• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

B. Kajian Teori

5. Amanat

Amanat dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan hidup pengarang yang bersangkutan, pandangannya tentang nilai-nilai kebenaran, dan hal itulah yang ingin disampaikannya kepada pembaca. Amanat merupakan gagasan yang mendasari karya itu, gagasan yang mendasari diciptakannya karya sastra sebagai pendukung pesan (Nurgiantoro,1995: 322).

6. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)

KTSP yang merupakan penyempurnaan dari kurikulum 2004 (KBK) adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan/sekolah (Muslich, 2007: 10)

7. Silabus

Silabus merupakan seperangkat rencana dan pengaturan tentang implementasi kurikulum, yang mencakup kegiatan pembelajaran, pengelolaan kurikulum berbasis sekolah, kurikulum dan hasil belajar, serta penilaian berbasis kelas (Mulyasa, 2008: 133),

8. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) adalah rancangan pembelajaran mata pelajaran per unit yang akan diterapkan guru dalam pembelajaran di kelas (Muslich, 2007: 45).

F. Sistematika Penyajian

Sisematika penyajian dalam penelitian ini terdiri dari lima bab I, bab II, bab III, bab IV, dan bab V. Bab I terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penelitian, definisi istilah, dan sistematika penyajian. Bab II yaitu landasan teori yang terdiri dari penelitian relevan, kajian teori.

Bab III yaitu metodologi penelitian yang terdiri dari jenis penelitian, data dan sumber data penelitian, teknik pengumpulan data, instrumen penilaian, dan teknik analisis data.

Bab IV yaitu pembahasan yang terdiri dari deskripsi data, pembahasan pembelajaran kontekstual, dan implementasi hasil analisis tema dan amanat novel

Matahari di Atas Gilli karya Lintang Sugianto untuk siswa SMA kelas XI semester 1 yang diaplikasikan dengan silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Bab V yaitu penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Penelitian Yang Relevan

Dalam penelitian tentang Pembelajaran Tema dan Amanat Novel

Matahari di Atas Gilli karya Lintang Sugianto dengan Metode Kontekstual untuk Siswa SMA Kelas XI Semester 1, peneliti menemukan dua penelitian lain yang relevan dengan penelitian ini yaitu penelitian yang dilakukan oleh Agustina Ria Santiningtyas (2007) dan Erna Lawu Niri (2011). Penelitian yang pertama dilakukan oleh Agustina Ria Santiningtyas (2007) berjudul “Pengembangan Perangkat Pembelajaran Menulis dengan Pendekatan Kontekstual untuk Siswa Kelas X Semester 1 SMA EL Shadai Magelang”. Penelitian Agustina Ria Santiningtyas (2007) ini bertujuan untuk menghasilkan produk perangkat pembelajaran menulis berupa silabus, Rencana Pelaksaan Pembelajaran (RPP), bahan ajar dan perangkat penilaian dengan pendekatan kontekstual untuk siswa kelas X semester 1 SMA El Shadai Magelang.

Proses pengembangan pembelajaran ini diawali dengan analisis kebutuhan pada siswa kelas X semester 1 SMA El Shadai Magelang, pengembangan perangkat pembelajaran menulis, penilaian produk perangkat pembelajaran oleh dua dosen dan satu guru bahasa Indonesia SMA El Shadai Magelang, revisi produk berdasarkan masukan dari dosen dan guru, uji coba produk di lapangan, revisi produk dari hasil uji coba lapangan berupa respon siswa dan guru. Hasil penilaian dari dosen dan guru dapat diketahui bahwa produk silabus mendapatkan

nilai 86,93 dari skor maksimal 100, produk silabus ini dikulifikasikan baik. Produk RPP termasuk di dalamnya termasuk instrumen penilaian mendapat nilai 85,25 dan dapat dikualifikasikan baik. Produk bahan mendapat nilai 85,72 dan dikualifikasikan baik serta hasil uji coba produk di lapangan menunjukkan bahwa siswa antusias dan tertarik dengan kegiatan pembelajaran yang dirancang.

Penelitian yang kedua dilakukan oleh Erna Lawu Niri (2011) berjudul “Pendekatan Kontekstual Dalam Pembelajaran Alur Novel Manusia LangitKarya Jajang Agus Sonjaya Untuk Siswa SMA Kelas XI Semester 1.” Penelitian ini mengkaji pendekatan kontekstual dalam pembelajaran alur novel Manusia Langit

Karya Jajang Agus Sonjaya Untuk Siswa SMA Kelas XI Semester 1.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif, metode ini digunakan untuk mendeskripsikan unsur alur dalam novel

Manusia Langit karya J.A Sonjaya dalam bentuk bahasa yang baik dan benar. Hasil analisis menunjukkan bahwa alur yang terdapat dalam alur novel Manusia Langit karya J.A Sonjaya adalah alur sorot balik. Cerita tersebut memiliki alur maju dan alur mundur. Pendekatan kontekstual dapat membantu peserta didik dalam menganalisis unsur alur dalam Manusia Langit karya J.A Sonjaya.

Dalam hal ini peneliti melakukan penelitian yang berjudul “Pembelajaran Tema dan Amanat Novel Matahari di Atas GilliKarya Lintang Sugianto dengan Metode Kontekstual untuk Siswa SMA Kelas XI Semester 1”. Persamaan penelitian yang dilakukan oleh Agustina Ria Santiningtyas (2007) dengan penelitian ini yang berjudul “Pembelajaran Tema dan Amanat Novel Matahari di Atas Gilli karya Lintang Sugianto dengan Metode Kontekstual untuk Siswa SMA

Kelas XI Semester 1” adalah sama- sama menggunakan pembelajaran kontekstual namun untuk pengembangan perangkat pembelajaran menulis, sedangkan penelitian ini menggunakan mpembelajaran kontekstual untuk pembelajaran tema dan amanat novel Matahari di Atas GilliKarya Lintang Sugianto.

Persamaan penelitian yang dilakukakan oleh Erna Lawu Niri (2011) adalah sama-sama menggunakan pendekatan kontekstual dan menganalisis novel serta mengkaji unsur instrinsik dalam novel. Penelitian yang dilakukan Erna Lawu Niri (2011) adalah unsur alur sedangkan penelitian ini adalah unsur tema dan amanat.

B. Kajian Teori

1. Sastra

a. Hakikat Sastra

Sastra selalu menyampaikan nilai atau makna kepada pembaca. Konsep keindahan ini mengacu pada (1) keindahan kehidupan yang dilukiskan dan digambarkan dalam karya sastra, dan (2) keindahan bahasa yang digunakan untuk menyampaikan kehidupan tersebut. Oleh karenanya, tidak mengherankan bila pada zaman dulu, sastra merupakan media pembelajaran yang banyak disukai orang untuk menyampaikan nilai atau pesan moral kepada orang lain, karena dengan nilai estetika, maka sastra diterima oleh segenap kalangan masyarakat. Kenyataan ini bisa dilihat, misalnya pada zaman dulu, bahwa sampai sekarang, anak masih suka mendengarkan cerita, baik sebagai pengantar tidur, pengantar pelajaran di sekolah, atau sekedar bercerita dengan teman-teman sebayanya (Kurniawan, 2012: 2).

2. Metode Kontekstual

a. Pengertian Metode Kontekstual

Kata kontekstuak berasal dari kata contex, yang berarti “hubungan, konteks, suasana, atau keadaan”. Dengan demikian, contextual diartikan”yang berhubungan dengan suasana (konteks)”. Contextual leaching end learning (CTL) dapat diartikan sebagaisuatu pembelajaran yang berhubungan dengan suasana tertentu.

Pembelajaran kontekstual didasarkan pada hasil penelitian John Dewey (1916) yang menyimpulkan bahwa siswa akan belajar dengan baik jika apa yang dipelajari terkait dengan apa yang telah diketahui dan dengan kegiatan atau peristiwa yang terjadi disekelilingnya. Sehingga, CTL dapat diartikan sebagai suatu pembelajaran yang berhubungan dengan suasana tertentu dalam proses belajar mengajar di sekolah. Secara umum, contextual mengandung arti: yang berkenaan, relevan, ada hubungan atau kaitan langsung, mengikuti konteks; yang membawa maksud, makna, dan kepentingan. Dalam kemampuan belajar sehari-hari, siswa diminta untuk dapat mengeksplorasi segala kemampuannya dalam bidang mata pelajaran yan mereka sukai (Hosnan, 2014: 267).

b. Elemen dan Karakter Pembelajaran Kontekstual

Menurut Zahorik (dalam Hosnan,2014: 269), terdapat lima elemen yang harus diperhatikan dalam praktik pembelajaran kontekstual.

1. Pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activating knowladge)

2. Pemerolehan pengetahuan baru (acquiring knowladge) dengan cara mempelajari secara keseluruhan dulu, kemudian memperhatikan detailnya

3. Pemahaman pengetahuan (understanding knowladge), yaitu dengan cara menyusun konsep sementara (hipotesis), melakukan sharing kepada orang lain agar mendapat tanggapan (validasi) dan atas dasar tanggapan itu konsep tersebut direvisi dan dikembangkan

4. Mempraktikkan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying knowladge) 5. Melakukan refeksi (reflecting knowladge) terhadap strategi pengembangan

pengetahuan tersebut.

Selain elemen pokok di atas, Trianto(2009: 110) membagi tujuh karakteristik CTL yang membedakan dengan model pembelajaran lainnya, yaitu: Kerja sama, saling menunjang, menyenangkan dan, mengasyikkan, tidak membosankan, belajar dengan bergairah, pembelajaran terintegrasi, dan menggunakan berbagai sumber siswa aktif.

c. Penerapan Metode Kontekstual di Kelas

Pembelajaran kontekstual dengan pendekatan konsruktivisme dipandang sebagai salah satu strategi yang memenuhi prinsip pembelajaran berbasis kompetensi. Dengan lima strategi CTL, yaitu relating, experiencing, applying, cooperating, dan transferring, diharapkan siswa mampu mencapai kompetensi secara maksimal.

d. Komponen dalam Pembelajaran Kontekstual

Tujuh komponen utama pembelajaran kontekstual, yakni konstruktivisme (contructivism), bertanya (questioning), menemukan (inquiry), masyarakat belajar (community learning), pemodelan (modelling), dan penilaian autentik (authentic asseement) (Trianto, 2009: 107).

Berdasarkan ketujuh komponen tersebut, masing-masing akan dijelaskan sebagai berikut:

1. Konstruktivisme (contructivism)

Konstruktivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman. Menurut konstrusktivisme, pengetahuan ini memang berasal dari luar, tetapi dikonstruksi dari dalam diri seseorang (Sanjaya, 2006: 264).

Menurut Muslich (dalam Hosnan, 2014:270),konstruktivisme adalah proses pembelajaran yang menekankan terbangunnya pemahaman sendiri secara aktif, kreatif dan produktif berdasarkan pengetahuan terdahulu dan dari pengalaman belajar yang bermakna. Pengetahuan bukanlah serangkai fakta, konsep, dan kaidah yang siap dipraktikkannya. Manusia harus mengkonstruksikannya terlebih dahulu pengetahuan itu dan memberikan makna melalui pengalaman nyata. Dalam konstruktivisme ada hal-hal sebagai berikut:

a. Belajar berarti menyediakan kondisi agar memungkinkan peserta didik membangun sendiri pengetahuannya.

b. Kegiatan belajar dikemas menjadi proses mengkonstruksi pengetahuan, bukan menerima pengetahuan sehingga belajar dimulai dari apa yang diketahui peserta didik. Peserta didik menemukan ide dan pengetahuan (konsep, prinsip) baru, menerapkan ide-ide, kemudian peserta didik mencari strategi belajar yang efektif agar mencapai kompetensi dan memberikan kepuasan atan penemuan (discovery).

c. Belajar adalah proses aktif mengkonstruksi pengetahuan dari abstraksi pengalaman alami maupun manusiawi, yang dilakukan secara pribadi dan sosial untuk mencari makna dengan memproses informasi sehingga dirasakan masuk akal sesuai dengan kerangka berfikir yang dimiliki.

2. Menemukan (Inquiry)

Komponen kedua dalam CTL adalah inquiri, artinya proses pembelajaran didasarkan pada pencarian dan penemuan melaui proses berfikir secara sistematis. Secara umum, proses inquiry dapat dilakukan melalui beberapa langkah, yaitu merumuskan masalah, mengajukan hipotesa, mengumpulkan data, menguji hipotesis, dan membuat kesimpulan (Sanjaya, 2006: 265).

Menemukan (inquiry) merupakan proses pembelajaran didasarkan pada pencarian dan penemuan. Kegiatan ini diawali dari pengalaman terhadap fenomena, dilanjutkan dengan kegiatan-kegiatan bermakna untuk menghasilkan temuan yang diperoleh sendiri oleh siswa. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa tidak dari hasil megingat seperangkat fakta, tetapi hasil menemuakn sendiri dari fakta yang dihadapinya (Muslich, 2007: 45).

Guru harus selalu merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan mengemukakan, apapun materi yang diajarkannya. Siklus inquiry terdiri atas berikut ini: Observasi, bertanya, mengajukan dugaan, mengimpulkan data dan penyimpulan.

Langkah-langkah dalam kegiatan inquiryadalah sebagai berikut:

a. Merumuskan masalah

b. Mengamati atau melakukan observasi

c. Menganalisis dan mengajukan hasil dalam tulisan, gambar, laporan, bagan, tabel, dan karya lainnya mengomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman sekelas, guru, atau audiensi yang lain.

3. Bertanya (Quenstioning)

Belajar pada hakikatnya adalah bertanya dan menjawab pertanyaan. Bertanya dapat dipandang sebagai refleksi dari keingintahuan setiap individu, sedangkan menjawab pertanyaan mencerminkan kemampuan seseorang dalam berfikir (Sanjaya, 2006: 266).

Menurut Mulyasa (dalam Hosnan, 2014: 271), ada enam keterampilan bertanya dalam kegiatan pembelajaran, yakni pertanyaan yang jelas dan singkat, memberi acuan, memusatkan perhatian, memberi giliran dan menyebarkan pertanyaan, pemberian kesempatan berfikir, dan pemberian tuntunan. Dalam pembelajaran melalui CTL, guru tidak menyampaikan informasi begitu saja, tetapi memancing agar siswa dapat menemukan sendiri. Karena itu, peran bertanya sangat penting, sebab melalui pertanyaan-pertanyaan, guru dapat membimbing dan mengarahkan siswa untuk menemukan setiap materi yang dipelajarinya.

Menurut (Trianto 2009: 115), dalam sebuah pembelajaran produktif, kegiatan bertanya berguna untuk hal berikut ini.

a. Menggali informasi, baik administrasi maupun akademik b. Mengecek pemahaman siswa

c. Membangkitkan respons terhadap siswa d. Mengetahui sejauh mana keingintahuan siswa e. Mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa

f. Memfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang dikehendaki guru g. Membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa

h. Menyegarkan kembali pengetahuan siswa 4. Masyarakat Belajar (Learning Community)

Didasarkan pada pendapat Vigotsky, bahwa pengetahuan dan pemahaman anak banyak dibentuk oleh komunikasi dengan orang lain. Permasalahan tidak mungkin dipecahkan sendirian, tetapi membutuhkan bantuan orang lain. Konsep masyarakat belajar (learning community) dalam CTL adalah hasil pembelajaran diperoleh melalui kerja sama dengan orang lain, teman, antarkelompok, sumber lain dan bukan hanya guru (Sanjaya, 2006: 267).

Muslich (2007: 46) mengemukakan konsep masyarakat belajar dalam CTL menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh melalui kerja sama dengan orang lain. Hal ini berarti bahwa hasil belajar bisa diperoleh dengan sharing antarteman, antarkelompok, dan antar yang tahu kepada yang tidak tahu, baik di dalam maupun di luar kelas.

5. Pemodelan (Modelling)

Pemodelan adalah proses pembelajaran dengan memperagakan sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh setiap siswa. Modeling merupakan azas yang cukup penting dalam pembelajaran CTL, sebab melalui modeling, siswa dapat terhindar dari pembelajaran yang teoretis (abstrak) yang dapat memungkinkan terjadinya verbalisme (Sanjaya, 2006: 267).

Konsep pemodelan (modelling) dalam CTL menyarankan bahwa pembelajaran keterampilan dan pengetahuan bisa berupa pemberian contoh tentang cara mengoperasikan sesuatu, menunjukkan hasil karya atau mempertontonkan suatu penampilan. Cara pembelajaran seperti ini akan lebih cepat dipahami siswa daripada hanya bercerita atau memberikan penjelasan kepada siswa tanpa ditunjukkan model atau contohnya (Muslich, 2007: 46). Kegiatan pemodelan melalui contoh-contoh yang baik, akan berguna sebagai contoh yang baik yang dapat ditiru oleh peserta didik, seperti cara menggali informasi, demonstrasi, dan lain-lain serta pemodelan dilakukan oleh guru (sebagai teladan), peserta didik, dan tokoh lain.

6. Refleksi (Reflection)

Refleksi adalah proses pengendapan pengalaman yang telah dipelajari dengan cara mengurutkan kembali kejadian-kejadian atau peristiwa pembelajaran yang telah dilaluinya. Dalam proses pembelajaran dengan CTL, setiap berakhir proses pembelajaran, guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk merenung atau mengingat kembali apa yang telah dipelajarinya (Sanjaya, 2006: 268).

Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah kita lakukan di masa yang lalu.

7. Penilaian Nyata (Authentic Assessment)

Penilaian memiliki beberapa kriteria yang dapat dilihat di bawah ini. a. Menilai sikap, pengetahuan, dan keterampilan

b. Berlangsung selama proses secara terintegrasi c. Dilakukan melalui berbagai cara (tes, dan nontes)

d. Alternatif bentuk kinerja, observasi, portofolio, atau jurnal

Selama ini, pembelajaran dalam pendidikan di sekolah kurang produktif. Guru hanya memberi materi ceramah dan guru sebagai sumber utama pengetahuan, sementara siswa harus menghafal. Tetapi, dalam kelas kontekstual, guru dituntut untuk menghidupkan kelas dengan cara mengembangkan pemikiran agar lebih bermakna dengan bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya (Hosnan, 2014: 273).

e. Prinsip dan Karakteristik Model Pembelajaran Kontekstual 1. Prinsip Model Pembelajaran Kontekstual

Prinsip pada pembelajaran kontekstual dimaksudkan agar siswa dapat mengembangkan cara belajarnya sendiri dan selalu mengaitkan dengan apa yang telah diketahui dan apa yang ada di msyarakat, yaitu aplikasi dan konsep yang dipelajari. Secara terperinci, prinsip pembelajaran kontekstual adala sebagai berikut:

a. Menekankan pada pemecahan masalah

b. Mengenal kegiatan mengajar terjadi pada berbagai konteks, seperti rumah, masyarakat, dan tempat kerja

c. Mengajarkan siswa untuk memantau mengarahkan belajarnya sehingga menjadi pembelajaran yang aktif dan terkendali

d. Menekan pembelajaran dalam konteks kehidupan siswa

e. Mendorong siswa belajar dari satu dengan yang lainnya dan belajar bersama-sama

f. Menggunakan penilaian autentik

Menurut Hosnan(2014: 275-276), pembelajaran kontekstual membantu siswa menguasai tiga hal berikut:

a. Pengetahuan, yaitu apa yang ada dipikirannya membentuk konsep, definisi, teori dan fakta

b. Kompetensi atau keterampilan, yaitu kemampuan yang dimiliki untuk bertindak atau sesuatu yang dapat dilakukan

c. Pemahaman kontekstual, yaitu mengetahui waktu dan cara bagaimana menggunakan pengetahuan dan keahlian dalam situasi kehidupan nyata.

Menurut Elaine B.Jhonson (dalam Hosnan, 2012: 276), dalam pembelajaran kontekstual, minimal ada tiga prinsip utama yang sering digunakan, yaitu sebagai berikut:

1. Prinsip saling ketergantungan (Interdepence)

Dalam kehidupan di sekolah, siswa saling berhubungan dan tergantung dengan guru, tata usaha, kepala sekolah, dan narasumber yang ada di sekitarnya. Dalam proses pembelajaran siswa berhubungan dengan bahan ajar, sumber belajar, media, sarana prasarana belajar. Prinsip ini membuat hubungan yang bermakna antara proses belajar dengan konteks kehidupan nyata sehingga peserta didik berkeyakinan bahwa belajar merupakan aspek yang esensial bagi kehidupan di masa datang.

2. Prinsip perbedaan (Differentiation)

Prinsip diferensasi adalah mendorong peserta didik menghasilkan keberagaman, perbedaan, dan keunikan.

3. Pengorganisasian Diri (Self Organization)

Prinsip pengorganisasian diri/pengaturan diri menyatakan bahwa proses pembelajaran diatur, dipertahankan, dan disadari oleh peserta didik sendiri, dalam rangka merealisasikan seluruh potensinya.

2. Karakteristik Model Pembelajaran Kontekstual

Menurut Johnson (dalam Hosnan, 2014: 277), terdapat delapan utama yang menjadi krakteristik pembelajaran kontekstual yaitu: Melakukan hubungan yang bermakna, mengerejakan pekerjaan yang berarti, mengatur cara belajar sendiri, bekerja sama, berpikir kritis dan kreatif, mengasuh atau memelihara

pribadi siswa, mencapai standar yang tinggi, dan menggunakan penilaian sebenarnya.

Pembelajaran yang dilaksanakan dengan CTL, menurut Priyatni (dalam Hosnan, 2014: 278), memiliki karakteristiksebagai berikut:

1. Pembelajaran dilaksanakan dalam konteks yang autentik, artinya pembelajaran diarahkan agar siswa memiliki keterampilan dalam memecahkan masalah dalam konteks nyata atau pembelajaran diupayakan dilaksanakan dalam lingkungan yang alamiah.

2. Pembelajaran memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengerjakan tugas-tugas yang bermakna.

3. Pembelajaran dilaksanakan dengan memberikan pengalaman bermakna kepada siswa melalui proses mengalami.

4. Pembelajaran dilaksanakan melalui kerja kelompok, berdiskusi, saling mengoreksi.

5. Kebersamaan, kerja sama saling memahami dengan yang lain secara mendalam merupakan aspek penting untuk menciptakan pembelajaran yang menyenangkan.

6. Pembelajaran dilaksanakan secara aktif, kreatif, dan mementingkan kerja sama.

f. Langkah- langkah penerapan CTL Dalam Kelas

Menurut Trianto (2009: 111), secara garis besar langkah-langkah penerapan CTL dalam kelas adalah sebagai berikut:

1. Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya

2. Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik 3. Kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya

4. Ciptakan masyarakat belajar (belajar dalam kelompok-kelompok) 5. Hadirkan model sebagai contoh pembelajaran

6. Lakukan refleksi di akhir pertemuan

7. Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara

Berdasarkan langkah-langkah di atas, peneliti membuat langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam penelitian ini yaitu menganalisis tema dan amanat yang terdapat di dalam novel Matahari di Atas Gilli untuk SMA kelas XI semester 1, adapun langkah-langkahnya sebagai berikut:

1. Peserta didik membuat sinopsis dari novel Matahari di Atas Gilli berdasarkan pemahaman yang mereka miliki setelah membaca novel tersebut

2. Setelah siswa memahami isi dan mampu membuat sinopsis dari novel

Matahari di Atas Gilli, siswa menemukan tema dan amanat yang terdapat di dalam novel tersebut

3. Setelah siswa menganalisis unsur tema dan amanat dalam novel Matahari di Atas Gillikarya Lintang Sugianto, siswa harus bisa mengaitkan isi cerita yang terdapat dalam novel dengan kehidupan nyata melalui pertanyaan untuk menggali dan menemukan konsep pembelajaran yang telah dipelajari. Siswa mengaitkan baik unsur tema dan amanat dalam kehidupan mereka, sehingga dapat memahami lebih dalam menganai unsur tema dan amanat.

4. Dalam setiap kelompok, siswa bisa dibagi menjadi 4-5 orang, dan masing-masing kelompok akan dibagi teks bab 3 dan bab 5 bacaan novel Matahari di Atas Gilli. Kemudian siswa mendiskusikan unsur tema dan amanat dalam bab tersebut. Siswa secara perorangan menyampaiankan ide tentang tema dan amanat dalam bab 3 dan 5 novel Matahari di Atas Gilli karya Lintang Sugianto.

5. Pemodelan pada dasarnya membahasakan apa yang dipikirkan, mendemonstrasi bagaimana guru menginginkan siswanya untuk belajar dan melakukan apa yang guru inginkan. Pada dasarnya guru mempersiapkan sebuah contoh novel yang dianalisis unsur instrinsik misalnya tema. Model ini digunakan agar siswa dapat memahami untuk menganalisis sebuah tema. 6. Untuk dapat menguji pemahaman siswa, setelah pembelajaran akan selesai,

siswa hendaknya membuat catatan kecil mengenai pemahamannya tentang pembelajaran yang baru saja dibahas di kelas. Refleksi ini dapat berupa penghayatannya akan pengetahuan yang diperoleh, baik dari segi kelebihan dan kekurangan yang ia peroleh.

7. Guru dapat melakukan penilaian melalui analisis tema dan amanat dalam novel Matahari di Atas Gilli karya Lintang Sugianto. Guru mengambil salah satu bab dalam novel tersebut, yaitu bab tiga kemudian siswa menjawab pertanyaan yang berkaitan dnegan cerita di dalam bab tiga dalam novel

Matahari di Atas Gilli. Pada bab tiga ini menceritakan kegiatan Suhada mengajarkan huruf-huruf dan kalimat bahasa Indonesia kepada anak-anak di Pulau Gilli.

3. Novel

a. Pengertian novel

Novel adalah cerita dalam bentuk prosa yang agak panjang dan meninjau kehidupan sehari-hari (Ensiklopedi Americana).

Novel adalah suatu cerita dengan suatu alur yang cukup panjang mangisi satu buku atau lebih, yang menggarap kehidupan manusia yang bersifat imajinatif menurut The Advanced of Current Englisht(dalam Priyatni, 2010: 125).

Novel adalah cerita dalam bentuk prosa yang cukup panjang. Panjangnya tidak kurang dari 50.000 kata. Mengenai jumlah kata dalam novel adalah relatif (Priyatni, 2010: 125).

Novel seperti halnya bentuk prosa cerita yang lain, sering memiliki struktur yang kompleks dan biasanya dibangun dari unsur-unsur yang dapat didiskusikan(Rahmanto, 1988: 70).

Novel dapat menghadirkan tokoh yang lebih banyak, walau tentu tetap ada yang menjadi fokus lengkap dengan karakternya baik yang bersifat statis maupun berkembang. Demikian juga dengan aspek-aspek yang juga dapat diungkapkan secara lebih detil sehingga terlihat relistik, meyakinkan, dan mampu memberikan sebuah gambaran yang lebih utuh tentang kehidupan. Karena ceritanya panjang novel mampu memberikan berbagai kemungkinan penafsiran pembaca, dan karenanya pesan yang diberikan oleh pembaca pun tidak bersifat tunggal. Hal-hal tersebut dapat dipandang sebagai sisi yang menguntungkan dari pembacaan sebuah novel (Nurgiyantoro, 2005: 288).

Dari beberapa pengertian novel di atas, dapat disimpulkan bahwa novel

Dokumen terkait