• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keragaman Konsumsi Pangan Balita

Dalam dokumen ANDINI SEPTIANI FKIK (Halaman 96-100)

BAB VI PEMBAHASAN

D. Keragaman Konsumsi Pangan Balita

Keragaman konsumsi pangan dinilai dengan menggunakan Dietary

Diversity Score (DDS) dengan melihat 9 kelompok pangan. Berdasarkan

hasil penelitian ini rerata skor DDS dari 3085 balita sebesar 5,29 kelompok pangan. Hal ini menunjukkan rerata balita mengkonsumsi sekitar 5 kelompok pangan dalam sehari. Hasil penelitian ini tidak berbeda jauh dengan hasil penelitian sebelumnya oleh Marlina (2011) menyatakan rerata DDS pada balita usia 24-59 bulan di Kota Bandung sebesar 5,67 kelompok pangan. Sedangkan hasil penelitian Kennedy (2009) diketahui rerata DDS pada anak usia 24-71 bulan yang tidak ASI di Filipina sebesar 4,91 kelompok pangan. Sedangkan hasil penelitian Steyn., dkk (2009) menunjukkan rerata DDS pada anak usia 1-8 tahun di Afrika Selatan sebesar 3,58 kelompok pangan. Hal ini menunjukkan keragaman konsumsi di Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan Negara Filipina dan Afrika Selatan.

Faktor sosial ekonomi menjadi salah satu penyebab keberagaman konsumsi pangan (Surachman dkk., 2013). Indonesia merupakan negara dengan keberagaman sosial ekonomi, budaya, adat istiadat, suku, dan agama yang beragam. Hal ini dapat menunjukkan terdapat banyaknya lapisan kelompok masyarakat mulai dari masyarakat dengan ekonomi sangat rendah sampai sangat tinggi (Moeis, 2008). Hal tersebut dapat menjadi salah satu penyebab keragamanan konsumsi pangan pada balita di Indonesia lebih tinggi jika dibandingkan dengan negara lainnya.

Jika dilihat berdasarkan provinsi sama halnya dengan kecukupan zat gizi, Provinsi DKI Jakarta juga merupakan provinsi dengan skor DDS tertinggi di Indonesia yaitu sebesar 5,88. Seperti yang dikemukakan oleh Hardinsyah (2007) bahwa keadaan ekonomi berpengaruh besar pada konsumsi pangan. Pada umumnya jika pendapatan meningkat, maka jumlah dan jenis makanan cenderung membaik juga (Perdana dkk., 2014). Provinsi DKI Jakarta dianggap sebagai provinsi dengan tingkat pendapatan penduduknya yang cukup tinggi dan merupakan kota besar dengan tingkat konsumsi tinggi pula hal ini yang dapat menyebabkan DKI Jakarta merupakan provinsi dengan keragaman konsumsi pangan dan kecukupan zat gizi tertinggi di Indonesia. Sedangkan provinsi dengan keragaman rendah yaitu Provinsi Papua. Provinsi Papua merupakan provinsi yang terletah di wilayah timur Indonesia. Akses terhadap sumber pangan di Papua masih rendah sehingga masih banyak balita dengan masalah kekurangan gizi (World Food Programme, 2015).

Berdasarkan kelompok pangan yang terbanyak dikonsumsi yaitu kelompok serealia dan umbi-umbian sebesar 99,9%, kelompok lemak dan minyak sebesar 93,8%, kelompok daging hewani sebesar 76,2%, susu dan olahannya sebesar 55,2%, sedangkan kelima kelompok pangan lainnya dikonsumsi kurang dari 50%. Kelompok pangan yang dikonsumsi terendah yaitu kelompok pangan buah lainnya sebesar 26,1%. Kelompok pangan buah lainnya yang terdiri dari buah yang kaya akan vitamin C, (>18 mg vitamin C per 100 gr) serta buah yang tidak kaya baik vitamin A atau vitamin C. Hal ini juga dapat dilihat dari kecukupan terhadap vitamin C

yang masih dibawah 50% yaitu sebesar 45,44%. Jika balita mengalami kekurangan akan vitamin C dapat menyebabkan peradangan pada mulut, pendarahan pada gusi, dan nafsu makan menurun (Suhardjo, 2010). Vitamin C juga berfungsi sebagai daya tahan tubuh, dan usia balita merupakan usia yang rentan terhadap penyakit sehingga dengan konsumsi makanan yang bermanfaat bagi daya tahan tubuhnya sangat dibutuhkan.

Kelompok pangan serealia seperti beras masih merupakan pangan utama pada penduduk Indonesia. Hasil laporan Badan Ketahanan Pangan (2014b) juga menyebutkan bahwa konsumsi beras atau kelompok pangan seralia merupakan kelompok pangan yang dominan dikonsumsi penduduk Indonesia. Anggapanbahwa “belum makan kalau belum makan nasi” masih berkembang di Indonesia, hal ini memungkinkan salah satu penyebab kelompok pangan serealia masih tinggi (Hanafie, 2010). Walaupun di beberapa daerah di Indonesia seperti di Papua yang mengonsumsi pangan pokok sagu, namun jenis makanan pokok tersebut masih merupakan kelompok pangan serealia dan umbi-umbian. Dapat dikatakan bahwa konsumsi kelompok pangan serealia dan umbi-umbian merupakan kelompok pangan yang terdiri dari pangan pokok balita seperti beras, jagung, singkong, sagu, tepung dan lainnya, hal ini yang menyebabkan konsumsi pada kelompok pangan serealia dan umbi-umbian tinggi sebesar 99,9%.

Lain halnya dengan konsumsi kelompok pangan sayur dan buah yang masih rendah dikonsumsi pada balita. Kedua kelompok pagan ini

merupakan kelompok pangan yang masih rendah dikonsumsi oleh berbagai kelompok usia, tidak hanya pada balita (Aswatini, Noveria, & Fitranita, 2008). Karakteristik balita yang susah makan dan hanya ingin makan makanan yang disukainya dapat menjadi salah satu penyebab konsumsi sayur dan buah rendah. Selain itu, anak yang tidak suka makan sayur dan buah dapat disebabkan karena pengenalan pada kedua kelompok pangan tersebut kurang saat awal pengenalan makan pada bayi. Hal ini juga dikemukanan dalam buku Soenardi (2008) yang mengatakan jika saat pengenalan aneka ragam bahan makanan terganggu, suatu saat anak tidak kenal bahan makanan tertentu, dengan sendirinya anak menolak dan akan susah makan. Untuk itu, seorang ibu atau pengasuh anak perlu memperhatikan saat proses pertama pengenalan makan pada balita serta diperlukan keahlian dalam mengolah makanan agar balita tertarik untuk makan makanan yang tidak disukainya.

Menurut Sharlin & Edelstein (2011), balita membutuhkan minimal 5 jenis pangan yang berbeda setiap harinya seperti pangan pokok (nasi, roti, pasta, sereal atau lainnya), sayuran, buah, susu dan olahannya, serta pangan sumber protein. Sedangkan dalam prinsip gizi seimbang yang dicanangkan oleh Kementrian Kesehatan RI, pada balita difokuskan mengkonsumsi pangan sumber protein seperti jenis pangan hewani, tahu, tempe, susu, dan telur. Selain itu dianjurkan pula untuk memperbanyak konsumsi sayur dan buah-buahan (Kemenkes, 2014). Jika dibandingkan dengan menggunakan DDS, maka minimal sebanyak 6 kelompok pangan yang dianjurkan oleh Kementerian Kesehatan RI untuk usia balita. Berdasarkan jumlah jenis

pangan yang dikonsumsi dalam hasil penelitian ini, pada balita usia 24-59 bulan di Indonesia menunjukkan masih kurangnya konsumsi pangan dari yang dianjurkan Kemenkes. Konsumsi pangan yang beragam sangat dibutuhkan agar tercukupinya zat gizi bagi tubuh, sehingga pengenalan terhadap makanan yang beragam bagi usia balita sangat diperlukan agar terbentuk kebiasaan mengkonsumsi makanan yang beragam.

Dari hasil penelitian ini, jika dilihat kelompok pangan yang dikonsumsi berdasarkan skor DDS, pada skor DDS 7 hampir semua konsumsi kesembilan kelompok pangan lebih dari 50%, hanya konsumsi buah lainnya yang tidak mencapai 50%. Sedangkan pada skor DDS 8 atau 9, kesembilan konsumsi kelompok pangan sudah lebih dari 50%. Serupa dengan hasil penelitian Kennedy (2009) pada balita usia 24-71 bulan tidak ASI di Filipina yang menunjukkan pada skor DDS 7 atau lebih, konsumsi dari kesembilan kelompok pangan sudah lebih dari 50%. Hal ini menujukkan bahwa konsumsi keragaman pangan di Indonesia berdarakan skor DDS tidak berbeda jauh dengan keragaman konsumsi di Negara Filipina.

E. Hubungan antara Dietary Diversity Score (DDS) dengan Mean Adequacy

Dalam dokumen ANDINI SEPTIANI FKIK (Halaman 96-100)

Dokumen terkait