BUDAYA LAMPUNG
4.6. Anak Laki-Laki (Ngakuk) dan Anak Perempuan (Ngejuk)
Ngejuk-ngakuk secara harfiah artinya memberi dan mengambil.
Di dalam adat berlaku ketentuan dari mana seseorang mengambil gadis (ngakuk) dan kepada siapa dia memberikan anak gadisnya
(ngejuk). Hal ini dikarenakan soal ngejuk-ngakuk merupakan faktor penentu dalam menentukan kemurnian dan berat ringannya darah keturunan seorang pemangku adat. adat Lampung juga ditegakkan di atas darah keturunan yang baik buruknya dinilai dari wanita yang diperistri. Adat pengakuk adalah suatu ketentuan dan cara-cara melakukan peminangan dan atau menerima peminangan dari pihak lain yang mengandung pasal-pasal hak adat seseorang berkait dengan hak atas seseorang tentang jumlah dau yang wajib dipenuhi ketika mengambil atau mengawini seorang gadis dalam lingkup keluarga yang memiliki hak adat pengakuk itu. ada perbedaan antara sereh dengan hak adat pengakuk. Sereh adalah dau (uang yang harus dibayar) atau dapat juga berupa hewan atau benda yang ditinggalkan seorang gadis yang pergi menikah sebagai pengganti dan pengisi ruangan kosong karena kepergiannya, sedangkan pengakuk adalah ‘nilai adat seseorang’ dalam hubungan perkawinan.
Dalam hal ini anak dalam masyarakat Lampung terdiri dari anak kandung, anak naken (keponakan), anak tiri dan anak pungut. anak kandung pada masyarakat Lampung pepadun terdiri dari anak
ratu dan bukan anak ratu. Anak ratu adalah anak tertua laki-laki
atau perempuan. apabila suami memiliki istri lebih dari satu orang, maka yang disebut anak ratu adalah anak laki-laki atau perempuan dari istri pertama. anak laki-laki tertua mempunyai kedudukan yang istimewa, karena ia dipandang sebagai penerus jurai (keturunan). Ia mendapat perlakuan yang istimewa dari adik-adiknya dan mempunyai panggilan penghormatan dari adik-aiknya yang disebut dengan pendia
pakusara. Pendia pakusara adalah gelar yang diberikan dalam satu
keluarga berdasarkan hubungan darah, bukan karena mengepalai atau memimpin suatu wilayah, walaupun gelar dan urutan yang diberikan adalah sama sebagaimana pimpinan wilayah. Kakak sulung laki-laki biasanya dipanggil Sutan atau Kanjeng, Raja untuk adik nomor satu Sutan; Radin untuk adik nomor dua Sutan; Mas atau Kemas untuk adik nomor tiga Sutan.
Seorang anak laki-laki, terlebih sulung laki-laki akan menjadi kebanggaan dalam keluarga Lampung. Ia akan menjadi kesayang-an kedua orkesayang-ang tukesayang-anya; dihormati oleh adik-adik dkesayang-an kelompok
ke-penyimbangannya, oleh karena ia akan mewarisi kepemimpinan
ayah nya sebagai kepala keluarga atau kepala kerabat seketurunan (sebuay). anak laki-laki merupakan pencerminan dari leluhur, maka ia harus didahulukan dari adik-adiknya selain karena ia mempunyai tanggung jawab dan memperhatikan kepentingan adik-adiknya. Se-bagaimana anak sulung laki-laki, anak sulung perempuan juga sa ngat dihormati oleh adik-adiknya. Panggilan untuk anak sulung perempuan adalah Ratu, atau Mahkota. Seorang anak perempuan diharapkan akan menjadi istri dari laki-laki yang diidealkan dalam keluarga Lampung. Dengan demikian derajat kepenyimbangan ayah nya akan terangkat bila anak perempuannya mendapat suami yang lebih atau minimal seimbang dengan kedudukan ayahnya. Saat ini yang diharapkan orang tua kepada anak-anaknya adalah agar mereka dapat menyelesaikan pendidikan ke jenjang yang paling tinggi yang mampu dicapai. Segala daya upaya akan dilakukan orang tua agar anak-anaknya dapat melan-jutkan pendidikan yang lebih tinggi dari pendidikan kedua orang tu-anya. Sebagaimana pepatah Lampung mengatakan.
Sanak pandai sanak temutuk, sai tuha pandai sina keragoman
(kalau memang anak itu baik, maka dapat digunakan dan di-ikuti, kalau orang tua yang baik, memang demikianlah yang se-harusnya).
Hubungan anak- anak perempuan dengan ibunya adalah positif. Ibunya adalah pelindung yang utama, hubungan dengan seorang pria harus melalui seorang pelindung. Pelindung dalam alasan so-sial adalah menjaga agar jangan sampai terjadi pencemaran nama baik. Pencemaran kehormatan sosial seorang wanita akan meru-pakan pencemaran sosial bagi kelompok kaun kerabatnya. Hal ini dirasakan sebagai satu penghinaan besar dan kaum kerabat prianya (saudara kandung dan saudara sepupunya) setidaknya dapat
mem-bunuh si wanita dan teman prianya. Seorang anak perempuan, akan menjadi tumpahan kasih sayang ayahnya. Rasa kasih sayang ayah kepada anak perempuannya, tidak begitu saja putus walau anak ga-dis tersebut menikah. Biarpun anak gaga-dis itu pada saat perkawinan-nya akan ke luar dari lingkungan margaperkawinan-nya (kebuayanperkawinan-nya), namun masih ada hubungan yang tetap di antara mereka, yaitu hubungan kekerabatan karena perkawinan, yang akan tetap menghubungkan wanita ini, suaminya dan lingkungannya, anak-anaknya dan keturun-annya yang laki-laki selanjutnya, dengan kerabat asalnya. Hubung an ke ke rabatan karena perkawinan inilah yang seringkali dengan aneka cara mempertemukan kelompok-kelompok kekerabatan yang berdi-ri sendiberdi-ri itu yang mencakup dalam adat Lampung, dan memperta-hankan hubungan antar kebuayan secara turun temurun. Jika adat
kebumian (hubungan antara anggota satu marga, satu kebuayan)
di bayangkan sebagai satu sistem yang bergerak dari titik-titik per-temuan antar bangsa, suku bangsa, marga dan keturunan, dari atas ke bawah, maka ngejuk-ngakuk itu menjalin benang-benangnya lin-tan pukang, dari kanan ke kiri dan sebaliknya, dan tiap-tiap kali dari sudut-sudut yang berlainan dengan sendirinya akan berbeda ujung-nya, sehingga menjadi permainan garis-garis yang amat rumit jalin menjalin. Oleh karena itu sifat sepihak, yang kiranya menjadi ciri suatu susunan kekerabatan terdekat pihak ayah yang tunggal, sangat diperlemah dan segi-seginya yang tajam dilembutkan. Si wanita se-bagai ma ta rantai antara laki-laki dan kelompok-kelompok laki-laki me nimbulkan hubungan yang mempunyai ciri-ciri yang khas sekali dan sifatnya sama sekali lain dari ciri dan sifat yang diperoleh kaum kerabat terdekat pihak ayah. Seluruh kehidupan masyarakat ternyata pada akhirnya akan penuh dengan hubungan-hubungan kekerabatan karena perkawinan sedemikian itu (Vergouwen dalam Nasoetion ge-lar Soetan Oloan, 1943).
Ketika seorang anak perempuan Lampung menikah, ungkapan perasaannya tercermin dalam pattun “Pilangan Mulei” oleh azhari Kadir di bawah ini.
Tabik nuppang bicaro Sikam pun kilui watteu Unyen gham sai tetengan Wawai pik wawai arei Panas kebian sino
Nyak diatterken unggal sukeu Dattennei kebuaiyan
Tigeh di redik waghei Mamah, papah matei wo Lajeu di segerei appeu Munih amo kemaman Mekhanai tuah kulawei Dulah pik yo jo gilo Lak ghang no dattei keu Takhun lak pigho limban Dunggak kepikan mettei Cawo lebeu, kelamo Nekeu dang guwai maleu Kak jadei kejenguman Nutuk adat perretei Tuwah unyen recako Sijo ghedeu janji keu Kututuk unyen anggan Lem rilo puas atei Mulei di libi ghabo Meghanai bebidang sukeu Ki wat nyapang aturan
Nyak mahhap sambuk mattei Iduh kapan petunggo
Nyak lapah makko watteu Pepido siwek rasan Debingei tukuk debbei Cawo sikam mak pigho Di ghuppek bebidang sukeu Sikam pun cium tangan Mahhap pai dijjo-dinnei Kekutting muat perado Sang lambung pasang tippeu Cindai jadei tambangan Teninggal keu di mattei Siger suhun papan jajo Ago guwai pepanggeu Tutuk seranjo bulan Munih buluh serrattei Payung sai toigo renno Lajeu di kandung telleu Kumbung tutuk kuwaiyan Ghang keu mandei dinnei Dulah burung gerudo Rato tutug tejegheu Kutinggal ken di luab Nyak cakak julei jak nei Nagaw adek kelamo Cecumbeu arung lebeu
Kemaman dang kelippan Mehanei itin bagei Benulung sanak tuho Bebidang tengen watteu Pagun rurang pakkalan Tando asal sebijei Pettei besi sai kubbo Mak wat yo dapek sireu Ku guwai pengekessan Tigeh sanak demughai Datuk, nenek tian wo Sikam pun kilui resteu
Nyanyek, yayik munih tengan Duo sikam kilui nyrto ei Unyen tawai tian sai meno Tano kak jadei sangeu Sedek-alek tenangan Lidah mak muno rugei Tanggeh lebeu kelamo Mak salah balin lakeu Nayahken sakai sambaiyan Tutug meutag atei
Wawai puppuik penyawo Gham ulun dang setereu Sapenken tengan jenganan Nemui dang ngabo rugei
Adik matei wo, tigo Beghadeu ganas rigeu Ilunken adat aturan Dang mamah kesel atei Katteu bak nyaman diyo Lepat salah keliteu Jejamo semahappan
Tando gham sangun waghei Puan paghek pai dijjo Udo jejano matteu Unyen amo kemaman Nyak lapah tiggau mattei Nyak mittar walin sijo Gurau unyen kak ghadau Memugo pai tetengan Tuwah sat dujung jarei Kidah lamun penano Mak wat lagei yo pindeu Kilui wawattaran
Nuwak legeh sehalei Sehajo kilui duo
Bareng gurau no ghadeu Neddo pai jamo Tuhan Beliau megang janjei Kak mitar jo tano Sai kutujeu Ghang ku mingan
artinya: Mohon maaf saya meminta waktu untuk berbicara ke pada undangan semua yang hadir di hari yang berbahagia ini. Pada hari yang cerah ini, saya diberangkatkan oleh seisi kampung, disaksikan semua perwakilan. ahli famili jauh dan dekat, seluruh kaum kerabat dan handai taulan. Papa, mama, juga nenek dan kakek, begitu juga uwak dan paman, kakak adik yang kusayangi. Kalau kupikir-pikir, (perpisahan) ini belumlah saatnya, perasaan masih belum lama, duduk di atas pangkuan bunda.
Pesan dan nasihat lebu-kelama, jangan sampai (saya) membuat malu, telah menjadi kesepakatan, adat aturan yang kita pakai. Mujur semua yang direncanakan, ini sudah menjadi suratan diri, kuikuti semua harapan, dengan rela dan lapang hati.
Semua gadis di kampung, begitu pula para bujangnya, kalau ada tingkah laku (saya) yang salah (selama dalam bergaul), maafkan saya beribu ampun. Entah kapan dapat bertemu lagi, saya pergi tak berba-tas waktu, masing-masing akan punya kesibukan, baik malam, pagi, maupun petang. Pesan saya tidak seberapa, kepada semua wakil yang hadir, terimalah sembah sujud saya, maafkan semua kesalahan.
Kendaraan berisi (kain) perada, di bagian depan (sang kusir) tinggal menunggu perintah (untuk diberangkatkan), kain cindei se bagai pengikat, kutinggalkan pada kalian. Empat susun bulan temanggul, akan kujadikan pusaka, serta seroja bulan, begitu pula bulu serattei. Payung yang tiga warna, termasuk pula tutup kepala, kumbung serta kuwayan, tempatku mandi di sana. Kalau burung garuda, rato serta perlengkapannya, kutinggalkan di halaman. Oleh karena untuk keberangkatanku ini, aku memakai joli dari sana (ke-luarga pihak laki-laki).
Salam hormat kepada kelama, tanda sayang pada lebu, paman dan uwak tidak dilupakan, kaka masing-masing dapat bagian.
Benulung tua dan muda, pada waktu-waktu tertentu, sering kunjungi
tem pat asal, tandanya kita satu keluarga.
Peti besi yang kubawa, tidak mungkin akan keliru. akan kubuat sebagai azimat, sampai di anak cucu. Datuk dan nenek, saya mohon
doa restu, nyaik (nenek) yaik (Kakek) juga menyaksikan, semoga kami diberkahi. Semua nasihat mereka dahulu, sekarang kujadikan bekal, rapih dan rajin dalam tiap pekerjaan, tutur sapa diutamakan. Pesan lebu kelama, tidak menyalahi ubah kebiasaan, pakai sifat suka memberi, termasuk menanam budi. Halus budi bahasa, kepada semua orang jangan selisih, aturlah rumah tangga, hormati tamu jangan takut rugi.
adik-adik semuanya, janganlah sering berdebat, ikuti semua aturan, jangan membuat kesal hati (orang tua kita). Kalau ada kira-nya, terdapat salah dan keliru, sama-sama saling memaafkan, itu tandanya bersaudara. Puan (paman) mendekatlah kemari, bibi bererta suami, semua paman sekalian, saya berangkat tolong disaksikan. Keberangkatan saya sekarang ini, acara gawi adat telah selesai, se-moga kita dapat menikmati, nasib untung tulisan tangan. Baik kalau demikian, tidak mungkin lagi ditunda, keberangkatan membawa berkah, sampai di akhir hayat. Khusus mohon doa restu, begitu hajat ini selesai, berdoa kepada Tuhan. Dia lah yang menentukan).
4.7. Tuan Rumah (Pihak Laki-Laki) dan Tamu (Pihak