• Tidak ada hasil yang ditemukan

āb al-Amri Bi al-Īmān Billāhi Ta’ālā

Dalam dokumen Studi sembilan kitab Hadis Sunni (Halaman 65-70)

Shahih Muslim

B. Profil Kitab Shaḥīh Muslim

4. āb al-Amri Bi al-Īmān Billāhi Ta’ālā

)46 ص / 1 ج( - ملسم حيحص

ح سابع نبا تعمس لاق ةزح بيأ نع ديز نب داح انثدح ماشه نب فلخ انثدح

سابع نبا نع ةرجم بيأ نع دابع نب دابع انبرخأ هل ظفللاو ىيي نب ىيي انثدحو

لوسر اي اولاقف ملس و هيلع للا لىص للا لوسر لىع سيقلادبع دفو مدق : لاق

كيلإ صلخن لاف ضرم رافك كنيبو اننيب تلاح دقو ةعيبر نم يلحا اذه انإ للا

عبرأب مكرمآ لاقو انءارو نم هيلإ وعدنو هب لمعن رمأب انرمف مارلحا رهش ف لاإ

نأو للا لاإ هلإ لا نأ ةداهش ) لاقف مله اهسرف مث ( للاب نميلإا عبرأ نع مكانهأو

مكانهأو متمنغ ام سخم اودؤت نأو ةاكزلا ءاتيإو ةلاصلا ماقإو للا لوسر ادمم

دقعو للا لاإ هلإ لا نأ ةداهش هتياور ف فلخ داز يرقلاو يرقنلاو متنلحاو ءابدلا نع

ةدحاو

Bāb al-Duā’ Ilā Syahādataini Wā Syarāi’a 5.

)50 ص / 1 ج( - ملسم حيحص

دبع انثدحو ح قاحسإ نب ءايركز انثدح يسرلا نب شرب انثدح رمع بيأ نبا انثدح

يفيص نب للادبع نب ىيي نع قاحسإ نب ءايركز نع مصاع وبأ انثدح ديح نب

نميلا لإ اذاعم ثعب ملس و هيلع للا لىص يبنلا نأ سابع نبا نع دبعم بيأ نع

عيكو ثيدح لثمب اموق تيأتس كنإ : لاقف

C. Penilaian para ulama terhadap Kitab Shaḥīh

Muslim

Secara umum, berdasarkan data-data yang ada, jumhūr al-muḥaddithīn menilai Shaḥīh al-Bukhārī berada pada peringkat kedua. Sementara sebahagian kecil lainnya dari kalangan muḥaddithīn, demikian pula kalangan pakar peneliti hadis menilai Shaḥīh Muslim lebih utama dari Shaḥīh a-Bukhārī. Adapun argumen yang mereka majukan sebagai berikut:

Dalam menghimpun hadis, Im

1. ām Muslim mengumpulkan

hadis yang berbeda sanad dan matan di dalam satu tema tertentu. Sehingga membantu orang-orang yang hendak

merujuk kepada hadis-hadis tersebut atau yang hendak mengistimbatkan hukum dari padanya, sedangkan Imām al-Bukhārī memilah-milahnya dalam beberapa kitab dan menempatkannya dalam bab-bab yang terpencar-pencar. Im

2. ām Muslim menyusun kitab Shaḥīh di negerinya, di hadapan sumber aslinya, yaitu ketika sebahagian besar gurunya masih hidup. Karena itu dia sangat berhati-hati sekali dalam memelihara lafadz-lafadz hadis yang diterimanya dan meneliti susunan kalimatnya.

Menurut sebahagian ulama hadis, Im

3. ām Muslim

mempunyai kelebihan dari Imām al-Bukhārī. Karena Imām al-Bukhārī menurut sebagian muḥaddithīn (terutama ahli hadis dari Syam) terkadang berbuat kekeliruan. Contohnya Imām al-Bukhārī mengutip kitab-kitab mereka lalu menganalisanya, kemudian ia menyebut salah satu ahli hadis Syam itu dengan kuniyah saja. Pada bahagian lain uraiannya Imām al-Bukhārī menyebutkan nama aslinya. Hal ini mengakibatkan timbul dugaan bahwa hadis itu diterima dari dua orang. Sementara itu Imām Muslim sangat jarang sekali melakukan hal yang demikian.

Walaupun terdapat perbedaan pendapat dalam masalah mana yang lebih baik Shaḥīh al-Bukhārī atau Shaḥīh Muslim, tetapi yang jelas kalau dilihat dari segi perawi-perawi hadis, maka hampir seluruh muḥaddithīn sepakat bahwa kedua kitab Shaḥīh itu berada pada posisi paling atas dibandingkan dengan kitab-kitab hadis lainnya, atau merupakan sumber pertama setelah al-Qur’an al-Karim.

Secara lebih detail, paparan berikut ini adalah perbandingan antara Shaḥīh al-Bukhārī dengan Shaḥīh Muslim. Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa

Shaḥīh Al-Bukhārī lebih unggul dari Shaḥīh Muslim (pendapat jumhūr), namun sebahagian pakar mengatakan bahwa Shaḥīh Muslim lah yang lebih unggul. Untuk lebih jelasnya, di bawah ini penulis majukan perdebatan dan argumen-argumen jumhur adalah sebagai berikut: 1. Keunggulan pribadi al-Bukhārī atas Muslim, masalah

ini dapat kita lihat dalam penuturan beberapa tokoh

di antaranya: pertama, al-Dāruquṭnī14 mengatakan,

“Seandainya tidak ada al-Bukhārī, maka Muslim tidak akan ada”. Dalam kesempatan lain dia juga mengatakan bahwa, “Apa yang dilakukan Muslim tidak lain hanyalah memindahkan kitab al-Bukhārī kemudian menambah di sana sini”. Pendapat al-Dāruquṭnī ini juga diperkuat oleh Abū al-Abbās al-Qurtubī; kedua, Para ulama umumnya juga sepakat bahwa al-Bukhārī lebih ‘ālim dari pada Muslim dalam bidang hadis, sebagaimana yang diakui oleh Muslim sendiri.

2. Keunggulan lain dari Shaḥīh al-Bukhārī juga dalam masalah metode yang dipergunakan dalam mengambil hadis yang dilakukan masing-masing (al-Bukhārī dan Muslim). 3. Perawi-perawi yang ditulis oleh Imām al-Bukhārī (tanpa

persamaan dengan Imām Muslim) berjumlah lebih kurang 435 orang. Di antara jumlah ini yang mendapat kritikan sebanyak 80 orang. Sedangkan perawi-perawi yang ditulis oleh Imām Muslim saja (tanpa bersamaan dengan Imām al-Bukhārī) lebih kurang 620 orang. Dari jumlah ini yang mendapat kritik sebanyak 160 orang. Logikanya, kitab yang sedikit mendapat kritikan, meskipun dengan catatan bahwa adanya kritikan itu tidak mengurangi nilai otentisitas kedua kitab tersebut. Hadis-hadis yang ditulis oleh Imam al-Bukhārī dari 80 orang yang dikritik itu tidak banyak. Sedangkan hadis yang ditulis Imām Muslim, dari

160 orang yang mendapat kritikan di atas banyak sekali. Dengan data ini juga bisa menguatkan bahwa Shaḥīh Muslim lebih rendah posisinya dibandingkan dengan Shaḥīh al-Bukhārī.

4. Dari 80 orang yang dikritik dalam Shaḥīh al-Bukhārī itu kebanyakan adalah guru beliau sendiri yang pernah bertemu, mendampinginya dan mengetahui dengan baik nilai hadis mereka mana yang baik dan mana yang tidak. Adapun dari 160 orang yang dikritik dalam Shaḥīh Muslim sebahagian besar tābi’īn dan tābi’it tābi’īn yang tidak pernah bertemu dengan Imām Muslim, dengan sendirinya Imām Muslim tidak mengetahui keadaan beliau secara langsung. Hal ini juga menunjukkan bahwa Muslim lebih rendah dari Shaḥīh al-Bukhārī.

5. Dari segi kritik matan karena adanya ‘illat (cacat). Dalam Shaḥīh Muslim matan hadis yang mendapat kritik sebanyak 130 hadis. Sedangkan dalam Shaḥīh al-Bukhārī jumlah hadis yang mendapat kritik matan sebanyak 80 hadis. Sama halnya dengan kritik sanad mana yang lebih sedikit mendapatkan kritik itulah yang lebih baik. Dalam masalah ini tentu al-Bukhārī lebih unggul. Syarat pertama hadis Shaḥīh adalah kebersambungan sanad. Pengertian kebersambungan sanad oleh Imām al-Bukhārī lebih jelas dan tegas. Imām al-Bukhārī mensyaratkan bahwa sanad dapat dikatakan bersambung apabila murid dengan guru bertemu langsung, atau perawi pertama dengan perawi kedua benar-benar bertemu langsung walaupun hanya satu kali. Sedangkan menurut Imām Muslim, sanad sudah dapat dikatakan bersambung apabila ada kemungkinan bertemu antara perawi pertama dengan perawi kedua dikarenakan mereka hidup semasa dan tempat tinggal tidak terlalu berjauhan, meskipun dalam kenyataannya

tidak pernah bertemu sama sekali.15

Argumen-argumen di ataslah yang memperkuat pendapat jumhūr yang mengatakan bahwa Shaḥīh al-Bukhārī lebih unggul dari Shaḥīh Muslim. Adapun ulama yang mengatakan bahwa Shaḥīh Muslim lebih unggul dari Shaḥīh al-Bukhārī (seperti para ulama Maroko) sebetulnya mereka mengatakan keunggulan Shaḥīh Muslim itu terletak pada sistematika dan metode penyusunannnya yang lebih sistematis, dan bukan keunggulan dari sisi nilai keshaḥīhan hadisnya.

Dalam dokumen Studi sembilan kitab Hadis Sunni (Halaman 65-70)