• Tidak ada hasil yang ditemukan

Latar Penyusunan dan Metode Penghimpunan Kitab Shaḥīh al-Bukhārī

Dalam dokumen Studi sembilan kitab Hadis Sunni (Halaman 36-40)

Shahih al-Bukhar i

A. Imam al-Bukhārī dan Kitab Shaḥīhnya

2. Latar Penyusunan dan Metode Penghimpunan Kitab Shaḥīh al-Bukhārī

Pada akhir masa tabi’in, atau pertengahan kedua abad ke-2 H, hadis-hadis Nabi mulai dibukukan dan dikodifikasikan. Metode penulisannyapun juga terbatas pada bab-bab yang menyangkut masalah tertentu saja. Kemudian pada tahap selanjutnya, para ulama periode berikutnya menulis hadis-hadis lengkap dari pada cara penulisan sebelumnya. Mereka menuliskan hadis-hadis yang menyangkut masalah-masalah hukum secara luas. Hanya saja tulisan-tulisan mereka juga masih bercampur dengan fatwa-fatwa sahabat, tabi’in, dan

7 Nūr al-Dīn ‘Itr, Manhaj al-Naqd fī ‘Ulūm al-Ḥadīth (Damaskus: Dār al-Fikr, 1401 H), 253.

tabi’ tabi’in.

Pada awal abad ke-3 H, penulisan hadis dilakukan dengan memilah dan menyeleksi secara tersendiri antara hadis yang dipisahkan dari fatwa sahabat dan tabi’in. Metode penulisan pada periode ini berbentuk musnad, yang ditulis berdasarkan nama sahabat kemudian hadis-hadis yang diriwayatkan dari padanya. Dengan kata lain, kitab

musnad adalah kitab yang disusun berdasarkan nama-nama

sahabat. Dengan demikian, dalam kitab musnad tidak dapat ditemukan bab-bab tertentu sebagaimana dapat ditemukan di dalam kitab jāmi’, sunan maupun muwaṭṭa’, yang lazim ditulis dalam bab-bab tertentu. Namun demikian, hadis-hadis yang terdapat dalam kitab musnad inipun juga masih bercampur antara hadis-hadis yang berkualitas shaḥīh, ḥasan dan ḍa’īf. Bagi pemuka-pemuka hadis, tampaknya tidak menjadi persoalan dalam membedakan mana hadis yang shaḥīh dan yang tidak shaḥīh. Akan tetapi tidak demikian halnya dengan umat Islam pada umumnya, yang tidak memahami secara benar bagaimana menentukan kualitas hadis. Sehingga sangat dibutuhkan buku yang memuat hadis-hadis shaḥīh saja. Akhirnya Ishāq bin Rāhawaih8, salah seorang guru Imām al-Bukhārī menyarankan pada al-Bukhārī agar menulis kitab yang singkat, yang hanya memuat hadis-hadis shaḥīh saja. Dalam kaitan ini pula, al-Bukhārī sendiri menjelaskan, “saran beliau itu sangat mendorong saya hingga saya menulis kitab

al-Jāmi’ al-shaḥīh”.

Di samping masalah di atas, penulisan kitab al-Jāmi’ al-shaḥīh tersebut juga diperkuat dengan dorongan moral di mana al-Bukhārī pernah bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad SAW dan berdiri tepat di dekat beliau sambil mengipasinya. Menurut ahli ta’bīr, mimpi itu memiliki

8 Rifā’at Fauzī ‘Abdul Muṭalib, Kutub al-Sunnah Dirāsah Tauthīqiyyah (ttp.: Maktabah al-Khaniji, 1979), juz I, cet. 1, 64.

makna bahwa al-Bukhārī akan membersihkan kebohongan-kebohongan yang dilontarkan oleh musuh-musuh Islam kepada Rasulullah. “Itulah yang mendorong saya untuk menulis al-Jāmi’ al-Shaḥīh”, demikian tutur al-Bukhāri.>9

Dengan demikian, manipulasi dan sejumlah kasus manipulasi hadis, oleh al-Bukhārī akan dipisahkan dari hadis yang benar-benar berasal dari Rasulullah, dengan memverifikasinya baik dari aspek sanad maupun matannya. Ternyata meskipun Imam Al-Bukhārī dapat dikatakan telah berusaha secara serius dan luar biasa dalam bidang hadis, namun terdapat data sejarah yang mengatakan bahwa penulisan kitab al-Jāmi’

al-Shaḥīh tersebut tidak berangkat semata-mata dari kemauan

al-Bukhārī sendiri. Agaknya keikhlasan motivasi awal ini juga turut menentukan kredibilitas kitab ini di kemudian harinya.

Imām al-Bukhārī menamakan kitab shahīhnya dengan nama al-Jāmi’ al-Musnad al-Shaḥīh al-Mukhtashar min Umūr Rasūl

Allāh SAW wa Sunanih wa Ayyāmih. Perkataan al-Jāmi’ memberi

pengertian bahwa kitab yang ditulisnya itu menghimpun hadis-hadis hukum, faḍāil, berita-berita tentang hal-hal yang telah lalu, hal-hal yang akan datang, sopan santun, kehalusan budi dan sebagainya. Kata al-Shaḥīh memberi pengertian bahwa al-Bukhārī tidak memasukkan ke dalam kitabnya tersebut hadis-hadis yang berkualitas ḍa’īf. Kata al-Musnad mengandung arti bahwa ia hanya memasukkan hadis-hadis yang bersambung sanadnya melalui para sahabat sampai kepada rasul, baik perkataan, perbuatan maupun ketetapan

(taqrīr)..10

Dalam kitab ini, al-Bukhārī tidak menguraikan kriteria-kriteria hadis yang dihimpun. Akan tetapi dengan memperhatikan nama kitab tersebut, menunjukkan bahwa ia hanya memasukkan hadis-hadis shaḥīh ke dalamnya.

9 Ibid.

Dalam menyeleksi hadis-hadis yang akan dimuat pada kitabnya ini, al-Bukhārī telah mengikuti kaidah penelitian ilmiah yang benar, sehingga keshahīhan hadisnya dapat diyakini sepenuhnya. Agaknya hal ini memang beralasan dan dapat dipertanggungjawabkan, melihat pada syarat-syarat keshaḥīhan hadis bagi al-Bukhārī dinilai lebih ketat dari syarat-syarat keshaḥīhan yang ditetapkan oleh para ulama hadis lainnya.

Imām al-Bukhārī tampaknya juga merasa tidak puas dengan persyaratan kebersambungan sanad sebagaimana yang ditentukan oleh pada umumnya para ahli hadis. Ketidakpuasan Imām al-Bukhārī dan didorong oleh sikap kehati-hatian beliau mengingat kitabnya kelak akan menjadi rujukan umat yang mendorong beliau untuk membuat persyaratan sendiri dalam menentukan bersambungnya sanad, yang dikenal dengan istilah syarṭ al-khāshshah li al-Bukhārī.11

Menurut Imām al-Bukhārī, sanad disebut bersambung apabila antara murid dan guru atau antara seorang perawi dengan perawi di atasnya dan di bawahnya demikian seterusnya dari awal hingga akhir sanad, benar-benar pernah bertemu meskipun hanya satu kali. Istilah bertemu di dalam konteks ilmu hadis, artinya bahwa seorang perawi benar-benar menerima hadis dari perawi di atasnya (guru) dan menyampaikan hadis kepada perawi di bawahnya (murid), demikian kondisinya mulai dari awal hingga akhir sanad. Dengan demikian antara seorang perawi dengan perawi di atasnya atau perawi di bawahnya, harus benar-benar bertemu

(liqā’) dan menjalin relasi guru-murid dan sebaliknya. Sekedar

kemungkinan bertemu karena ada kesemasaan (mu’āsharah) sebagaimana persyaratan kebersambungan sanad hadis yang digagas Imām Muslim, tampaknya bagi Imām al-Bukhārī tidak dianggap sebagai sanad yang bersambung (muttashil). Di

samping itu, Imām al-Bukhārī juga mensyaratkan atau lebih mengutamakan lamanya masa bersama antara seorang murid

dan guru atau perawi kedua dengan perawi pertama.12

Upaya maksimal Imām al-Bukhārī dalam menyeleksi hadis-hadis shaḥīh di atas dikaitkan dengan aspek spiritual. Dalam konteks ini, Farbarī --seorang murid Imām al-Bukhārī mengatakan, “Aku mendengar Muḥammad bin Ismā’īl al-Bukhārī berkata: “Aku menyusun kitab al-Jāmi’ di Masjid al-Ḥarām, aku tidak menuliskan sebuah hadis padanya kecuali setelah istikhārah pada Allah dan shalat dua rakaat, serta jelas bagiku keshaḥīhannya.13 Demikianlah al-Bukhārī, yang akhirnyā berhasil menyelesaikan kitab shaḥīh ini dalam masa 16 tahun, setelah menyeleksinya dari ± 600.000 hadis

yang didapatkan dan diriwayatkan dari guru-gurunya.14

Dalam dokumen Studi sembilan kitab Hadis Sunni (Halaman 36-40)