KAJIAN PUSTAKA
D. Perspektif Teoritis
Secara garis besar ABH kasus narkoba paska mendekam di penjara atau mengikuti program rehabilitasi lembaga-lembaga pemerintahan, dalam benak batin mentalitas diri mereka terdapat hasrat untuk kembali menata hidup yang sempat berantakkan akibat perbuatannya melanggar hukum yang pernah dilakukan di masa lalu, dan berupaya sebaik mungkin untuk melanjutkan hidup dengan cara-cara baru yang bijaksana tanpa bersinggungan dengan tata nilai yang disepakati masyarakat.
Dinamika psikologis semacam ini; suatu bentuk kesadaran atas apa yang terjadi dalam kehidupan dan dimaknai sebagai hal negatif, buruk dan perlu dihilangkan dikemudian hari, dinamai sebagai Epifani. Menurut Jalaludin Rakhmat, Epifani merupakan sebuah titik balik dalam kehidupan seseorang untuk diubah menjadi lebih baik dimasa yang akan datang. Gejolak psikofisik yang dialami oleh ABH sebagaimana yang dikemukakan diawal merupakan suatu bentuk Epifani, dalam pendekatan psikologi positif, dinamika psikologis semacam itu akan menjadi objek diskursus. Namun sebelum pada akhirnya Epifani dalam diri ABH dipahami dengan menggunakan konstruk teoritis optimisme dari para ahli, perlu kiranya memaparkan dasar epistemologi bagaimana kerangka teoritik awal yang mendasari penentuan optimisme sebagai konstruk teoritik untuk menjadi telaah realitas sosial atau dinamika psikofisik ABH. Berangkat dari paradigma baru yang beberepa dekade belakangan berkembang menjadi sebuah mahzab baru yang dicetuskan oleh Martin Seligman. Psikologi positif memberikan pemaknaan baru dan perspektif baru memandang dinamika psikologis individu.
Menurut Jalaludin Rakhmat, psikologi positif merupakan pendekatan yang menekankan pada potensi yang telah ada dalam diri dan kemampuan untuk adaptif menghadapi situasi diluar diri individu. Pandangan ini secara tegas untuk tidak mendasarkan pada telaah psikofisik yang bertumpu pada Patogenesis yakni potensi gangguan atau abnormalitas dalam diri individu. Martin Seligman secara harfiah menamai
pendekatan yang dibilang baru ini dengan sebutan Psikologi Positif. Namun sebelumnya ada istilah lain yang menamai jenis pendekatan tersebut, yang dipopulerkan oleh Aaron Antonovsky yakni Psikologi Salutogenesis. Pendekatan ini memandang bahwa realitas kehidupan dengan suatu paradigma keteraturan, optimisme, dinamis dan kebaikan. Oleh karenanya, membuat individu akan merasa bahagia, nikmat, bermakna, berintegritas, memunculkan kekuatan dan daya juang. Sehingga para akademisi psikologis termasuk para praktisi psikolog tidak lagi memandang individu dari potensi terjadinya gangguan psikofisik. Namun lebih kepada upaya penemuan kemampuan atau potensi diri dengan cara menumbuhkan harapan, keyakinan dan optimisme terhadap realitas kehidupan yang akan terjadi di masa depan (Seligman, 2005).
Tokoh lain yang turut memberi sumbangsih pemikiran dalam pendekatan psikologi positif adalah Aaron Beck (1967) bahwa kognisi menentukan emosi dan emosi sangat mempengaruhi kualitas hidup seseorang. Ketika individu menghadapi masalah, maka cara mengurainya adalah dengan melakukan terapi kognitif dengan asumsi bahwa masalah itu muncul akibat kekeliruan berfikir. Kemudian tokoh lain mengemukakan konsepsi yang sama mendukung pendekatan ini yakni David Clark dari Oxford University bahwa ketika terjadi suatu gejolak masalah psikofisik seperti panik, sebenarnya bukanlah diartikan sebagai suatu bentuk akibat yang diawali oleh suatu sebab yang spesifik, melainkan anggapan panik yang dipahami oleh individu menjadi sebab
dirinya benar-benar merasakan gejolak fisiologis yang merugikan dari panik, artinya pikiran tentang panik yang menyebabkan seseorang akhirnya benar-benar mengalami kepanikan. Disini jelas bahwa tafsir terhadap suatu realitas yang dilakukan oleh individu mempengaruhi bentuk perilaku, sikap dan potensi gangguan psikofisik individu (Seligman, 2005).
Objek penelitian ini, adalah ABH yang terjerat kasus narkoba, sikap optimis diaktifkan dalam rangka untuk mengakomodir kehendak untuk menata kembali segala aspek kehidupan yang sempat berhenti dan berantakan akibat harus mempertanggungjawabkan dirinya dihadapan hukum dengan mendekam di penjara. Hal ini didukung oleh penelitan dari Ekasari dan Susanti (2009) yang menunjukkan bahwa optimisme dan penyesuaian diri yang tinggi dapat menekan tingkat stres yang dialami mereka yang mendekam di dalam penjara. Artinya sikap optimisme mampu menghalangi gejolak negatif yang muncul dari dalam diri akibat pemenjaraan yang dialaminya. Adapun penelitan yang Firmansyah (2014) tentang ABH yang mendekan di dalam Lapas, ternyata menunjukkan adanya aspirasi akademik realistik untuk bisa melanjutkan sekolah yang sempat terputus. Kemudian aspirasi jangka panjang untuk mampu menguasai berbagai keterampilan agar dapat didayagunakan untuk memperoleh pekerjaan dan mampu melanjutkan pendidkan ke jenjang yang lebih tinggi. Adapun aspirasi jangka pendek yakni menghindari stres dan tekanan batin dengan cara memperbanyak membaca buku di perpustakaan Lapas. Kemudian aspirasi positif yakni keinginan untuk
bermanfaat bagi orang lain. Dan aspirasi negatif untuk menghindari perbuatan yang menyebabkan orang lain menilai buruk pada dirinya.
Optimisme terhadap kehidupan dimasa depan diperlukan oleh ABH untuk dapat bertahan hidup baik ketika di dalam Lapas, ataupun setelah keluar nantinya. Dapat diartikan pula sebagai sikap positif untuk menghindari dari kekambuhan untuk melakukan tindak pidana lagi. Adapun penelitian yang dilakukan oleh Ruby (2015) tentang optimisme pada narapidana, yang menunjukkan bahwa peran dukungan sosial dari keluarga memiliki persentase sebesar 22,37% memberikan pengaruh pada optimisme narapidana.
Penelitian ini hendak mengangkat realitas sosial dari ABH kasus narkoba, dinamika psikologis yang dijadikan objek penelitian adalah dimensi mental, yakni pada sikap optimisme ABH kasus narkoba. Dilegitimasi kemudian dengan temuan penelitian yang dilakukan oleh Nurindah, Alfiatin dan Sulistyarini (2012) menunjukkan terjadinya peningkatan optimisme pada ABH setelah diberikan pelatihan berpikir kritis. Artinya optimisme merupakan modal penting bagi ABH untuk membantu menemukan makna baru yang lebih positif dari keadaannya sekarang yang harus mendekam di Panti Sosial. Selanjutnya penelitian tentang ABH yang dilakukan Gomez (2011) menunjukkan bahwa ABH yang selama masa tahanannya mendapat pendidikan dan pembelajaran keterampilan dari pusat rehabilitasi Lapas lebih memberikan
pilihan-pilihan yang dapat dijalani nantinya selepas dari penjara, sekaligus menekan kekambuhan atau perilaku residivis dari ABH.
Dari sini akan sangat jelas bahwa optimisme sebagai konstruk teoritik dipilih karena menjadi dasar dari Epifani dalam diri ABH kasus narkoba. Pengertian optimisme adalah tetap meyakini segala hal buruk yang menimpa dirinya sebagai suatu momentum bersifat sementara, dan dipahami bukan sebagai akibat dari kekeliruan yang muncul dari dalam diri semata, melainkan juga dipahami akibat faktor eksternal seperti situasi tak menguntungkan, nasib atau kekeliruan dari orang lain (Seligman, 1991 dalam Aisyah, Yuwono, & Zuhri, 2015). Ketika seseorang mengalami kegagalan dalam suatu peristiwa, seorang yang optimis tidak akan putus harapan dengan tetap merencanakan suatu tindakan, kalau perlu adanya pertolongan atau nasihat, maka dirinya tak segan untuk mencarinya. Karena mereka yang optimis menganggap kegagalan bukan hal yang menetap tapi dapat diubah diwaktu mendatang (Goleman, 2005 dalam Kurniawan, Priyatama, & Karyanta, 2010). Menurut Segerestrom mengartikan bahwa optimisme merupakan cara atau metode berfikir positif yang realistik dalam memahami masalah. Optimisme berarti berfikir positif dengan cara realistik saat menghadapi masalah (Gufron, 2010 dalam Adilia, 2010).
Sebagaimana yang dikemukakan oleh para ahli bahwa optimisme memberikan manfaat, menurut Carver dan Scheier bahwa optimisme lebih memberikan dampak yang baik bagi kesehatan dan kesejahteraan dalam
hidup dibandingkan dengan pesimisme (Wade & Travis, 2007 dalam Cahyasari & Sakti, 2014).
Hasil penelitian yang dilakukan Heigel, Stuewig, dan Tangney (2010) memperjelas bahwa optimisme memiliki hubungan terhadap kesehatan mental para tahanan. Artinya optimisme dapat membantu dalam menghalangi penyakit-penyakit mental termasuk penyakit fisik. Dari keseluruhan pemaparan diatas peneliti hendak memberi perhatian khusus untuk mendalami realitas sosial mengenai anak berkonflik dengan hukum (ABH) pada kasus penyalahgunaan obat-obatan atau narkoba, dengan menggunakan konstruk teori psikologi yakni optimisme. Berikut kerangka teoritik dari penelitian ini;