan zat gizi, sedangkan spesifisitas digunakan untuk
memprediksi atau mengidentifikasi kelompok yang kecukupan zat gizinya
baik (Fahmida & Dillon, 2007).
Sensitivitas dan spesifisitas merupakan dua rasio yang digunakan
untuk mengukur kemapuan suatu uji saring (screening) atau uji diagnostik
untuk membedakan individu yang mengalami kekurangan zat gizi. Untuk
dari uji diagnostik. Uji diagnostik mempunyai tiga cara analisis (Dahlan,
2009), yaitu:
1. Tabel 2 x 2
Analisis ini berfungsi untuk mendapatkan performa alat uji
yang terlihat dari sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif,
nilai duga negatif, rasio kemungkinan positif dan rasio
kemungkinan negatif.
2. Kurva ROC
Kurva ROC atau Receiver Operating Characteristic
mempunyai fungsi untuk melihat nilai AUC atau Area Under
Curve untuk memperoleh cut off point yang direkomendasikan
serta nilai sensitivitas dan spesifisitas.
3. Multivariat Berjenjang
Merupakan analisis uji diagnostik yang lebih kompleks dengan
melihat nilai diagnostik dari parameter anamnesis, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan penunjang sederhana, pemeriksaan
penunjang canggih. Dengan cara ini akan menghasilkan nilai
AUC untuk memperoleh cut off point rekomendasi.
Penelitian ini menggunakan analisis kurva ROC karena fungsinya
yaitu untuk mengetahui nilai sensitivitas dan spesifisitas dari metode DDS
dalam mengestimasi kecukupan zat gizi pada balita serta untuk
mengetahui cut off point dari DDS tersebut yang cocok untuk
H. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecukupan Zat Gizi Balita
1. Karakteristik Individu
a) Usia
Menurut Departemen Kesehatan (2009), umur merupakan
masa hidup responden dalam tahun dengan pembulatan ke bawah
atau umur pada waktu ulang tahun yang terakhir. Umur
mempunyai peran penting dalam menentukan pemilihan makanan.
Asupan energi meningkat sesuai dengan usia dan perbedaan jenis
kelamin antara perempuan dan laki-laki menjadi lebih luas saat
mereka bertambah usianya. Secara signifikan pada anak usia
perkembangan dan pertumbuhan lebih banyak membutuhkan
energi (Crowle & Turner, 2010).
Terdapat kemungkinan tren dalam kecukupan gizi di
tahun-tahun awal kehidupan seseorang. Selama tahun-tahun pertama kehidupan,
kecukupan gizi pada bayi mungkin tercukupi dengan baik,
terutama pada anak yang ASI ekslusif. Hal ini dikarenakan
kandungan gizi dalam ASI yang mencukupi kebutuhan gizi pada
bayi. Namun, kecukupan gizi pada anak bisa jatuh drastis setelah
tahun pertama kehidupan atau saat sudah tidak lagi menyusu ASI
dan kebutuhan makanan pelengkap tidak memadai. Terdapat
hubungan antara usia balita yang sudah tidak ASI dengan
kecukupan energi dan protein dengan pvalue sebesar 0,0001.
beresiko untuk mengalami ketidakcukupan zat gizi (Chaudhury,
2006).
b) Jenis Kelamin
Menurut Departemen kesehatan (2009), jenis kelamin
merupakan perbedaan seks yang didapat sejak lahir yang
dibedakan antara laki-laki dan perempuan. Jenis kelamin
menentukan besar kecilnya kebutuhan gizi bagi seseorang. Dalam
beberapa budaya di masyarakat, anak laki-laki dianggap lebih
berharga dari pada anak perempuan karena berbagai alasan. Anak
laki-laki dianggap membutuhkan energi atau makanan dalam porsi
yang lebih besar dibandingkan anak perempuan, hal ini
dikarenakan terdapat pengharapan lebih terhadap anak laki-laki,
selain itu anggapan bahwa anak laki-laki membutuhkan energi
yang lebih agar tubuhnya lebih kuat (Sultan, 2014). Berdasarkan
hasil penelitian Sultan (2014), menyatakan terdapat hubungan
antara jenis kelamin dengan kecukupan protein pada anak dengan
pvalue sebesar 0,01. Kecukupan zat gizi pada anak laki-laki lebih
tinggi dari pada kecukupan zat gizi anak perempuan.
c) Tinggi dan Berat Badan
Tinggi dan berat badan berpengaruh terhadap luas
permukaan tubuh, semakin luas permukaan tubuh maka semakin
besar pengeluaran panas, sehingga kebutuhan metabolisme basal
tubuh juga semakin besar (Kemenkes, 2014a). Berdasarkan