• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komentar dan Penilaian Ulama terhadap Sunan Abū Dāwud

Dalam dokumen Studi sembilan kitab Hadis Sunni (Halaman 84-90)

Sunan Abu Dawud

B. Profil Kitab Sunan Abū Dāwud

4. Komentar dan Penilaian Ulama terhadap Sunan Abū Dāwud

Al-Khaṭṭabī15 menyatakan bahwa kitab Sunan Abū Dāwud adalah sebuah kitab mulia, yang belum pernah disusun sesuatu kitab yang menerangkan hadis-hadis hukum sepertinya. Para ulama menerima dengan baik kitab sunan ini. Karenanya, ia menjadi hakim antara para fuqahā’ yang berlainan (berbeda-beda mazhab). Kitab inilah yang banyak dijadikan pedoman oleh para ulama Irak, Mesir, Maroko dan lain-lain. Abū Dāwud jugalah yang pertama kali menyusun kitab hadis yang mengumpulkan hadis-hadis hukum. Oleh karenanya, tidak mengherankan jika kemudian kitab Sunan Abū Dāwud ini mendapat tempat dan kedudukan yang tinggi di kalangan ulama hadis.

Kitab sunan tersebut juga beredar secara luas di

masa hidup penulisnya. Dalam konteks ini, ‘Alī Ibn Ḥasan16

mengatakan bahwa ia mempelajari kitab ini enam kali dari Abū Dāwud. Dibanding kitab lain, bagi ‘Alī ibn Ḥasan kitab sunan ini adalah yang terbaik dan lebih komprehensif dalam masalah hadis-hadis hukum. Pendapat senada juga disampaikan oleh Ibnu Shalāh (w. 642 H./1246 M.), Ibnu Mundin dan Ibnu ‘Abdil Bar, yang ketiganya menilai karya kitab sunan tersebut memiliki standar mutu yang tinggi sehingga layak dijadikan sebagai hujjah.

Ibnu al-Qayyim juga menyatakan bahwa: ”mengingat bahwa kitab Sunan karya Abū Dāwud Sulaiman Ibn al-Asy’ath al-Sijistanī memiliki kedudukan tinggi sebagaimana ditakdirkan demikian oleh Allah, sehingga “hakim” di kalangan umat Islam dan “pemutus” bagi pertentangan dan perbedaan pendapat, maka kepada kitab itulah orang-orang

15 M. Hasby ash-Shiddiqie, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), 328.

mengharapkan “keputusan” dan dengan keputusannya, mereka yang mengerti kebenaran akan merasa puas. Demikian ini karena Abū Dāwud dalam kitabnya itu menghimpun segala macam hadis hukum dan menyusunnya dengan sistematika yang baik dan indah, serta melalui proses seleksi ketat di samping tidak mencantumkan hadis yang diriwayatkan tercela (majrūh) dan lemah (ḍa’īf).

Adapun komentar lain juga datang dari Ibnu Ḥajar al-‘Asqalānī, Imam Nawāwī dan Ibnu Taimiyah yang mengkritik karya Abū Dāwud tersebut. Kritik tersebut meliputi: pertama, tidak adanya penjelasan tentang kualitas suatu hadis dan kualitas sanad (sumber, silsilah dalam hadisnya), sementara yang lainnya disertai dengan penjelasan; kedua, adanya hadis yang ḍa’īf (lemah) menurut penilaian para ahli, tetapi tanpa penjelasan keḍa’īfannya oleh Abū Dāwud; ketiga, adanya kemiripan Abū Dāwud dengan Imam Hanbali dalam hal mentoleransi hadis yang oleh sementara kalangan dinilai

ḍa’īf.17 Dengan kata lain, tampaknya Abu Dawud dan Ahmad

ibn hambal sama-sama diposisikan sebagai muhaddithun yang mutasahhil (longgar) dalam memberikan kriteria penilaian dan penerimaannya terhadap hadis sebagai hujjah atau dasar bagi amalan keagamaan.

Al-Tirmidhī18 mengungkapkan di antara kelemahan kitab Sunan Abu Dāwud ini terutama adalah dalam hal pemakaian perawinya. Dia mengatakan: “Abū Dāwud tidak mengambil riwayat dari perawi yang tertuduh dusta (matrūk) di dalam Sunannya, tetapi perawi yang munkar masih diterima periwayatannya. Misalnya hadis yang mengandung

wahn syadīd yang berarti hadis itu dinilainya ḍa’īf meskipun

dijelakan keḍa’īfannya. Juga pernyataannya perawi yang

17 Ensiklopedi, 41

18 Muḥammad Maḥfūdz Ibnu ‘Abdillah al-Tirmidhī, Manhaj Dhawi al-Nadzar Syarḥ Mandzūmah Ilmu al-Athar (Mesir: al-Halabī, 1995), 33.

bernama al-Ḥarith Ibn Wājih adalah perawi yang munkar dan dengan begitu, hadisnya lemah. Mengenai hal yang berhubungan dengan adanya keterputusan sanad (inqiṭā’) disebut dengan jelas, misalnya dalam bab kayfa al-masḥu, ia menjelaskan bahwa perawi yang bernama Saur Ibn Yazīd tidak berjumpa dengan perawi berikutnya yakni Rajā’ Ibn Hamimah. Adapun hadis yang tanpa komentar, Ibn Rushd mengatakan bahwa hadis tersebut shaḥīh menurut Abū Dāwud. Namun menurut Ibn Shalāh, hadis yang kondisinya demikian itu derajatnya ḥasan dan mungkin ḍa’īf. Sedangkan Imam al-Hafīdh Ibn al-Jauzī,19 juga telah mengkritik beberapa hadis yang dicantumkan oleh Abū Dāwud dalam Kitab Sunannya dan bahkan beliau memandang beberapa di antaranya sebagai hadis-hadis mawḍū’ (palsu), yang berjumlah hingga sebanyak 9 (sembilan) buah hadis.

Dalam konteks yang berkaitan dengan kritikan yang disebutkan terakhir dari Ibnu Jauzī, Jalāluddīn al-Suyūṭī telah memberikan tanggapan sekaligus sanggahan terhadap kritikan-kritikan tersebut. Kendati kritikan-kritikan itu dapat diterima secara logika, namun sebenarnya hadis-hadis yang dikritik itu sangat sedikit jumlahnya. Dengan demikian, kritikan tersebut tidak begitu berpengaruh secara signifikan terhadap posisi dan urgensitas kitab Sunan tersebut dalam konteksnya sebagai referensi para ulama.

Kitab Sunan Abū Dāwud memiliki karakteristik dan kekhasan, di antaranya: pertama, sesuai dengan namanya Kitab Sunan, menunjukkan bahwa isi materi-materi hadis yang dimuat banyak berhubungan dengan masalah-masalah hukum (spesialisasi masalah hukum); kedua, dalam setiap bab yang tercantum di dalam kitab Sunan tersebut hanya memuat sedikit jumlah hadis dalam setiap babnya; ketiga, Kitab Sunan ini tidak banyak memuat perkataan-perkataan

(athar) sahabat; keempat, dalam Sunan Abū Dāwud juga

banyak menyebutkan jalur sanad hadis, dan tampaknya ini pulalah yang menyebabkan adanya perbedaan di kalangan ulama dalam menghitung jumlah hadis yang terkandung di dalamnya.▄

B A B V

Studi Kitab

Jāmi’ Al-Tirmidhī

Studi tentang kitab Jāmi’ al-Tirmidhī dalam wacana perkembangan kitab-kitab hadis, sangat menarik untuk dilakukan. Selain isi dan sistematikanya yang mengesankan, juga karena Imam al-Tirmidhī sering disebut-sebut sebagai ulama pertama yang mengintrodusir istilah-istilah ilmu hadis yang khas, yang sebelunya belum pernah dipergunakan oleh para ulama ḥadīth. Imam al-Tirmidhī dengan karya monumentalnya Jāmi’ al-Tirmidhī, telah mendapatkan tempatnya yang terhormat pada masanya (abad ke-3 H.). Selain karena pribadinya yang sangat mengesankan dan keilmuannya yang luas, juga banyak di antara karya-karyanya yang besar sehingga menarik perhatian para ulama ketika itu. Kendati dalam perkembangannya tidaksemua ulama memberikan penilaian positif terhadap karyanya itu, sehingga kontroversi dalam memberikan penilaiannya pun tidak bisa terelakkan.

Terlepas dari adanya kontroversi penilaian, baik yang bernada memuji maupun yang mengkritiknya, tentu tidak begitu banyak berpengaruh terhadap kitab al-Tirmidhī sebagai sebuah karya besar, karena hamper semua umat Islam mengakui kredibilitas kitab tersebut. Melalui karyanya itu, imam al-Tirmidhī sangat memperhatikan ta’līl (penentuan nilai) hadis dengan menyebutkannya secara eksplisit, tidaklah berlebihan jika mendapat pengakuan dan penghargaan. Untuk lebih jelas tentang keberadaan dan posisi kitab ini, baik dari segi sisi, metode dan sistematika penyusunannya

serta penilaian para ulama, berikut penulis hantarkan secara sederhana tentang profil dari karya monumental tersebut, yang diawali dari pembahaasan mengenai biografi penulisnya.

Dalam dokumen Studi sembilan kitab Hadis Sunni (Halaman 84-90)