KAJIAN PUSTAKA
B. Anak Berkonflik dengan Hukum (ABH) Kasus Narkoba
1. Anak Berkonflik dengan Hukum (ABH) yang Terlibat Kasus Narkoba
Beberapa faktanya menyebutkan sebagian besar orang dewasa mulai menggunakan obat-obatan atau narkoba dimulai pada usia remaja. Ada beberapa ciri yang menunjukkan bahwa remaja menjadi cenderung atau sangat rentan untuk mencoba mengonsumsi obat-obatan atau narkoba, kendati tidak semua remaja dapat digeneralisir akan menjadi pecandu obat atau narkoba. Namun yang ditekankan disini, bahwa remaja memiliki resiko lebih besar dan lebih rentan untuk mengonsumsi obat-obatan atau narkoba hingga pada tingkatan tertentu menjadi pecandu berat. Kenyataan lain ialah gangguan mental dan perlaku akibat penggunaan zat psikoaktif sering terdapat bersamaan dengan gangguan jiwa lain (komorbiditas) (Joewana, 2005).
Perkembangan mentalitas anak yang berada dalam masa perkembangan remaja, akan diikuti perubahan jasmani, emosional dan kehidupan sosiologis dimanapun dirinya berada. Perubahan mentalitas yang demikian juga akan diikuti pula dengan ketegangan, krisis dan perbenturan-perbenturan pandangan yang pernah menjadi bagian ilmu pengetahuan selama dirinya hidup hingga saat ini menginjak masa remaja. Pada perkembangan aspek jasmani, seorang anak yang masuk pada masa perkembangan remaja akan menghadapi fase pubertas, dimana kimiawi hormonal bernama testosteron mulai aktif bekerja mempengaruhi kejiwaan dan fisik remaja. Dapat dilihat dari bentuk tubuh yang mulai nampak banyak yang berubah. Segala macam bentuk perubahan itu, bagi remaja menimbulkan keresahan, ketegangan dan kebingungan. Pada beberapa kasus jika perkembangan jasmaniah tidak diikuti dengan perkembangan mental maka akan menjadi sedikit bermasalah dalam memilih teman bermain (Joewana, 2005).
Selanjutnya, pada perkembangan mental emosional remaja mulai melonggarkan ikatan emosionalnya dengan kedua orang tua, kendati secara finansial remaja menyadari masih bergantung pada orang tua. Dimaksud melonggarkan ikatan emosional dengan kedua orang tua diperlukan dalam rangka membentuk identitas diri remaja. Pada fase ini sebenarnya percobaan remaja untuk mengonsumsi obat-obatan atau narkoba rentan terjadi. Remaja berusia 16 tahun mempunyai keyakinan khas dan unik (personal fable), bahwa apa yang dapat terjadi pada orang
lain tidak akan terjadi pada dirinya. Kemudian yang terakhir pada perubahan dimensi sosiologis dimana dirinya berada. Dalam rangka melepas keterikatan dengan orang tua, remaja membutuhkan teman untuk bersosialisasi. Dalam kelompok-kelompok pertemanan, remaja akan memutuskan untuk mengikuti kebiasaan pada kelompok yang ingin dimasukinya agar diterima dan mendapat tempat yang layak secara sosial. Bila dalam kelompok tersebut penggunaan obat-obatan atau narkoba merupakan suatu kebiasaan atau bersikap permisif terhadap penggunaan obat-obatan atau narkoba, ia juga akan diikuti mengonsumsi obat-obatan atau narkoba untuk mempermudah interaksi sosial (vehicle of social
interaction) (Joewana, 2005).
Dinamika penyalahgunaan obat-obatan atau narkoba pada remaja, sebenarnya diawali dari gejala-gejala perilaku mencoba pada hal-hal kecil, seperti mencoba merokok dan minuman kerass. Kendati latar belakang seorang remaja yang memutuskan mengonsumsi minuman keras, bukan hanya dilandasi oleh rasa ingin tahu yang tinggi tentang hal baru, tapi dapat muncul akibat proses belajar sosial yang keliru dalam memahami realitas yang sedang dialami. Ketika masalah muncul dan mendera seorang remaja, alternatif solusi dan jalan keluar yang begitu terbatas akibat tingkat kematangan yang belum mencapai puncak, menyebabkan perilaku destruktif seperti merokok, miras, dan segala bentuk kenakalan remaja dianggap salah satu alternatif jalan keluar yang lazim bagi kebanyakan orang untuk dipilih (Santrock, 2007).
Masa remaja dapat diartikan sebagai fase dimana seorang remaja dihadapkan pada proses pengambilan keputusan, antara pilihan menjadi bijaksana yang hanya akan muncul dalam suasana psikososiologis tenang, dan pilihan untuk menunjukkan keteguhan prinsipil dalam bentuk amoral atau arogan akan menjadi pilihan yang tak dapat dihindarkan, jika remaja merasa berada dalam situasi tak menguntungkan atau tertekan (Byrnes, 1997, 2003, 2005: Galoti & Kozberg, 1996 dalam Santrock, 2007). Gejolak emosi dalam diri remaja dapat melemahkan proses rumit dari pengambilan keputusan yang remaja ambil. Rasa tertekan tentunya begitu beragam dimensinya, dapat diartikan dalam dimensi penekanan sosial oleh teman sebaya atau lingkungan sekolah, dimensi penekan lingkungan keluarga, dan dimensi penekan individu yang meliputi krisis dalam diri remaja saat menghadapi realitas yang semakin tak dapat diprediksi (Dahl, 2004 dalam Santrock, 2007).
Karakteristik masa remaja yang cenderung tidak ada nilai hidup yang menetap dan tidak mmapu mengendalikan emosi, sangat mungkin membuatnya untuk berusaha mencari teman yang mampu memberikan tempat dan menghargai dirinya, yang sering kali jenis teman yang dibutuhkannya adalah mereka yang menggunakan obat-obatan terlarang atau narkoba (Brook, 1990 dalam Santrock, 2003). Cara mensiasati gejolak mental remaja yang demikian adanya dan kerap terjadi pada masanya adalah dengan sinergisitas antara orang tua, teman sebaya, dan dukungan sosial untuk memfasilitasi remaja menghadapi situasi rumit yang sedang
dialaminya dan harus dilewatinya (Cohen, Brook & Kandel, 1991; Conger, Conger & Simons, 1992: Dishion, 1992; Kandel & Wu, 1995; McMaster & Wintre, 1994; Reuter, 1994; Rohrbach, dkk, 1994; Tildsley & Duncan, 1994 dalam Santrock, 2003)
Awal mula penyalahgunaan obat-obatan atau narkoba terjadi pada fase krisis tersebut. Proses pengambilan keputusan yang begitu mendesak dalam kematangan fisik dan psikis yang masih labil, menyebabkan remaja akan berperilaku sebagaimana ukuran yang dikehendakinya sendiri yang cenderung negatif. Perilaku merokok kerap kali muncul pada masa anak menuju remaja, kemudian perilaku itu semakin bervariasi bentuknya bahkan cenderung meningkat seketika menginjak pada masa sekolah menengah akhir (SMA) dan kuliah (Wood, Vinson & Sher, 2001 dalam Santrock, 2007). Pada frekuensi penggunaan yang semakin meningkat dan gejala ketergantungan yang mulai muncul dari rokok dan miras yang kian mempengaruhi diri remaja, membuat remaja akan berupaya meningkatkan kembali ektase dan fantasi terhadap varian jenis stimulan-stimulan jangka pendek yang hanya dapat dihasilkan dari mengonsumsi mariyuna, kokain dan berbagai macam jenis zat narkoba. Ketika remaja telah menggunakan berbagai jenis narkoba tersebut dan merasakan efek-efek stimulan dan halusinogen selama mengonsumsinya. Tak lama akan muncul sebuah dampak khusus yang akan muncul mempengaruhi masa perkembangannya, terutama dalam hal kemampuan kematangan berfikir dalam mengambil keputusan dari sebuah situasi menekan (stres), atau
sebuah masalah yang menjadi tanggungjawabnya. Dalam kondisi semacam ini, menurut pembacaan para ahli, akan menjadi sangat berbahaya dan fatal akibatnya jika mengonsumsi narkoba sejak kecil, dibanding mereka yang mengonsumsi narkoba ketika sudah dewasa (Newcomb & Bentler, 1988 dalam Santrock, 2007).
Masa remaja dapat disebut sebagai masa dimana problem remaja akan sangat dekat sekali dengan penyalahgunaan obat-obatan atau narkoba, akibat depresi dalam memahami realitas yang begitu berseberangan dengan idealisme dalam diri remaja (Edelbrock, 1989 dalam Santrock, 2003). Sebelumnya didahului oleh masa anak awal dimana anak cenderung memiliki karakteristik gangguan seperti, gemar berkelahi dan terlibat dengan berbagai permasalahan di lingkungan sekolah (Achenbach & Edelbrock, 1981 dalam Santrock, 2003).
Menurut Jonston, sebuah penelitian dari Studi Monitoring the
Future tahun 1975 hingga 2004, tentang remaja yang menggunakan
obat-obatan. Bahwa temuan mengejutkannya terjadi pada tahun awal 1990 yang mana terjadi peningkatan remaja yang menggunakan narkoba. Peningkatan itu disebabkan oleh adanya pengabaian generasi (generational fargetting) dikarenakan remaja tidak percaya dengan bahaya dari mengonsumsi narkoba. Hingga akhir penelitian ini didapat suatu kesimpulan bahwa peningkatan persepsi tentang bahaya narkoba tenyata membuat penurunan pengguna narkoba pada remaja (Johnston, O’Malley & Bachman, 2005 dalam Santrock, 2007).
C. Optimisme