• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

4. Anak Berhadapan dengan Hukum

a. Pengertian Anak Berhadapan dengan Hukum

Sebelum lahirnya Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, anak-anak yang bermasalah dengan hukum disebut sebagai anak nakal, yang mengacu pada Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang pengadilan anak. Setelah diundangkannya UU Perlindungan Anak, maka istilah tersebut berubah menjadi anak

yang berhadapan dengan hukum (ABH) begitu pula dalam UU No 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. (Djamil 2013, 32).

Menurut Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 1 Ayat 2, anak berhadapan dengan atau ABH adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana.

Selanjutnya, dalam Pasal 1 Ayat 3-5 dijelaskan bahwa:

1. Anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang telah berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana

2. Anak yang menjadi korban tindak pidana adalah anak yang belum berusia 18 tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.

3. Anak yang menjadi saksi tindak pidana adalah anak yang belum berusia 18 tahun yang dapat memberikan keterangan untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan tentang suatu perkara pidana yang didengar, diliahat, atau dialami sendiri.

Dalam praktiknya, seringkali yang menjadi sorotan adalah anak yang melakukan tindak pidana. Tidak lain memang anak yang menjadi pelaku tindak pidana lebih membutuhkan pendampingan khusus. Tetapi hal ini juga tidak mengabaikan hak-hak anak yang menjadi saksi dan menjadi korban. Sebagaimana Suharto (2015: 15) mengatakan bahwa proes-proses pendampingan anak yang

27

berhadapan dengan hukum, sebagian besar dilakukan dalam konteks pelaku tindak pidana. Pendampingan khusus pada pelaku juga tidak serta merta dapat disalahkan, karena yang paling banyak menuai masalah ada pada sisi pelaku tindak pidana. Namun demikian hal ini tidak mengabaikan pada kebutuhan saksi dan korban, sebab keduanya juga sama-sama berhadapan dengan hukum.

Penyebutan anak pelaku tindak pidana seringkali disebut sebagai anak nakal. Sebagaimana dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Pasal 1 butir 2, yang dimaksud dengan anak nakal adalah:

1. Anak yang melakukan tindak pidana

2. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain di masyarakat dimana ia hidup.

Kenakalan anak disebut juga dengan Juvenille Delliquency.

Juvenille dalam bahasa indonesia artinya anak-anak sedangkan Delliquency artinya terabaikan atau mengabaikan yang kemudian

diperluas artinya menjadi jahat, kriminal, pelanggar aturan dan lain-lain. Suatu perbuatan dikatakan Delliquency yaitu saat perbuatan-perbuatan tersebut bertentangan dengan norma-norma yang ada di masyarakat dimana ia hidup atau sebuah tindakan anti sosial yang di dalamnya terkandung unsur-unsur anti normatif. (Sudarsono dalam Djamil 2013, 35)

Rasanya lebih pantas ucapan kenakalan anak dibanding dengan istilah kejahatan anak, karena terlalu ekstrim apabila anak yang melakukan tindak pidana disebut sebagai penjahat. Sementara hal

ini merupakan proses alami kehidupan manusia yang semuanya tidak mungkin tidak mengalami ujian dalam melewati proses kedewasaannya.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Soetodjo dalam bukunya (2006, 16) menyatakan bahwa fase-fase remaja atau yang disebut

adolscent adalah proses transisi dimana perilaku anti sosial yang

potensial disertai dengan pergolakan hati membuat anak sering kehilangan kontrol, sehingga emosi yang ditimbulkan akan menjadi bumerang bagi dirinya. Apabila dibiarkan tanpa adanya bimbingan dan pengawasan, maka gejala kenakalan anak ini akan menjadi tindakan yang mengarah kepada kriminalitas.

b. Sebab-Sebab Kenakalan Anak

Berkata pepatah ada asap tidak mungkin tidak ada api, yang artinya tidak mungkin segala sesuatu terjadi tanpa sebab begitu saja. Begitu pula dengan kenakalan anak pasti memiliki sebabnya, karena kenakalan anak ini dapat membuat anak menjadi berhadapan dengan hukum.

Segala sesuatu yang dikerjakan oleh manusia pasti ada dasarnya, ada sesuatu yang mempengaruhi mengapa hal itu dilakukan. Hal ini bisa disebut sebagai motivasi atau dorongan. Kenakalan pada anak terjadi karena adanya motivasi. Motivasi sering diartikan sebagai dorongan yang menyebabkan seseorang melakukan suatu perbuatan

Motivasi yang menyebabkan kenakalan pada anak terdiri dari motivasi intrinsik (dari dalam diri anak) dan motivasi ekstrinsik (dari

29

luar diri anak). Romli (dalam Soetodjo 2006, 17) menjelaskan mengenai motivasi dari kenakalan anak:

1. Motivasi intrinsik kenakalan anak

Adalah dorongan yang ada pada diri seseorang yang tidak perlu disertai perangsang dari luar. Yang termasuk motivasi intrinsik kenakalan anak yaitu:

a. Fakor Intelegentia

Intelegentia atau yang disebut dengan kecerdasan. Anak-anak yang melakukan perbuatan nakal pada umumnya mempunyai tingkat kccerdasan yang lebih rendah dan ketinggalan dalam pencapaian hasil. Dengan kurangnya wawasan dan kecerdasan yang rendah, anak-anak akan mudah terbawa oleh ajakan buruk untuk melakukan perilaku jahat. Anak-anak yang tidak begitu memiliki wawasan dan kurang dalam pencapaian hasil, ia cenderung tidak memikirkan sebab dan akibat atas apa yang akan ia lakukan karena ia kesulitan dalam menganalisa sesuatu yang akan terjadi. Sehingga banyak anak yang terjerumus dalam kenakalan tidak menyadari bahwa apa yang ia lakukan adalah salah.

b. Faktor Usia

Stephen Hurwitz (dalam Romli yang dikutip dalam Soetodjo, 2006, 18) mengatakan bahwa age is importance

factor in the causation of crime (usia adalah faktor penting

dalam sebab timbulnya kejahatan). Pendapat tersebut juga berlaku pada kenakalan yang terjadi pada anak. Anak yang dikategorikan berhadapan dengan hukum adalah anak yang usianya di bawah 18 tahun. Dimana pada anak usia di

bawah 18 tahun adalah usia menuju dewasa yang sedang mengalami proses menemukan jati diri.

Fase remaja sering dikaitkan dengan fase yang penuh masalah. Yaitu fase yang dialami oleh remaja dimana timbul kegelisahan akibat perubahan serta pertumbuhan dari fungsi-fungsi hormonalnya.

Terkadang remaja dalam lingkungan masyarakat berada pada 2 posisi yang membuatnya sulit menjadi diri sendiri yaitu saat remaja dituntut bertingkah laku seperti orang dewasa dengan segala kewajiban dan tuntutannya. Namun di sisi lain remaja masih diperlakukan sebagai anak-anak yang tidak dipercaya dan kurang bebas dalam menentukan pilihannya. Keadaan seperti yang membuat remaja menjadi egois, sangat kritis dan cenderung selalu ingin melawan. Secara umum, perlawanan yang dilakukan oleh remaja seringkali tidak bisa diawasi langsung oleh orang tua maupun guru seperti penyalahgunaan obat-obatan terlarang, merokok, menghina orang lain dan lain sebagainya. Dalam pandangan remaja, perhatian orang tua atau guru yang negatif seperti memarahinya dan menghukumnya justru membuatnya semakin mengembangkan perilaku negatif yang tidak kita kehendaki. (Mulyadi & Erlinda, 2017)

c. Faktor Jenis Kelamin

Kenakalan pada anak bisa terjadi pada anak laki-laki maupun anak perempuan. Adanya perbedaan jenis kelammin, mengakibatkan pula timbulnnya perbedaan, tidak hanya dari segi kuantitas kenakalan tetapi juga dari segi

31

kualitas kenakalan. Seringkali berita yang muncul di media massa menunjukkan banyaknya anak laki-laki yang melakukan perilaku kejahatan seperti: pencurian, pengeroyokkan, pembunuhan, perkosaan, dan lain-lain. Sedangkan pelanggaran yang banyak dilakukan oleh anak perempuan seperti perbuatan pelanggaran ketertiban umum, pelanggaran kesusilaan misalnya melakukan persetubuhan di luar pernikahan .

d. Faktor Kedudukan Anak dalam Keluarga.

Mengenai kedudukan anak, De Creef (dalam Romli yang dikutip dalam Soetodjo 2006: 20) menyelidiki 200 orang anak narapidana kemudian didapat kesimpulan kebanyakan mereka berasal dari extreme position in the family, yakni:

first born, last born, dan only child.

Last born atau yang sering disebut anak bungsu seringkali

mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari orang tuanya tanpa harus berkompetisi. Anak bungsu akan tetap menjadi subjek kasih sayang yang lebih dari kedua orang tuanya, sedangkan saudara lainnya justru seringkali mendapat nasihat dan banyak perintah. Hal inilah yang menjadikan anak bungsu tidak siap untuk menghadapi tantangan kehidupan sehingga ia mudah terjerumus ke dalam tindakan yang mengakibatkan psikisnya terganggu. Para pakar mengatakan bahwa penyakit psikis seperti pada pengguna narkoba dan alkohol sering dialami oleh anak bungsu (Syarqawi 2005, 60)

Sering kita jumpai betapa banyak anak yang terlalu dimanjakan oleh orang tuanya. Orang tua memberikan segala sesuatu yang anak inginkan dan orang tua memberikan pengawasan yang sangat luar biasa. Hal ini lah yang membuat seorang anak sulit untuk bergaul dengan lingkungan sosialnya, apalagi jika anak tidak dipenuhi keinginannya oleh orang tuanya, maka ia akan berusaha mendapatkan apa yang diinginkannya bahkan dengan cara kejahatan sekalipun.

2. Motivasi Ekstrinsik Kenakalan Anak

Motivasi ekstrinsik yang menjadi penyebab kenakalan anak, meliputi:

a. Faktor Keluarga

Keluarga menjadi tempat pembelajaran bagi anak yang pertama. Di dalamnya, anak bertumbuh dan berkembang dengan pengasuhan keluarga. Oleh karena itu, keluarga dapat mempengaruhi perkembangan anak. Apabila keluarga menanamkan dan mencontohkan hal yang positif maka akan timbul pula hal-hal yang positif dalam diri anak. Begitu pula sebaliknya, jika di dalam keluarga banyak dicontohkan hal-hal yang negatif dan anak tidak diberitahu bagaimana membedakan sesuatu hal yang baik dan buruk, maka anak akan cenderung mencontoh perilaku negatif.

Ada beberapa sebab yang menimbulkan anak melakukan tindak kenakalan atau kejahatan yaitu keluarga yang tidak normal (broken home) dan keadaan jumlah anggota keluarga yang kurang menguntungkan.

33

Menurut Ny. Moelyatno (dalam Soetodjo 2006, 21) mengatakan bahwa kemungkinan besar penyebab kenakalan anak adalah broken home, di mana terutama perceraian atau perpisahan orang tua mempengaruhi perkembangan anak. Dalam broken home, prinsipnya struktur keluarga tersebut sudah tidak lengkap lagi disebabkan adanya hal-hal:

a) Salah satu dari keduanya atau kedua-duanya meninggal dunia sehingga salah satu orang tua menjadi single

parent.

b) Adanya perceraian orang tua yang juga menyebabkan salah satu orang tua menjadi single parent.

c) Apabila kedua orang tua sudah berpisah dan salah satu dari kedua orang tua atau keduanya tidak hadir secara kontinu dalam waktu yang cukup lama.

Penyebab keadaan keluarga tidak normal bukan hanya terjadi pada broken home saja, tetapi juga terjadi pada lingkungan masyarakat modern dan kemudian timbul gejala broken home semu (quasi broken home) yaitu kedua orang tua yang masih utuh tetapi karena masing-masing memiliki kesibukan sehingga orang tua tersebut tidak sempat memperhatikan perkembangan anak-anaknya.

b. Faktor Pendidikan dan Sekolah

Sekolah menjadi pembimbing bagi pembinaan jiwa anak-anak, artinya sekolah ikut bertanggung jawab atas pendidikan anak-anak bukan hanya pendidikan keilmuan tetapi juga pendidikan karakter. Semakin banyaknya

kenakalan anak secara tidak langsung menunjukkan kurang berhasilnya sistem pendidikan di sekolah-sekolah.

Sekolah menjadi tempat pendidikan bagi anak setelah keluarga. Beberapa kegiatan yang dilakukan di sekolah dapat mempengaruhi sikap anak dalam bertindak. Pergaulan dengan teman-teman di sekolah dan interaksinya dengan warga sekolah lainnya dapat menimbulkan efek yang negatif bagi anak. Misalnya, ia berteman dengan teman-teman yang suka membolos sekolah kemudian menongkrong dan berkumpul dengan siswa-siswa lainnya dan biasanya mereka sering terbawa dalam kegiatan tawurran antar sekolah. Maka hal ini akan berdampak negatif bagi anak, sehingga ia terbawa ke dalam pengaruh lingkungan yang buruk.

Zakiah Darajat (dalam Soetodjo 2006, 23) mengatakan bahwa ada pengaruh negatif yang mempengaruhi proses pendidikan di sekolah antara lain, kesulitan ekonomi yang dialami guru dapat mengurangi perhatiannya kepada anak yang dididik. Guru yang sering tidak masuk, akibatnya anak didik akan terlantar. Bahkan sering terjadi guru marah kepada muridnya, biasanya guru melakukan demikian bila terjadi sesuatu hal yang menghalangi keinginannya. Guru akan marah apabila kehormatannya direndahkan, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Dengan demikian, proses pendidikan yang kurang begitu menguntungkan bagi anak akan berpengaruh kepada perkembangan jiwa anak sehingga akan menimbulkan kenakalan anak.

35

c. Faktor Pergaulan Anak

Tingkah laku anak banyak dipengaruhi oleh pergaulan lingkungannya. Pergaulannya seringkali menekan diri anak untuk melalukan perilaku buruk hingga anak merasa bahwa apa yang ia lakukan tidak salah. Akhirnya, anak menjadi mudah melanggar norma, peraturan dan hukum-hukum lainnya.

Sehubung dengan itu Sutherland (dalam Soetodjo 2006, 24) mengembangkan teori Assosiation Differential yang menyatakan bahwa anak yang terlibat dalam kenakalan disebabkan oleh partsipasinya di tengah-tengah suatu lingkungan sosial yang mana ide dan teknik delinkuen tertentu dijadikan sebagai sarana untuk pemecahan masalah. Karenanya, semakin luas anak bergaul maka semakin intensif relasinya dengan anak nakal dan akan menjadi semakin lama pula proses berlangsungnya asosiasi diferensial tersebut.

d. Pengaruh Media Massa

Media massa juga memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap timbulnya kenakalan pada anak. Media massa menyajikan tayangan atau tontonan yang justru membuat anak berkeinginan atau bahkan melakukan perilaku yang ia lihat di tayangan media. Seperti adegan berbuat jahat misalnya, tayangan tersebut akan terekam dalam memori anak kemudian anak akan cenderung mengikuti perilaku buruk tersebut. Begitu pula dengan tayangan pornografi yang saat ini mudah ditemukan di

beberapa tayangan film yang tidak disensor. Tayangan film porno yang ditonton oleh anak akan berpengaruh negatif terhadap perkembangan jiwa anak.

Begitu pula dengan film-film yang menampilkan aksi kekerasan dan kriminalitas juga akan mempengaruhi perilaku anak dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, upaya yang dapat dilakukan adalah melakukan penyensoran film-film yang buruk bagi kejiwaan anak dan menyediakan tontonan yang menekankan pada aspek pendidikan. Hal ini juga tidak terlepas dari pengawasan orang tua tentunya. c. Perlindungan Hukum Bagi Anak

Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH) merupakan anak yang mendapatkan perlindungan khusus oleh negara. Anak yang Berhadapan dengan Hukum wajib dilindungi agar hak dan kewajibannya tetap melakat pada dirinya. Dalam hal ini, perlindungan anak merupakan segala usaha untuk mewujudkan keadilan bagi anak yang berhadapan dengan hukum untuk menciptakan setiap kondisi bahwa anak tetap dapat melaksanakan hak dan kewajibannya demi perkembangan dan pertumbuhan diri anak secara mental, fisik maupun sosial (Krisna 2016, 92).

Terkait urgensi perlindungan bagi anak, dalam hal ini Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) (dalam Krisna 2016, 99-102) telah mensahkan deklarasi tentang hak anak. Deklarasi tentang hak anak memuat 10 asas, yaitu:

1. Setiap anak tanpa terkecuali harus dijamin hak-haknya tanpa membedakan jenis kelamin, warna kulit, ras, agama, suku bangsa,

37

tingkatan sosial atau pun status lainnya baik yang ada dalam dirinya ataupun ada pada keluarganya.

2. Anak berhak memperoleh perlindungan khusus yang terjamin oleh hukum agar ia dapat mengembangkan dirinya secara mental, fisik, spiritual dan sosial dalam situasi dan kondisi normal.

3. Anak berhak memiliki nama dan kebangsaan sejak ia dilahirkan. 4. Anak berhak dijamin pertumbuhannya secara sehat baik sebelum

maupun sesudah kelahirannya.

5. Anak yang mengalami cacat mental, fisik maupun lemah kedudukannya berhak mendapat perawatan, pendidikan dan perlakuan khusus.

6. Anak berhak tumbuh dalam suasana kasih sayang dan keharmonisan keluarga. Maka dari itu, anak berhak diasuh langsung oleh kedua orang tuanya dan anak dibawah usia 5 tahun tidak diperkenankan berpisah dengan ibunya. Bagi anak yang tidak memiliki keluarga maka masyarakat dan pemerintah wajib memberikan perawatan khusus untuk anak yang tidak memiliki keluarga.

7. Anak berhak mendapatkan akses pendidikan, minimal memperoleh pendidikan di tingkat sekolah dasar. Kepentingan pendidikan anak haruslah menjadi fokus utama bagi orang tua. Karena anak berhak meningkatkan pengetahuannya, mengembangkan dirinya sehingga ia mampu bertanggung jawab atas apa yang ia lakukan dan menjadi individu yang berguna dalam masyarakat.

8. Anak berhak diutamakan dalam hal perlindungan dan pertolongan. 9. Anak berhak dilindungi dari segala bentuk eksploitasi. Anak tidak

diperbolehkan terlibat dalam pekerjaan yang dapat mengganggu perkembangan dirinya secara fisik, mental maupun sosialnya. 10. Anak berhak dilindungi dari segala hal yang merupakan

diskriminasi. Baik diskriminasi agama, diskriminasi sosial maupun bentuk diskriminasi lainnya. Mereka berhak tumbuh dalam kondisi dan situasi penuh perdamaian, toleransi dan kasih sayang.

Dokumen terkait