• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANDINI SEPTIANI FKIK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANDINI SEPTIANI FKIK"

Copied!
150
0
0

Teks penuh

(1)

SENSITIVITAS DAN SPESIFISITAS DIETARY DIVERSITY SCORE (DDS) DALAM MENGESTIMASI TINGKAT KECUKUPAN ZAT GIZI PADA

BALITA USIA 24-59 BULAN DI INDONESIA (ANALISIS DATA STUDI DIET TOTAL 2014)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar

Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)

Disusun oleh :

ANDINI SEPTIANI NIM : 1112101000048

PEMINATAN GIZI

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(2)
(3)
(4)
(5)

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT PEMINATAN GIZI MASYARAKAT

Skripsi, Maret 2017

ANDINI SEPTIANI, NIM : 1112101000048

Sensitivitas dan Spesifisitas Dietary Diversity Score (DDS) dalam Mengestimasi Kecukupan Zat Gizi pada Balita Usia 24-59 Bulan di Indonesia (Analisis Data Studi Diet Total 2014)

xviii + 90 halaman, 12 tabel, 5 bagan, 3 gambar, 4 lampiran

ABSTRAK

Usia balita merupakan kelompok yang sangat rentan mengalami kekurangan zat gizi, baik makro maupun mikro. Dengan mengonsumsi pangan yang beragam, maka kebutuhan akan zat gizi makro dan mikro akan tercukupi. FAO dan FANTA telah memperkenalkan metode Dietary Diversity Score (DDS) sebagai metode yang simpel dan efektif untuk mengukur kualitas konsumsi serta kecukupan zat gizi dengan melihat keragaman konsumsi. Namun, di Indonesia belum terdapat uji validasi terhadap metode DDS dalam menilai kecukupan zat gizi.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai sensitivitas dan spesifisitas DDS dalam mengestimasi tingkat kecukupan zat gizi pada balita usia 24-59 bulan di Indonesia. Penelitian menggunakan desain studi cross-sectional dan menggunakan data skunder Studi Diet Total tahun 2014 dengan sampel sebanyak 3085 balita yang telah diukur konsumsi dengan recall 1x24 jam, sudah tidak ASI, diukur berat badan, dan BB/U normal. Keragaman konsumsi dihitung dengan menggunakan metode DDS dengan menjumlahkan 9 kelompok pangan, dan kecukupan zat gizi dihitung dengan menggunakan nilai Nutrient Adequacy Ratio (NAR) dan Mean Adequacy Ratio (MAR) yang dibandingkan dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG) 2014. Analisis dengan uji korelasi untuk mengetahui hubungan antara DDS dengan MAR serta menghitung sensitivitas dan spesifisitas untuk mengetahui cut-off terbaik dari DDS.

Dari hasil penelitian didapatkan bahwa rata-rata balita di Indonesia mengkonsumsi sebanyak 5 kelompok pangan (SD 1,31) dan rata-rata MAR 63,54%. Kelompok pangan yang tertinggi dikonsumsi pada balita yaitu kelompok pangan serealia dan umbi-umbian sebesar 99,9% kemudian diikuti kelompok pangan lemak dan minyak sebesar 93,8%. Konsumsi kelompok pangan terendah yaitu pada kelompok pangan buah lainnya sebesar 26,1%. Terdapat hubungan signifikan antara DDS dengan kecukupan tujuh zat gizi, serta terdapat hubungan yang sangat kuat antara DDS dengan MAR (r=0,771; P=0,000). Skor 6 untuk DDS dapat mencukupi 75% AKG sebesar 76,7% sensitivitas dan 73,5% spesifisitas. Provinsi DKI Jakarta merupakan provinsi dengan nilai DDS dan MAR tertinggi di Indonesia.

(6)

lebih dari 75% AKG. Diperlukan penelitian lebih lanjut dengan melihat faktor lainnya yang mempengaruhi kecukupan zat gizi pada balita atau karakteristik lainnya.

Kata Kunci : DDS, MAR, sensitivitas, spesifisitas, balita, cut off Daftar bacaan : 71 (2001-2016)

FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES

SYARIF HIDAYATULLAH STATE ISLAMIC UNIVERSITY JAKARTA PROGRAME STUDY OF PUBLIC HEALTH SCIENCE

PUBLIC HEALTH NUTRITION CONCENTRATION Undergraduate Thesis, Maret 2017

ANDINI SEPTIANI, NIM : 1112101000048

Sensitivity and Specificity of Dietary Diversity Score (DDS) in Estimating Adequacy of Nutrients in Children 24-59 Months in Indonesia (Studi Diet Total 2014 Data Analysis)

xviii + 90 pages, 12 tables, 5 charts, 3 images, 4 attachments

ABSTRACT

Children under five years old have high risk of malnutrition, either macro and micro nutrients. By eating a variety of foods, then the macro and micro nutrient needs will be met. FAO and FANTA showed us a simple and effective method, called Dietary Diversity Score (DDS). This method is used to measure the quality and the adequacy of nutrient intake by the diversity of consumption. But unfortunately, in Indonesia there has been no test method validation of DDS in assessing the adequacy of nutrients.

This research is designed to study about the sensitivitas and specificity of DDS in estimating the adequacy of nutrients in children aged 24-59 months in Indonesia. This research is using cross- sectional and secondary data of Studi Diet Total 2014 with a sample of 3467 children under five have been measured consumption by recall 1x24 hours, is not breastfeeding, and measured body weight. Diversity consumption was calculated using DDS method with summing 9 food groups and nutrition adequacy is calculated using the value of Nutrient Adequacy Ratio (NAR) and Mean Adequacy Ratio (MAR) that is compared with Recommended Dietary Allowence (RDA) 2014. Corelation analysis test between DDS and MAR, and also calculate the sensitivity and spesificity know the best cut of point of DDS.

The result showed that the average of children under five in Indonesia consume as much as 5 food groups (SD 1.32) and average of MAR is 63,54%. Cerealia and tubers food group has the highest consumption which is 99,9%, and 93,8% on oil and fat group. The lowest consumption is on fruit others group which is only 26,1%. There is a significant correlation between DDS with seven nutrient adequacy, and there is a very strong correlation between the DDS and MAR (r = 0,771; P= 0,000). Score 6 for DDS can suffice about 76,7% sensitivity and 73,5% spesificity in assessing MAR 75% RDA. DKI Jakarta has the highest DDS and MAR score in Indonesia.

(7)

Keywords : DDS, MAR, sensitivity, specificity, children under five, cut off Bibliography : 71 (2001-2016)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP IDENTITAS PRIBADI

Nama Lengkap : Andini Septiani

Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 24 September 1994

Alamat : Vila ANRI Blok T No. 3 RT 01/RW 015,

Kelurahan Mampang, Kecamatan Pancoran Mas,

Kota Depok

Jenis Kelamin : Perempuan

Kewarganegaraan : Indonesia

Agama : Islam

Email : andini.septiani6@gmail.com

Telepon : 085718571881

PENDIDIKAN FORMAL

2012 – sekarang : Gizi Masyarakat, Kesehatan Masyarakat Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

2009 – 2012 : SMA Negeri 49 Jakarta 2006 – 2009 : SMP Negeri 56 Jakarta 2000 – 2006 : SDN 03 Pagi Ragunan 1999 – 2000 : TK Tunas Wisma Tani

PENGALAMAN ORGANISASI

2007 – 2008 : Ketua Ekstrakulikuler Karya Ilmiah Remaja SMP Negeri 56 Jakarta periode 2007-2008

2009 – 2010 : Ketua Koordinasi Bidang Keterampilan dan Kewirausahaan OSIS-MPK SMA Negeri 49 Jakarta Periode 2009-2010

2010-2011 : Sekretaris Umum OSIS SMA Negeri 49 Jakarta Periode 2010-

2011

(8)

Eksekutif Mahasiswa (BEM) Kesehatan Masyarakat UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta Periode 2013-2014

PENGALAMAN BEKERJA

Januari 2015-Maret 2015 : Pengalaman Belajar Lapangan (PBL) di Puskesmas

Paku Alam Tangerang Selatan

Januari 2016-Maret 2016 : Magang di Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan

(BKPP) Provinsi Banten di Bidang Konsumsi dan

Keamanan Pangan

Maret 2017 - Juni 2017 : Internship di PT. Prudential Life Assurance bagian

(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah

memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan

penyusunan Skripsi yang berjudul “Sensitivitas Dan Spesifisitas Dietary Diversity Score (DDS) Dalam Mengestimasi Tingkat Kecukupan Zat Gizi Pada Balita Usia 24-59 Bulan Di Indonesia (Analisis Data Studi Diet Total 2014)dengan baik.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk mencapai Gelar S.KM pada

Mahasiswi Kesehatan Masyarakat Peminatan Gizi. Dalam penyusunan dan

penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan serta dukungan dari

berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis dengan senang hati

menyampaikan terima kasih kepada:

1. Kedua Orang Tua tercinta Ibu dan Bapak, yang tak henti mendo’akan, mendukung, dan memberi kasih sayang kepada anak-anaknya agar

tercapai semua cita-cita yang diinginkan. Tak henti do’a dipanjatkan agar semua urusan anak-anaknya dimudahkan, salah satunya sampai

terselesaikan skripsi ini dengan hasil yang tidak menghianati proses.

Terimakasih Pak, Bu..

2. Mas dan Wahyu yang tak henti memberikan dukungan semangat agar

skripsi ini cepat selesai, yang setia antar jemput si “anak wedok” ini.

3. Ibu Ratri Ciptaningtyas, MHS selaku Pembimbing 1 yang telah berbaik

hati memberikan bimbingan, pengarahan, nasihat-nasihat, serta dukungan

semangat dalam proses penyusunan skripsi ini.

4. Ibu Dela Aristi, MKM selaku Pembimbing 2 yang telah berbaik hati

memberikan bimbingan, pengarahan, dan dukungan semangat dalam

proses penyusunan skripsi ini.

5. Ibu Mukhlidah Hanun Siregar, M.KM selaku pembimbing pendamping

yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan dengan sabar serta

(10)

6. Ibu Fajar Ariyanti, S.KM, M.Kes, PhD selaku Ketua Program Studi

Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

7. Para penguji sidang skripsi yang telah memberikan kritik dan saran agar

menjadikan skripsi ini lebih baik lagi.

8. Sahabat-sahabat seperjuangan, Jijah, Tyas, Nuni, Gopit, Yolan, Vira, Ika,

Widia, dan Cece yang telah memberi dukungan, ilmu, kritik, saran,

pengalaman, dan sebagai stress relief semasa perkuliahan.

9. Teman-teman peminatan Gizi 2012 yang telah mendukung dan bekerja

sama dengan baik semasa perkuliahan.

10.Seluruh pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan dari awal

perkuliahan maupun dalam proses penyusunan skripsi yang tidak dapat

disebutkan satu persatu

Semoga Allah SWT memberikan balasan berupa kebaikan yang berlipat

ganda kepada semua yang telah berjasa dalam proses maupun penulisan skripsi

ini. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat

keterbatasan dan kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan

saran dari semua pihak untuk menyempurnakan skripsi ini. Penulis berharap,

semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi pihak yang membacanya.

Jakarta, Maret 2017

(11)

DAFTAR ISTILAH

Angka Kecukupan Gizi (AKG) adalah kecukupan rata-rata zat gizi sehari yang dianjurkan berdasarkan karakteristik tertentu.

Dietary Diversity Score (DDS) adalah indikator keragaman konsumsi pangan yang dinilai dengan 9 kelompok pangan.

Estimated Average Requirement (EAR) adalah rata-rata kebutuhan zat gizi yang diperoleh dari rata-rata kebutuhan gizi berdasarkan hasil penelitian pada

populasi sehat.

Keragaman Konsumsi Pangan adalah jumlah pangan atau kelompok pangan berbeda yang dikonsumsi individu dalam jangka waktu tertentu.

Mean Adequacy Ratio (MAR) adalah rata-rata nilai kecukupan zat gizi secara keseluruhan atau rata-rata dari nilai NAR.

Nutrient Adequacy Ratio (NAR) adalah perbandingan antara zat gizi yang dikonsumsi individu dengan angka kecukupan gizi yang dianjurkan sesuai

kategori usia dan jenis kelamin.

Pangan adalah segala sesuatu yang bersumber dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak.

Sensitivitas adalah kemampuan suatu tes untuk memberikan gambaran positif pada orang yang benar-benar sakit

(12)

DAFTAR ISI

PERNYATAAN PERSETUJUAN ... Error! Bookmark not defined.

PANITIA SIDANG UJIAN SKRIPSI ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... v

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vii

KATA PENGANTAR ... ix

C. Pertanyaan Penelitian ... 8

D. Tujuan ... 9

1. Tujuan Umum ... 9

2. Tujuan Khusus ... 9

E. Manfaat ... 10

1. Bagi Pemerintah ... 10

2. Bagi Peneliti dan Mahasiswa Lainnya ... 11

F. Ruang Lingkup Penelitian ... 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 12

A. Kebutuhan Gizi Balita ... 12

1. Kebutuhan Energi... 13

2. Kebutuhan Protein ... 14

3. Kebutuhan Zat Gizi Mikro ... 15

(13)

1. Pengertian Pangan ... 19

2. Pengelompokkan Pangan ... 20

C. Konsumsi Pangan Balita ... 22

D. Penilaian Konsumsi Pangan ... 24

E. Keanekaragaman Konsumsi Pangan ... 25

1. Penilaian Keberagaman Konsumsi Pangan ... 26

F. Konsep Dietary Diversity Score (DDS) dan Kecukupan Zat Gizi ... 29

G. Uji Sensitivitas dan Spesifisitas ... 33

H. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecukupan Zat Gizi Balita ... 35

1. Karakteristik Individu ... 35

2. Kebiasaan Makan ... 37

3. Faktor Ibu ... 40

4. Faktor Sosial Ekonomi ... 43

I. Kerangka Teori ... 44

BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 46

A. Kerangka Konsep ... 46

B. Definisi Operasional ... 48

C. Hipotesis Penelitian ... 50

BAB IV METODE PENELITIAN ... 51

A. Desain Penelitian ... 51

B. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 51

C. Populasi dan Sampel Penelitian ... 52

D. Sumber Data Penelitian ... 54

E. Instrumen Penelitian ... 55

F. Pengumpulan Data ... 55

G. Pengolahan Data ... 56

H. Analisis Data ... 59

(14)

A. Gambaran Karakteristik Umum ... 60

B. Analisis Univariat ... 61

1. Distribusi Frekuensi Asupan Zat Gizi Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Indonesia Tahun 2014 ... 61

2. Distribusi Frekuensi Kecukupan Zat Gizi Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Indonesia Tahun 2014 ... 62

3. Distribusi Frekuensi dan Proporsi Dietary Diversity Score (DDS) pada Balita Usia 24-59 Bulan di Indonesia Tahun 2014 ... 63

4. Distribusi Frekuensi Asupan Berdasarkan Kelompok Pangan Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Indonesia Tahun 2014 ... 65

5. Distribusi Proporsi Kelompok Pangan Yang Dikonsumsi Balita Usia 24-59 Bulan di Indonesia Berdasarkan Dietary Diversity Score (DDS) Pada Tahun 2014 ... 66

6. Distribusi Frekuensi Keragaman Konsumsi Pangan dan Kecukupan Zat Gizi pada Balita di Tiap Provinsi Indonesia Tahun 2014 ... 67

C. Analisis Bivariat ... 69

D. Sensitivitas dan Spesifisitas ... 70

BAB VI PEMBAHASAN ... 72

A. Keterbatasan Penelitian ... 72

B. Asupan Zat Gizi Balita ... 72

C. Kecukupan Zat Gizi Balita ... 75

D. Keragaman Konsumsi Pangan Balita ... 78

E. Hubungan antara Dietary Diversity Score (DDS) dengan Mean Adequacy Ratio (MAR) pada Balita ... 82

F. Sensitivitas dan Spesifisitas Dietary Diversity Score (DDS) dalam Mengestimasi Kecukupan Zat Gizi pada Balita ... 85

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN ... 88

A. KESIMPULAN ... 88

B. SARAN ... 90

DAFTAR PUSTAKA ... 91

(15)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Angka Kecukupan Zat Gizi... 13

Tabel 2.2 Tabel Dietary Diversity Score (DDS) ... 28

Tabel 3.1 Definisi Operasional ... 48

Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Individu Balita 24-59 Bulan di

Indonesia Tahun 2014 ... 60

Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Berat Badan Pada Balita Usia 2-59 Bula di

Indonesia Tahun 2014 ... 61

Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Asupan Zat Gizi Pada Balita Usia 24-59 Bulan di

Indonesia Tahun 2014 ... 62

Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Kecukupan Zat Gizi Pada Balita Usia 24-59 Bulan

di Indonesia Tahun 2014 ... 63

Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Dietary Diversity Score (DDS) Pada Balita Usia

24-59 Bulan di Indonesia Tahun 2014 ... 64

Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Asupan Berdasarkan Kelompok Pangan Pada

Balita Usia 24-59 Bulan di Indonesia Tahun 2014 ... 65

Tabel 5.7 Persentase Konsumsi Kelompok Pangan Berdasarkan skor DDS ... 66

Tabel 5.8 Distribusi Frekuensi Rerata Dietary Diversity Score (DDS) dan Rerata

Kecukupan Zat Gizi dengan Mean Adequacy Ratio (MAR) Berdasarkan

Provinsi di Indonesia Tahun 2014 ... 68

Tabel 5.9 Analisis Korelasi antara Dietary Diversity Score (DDS) dengan

(16)

DAFTAR BAGAN

Bagan 2.1 Kerangka Teori ... 45

Bagan 3.1 Kerangka Konsep ... 46

Bagan 4.1 Alur Cleaning Sampel Penelitian... 54

Bagan 4.2 Alur Pengumpulan Data ... 56

Bagan 4.3 Alur Pengolahan Data ... 58

(17)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 5.1 Persentase Dietary Diversity Score (DDS) Pada Balita Usia 24-59

Bulan di Indonesia Tahun 2014 ... 64

Gambar 5.2 Grafik Hubungan antara DDS dengan MAR ... 70

Gambar 5.3 Sensitivitas dan Spesifisitas dari DDS untuk ketiga cut off point

(18)

DAFTAR LAMPIRAN LAMPIRAN 1 Output Analisis Data

LAMPIRAN 2 Kuesioner Studi Diet Total 2014

LAMPIRAN 3 Surat Permohonan Permintaan Data

(19)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kelompok usia balita merupakan kelompok yang sangat peka

terhadap jumlah asupan dan jenis pangan yang dikonsumsi. Hal ini

dikarenakan terjadi laju pertumbuhan yang sangat pesat pada masa balita

tersebut. Biasanya anak yang paling kecil beresiko lebih tinggi terhadap

kekurangan pangan, karena anak-anak yang paling kecil umumnya makan

lebih lambat dan dalam jumlah yang kecil dibandingkan anggota rumah

tangga yang lain. Hal ini dapat menyebabkan kebutuhan gizi anak

cenderung tidak tercukupi dalam masa pertumbuhannya (Suhardjo, 2010).

Pada usia 6-24 bulan, anak belum mampu mengekspresikan

keinginan mereka memilih jenis-jenis makanan. Sedangkan pada usia 24-59

bulan anak mulai memilih-milih jenis makanan yang hanya disukainya.

Sifat balita dalam memilih jenis makanan yang hanya disukai ini dapat

berakibat kurang beragamnya jenis makanan yang dikonsumsi. Keragaman

jenis-jenis makanan yang dikonsumsi oleh anak sangat menentukan

sumbangan atau kontribusi zat-zat gizi dalam pemenuhan kebutuhan gizi

anak. Selain itu, pada usia 24-59 bulan ini biasanya anak sudah berhenti ASI

sehingga pemenuhan akan zat gizi sepenuhnya dari konsumsi pangan

(20)

Dengan mengonsumsi pangan yang beragam, maka kebutuhan akan

zat gizi makro maupun zat gizi mikro bagi balita akan tercukupi.

Berdasarkan hasil penelitian lanjutan terhadap data konsumsi yang

diperoleh dari Riskesdas 2010, didapatkan bahwa jumlah anak balita pendek

usis 24-59 bulan yang mengalami defisit energi sebanyak 31,5%, sedangkan

pada balita yang normal sebesar 24,9%. Demikian juga balita pendek yang

megalami defisit protein sebesar 23.0% sedangkan pada balita normal

sebesar 17,5% (Hermina & Prihatini, 2011). Hal tersebut menunjukkaan

rendahnya asupan zat gizi dapat menyebabkan masalah gizi serta berbagai

gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada balita. Masalah gizi lainnya

yaitu prevalensi kekurangan zat gizi mikro pada balita seperti vitamin A dan

zat besi sebesar 5,7% dan 12,8% (Valentina, Palupi, & Andarwulan, 2014).

Zat gizi mikro yang berperan sangat penting dalam pertumbuhan dan

perkembangan pada balita yaitu vitamin A, vitamin C, zat besi (Fe),

kalsium, dan zink (Zn) (Sharlin & Edelstein, 2011).

Pemenuhan akan zat-zat gizi yang diperlukan tubuh tersebut dapat

terpenuhi dengan mengonsumsi makanan yang beragam. Secara alami

komposisi setiap jenis bahan pangan memiliki kelebihan dan kekurangan

akan zat gizi tertentu, sehingga dengan mengonsumsi jenis pangan yang

beragam, pangan satu dengan yang lainnya akan saling melengkapi

(Rustanti, 2015). Keberagaman konsumsi pangan yang dimaksud adalah

dengan mengonsumsi pangan yang seimbang yang dapat menyediakan zat

tenaga, zat pembangun, dan zat pengatur dalam jumlah yang cukup dan

(21)

Keberagaman konsumsi diketahui sebagai elemen kunci dari kualitas

konsumsi dan mempertinggi kecukupan asupan dari zat gizi yang esensial

(FAO, 2010). Dampak jangka pendek jika keragaman pangan yang rendah

akan mengakibatkan pola makan yang tidak seimbang. Selain itu dampak

lainnya dapat munculnya masalah-masalah gizi seperti kekurangan zat gizi

makro dan mikro, kelebihan gizi, dan ketidakseimbangan zat gizi karena

disposisi zat gizi (Ariani, 2010). Kekurangan zat gizi spesifik seperti

kekurangan vitamin dan mineral merupakan masalah yang sering terjadi jika

konsumsi tidak beragam (Hanafie, 2010).

Keragaman konsumsi pangan dapat dinilai dengan menggunakan dua

metode, yaitu penilaian keragaman konsumsi pangan pada tingkat rumah

tangga dan penilaian keragaman konsumsi pangan pada tingkat individu

(FAO, 2010). Di Indonesia, penilaian keragaman konsumsi pangan masih

menggunakan penilaian pada tingkat rumah tangga dengan menggunakan

metode Pola Pangan Harapan (PPH). Metode PPH ini dengan melihat

komposisi dan jumlah atau ketersediaan pangan pada tingkat rumah tangga.

Hasil dari perhitungan PPH tersebut dapat menjadikan evaluasi terhadap

ketahanan pangan suatu wilayah. Keterbatasan pada metode ini yaitu tidak

dapat menggambarkan skor keragamanan konsumsi dari masing-masing

individu dalam rumah tangga (Badan Ketahanan Pangan, 2014b).

Metode lainnya yaitu penilaian konsumsi pangan pada tingkat

individu. Data terkait konsumsi pangan pada tingkat individu juga

(22)

masalah gizi secara langsung. Selain itu, data terkait keragaman konsumsi

pangan pada tingkat individu juga dibutuhkan sebagai evaluasi kualitas

konsumsi pangan di masyarakat yang dapat digunakan untuk mengukur,

menilai keberhasilan program intervensi, dan monitoring serta evaluasi

dampak kebijakan dari program gizi. Namun, pengumpulan data konsumsi

individu cenderung lebih mahal, serta diperlukan keahlian tingkat tinggi

baik dalam pengumpulan data maupun analisis (FAO, 2010).

Penilaian konsumsi pangan pada tingkat individu dapat dinilai

dengan Dietary Diversity Score (DDS) dan juga Food Variety Score (FVS).

Penilaian keragaman konsumsi pangan dengan DDS yaitu melihat

keragaman pangan dari 9 kelompok pangan, sedangkan FVS yaitu melihat

keragaman pangan dari item perkelompok pangan. Food and Agriculture

Organization (FAO) dan Food and Nutrition Technical Assistance

(FANTA) telah memperkenalkan metode DDS sebagai metode yang simpel

dan efektif untuk mengukur kualitas konsumsi serta kecukupan zat gizi

dibandingkan dengan metode penilaian gizi lainnya. Studi terkait DDS telah

dikembangkan diberbagai negara berkembang. Dibeberapa negara

menunjukkan DDS sebagai alat yang mudah yang dapat menggambarkan

keberagaman konsumsi pada populasi dan sebagai indikator terbaik dalam

memprediksi kecukupan zat gizi (FANTA, 2006; FAO, 2010).

Dengan menggunakan metode DDS juga dapat menilai kecukupan

dari zat gizi yang dikonsumsi. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan

(23)

dengan asupan zat gizi pada anak tidak ASI usia 2-5 tahun di Filipina dan

penelitian Steyn, dkk., (2009) pada anak usia 1-8 tahun di Afrika Selatan.

Penelitian tersebut juga menilai cut-off point terbaik untuk indikator dari

ketidakcukupan asupan zat gizi mikro. Di Filipina, cut-off point untuk

indikator ketidakcukupan asupan zat gizi mikro yaitu 6 kelompok pangan

dapat mengestimasi kecukupan zat gizi sebesar 75%, sedangkan di Afrika

Selatan yaitu 4 kelompok pangan dapat mengestimasi kecukupan zat gizi

kurang dari 50%.

Di Indonesia, penelitian terkait DDS masih belum banyak. Penelitian

yang dilakukan oleh Supriyanti & Nindya (2015) melihat hubungan antara

DDS dengan status gizi pada balita usia 12-59 bulan di Sumenep. Hasil

penelitian tersebut menunjukkan sebagian besar konsumsi balita tidak

beragam dengan skor DDS <4 sebesar 82,7% dan skor DDS ≥4 sebesar 17,3%. Kelemahan dari penelitian ini yaitu tidak terdapat validasi terhadap

metode DDS yang digunakan. Pengkategorian skor DDS menggunakan

panduan dari FAO namun tidak terdapat validasi yang dilakukan di

Indonesia.

Penelitian DDS lainnya di Indonesia yaitu penelitian Marlina (2011)

yang menilai sensitivitas dan spesifisitas indikator keragaman konsumsi

pangan dengan DDS dan FVS dalam mengestimasi kecukupan zat gizi

energi, protein, vitamin A, vitamin C, zat besi, kalsium, dan seng pada balita

usia 24-59 bulan di Kota Bandung. Hasil penelitian tersebut menunjukkan

(24)

lebih baik dari pada FVS. Ambang batas terbaik untuk memperkirakan

Mean Adequancy Ratio (MAR) ≤70% adalah 6 untuk DDS dan 9 untuk FVS, yang artinya skor 6 untuk DDS menjadikan cut-off point dari

kecukupan zat gizi sebesar 70% dari Angka Kecukupan Gizi (AKG) balita

usia 24-59 bulan.

Di Indonesia, belum terdapat uji validasi terhadap metode DDS

secara nasional untuk mengetahui kecukupan zat gizi yang dibutuhkan

tubuh terutama pada balita usia 24-59 bulan. Uji validitas terhadap metode

DDS ini diperlukan sebagai penilaian apakah indeks atau alat ukur

penganekaragaman konsumsi pangan dengan menggunakan metode DDS ini

cukup mencerminkan parameter kecukupan zat gizi. Uji validitas ini dapat

menggunakan uji diagnostik dengan menilai sensitivitas dan spesifisitas dari

sebuah alat atau metode. Sensitivitas adalah nilai untuk memprediksi atau

mengidentifikasi kelompok yang mengalami kekurangan zat gizi, sedangkan

spesifisitas merupakan nilai untuk memprediksi kelompok yang kecukupan

zat gizinya baik (Fahmida & Dillon, 2007).

Pentingnya konsumsi beragam pangan pada balita agar terpenuhinya

kecukupan zat gizi, maka diperlukan suatu metode yang secara mudah dan

murah dalam mengestimasi kecukupan zat gizi tersebut. Untuk itu penelitian

ini bertujuan untuk menilai sensitivitas dan spesifisitas metode DDS dalam

mengestimasi kecukupan zat gizi pada balita usia 24-59 bulan di Indonesia

menggunakan data skunder dari Studi Diet Total tahun 2014. Penelitian ini

(25)

dalam pengambilan keputusan terkait kebijakan keragaman konsumsi

khususnya pada balita.

B. Rumusan Masalah

Kelompok balita merupakan kelompok yang rentan terhadap

masalah kekurangan asupan zat gizi, baik zat gizi makro maupun zat gizi

mikro. Hal ini dikarenakan kebutuhan akan pangan dan zat gizi yang

meningkat, namun asupan yang cenderung rendah dikarenakan karakteristik

balita yang memilih jenis makanan yang hanya disukai sehingga konsumsi

pangan tidak beragam. Kebutuhan akan gizi bagi tubuh akan tercukupi

apabila mengkonsumsi pangan yang beranekaragam. Dengan mengonsumsi

pangan yang beragam akan mempertinggi kecukupan zat gizi yang esensial.

Dampak jika konsumsi tidak beragam dapat menyebabkan kekurangan zat

gizi spesifik. Keragaman konsumsi pangan dapat dinilai dengan dua metode,

yaitu penilaian keragaman konsumsi pangan pada tingkat rumah tangga dan

pada tingkat individu. Salah satu metode penilaian pada tingkat individu

yaitu Dietary Diversity Score (DDS). DDS merupakan metode yang mudah

serta dapat menilai kecukupan zat gizi. Di berbagai negara metode DDS

telah dikembangkan serta telah diuji sebagai prediktor yang baik untuk

mengestimasi kecukupan zat gizi terutama pada usia balita. Di Indonesia,

penelitian terkait uji validitas metode DDS dalam mengestimasi kecukupan

zat gizi telah dilakukan di Kota Bandung, namun belum terdapat penelitian

secara nasional, untuk itu peneliti ingin meneliti terkait “Sensitivitas dan

(26)

Kecukupan Zat Gizi pada Balita Usia 24-59 Bulan di Indonesia” menggunakan data Studi Diet Total tahun 2014.

C. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, berikut yang menjadi

pertanyaan dalam penelitian:

1. Bagaimana distribusi frekuensi asupan zat gizi (energi, protein,

vitamin A, vitamin C, kalsium, Fe, dan Zn) pada balita usia 24-59

bulan di Indonesia pada tahun 2014?

2. Bagaimana distribusi frekuensi kecukupan zat gizi pada balita usia

24-59 bulan di Indonesia pada tahun 2014?

3. Bagaimana distribusi frekuensi dan proporsi Dietary Diversity

Score (DDS) pada balita usia 24-59 bulan di Indonesia pada tahun

2014?

4. Bagaimana distribusi frekuensi asupan berdasarkan kelompok

pangan pada balita usia 24-59 bulan di Indonesia pada tahun 2014?

5. Bagaimana distribusi frekuensi kelompok pangan yang dikonsumsi

balita usia 24-59 bulan di Indonesia berdasarkan Dietary Diversity

Score (DDS) pada tahun 2014?

6. Bagaimana distibusi frekuensi keragaman konsumsi pangan dan

kecukupan zat gizi pada balita usia 24-59 bulan di tiap provinsi

(27)

7. Bagaimana hubungan antara keragaman konsumsi pangan dengan

kecukupan zat gizi pada balita usia 24-59 bulan di Indonesia pada

tahun 2014?

8. Bagaimana nilai sensitivitas dan spesifisitas dari DDS untuk

mengestimasi kecukupan zat gizi pada balita usia 24-59 bulan di

Indonesia pada tahun 2014?

D. Tujuan

1. Tujuan Umum

Diketahuinya nilai sensitivitas dan spesifisitas Dietary

Diversity Score (DDS) dalam mengestimasi tingkat kecukupan zat gizi

pada balita usia 24-59 bulan di Indonesia dengan menganalisis data

Studi Diet Total tahun 2014.

2. Tujuan Khusus

a. Diketahuinya distribusi frekuensi asupan zat gizi (energi, protein,

vitamin A, vitamin C, kalsium, Fe, dan Zn) pada balita usia 24-59

bulan di Indonesia pada tahun 2014

b. Diketahuinya distribusi frekuensi kecukupan zat gizi pada balita

usia 24-59 bulan di Indonesia pada tahun 2014

c. Diketahuinya distribusi frekuensi dan proporsi Dietary Diversity

Score (DDS) pada balita usia 24-59 bulan di Indonesia pada tahun

2014

d. Diketahuinya distribusi frekuensi asupan berdasarkan kelompok

(28)

e. Diketahuinya distribusi proporsi kelompok pangan yang

dikonsumsi balita usia 24-59 bulan di Indonesia berdasarkan

Dietary Diversity Score (DDS) pada tahun 2014

f. Diketahuinya distibusi frekuensi keragaman konsumsi pangan dan

kecukupan zat gizi pada balita usia 24-59 bulan di tiap provinsi

Indonesia pada tahun 2014

g. Diketahuinya hubungan antara keragaman konsumsi pangan

dengan kecukupan zat gizi pada balita usia 24-59 bulan di

Indonesia pada tahun 2014

h. Diketahuinya nilai sensitivitas dan spesifisitas dari DDS untuk

mengestimasi kecukupan zat gizi pada balita usia 24-59 bulan di

Indonesia pada tahun 2014

E. Manfaat

1. Bagi Pemerintah

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran

informasi data terkait keragaman konsumsi pangan pada balita usia

24-59 bulan di Indonesia. Hal ini dapat dijadikan informasi dalam

pengambilan kebijakan atau dalam evaluasi program gizi khususnya

terkait keberagaman konsumsi pangan. Serta dapat menambah

referensi terkait penilaian keragaman konsumsi pangan pada balita

(29)

2. Bagi Peneliti dan Mahasiswa Lainnya

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan

dalam keberagaman konsumsi pangan dengan menggunakan metode

Dietary Diersity Score dan dapat menambah referensi studi terkait

Dietary Diversity Score dan kecukupan zat gizi pada balita.

F. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan oleh mahasiswi Kesehatan Masyarakat

Fakultas Kedokkteran dan Ilmu Kesehatan UIN syarif Hidayatullah Jakarta

pada tahun 2016. Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan November

2016 sampai Februari 2017. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui

nilai sensitivitas dan spesifisitas metode Dietary Diversity Score (DDS)

dalam mengestimasi kecukupan zat gizi pada balita usia 24-59 bulan di

Indonesia.

Penelitian ini menggunakan data skunder dari Studi Diet Total survei

konsumsi makanan individu Indonesia 2014. Sampel populasi dari

penelitian ini yaitu seluruh balita usia 24-59 bulan di Indonesia yang

merupakan sampel dalam penelitian Riskesdas tahun 2013. Ini merupakan

penelitian kuantitatif dengan desain penelitian cross sectional dan

menggunakan uji korelasi untuk mengetahui hubungan dan kekuatan

hubungan antara skor keragaman konsumsi pangan dengan kecukupan

asupan zat gizi serta analisis kurva ROC untuk mengetahui nilai sensitivitas

dan spesifisitas antara DDS dengan kecukupan zat gizi (MAR) yang dinilai

(30)

2BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kebutuhan Gizi Balita

Balita harus mengkonsumsi, energi, protein, vitamin, dan mineral

dengan kualitas yang cukup tinggi untuk bekal dalam masa

pertumbuhannya. Energi yang dihasilkan dari metabolisme zat gizi akan

digunakan untuk mendukung pemeliharaan fungsi tubuh dan sebagai

bahan bakar untuk pertumbuhan serta aktivitas fisik. Oleh karena itu

pemenuhan akan zat gizi pada balita merupakan komponen yang penting

bagi jaringan tubuh (Pipes, 2001).

Kebutuhan zat gizi pada anak usia 2-5 tahun meningkat karena

masih berada pada masa pertumbuhan cepat dan aktivitasnya tinggi.

Demikian juga anak sudah mempunyai pilihan terhadap makanan yang

disukai termaksud makanan jajanan. Oleh karena itu jumlah dan variasi

makanan harus mendapatkan perhatian secara khusus dari ibu atau

pengasuh anak, terutama dalam mengatur kesukaan makanan anak agar

anak mau dan memilih makanan yang bergizi seimbang. Disamping itu

anak pada usia ini sering keluar rumah untuk bermain sehingga mudah

terkena penyakit infeksi dan kecacingan yang dapat menyebabkan

kebutuhan akan zat gizi yang lebih atau perlu perhatian khusus

(Kemenkes, 2014b).

Gizi yang baik dikombinasikan dengan kebiasaan makan yang

(31)

masa yang akan datang. Pengaturan makanan yang seimbang menjamin

terpenuhinya kebutuhan gizi untuk energi dan pertumbuhan pada balita.

Pengaturan makan yang baik yang dapat memenuhi kecukupan gizinya

juga dapat melindungi balita dari penyakit dan infeksi serta membantu

perkembangan mental dan kemampuan belajarnya (Thompson, 2006).

Kebutuhan akan zat gizi dipengaruhi oleh tingkat pertumbuhan dan

keterkaitan antara zat gizi lainnya (Pipes, 2001). Banyak faktor yang dapat

mempengaruhi kebutuhan zat gizi pada balita. Usia, berat badan, tinggi

badan, indeks massa tubuh, dan aktivitas fisik. Kebutuhan zat gizi pada

penduduk Indonesia menggunakan standar Angka Kecukupan Gizi (AKG)

tahun 2014 (Kemenkes, 2014a). Berikut tabel angka kecukupan zat gizi

untuk balita usia 2-5 tahun.

Tabel 2.1 Angka Kecukupan Zat Gizi

Kelompok

Energi merupakan salah satu hasil metabolisme zat gizi. Energi

diperlukan untuk proses pertumbuhan dan mempertahankan fungsi

(32)

dan gerakan otot untuk aktivitas (Thompson, 2006). Pangan sumber

energi adalah pangan sumber lemak, karbohidrat, dan protein. Contoh

pangan sumber energi yaitu beras, jagung, oat, serealia, umbi-umbian,

tepung, gula, buah, daging, telur, ikan, susu, kacang-kacangan, dan

jenis pangan lainnya (Simanjuntak, 2014).

Perhitungan kecukupan energi dalam Angka Kecukupan Gizi

2014 berdasarkan perhitungan energi model persamaan IOM tahun

2005. Perhitungan kecukupan energi dipengaruhi oleh beberapa faktor

seperti berat dan tinggi badan, pertumbuhan dan perkembangan (usia),

jenis kelamin, energi cadangan bagi anak dan remaja, serta thermic

effect of food (TEF). TEF adalah peningkatan pengeluaran eneri karena

asupan pangan yang nilainya 5-10% dari Total Energy Expenditure

(TEE) (Mahan & Escoot-stump 2008 dalam Kemenkes 2014a). Angka

kecukupan energi pada anak usia 1-3 tahun yang ditetapkan dalam

AKG 2014 yaitu sebesar 1125 kkal, sedangkan untuk anak usia 4-6

tahun sebesar 1600 kkal (Kemenkes, 2014a).

2. Kebutuhan Protein

Protein terdiri dari asam-asam amino. Disamping menyediakan

asam amino esensial, protein juga mensuplai energi dalam keadaan

energi terbatas dari karbohidrat dan lemak. Protein diperlukan untuk

memelihara struktur dan fungsi tubuh setiap saat. Protein ekstra

mungkin diperlukan selama masa pertumbuhan anak-anak, dalam

(33)

sumber protein hewani meliputi daging, telur, susu, ikan, dan hasil

olahannya. Pangan sumber protein nabati meliputi kedelai,

kacang-kacangan, dan hasil olahannya seperti tempe, tahu dan lainnya

(Marshall, 2009).

Kecukupan protein seseorang dipengaruhi oleh berat badan,

usia (tahap pertumbuhan dan perkembangan) dan mutu protein dalam

pola konsumsi pangannya. Bayi dan anak-anak yang berada dalam

tahap pertumbuhan dan perkembangan yang pesat membutuhkan

protein lebih banyak per kilogram berat badannya dibandingkan orang

dewasa. Angka kecukupan protein berdasarkan AKG 2014 untuk anak

usia 1-3 tahun sebesar 26 gr/hari sedangkan untuk anak usia 4-6 tahun

sebesar 35 gr/hari (Kemenkes, 2014a)

3. Kebutuhan Zat Gizi Mikro

Zat gizi mikro adalah zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh

dalam jumlah kecil atau sedikit tetapi ada dalam makanan. Zat gizi

yang termasuk kelompok zat gizi mikro adalah mineral dan vitamin.

Vitamin dan mineral merupakan katalisator yang sangat membantu

dalam proses pencernaan dan metabolisme tubuh. Kebutuhan akan

vitamin dan mineral pada balita terus meningkat sejalan dengan

(34)

a) Vitamin

Vitamin adalah zat gizi mikro yang sangat dibutuhkan tubuh

manusia meski dalam jumlah sedikit. Kekurangan asupan zat gizi ini

dapat menimbulkan akibat yang akan mempengaruhi status gizi dan

kesehatan seseorang. Fungsi vitamin A yaitu memelihara kesehatan

jaringan epitel, termaksud kulit dan selaput yang melapisi semua

saluran dan kelenjar lainnya (Almatsier, 2010). Defisiensi vitamin A

masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang signifikan di

seluruh dunia, terutama dibelahan Afrika dan Asia Tenggara. Sekitar

250 juta anak-anak balita diperkirakan mengalami defisiensi vitamin A

(DVA) secara subklinis dan berada dalam resiko morbiditas yang

parah dan kematian prematur (WHO, 2009). Pangan sumber vitamin A

yaitu pangan hewani, sayur dan buah yang berwarna oranye, sayuran

berwarna hijau, umbi-umbian. Angka kecukupan vitamin A adalah

jumlah vitamin A yang harus dikonsumsi per hari untuk

mempertahankan status vitamin A pada level cukup. Kebutuhan

vitamin A bagi anak usia 1-3 tahun berdasarkan AKG 2014 sebesar

400 mcg/hari dan untuk usia 4-6 tahun sebesar 450 mcg/hari

(Kemenkes, 2014a).

Vitamin C berfungsi sebagai donor atau penyumbang elektron

(peran antioksidan). Vitamin C terlibat dalam sintesis dan modulasi

beberapa komponen hormone sistem syaraf. Sebagai kofaktor dalam

(35)

vitamin C dari buah. Sayur juga sebagai sumber vitamin C tetapi

dalam pengolahan kandungan vitamin C dapat berkurang. Kebutuhan

vitamin C bagi anak usia 1-3 tahun berdasarkan AKG 2014 sebesar 40

mg/hari dan untuk usia 4-6 tahun sebesar 45 mg/hari (Kemenkes,

2014a).

b) Mineral

Mineral merupakan zat inorganik yang dibutuhkan tubuh dalam

jumlah yang sedikit namun diperlukan tubuh untuk memenuhi

kebutuhan yang esensial. Fungsi dari mineral adalah sebagai kofaktor

dalam berbagai reaksi metabolik; sebagai bagian dari senyawa yang

mengandungzat organik seperti enzim, hormon, dan unsur tertentu

dalam darah; sebagai ion yang memungkinkan pergerakan zat zat yang

melintasi membrane sel dan pergerakan otot; serta sebagai unsur

pembentuk tulang (Pandi & Wiakusumah, 2012).

Kalsium merupakan mineral yang paling banyak terdapat

dalam tubuh manusia. hampir seluruh kalsium berada dalam tubuh ada

di tulang dan gizi. Pada tulang kalsium berperan sentral dalam struktur

dan kekuatan tulang. Sedangkan pada gigi, kalsium berperan untuk

memperkokoh struktur gigi dan bersifat menetap. Fungsi kalsium yaitu

sebagai pengaturan dan penyusunan. Pangan sumber kalsium yang

utama yaitu susu dan olahannya. Sumber lainnya yaitu sayuran hijau,

(36)

tahun berdasarkan AKG 2014 sebesar 650 mg/hari sedangkan untuk

anak usia 4-6 tahun sebesar 1000 mg/hari (Kemenkes, 2014a).

Zat besi (Fe) merupakan salah satu mineral yang dibutuhkan

tubuh yang berfungsi sebagai senyawa besi dalam hemoglobin,

myoglobin, enzim yang diperlukan dalam fungsi metabolisme, serta

mengangkut dan menyimpan oksigen, mengangkut electron

mitokondria dan sintesis DNA. Akibat jika kekurangan zat besi dapat

menyebabkan anemiazat besi yang ditandai dengan kulit pucat, lemah,

letih akibat kekurangan oksigen, dpaat menurunkan daya kognitif dan

daya tahan tubuh (Soenardi, 2008). Pangan sumber Fe yaitu daging,

jeroan, ikan, unggas, dan sumber pangan non hem seperti sayuran daun

hijau, kacang-kacangan, kedelai dan rumput laut. Kecukupan zat besi

untuk anak usia 1-3 tahun berdasarkan AKG 2014 sebesar 8 mg/hari

dan 9 mg/hari untuk anak usia 4-6 tahun (Kemenkes, 2014a).

Seng (Zn) adalah mineral mikro esensial baik pada manusia.

Fungsi seng yaitu berpern sebagai komponen dalam banyak enzim.

Juga dalam sintesa protein, metabolisme hidrat arang dan energi serta

asam nukleat. Dengan demikian, seng esensial untuk pertumbuhan,

pematangan seks, fungsi kognitif dan imun serta reproduksi. Ikan

terutama kerang dan daging mengandung tinggi seng. Pangan lainnya

seperti serealia juga sumber seng. Seng dari sumber nabati umumnya

(37)

B. Pangan

1. Pengertian Pangan

Pangan menurut Peraturan Pemerintah RI nomer 28 tahun 2004

diartikan sebagai segala sesuatu yang bersumber dari sumber hayati

dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah. Pangan

diperuntukkan bagi konsumsi manusia sebagai makanan atau

minuman, termaksud bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan

bahan-bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan,

pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman (Badan

Ketahanan Pangan, 2014b). Pangan merupakan salah satu kebutuhan

dasar manusia, karena itu pemenuhan atas pangan menjadi hak asasi

setiap rakyat Indonesia dalam mewujudkan sumber daya manusia yang

berkualitas untuk melaksanakan pembangunan nasional. Komoditas

pangan harus mengandung zat gizi yang terdiri dari karbohidrat,

protein, lemak, vitamin, dan mineral yang bermanfaat bagi

pertumbuhan dan kesehatan manusia (Pusat Penganekaragaman

Pangan, 2013).

Permasalahan pangan dan gizi mengalami perkembangan yang

sangat cepat dan komplek. Perkembangan masalah lingkungan global

dapat memepengaruhi komoditas terhadap pangan di Indonesia.

Globalisasi juga mendorong perubahan pola konsumsi pangan

masyarakat yang berdampak terhadap masalah kesehatan. Disamping

(38)

dalam bentuk gizi kurang atau gizi buruk, kelebihan gizi atau

kegemukan, serta ketahanan pangan maupun keamanan pangan

(Brown, 2011).

2. Pengelompokkan Pangan

Macam-macam jenis pangan atau bahan pangan yang

diperuntukkan sebagai bahan makanan bagi manusia secara umum

terbagi menajdi dua golongan. Penggolongan bahan pangan ini

didasarkan pada sumbernya, yaitu bahan pangan yang berasal dari

tumbuhan yang disebut bahan pangan nabati dan bahan makanan yang

bersumber dari hewan yang disebut bahan pangan hewani (Rustanti,

2015).

Bahan pangan nabati adalah bahan-bahan pangan yang berupa

atau berasal dari tumbuhan, baik yang liar ataupun yang ditanam serta

yang berasal dari produk-produk olahannya. Bahan panga nabati dapat

berupa daun, bunga, akar, batang, umbi, buah, biji ataupun

bagian-bagian tanaman yang lain. Bahan-bahan pangan nabati memiliki sifat

yang beranekaragam, baik sifat fisik maupun sifat kimia (Saparinto,

Cahyo, & Hidayati, 2006).

Bahan pangan hewani merupakan semua bahan makanan yang

berupa daging atau berasal dari berbagai jenis hewan yang layak untuk

dimakan baik dalam bentuk dasarnya ataupun dalam bentuk

(39)

organ lainnya yang bersumber dari hewan, baik yang hidup di darat

maupun di air (Saparinto dkk, 2006).

Selain pengelompokkan berdasarkan sumbernya, pangan

dikelompokkan menjadi sembilan jenis pangan yakni (Badan

Ketahanan Pangan, 2014a)

1. Padi-padian atau serealia,

Terdiri dari beras, jagung, gandum, beserta olahannya seperti

terigu.

2. Makanan berpati atau umbi-umbian,

Terdiri dari kentang, ubi kayu, ubi jalar. Sagu, talas, dan

umbi-umbi lainnya.

3. Pangan hewani,

Terdiri dari daging hewan yang hidup di darat maupun di air

seperti ikan, organ lainnya dari hewan yang dapat dikonsumsi,

telur, berserta olahan hewani seperti susu, keju, dan lainnya.

4. Minyak dan lemak,

Yang terdiri dari minyak kelapa, minyak jagung, minyak

kelapa sawit dan margarin atau olahan lainnya.

5. Buah dan biji berminyak,

Terdiri dari kelapa, kemiri, kenari, mete, dan coklat.

6. Kacang-kacangan,

Kacang tanah, kacang hijau, kedelai, kacang merah dan

(40)

7. Gula,

Terdiri dari gula pasir, gula merah dan gula lainnya.

8. Sayur dan buah,

Adalah seluruh jenis sayur dan buah yang biasa dikonsumsi.

9. Lain-lainnya,

Terdiri dari teh, kopi, bumbu makanan dan minuman

beralkohol.

C. Konsumsi Pangan Balita

Konsumsi pangan merupakan salah satu faktor yang langsung

mempengaruhi status gizi seseorang. Konsumsi pangan merupakan

informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi oleh

seseorang atau sekelompok orang pada waktu tertentu. Konsumsi pangan

yang tidak dapat memenuhi kebutuhan tubuh, baik dalam kualitas maupun

kuantitas akan menyebabkan masalah gizi (Brown, 2011).

Balita merupakan kelompok yang rentan dalam permasalahan gizi

di keluarga. Balita perlu mengkonsumsi makanan dan minuman dalam

jumlah yang cukup serta teratur setiap harinya untuk dapat hidup sehat.

Karakteristik usia balita terutama usia 2-5 tahun merupakan kelompok usia

yang rawan gizi dan rawan penyakit, karena pada usia ini terjadi transisi

dari makanan bayi menjadi makanan orang dewasa dan anak biasanya

sudah berhenti mendapatkan ASI ekslusif pada usia tersebut. Selain itu,

anak lebih banyak menghabiskan waktu untuk bermain dan beraktivitas di

(41)

Kondisi balita sangat peka terhadap jumlah asupan dan jenis

pangan yang dikonsumsi. Hal ini dikarenakan terjadi laju pertumbuhan

yang sangat pesat pada masa balita tersebut. Selain itu, anak yang paling

kecil biasanya yang paling beresiko terhadap kekurangan pangan, karena

anak-anak yang paling kecil umumnya makan lebih lambat dan dalam

jumlah yang kecil dibandingkan anggota rumah tangga yang lain, sehingga

memperoleh bagian yang terkecil dan tidak mencukupi kebutuhan gizi

anak yang sedang tumbuh (Thompson, 2006).

Konsumsi pangan pada balita yang diatur berdasarkan pedoman

gizi seimbang yaitu dengan pembagian porsi makan dalam sehari. Untuk

anak usia 1-3 porsi pangan pokok sebesar 3 porsi, porsi sayur sebesar 1,5

porsi, porsi buah 3, porsi pangan nabati 1, porsi pangan hewani 2, porsi

minyak 3 porsi, dan gula 2 porsi. Sedangkan untuk anak usia 4-6 tahun

porsi pangan pokok 4, sayur 2 porsi, buah 3 porsi, pangan nabati 2 porsi,

pangan hewani 3 porsi, minyak 4 porsi, dan gula 2 porsi (Kemenkes,

2014b). Pesan gizi seimbang untuk anak usia 2-5 tahun yaitu

membiasakan makan 3 kali sehari (pagi, siang, dan malam) bersama

keluarga; Perbanyak mengkonsumsi makanan kaya protein seperti ikan,

telur, tempe, susu, dan tahu; Perbanyak mengkonsumsi sayur dan buah;

Batasi konsumsi makanan selingan yang terlalu manis, asin, dan berlemak;

minum air putih sesuai kebutuhan; dan Biasakan melakukan aktivitas fisik

(42)

D. Penilaian Konsumsi Pangan

Penilaian konsumsi merupakan suatu metode penilaian gizi dengan

melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi. Penilaian konsumsi

pangan serta pengumpulan data konsumsi pangan dapat memberikan

gambaran tentang konsumsi berbagai zat gizi pada masyarakat, keluarga

dan individu. Dengan melihat konsumsi pangan ini dapat mengidentifikasi

kelebihan dan kekurangan zat gizi (Gibson, 2005).

Tujuan dari penilaian konsumsi pangan yaitu untuk mengetahui

kebiasaan makan dan gambaran tingkat kecukupan bahan makanan dan zat

gizi pada tingkat kelompok, rumah tangga, dan perorangan serta

faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap konsumsi makanan tersebut.

Penilaian konsumsi pangan dapat memberikan informasi terkait

kecukupan zat gizi serta pola konsumsi. Metode penilaian konsumsi yang

dipilih tergantung pada informasi apa yang dibutuhkan sesuai dengan

tujuan dari studi yang dipelajari (Fahmida & Dillon, 2007).

Metode pengukuran konsumsi pangan dapat dibedakan

berdasarkan sasaran pengamatan. Metode pengukuran konsumsi pangan

untuk tingkat rumah tangga dapat meggunakan metode Pencatatan (food

account), Metode pendaftaran (food list), Metode inventaris (inventory

method), Metode Pencatatan makanan rumah tangga (household food

record). Metode pengukuran konsumsi pangan untuk tingkat individu atau

peroranga dengan menggunakan metode Recall 24 jam, metode stimated

(43)

dietary history, dan metode frekuensi makanan (food frequency)

(Supariasa, 2010).

Metode yang umum digunakan dalam survei besar untuk individu

yaitu metode recall 24 jam. Metode ini berguna untuk memperkirakan

asupan keragaman konsumsi dan pola kebiasaan konsumsi pada populasi.

Dalam metode recall 24 jam responden akan ditanya tentang makanan

yang dikonsumsi selama 24 jam sebeumnya. Pencatatan secara rinci baik

makanan dan minuman utama maupun makanan selingan yang dikonsumsi

dicatat oleh pewawancara. Metode ini relatif mudah dilakukan dan relatif

murah serta cepat. Kelemahan dari metode ini karena memerlukan daya

ingat seseorang (Supariasa, 2010).

E. Keanekaragaman Konsumsi Pangan

Keragaman konsumsi pangan merupakan jumlah pangan atau

kelompok pangan berbeda yang dikonsumsi individu dalam jangka waktu

tertentu (Bilinsky & Swindale, 2006). Pentingnya keragaman konsumsi

pangan dalam rumah tangga dibuktikan oleh penelitian Kennedy (2009).

Hasil penelitiannya membuktikan bahwa keragaman konsumsi pangan

merupakan faktor yang dapat mempengaruhi kecukupan zat gizi

(Kennedy, 2009). Hal ini menunjukkan bahwa zat gizi yang diperlukan

tubuh akan terpenuhi jika konsumsi pangan semakin beragam.

Konsumsi pangan yang beragam memberikan manfaat bagi

seseorang terutama pada anak-anak, di antaranya dapat meningkatkan

(44)

sehingga mencapai tingkat kecukupan yang normal, memperbaiki status

antropometri anak, serta meningkatkan konsentrasi hemoglobin yang dapat

mempengaruhi kecerdasan dan produktivitas anggota rumah tangga.

Penelitian di Bangladesh pada balita usia 6-59 bulan tahun 2003–2005 oleh Rah dkk (2010) membuktikan bahwa rendahnya keragaman konsumsi

pangan menyebabkan kejadian stunting pada anak. Hal ini dapat

menunjukkan keragaman konsumsi pangan dapat mempengaruhi terhadap

status gizi anak (Rah dkk., 2010). Penelitian di Indonesia juga

menunjukkan bahwa pada anak usia 24-59 bulan yang mengalami stunting

mengkonsumsi makanan yang tidak beragam (Hermina & Prihatini, 2011).

1. Penilaian Keberagaman Konsumsi Pangan

Penilaian keberagaman konsumsi pangan dibedakan menjadi

dua yaitu penilaian keberagaman konsumsi pangan pada rumah tangga

dan penilaian keberagaman konsumsi pangan untuk individu. Penilaian

keberagaman konsumsi pangan dalam skala rumah tangga di Indonesia

kebanyakan masih menggunakan metode penilaian skor Pola Pangan

Harapan (PPH). Pola Pangan Harapan merupakan metode yang

digunakan dengan melihat komposisi dan jumlah atau ketersediaan

pangan pada tingkat rumah tangga. Hasil dari perhitungan PPH

tersebut dapat menjadikan evaluasi terhadap ketahanan pangan suatu

wilayah. Metode PPH ini terbatas pada penilaian ketahanan pangan

suatu wilayah namun tidak dapat menggambarkan skor keragamanan

(45)

FAO dan FANTA telah memperkenalkan penilaian

keberagaman konsumsi pangan untuk individu yaitu Dietary Diversity

Score (DDS). Dengan menggunakan metode ini, kita dapat menilai

kualitas konsumsi seseoarang dengan lebih mudah dan simpel. Selain

itu, konsumsi pangan yang dinilai dapat menentukan secara langsung

kecukupan dari zat gizi yang dikonsumsi serta tidak diperlukan melihat

apakah konsumsi makanan di rumah atau di luar rumah sehingga dapat

menilai konsumsi pada individu dalam sehari (FAO, 2010).

Metode DDS ini dapat digunakan dalam segala kondisi dengan

memperhatikan jangka waktu tertentu. Berdasarkan pedoman FAO

untuk mengukur keragaman konsumsi pada rumah tangga dan individu

diperlukan jangka waktu selama 24 jam sebelumnya, menggunakan 24

jam recall memang tidak dapat menggambarkan kebiasaan makan,

namun dapat memberikan penilaian konsumsi pada tingkat populasi

dan dapat digunakan untuk memonitoring kemajuan suatu program dan

intervensi (FAO, 2010).

Penilaian skor dari DDS didasarkan dari 9 kelompok pangan

yang direkomendasikan oleh FAO dalam Individual Dietary Diversity

(46)

Tabel 2.2 Tabel Dietary Diversity Score (DDS)

a. Beras/nasi, jagung/tepung jagung, gandum,

sorgum, millet atau biji-bijian lannya atau

makanan yang dibuat dari jenis pangan ini

(mis. Roti, mie, bubur, pasta, atau produk

gandum/biji-bijan lainnya) + makanan lokal

b. Kentang, ubi putih, singkong putih, atau

polong), kedelai dan olahan kedelai,

kacang-kacangan dan biji-bijian

panjang, daun ubi jalar, daun melinjo)

b. Lainnya: labu, tomat, wortel, dan ubi oranye +

(47)

c. Jus dan buah kaya vitamin A (manga, blewah,

atau C): apel, anggur, semangka, melon, salak,

nangka, duku, pisang, alpukat

Minyak, mayonnaise, margarin, butter (yang

ditambahkan untuk makanan atau digunakan

untuk memasak), minyak sawit merah

Sumber: Guidelines for Measuring Household and Individual Dietary Diversity (FAO, 2010).

F. Konsep Dietary Diversity Score (DDS) dan Kecukupan Zat Gizi

Keragaman konsumsi atau dietary diversity adalah sejumlah

pangan atau kelompok pangan berbeda yang dikonsumsi individu dalam

jangka waktu tertentu (Bilinsky & Swindale, 2006). Keragaman konsumsi

pangan merupakan metode kualitatif untuk mengukur konsumsi makanan

yang dapat menggambarkan keragaman dari jenis makanan atau pangan

(48)

gizi untuk individu (FAO, 2010). Indikator keragaman konsumsi pangan

biasanya hanya dinilai dari jumlah jenis pangan yang dikonsumsi. Di

beberapa negara berkembang, penilaian skoring terkadang memperhatikan

dari jumlah porsi kelompok makanan yang dikonsumsi sesuai dengan

pedoman konsumsi yang berlaku. Namun, indikator biasanya dirancang

untuk mencerminkan kualitas dari makanan yang dikonsumsi tidak dapat

menilai keanekaragaman konsumsi (Ruel, 2002).

Dietary Diversity Score (DDS) merupakan indikator keragaman

konsumsi pangan. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengukur

keragaman konsumsi pangan di beberapa negara berkembang (Kennedy,

2009). Pada penelitian oleh Kennedy (2009) menunjukkan bahwa DDS

berhubungan signifikan dengan asupan zat gizi mikro pada anak tidak ASI

usia 2-5 tahun di Filipina dan anak usia 1-8 tahun di Afrika Selatan.

Penelitian tersebut juga menilai cut-off point terbaik untuk dijadikan

indikator dari ketidakcukupan asupan zat gizi mikro. Di Filipina, cut-off

point untuk indikator ketidakcukupan asupan zat gizi mikro yaitu skor

DDS 6, sedangkan di Afrika Selatan yaitu skor DDS 4.

Penelitian lainnya yang melihat DDS dengan kecukupan zat gizi

yaitu penelitian oleh Moursi dkk (2008) dengan hasil penelitian bahwa

Dietary Diversity Score merupakan indikator yang baik untuk menilai

kecukupan dari mikronutrisi pada anak usia 6-23 bulan di Madagascar.

Penelitian Daniels (2006) juga melihat hubungan DDS dengan kecukupan

(49)

dapat menilai kecukupan zat gizi dengan skor terbaik yaitu 4. Penelitian

lainnya yaitu Steyn dkk (2009) yang menunjukkan bahwa DDS

merupakan indikator yang baik untuk menilai kecukupan konsumsi zat

gizi pada anak usia 1-8 tahun di Afrika Selatan dengan skor 4 untuk MAR

<50%.

Di Indonesia terdapat penelitian yang dilakukan oleh Marlina

(2011) yang menilai indikator keragaman konsumsi pangan dengan

menggunakan DDS dan Food Variety Score (FVS). Hasil penelitiannya

yaitu DDS sebagai indikator keragaman konsumsi pangan yang lebih baik

dar FVS. Selain itu skor 6 untuk DDS merupakan cut off baik untuk

menilai kecukupan zat gizi sebesar 70% dari angka kecukupan zat gizi

(AKG) balita usia 24-59 bulan di Kota Bandung.

Kecukupan zat gizi dapat dilihat dengan membandingkan asupan

seseorang dengan standar atau rekomendasi yang dibutuhkan oleh tubuh.

Di Indonesia, rekomendasi yang digunakan adalah Angka Kecukupan Gizi

(AKG) 2013 (Kemenkes, 2014a). Penilaian kecukupan gizi dari beberapa

zat gizi dapat menggunakan nilai Mean Adequacy Ratio (MAR). MAR

menggambarkan evaluasi gambaran asupan zat gizi pada individu. MAR

tidak menggambarkan ketidakcukupan satu jenis zat gizi, sehingga dengan

menggunakan MAR kita dapat mengetahui kecukupan dari beberapa zat

gizi. MAR dihitung dengan menjumlahkan tingkat konsumsi zat gizi

dibagi dengan jumlah jenis zat gizi (Gibson, 2005). Secara keseluruhan,

(50)

Adequacy Ratio (NAR) untuk asupan energi dan zat gizi lainnya. NAR

merupakan perbandingan antara zat gizi yang dikonsumsi individu dengan

AKG yang dianjurkan sesuai kategori usia dan jenis kelamin. MAR

menggambarkan indikator bahwa rata-rata zat gizi yang dikonsumsi masih

dibawah AKG atau telah melebihi AKG (Torheim et al., 2004).

Perhitungan dari NAR dan MAR sebagai berikut.

Penilaian kecukupan zat gizi di Indonesia sebatas menggunakan

Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan sebagai terjemahan dari

Recommended Dietary Allowance (RDA). Di Amerika Serikat, penilaian

kecukupan zat gizi menggunakan Dietary Reference Intake (DRI) yang

terdiri dari nilai Estimated Average Requirement (EAR), RDA, Adequate

Intake (AI), dan Tolerable Upper Intake Lavel (UL) (Institude Of

Medicine, 2005).

EAR merupakan rata-rata kebutuhan zat gizi yang diperoleh dari

rata-rata kebutuhan gizi berdasarkan hasil penelitian pada populasi sehat.

Jika diterapkan dalam kehidupan sehari-hari mencakup 50% populasi

sehat. RDA atau AKG adalah angka kecukupan gizi yang bila diterapkan

dalam kehidupan sehari-hari akan memenuhi kebutuhan sekitar 97-98%

(51)

Penilaian kecukupan energi dan protein menurut Depkes (1996)

dalam Jayanti, Effendi, & Sukandar (2011) dikatagorikan menjadi lima

yaitu defisit tingkat berat (<70% AKG), defisit tingkat sedang (70-79%

AKG), defisit tingkat ringan (80-89% AKG), normal (90-119% AKG),

serta berlebih (≥120% AKG). Adapun klasifikasi tingkat kecukupan pada

vitamin dan mineral hanya dikategorikan menjadi dua kategori menurut

Gibson (2005), yaitu defisit apabila <77% AKG serta cukup apabila ≥77% AKG.

G. Uji Sensitivitas dan Spesifisitas

Sensitivitas adalah kemapuan suatu tes untuk memberikan

gambaran positif pada orang yang benar-benar sakit. Penggunaan

sensitivitas saja belum tentu dapat mengetahui secara benar keadaan suatu

penyakit. Untuk itu perlu diketahui konsep spesifisitas. Spesifisitas ialah

kemampuan suatu tes untuk memberikan gambaran negatif bila subjek

yang di tes adalah bebas dari penyakit (Masriadi, 2012). Uji sensitivitas

digunakan untuk memprediksi atau mengidentifikasi kelompok yang

mengalami kekurangan zat gizi, sedangkan spesifisitas digunakan untuk

memprediksi atau mengidentifikasi kelompok yang kecukupan zat gizinya

baik (Fahmida & Dillon, 2007).

Sensitivitas dan spesifisitas merupakan dua rasio yang digunakan

untuk mengukur kemapuan suatu uji saring (screening) atau uji diagnostik

untuk membedakan individu yang mengalami kekurangan zat gizi. Untuk

(52)

dari uji diagnostik. Uji diagnostik mempunyai tiga cara analisis (Dahlan,

2009), yaitu:

1. Tabel 2 x 2

Analisis ini berfungsi untuk mendapatkan performa alat uji

yang terlihat dari sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif,

nilai duga negatif, rasio kemungkinan positif dan rasio

kemungkinan negatif.

2. Kurva ROC

Kurva ROC atau Receiver Operating Characteristic

mempunyai fungsi untuk melihat nilai AUC atau Area Under

Curve untuk memperoleh cut off point yang direkomendasikan

serta nilai sensitivitas dan spesifisitas.

3. Multivariat Berjenjang

Merupakan analisis uji diagnostik yang lebih kompleks dengan

melihat nilai diagnostik dari parameter anamnesis, pemeriksaan

fisik, pemeriksaan penunjang sederhana, pemeriksaan

penunjang canggih. Dengan cara ini akan menghasilkan nilai

AUC untuk memperoleh cut off point rekomendasi.

Penelitian ini menggunakan analisis kurva ROC karena fungsinya

yaitu untuk mengetahui nilai sensitivitas dan spesifisitas dari metode DDS

dalam mengestimasi kecukupan zat gizi pada balita serta untuk

mengetahui cut off point dari DDS tersebut yang cocok untuk

(53)

H. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecukupan Zat Gizi Balita

1. Karakteristik Individu

a) Usia

Menurut Departemen Kesehatan (2009), umur merupakan

masa hidup responden dalam tahun dengan pembulatan ke bawah

atau umur pada waktu ulang tahun yang terakhir. Umur

mempunyai peran penting dalam menentukan pemilihan makanan.

Asupan energi meningkat sesuai dengan usia dan perbedaan jenis

kelamin antara perempuan dan laki-laki menjadi lebih luas saat

mereka bertambah usianya. Secara signifikan pada anak usia

perkembangan dan pertumbuhan lebih banyak membutuhkan

energi (Crowle & Turner, 2010).

Terdapat kemungkinan tren dalam kecukupan gizi di

tahun-tahun awal kehidupan seseorang. Selama tahun-tahun pertama kehidupan,

kecukupan gizi pada bayi mungkin tercukupi dengan baik,

terutama pada anak yang ASI ekslusif. Hal ini dikarenakan

kandungan gizi dalam ASI yang mencukupi kebutuhan gizi pada

bayi. Namun, kecukupan gizi pada anak bisa jatuh drastis setelah

tahun pertama kehidupan atau saat sudah tidak lagi menyusu ASI

dan kebutuhan makanan pelengkap tidak memadai. Terdapat

hubungan antara usia balita yang sudah tidak ASI dengan

kecukupan energi dan protein dengan pvalue sebesar 0,0001.

(54)

beresiko untuk mengalami ketidakcukupan zat gizi (Chaudhury,

2006).

b) Jenis Kelamin

Menurut Departemen kesehatan (2009), jenis kelamin

merupakan perbedaan seks yang didapat sejak lahir yang

dibedakan antara laki-laki dan perempuan. Jenis kelamin

menentukan besar kecilnya kebutuhan gizi bagi seseorang. Dalam

beberapa budaya di masyarakat, anak laki-laki dianggap lebih

berharga dari pada anak perempuan karena berbagai alasan. Anak

laki-laki dianggap membutuhkan energi atau makanan dalam porsi

yang lebih besar dibandingkan anak perempuan, hal ini

dikarenakan terdapat pengharapan lebih terhadap anak laki-laki,

selain itu anggapan bahwa anak laki-laki membutuhkan energi

yang lebih agar tubuhnya lebih kuat (Sultan, 2014). Berdasarkan

hasil penelitian Sultan (2014), menyatakan terdapat hubungan

antara jenis kelamin dengan kecukupan protein pada anak dengan

pvalue sebesar 0,01. Kecukupan zat gizi pada anak laki-laki lebih

tinggi dari pada kecukupan zat gizi anak perempuan.

c) Tinggi dan Berat Badan

Tinggi dan berat badan berpengaruh terhadap luas

permukaan tubuh, semakin luas permukaan tubuh maka semakin

besar pengeluaran panas, sehingga kebutuhan metabolisme basal

tubuh juga semakin besar (Kemenkes, 2014a). Berdasarkan

Gambar

Gambar 5.3 Sensitivitas dan Spesifisitas dari DDS untuk ketiga cut off point
Tabel 2.1 Angka Kecukupan Zat Gizi
Tabel 2.2 Tabel Dietary Diversity Score (DDS)
Tabel 3.1 Definisi Operasional
+7

Referensi

Dokumen terkait

Variabel FBIR secara parsial mempunyai pengaruh negatif yang tidak signifikan terhadap CAR dan memberikan kontribusi sebesar 3,69 persen terhadap CAR pada Bank

Penelitian ini bertujuan Untuk mengetahui pengaruh metode bercerita terhadap keterampilan berbicara pada pembelajaran Bahasa Indonesia kelas IV Sekolah Dasar Negeri Mangkura

Dalam hal lain, peranan Notaris untuk menghindari timbulnya sengketa dari akta pengikatan jual-beli hak atas tanah adalah bahwa dalam pembuatannya harus dilengkapi dengan kuasa

Gedung H, Kampus Sekaran-Gunungpati, Semarang 50229 Telepon: (024) 8508081, Fax. Tri

Peningkatan Produksi, Produktivitas dan Mutu Tanaman Rempah dan

Uji Perbedaan Rerata Skor Pretes Hasil uji prasyarat, yaitu uji normalitas dan uji homogenitas menunjukkan bahwa data Pretes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis

Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan Pasal 20 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 37 Tahun 2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga

[r]