• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian tentang Optimisme Anak Berkonflik dengan Hukum (ABH) Kasus Narkoba oleh para peneliti. Jurnal penelitian yang terpublikasi menunjukkan bahwa optimisme anak bekonflik dengan hukum (ABH) merupakan topik yang menarik untuk diteliti.

Adapun penelitian yang mengungkap faktor penyebab remaja akhir menggunakan narkoba, meskipun telah mendapatkan program penyembuhan narkoba di lembaga rehabilitasi narkoba, masih mengalami

kekambuhan (Relapse) ketika kembali ke lingkungan tempat tinggalnya. Menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Menunjukkan hasil penelitian bahwa situasi tidak kondusif lingkungan keluarga, berbentuk kualitas hubungan yang tidak baik dengan ayah. Cenderung menyebabkan mereka melakukan koping maladaptif yaitu

relapse (Hurriyati, 2010). Kesamaan dengan penelitian ini terletak pada

metode penelitian, pendekatan penelitian dan metode penggalian data menggunakan wawancara dan observasi. Namun, memiliki perbedaan pada fokus penelitian cenderung tertuju pada gambaran kemungkinan kekambuhan (relapse) pada remaja pengguna narkoba.

Kemudian, penelitian yang bermaksud mengetahui hubungan antara optimisme dan penyesuaian diri dengan stres pada narapidana kasus Napza di Lapas Kelas IIA Bulak Kapal Bekasi. Menggunakan metode penelitian kuantitatif, pada variabel bebas (X1) yaitu optimisme dan (X2) yaitu penyesuaian diri, pada variabel terikatnya (Y) yaitu stres. Menunjukkan bahwa adanya hubungan negatif antara optimisme, penyesuaian diri dengan stres. Artinya jika semakin tinggi tingkat optimisme dan penyesuaian diri, maka semakin rendah tingkat stres dan sebaliknya, jika semakin rendah tingkat optimisme dan penyesuaian diri maka semakin tinggi tingkat stres (Ekasari dan Susanti, 2009). Kesamaan dengan penelitian ini terletak pada konstruk teori yang hendak diujikan pada subjek, yakni optimisme. Kendati demikian, terdapat pula perbedaan yakni pada penggunaan metode penelitian,

yang cenderung menggunakan metode penggalian data kuantitatif dengan dua variabel bebas.

Selanjutnya penelitian yang bermaksud memberikan gambaran mengenai psychological well-being narapidana remaja sekaligus mengetahui faktor-faktor pembentuknya. Menunjukkan bahwa narapidana remaja dalam penelitian ini memiliki Psychological Well-Being yang baik dibandingkan ketika awal memasuki Lapas. Hal tersebut dapat diidentifikasi dari kemampuan subjek menyesuaikan diri dengan lingkungan, mengembangkan potensi diri, menerima diri secara positif, mengontrol diri dan mandiri, memiliki tujuan hidup serta mampu menjalani hubungan positif dengan orang lain (Susanti dan Maryam, 2013). Kesamaan dengan penelitian ini terletak pada penggunaan konstruk teori psychological well-being yang sebenarnya muncul dari rumpun paradigma psikologi positif. Kendati demikian, terdapat perbedaan yakni pada fokus penelitian yang lebih tertuju pada faktor-faktor yang melatarbelakangi munculnya psychological well-being pada diri subjek.

Penelitian selanjutnya bertujuan menguji apakah ada pengaruh pelatihan berpikir positif terhadap optimisme pada remaja yang tinggal di panti sosial. Ternyata menunjukkan bahwa terdapat perbedaan peningkatan optimisme antara subjek yang mendapat pelatihan berpikir positif dan yang tidak mendapat pelatihan berpikir positif. Pada subjek yang mengikuti pelatihan berfikir positif mengalami peningkatan skor optimisme (Nurindah, Alfiatin & Sulistyarini, 2012). Kesamaan dengan penelitian ini terletak pada

pelatihan berfikir positif. Selain itu subjek penelitian ditujukan pada remaja yang hidup di panti sosial. Kendati demikian, adapun perbedaan dengan penelitan ini adalah terletak pada metode penelitian eksperimen.

Penelitian selanjutnya hendak menggambarkan stres yang dialami anak pidana selama berada di dalam Lapas dan memberi gambaran mengenai bentuk strategi coping yang digunakan oleh mereka selama berada di Lapas Kelas II Samarinda. Menunjukkan penggunaan emotion focused coping paling sering digunakan oleh subjek, dengan alasan jenis koping tersebut lebih efektif untuk mencegah stressor selama anak pidana berada di dalam Lapas dibandingkan dengan memilih jenis koping lain yakni problem focused

coping (Kesuma, 2016). Kesamaan dengan penelitian ini terletak ada subjek

yang menjadi fokus penelitian yakni pada anak berkonflik dengan hukum (ABH) yang mendekam di dalam penjara. Selain itu metode penelitian yang digunakan yakni kualitatif dan penggalian data wawancara. Namun, perbedaan yang nampak terletak pada fokus penelitian yang tertuju pada mengidentifikasi gambaran coping stres dan strategi coping yang digunakan subjek selama mendekam di dalam penjara.

Adapun kemudian penelitian yang bertujuan untuk memprediksi dampak apa yang terjadi pada seorang anak yang memiliki orang tua berurusan hukum hingga di penjara. Metode penelitian studi literatur dengan mengumpulkan berbagai macam hasil dan temuan penelitian secara sistematis dari bulan Februari 2011, tentunya yang relevan dengan penelitian

menjalani proses hukuman penjara sangat besar kemungkinan membuat anaknya mengalami depresi, perilaku menyimpang, penyalahgunaan narkoba, pendidikan usia dini untuk anak di lingkungan keluarga tidak berjalan maksimal, kendati tidak akan berdampak pada gangguan kejiwaan (Murray, Farrington & Sekol, 2012). Kesamaan dengan penelitian ini terletak pada subjek penelitian yang tertuju pada anak yang berkonflik dengan hukum (ABH). Namun, perbedaannya terletak pada fokus penelitian yang lebih menitikberatkan faktor penyebab kenakalan anak hingga sampai berurusan dengan hukum.

Penelitian selanjutnya bertujuan untuk melihat secara khusus pada anak berkonflik dengan hukum (ABH) yang saat ini berada di Lapas menerima pembelajaran dan pelatihan keterampilan yang disediakan oleh pusat rehabilitasi pada remaja berusia 15 hingga 21 tahun. Dengan menggunakan desain penelitian campuran antara kuantitatif dan kualitatif. Pada kuantitatif menggunakan tes IQ dan tes minat Culture Fair Intelligence

Test (CFIT) dan Brainard Occupational Preference Inventory (BOPI).

Hasilnya adalah ABH yang mendapat pendidikan dan pembelajaran keterampilan oleh pusat rehabilitasi Lapas secara baik dan terstruktur, lebih memberikan pilihan-pilihan hidup yang dapat dijalani daripada kembali lagi pada perbuatan kriminal yang pernah ABH lakukan (Gomez, 2011). Kesamaan dengan penelitian ini terletak pada subjek penelitian yakni anak berkonflik dengan hukum (ABH). Nampun perbedaannya terletak pada

metode campuran kualitatif & kuantitatif-eksperimen, termasuk menggunakan alat tes intelegensi terukur.

Penelitian selanjutnya bertujuan untuk melihat secara menyeluruh tentang strategi koping dan konsep perubahan menjadi lebih baik pada ABH yang berada di lingkungan keluarga. Menggunakan metode penelitian kualitatif dan dikhususkan pada ABH berusia 14 hingga 18 tahun, menghasilkan terdapat sebuah hubungan yang begitu kompleks antara strategi koping stres, adaptasi diri dan konsep perubahan menjadi lebih baik pada diri ABH di dalam lingkungan penjara (Prendi, 2014). Kesamaan dengan penelitian ini terletak pada subjek penelitian anak berkonflik dengan hukum (ABH), metode penelitian kualitatif, dan fokus penelitian yang tertuju pada perubahan positif dalam diri ABH. Namun, perbedaannya terletak pada

setting penelitian yang berada di dalam lingkungan penjara. Dengan asumsi

bahwa penelitian tersebut melihat orientasi perubahan diri ABH selama berada di dalam penjara.

Penelitian selanjutnya bertujuan untuk menguji peranan self esteem sebagai penghubung antara optimisme dan resiliensi pada gejala atau tekanan yang dialami oleh pelajar. Dilakukan pada 494 pelajar, 253 diantaranya adalah wanita dan 241 diantaranya adalah laki-laki, dengan rentang usia 18 tahun hingga 30 tahun. Hasilnya menunjukkan bahwa, self esteem ternyata menjadi penghubung dari terjadinya resiliensi psikis dan gejala depresi yang dialami pelajar (Acun-Kapıkıran, 2016). Kesamaan dengan penelitian ini

perbedaannya terletak pada metode penggalian data menggunakan kuantitatif dan subjek penelitian bukanlah anak berkonflik dengan hukum (ABH) melainkan para pelajar.

Penelitian selanjutnya bertujuan untuk melihat hubungan antara kesehatan mental dan optimisme. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan antara optimisme dengan kesehatan mental tahanan. Artinya optimisme yang muncul sejak pertama masuk penjara dapat membantu dalam menghalangi penyakit-penyakit mental (Heigel, Stuewig & Tangney, 2010). Kesamaan dengan penelitian ini terletak pada penggunaan konstruk teori optimisme yang akan diujikan. Namun perbedaan yang nampak terletak pada metode penggalian data menggunakan kuantitatif dan subjek penelitan yang terlalu umum pada para tahanan, tidak spesifik terhadap para anak berkonflik dengan hukum (ABH).

BAB II