MetODe PeneLitian
3.4. Analisis Data
Setelah data-data dikumpulkan, selanjutnya adalah pengolahan data. Pengolahan didasarkan atas klasifikasi data, yaitu merumuskan kategori-kategori (kelas-kelas) yang terdiri dari gejala yang sama atau dianggap sama (coding); Untuk memproses data dilakukan strategi penyatuan unit-unit dan kategorisasi (sorting). Penelitian ini mencoba mengungkapkan struktur di balik apa yang tampak dengan menggunakan analisis struktural Levi-Strauss; dan juga mencoba memberikan tafsir (meaning) lebih lanjut atas struktur tersebut serta kaitannya dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat Lampung dengan pisau analisis interpretatif geertz. Levi-Strauss memandang fenomena sosial budaya, seperti misalnya pakaian, menu makanan, mitos, ritual, seperti halnya gejala kebahasaan, yaitu sebagai ‘kalimat’ atau ‘teks’. Kita dapat menemukan berbagai macam gejala sosial-budaya seperti kalimat, karena adanya beberapa syarat terpenuhi, yaitu: pertama, gejala tersebut mempunyai makna tertentu yang menunjukkan adanya pemikiran-pemikiran tertentu; kedua, mereka menghasilkan makna lewat semacam mekanisme artikulasi (Pettit, 1977:42, ahimsa-Putra, 2001:31). ada tiga macam fenomena seni yang memiliki ciri-ciri seperti kalimat, yaitu fenomena seni sastra (literary arts) yang naratif, dramatik, dan sinematik; fenomena seni bukan sastra (non-literary arts), seperti misalnya musik, arsitektur dan lukisan; fenomena seni adat (customary arts), seperti pakaian, masakan.
Sebagaimana cara analisis struktural Levi-Strauss, maka de-ngan mengidentifikasikan cangget sebagai ‘teks’, dicoba digali model struktural yang dimungkinkan ada di dalam cangget. Namun analisis struktural atas cangget ternyata lebih kompleks dari analisis atas mitos dan kekerabatan yang telah dilakukan oleh Levi-Strauss.
Cangget --sebagai ‘teks’ seni pertunjukan-- memiliki unsur-unsur
yang rumit karena mengaitkan unsur-unsur fisik dari apa yang bisa dilihat (seni visual) dan apa yang bisa didengar (seni audio). Tari menjadi sarat makna namun dapat dipahami karena seni merupakan ekspresi budayawi yang mengungkap pengalaman insan-insan bu-daya berinteraksi dengan realitas yang dijumpai dalam kehidupan masyarakat. Secara struktur, cangget mencakup aspek gerak, musik, vokal, teater, yang di dalamnya terdapat wujud yang harus dianalisis secara berlapis-lapis (multilinear). analisis struktur cangget dilakukan dengan memilah-milahnya ke dalam unsur seni pertunjukan guna mencari makna tertentu yang menunjukkan pemikiran-pemikiran tertentu. aspek pelaku (pendukung) pertunjukan, tempat pertunjukan, waktu pertunjukan, peralatan, aturan-aturan, merupakan unsur-unsur yang diasumsikan memiliki makna dan pemikiran bagi masyarakat Lampung. Walaupun aspek gerak merupakan hal terpenting di dalam analisis tari—pada penelitian ini aspek gerak dicatat dengan menggunakan notasi Laban, sebagaimana kajian atas tari pada umumnya-- namun di dalam kajian ini aspek gerak lebih difokuskan pada kesatuan makna yang terdapat dalam keseluruhan konteks tari dan fenomena sosial budaya masyarakat Lampung.
Perspektif struktural Levi-Strauss memandang bahasa dan kebudayaan sebagai hasil dari aneka aktivitas yang berasal dari
uninvited guest yakni nalar manusia (human mind). Jadi korelasi
antara bahasa dan kebudayaan bukan merupakan hubungan sebab akibat (kausal) tetapi merupakan produk atau hasil dari aktivitas nalar manusia. Untuk memahami nalar manusia tersebut maka per-hatian ditujukan pada persamaan-persamaan dan perbedaan tertentu, kemudian mencoba untuk mendapatkan ceriteme yang ada di
dalamnya. Ceriteme di sini mirip dengan mytheme dalam analisis Levi-Strauss, yang oleh ahimsa-Putra disebut sebagai ceriteme. Di dalam literary arts, ceriteme adalah kata-kata, frase, kalimat, bagian dari alinea, atau alinea yang dapat kita tempatkan dalam relasi tertentu dengan ceriteme yang lain sehingga dia kemudian menampakkan makna-makna tertentu. Ceriteme ini bisa mendeskripsikan suatu pengalaman, sifat-sifat, latar belakang kehidupan, interaksi atau hubungan sosial, status sosial ataupun hal-hal lain dari tokoh yang dianggap penting bagi analisis kita. Tentu saja derajat kepentingan setiap ceriteme di sini bersifat relatif. Ceriteme juga tersebar di berbagai tempat dalam konteks cerita. Oleh karena itu, kita harus menyusun mereka kembali secara horizontal (sintagmatis) dan ver-tikal (paradigmatis) (Levi-Strauss, 1963) agar pesan dalam
ceriteme-ceriteme dapat ditangkap lebih mudah. Dengan cara itu akan dapat
ditemukan beberapa persamaan dan perbedaan yang memperlihatkan adanya variasi-variasi dari sebuah tema. Tafsir dan analisis atas episode serta struktur dari ceriteme inilah kemudian yang dapat mem berikan jawaban atas pertanyaan bagaimana nalar kemanusiaan tersebut.
Di dalam analisis atas struktur cangget, ceriteme atas aspek per tunjukan menemukan model berpasangan, yakni oposisi binair yang menempatkan pasangan yang saling berlawanan namun juga saling mengisi antara cangget dan igol; liyom dan pi-il; rasa malu dan rasa harga diri; perempuan dan laki-laki; tuan rumah dan tamu. Dalam analisis selanjutnya cangget dikorelasikan dengan ritual yang dilegitimasikan olehnya, yakni upacara perkawinan (begawi cakak
pepadun). Pada cangget dan perkawinan tersembunyi
struktur-struktur tertentu, yakni sistem nilai, dan struktur-struktur sosial masyarakat Lampung. Cara yang digunakan untuk mengupas cangget dalam fungsi sosial masyarakat Lampung adalah mencoba menemukan antara istilah-istilah kekerabatan dengan perilaku-perilaku atau interaksi sosial antar individu atau kerabat yang menampakkan ko relasi pada tingkat struktur guna memahami maknanya. Dalam
menganalisis cangget dan perkawinan terdapat model yang ter-bentuk dari penggabungan dua oposisi berpasangan yaitu model segi tiga tegak (upright triangle) atau dalam istilah Lampung disebut sebagai tungku tiga batu, yang merupakan struktur kedua (setelah pasangan oposisi binair) dalam struktur nilai budaya dan struktur sosial masyarakat Lampung. Tungku tiga batu adalah penggambaran tempat untuk ‘memasak’ guna meletakkan belanga (kuali, wadah memasak makanan) di atasnya. Hal ini diasumsikan bahwa belanga juga merupakan tempat menyatunya ‘makanan’ sebagai ‘sumber kehidupan’, dan juga menyatunya dua unsur yang berbeda (oposisi binair: laki-laki dan perempuan) yang terjadi di dalam perkawinan. Di dalam falsafah Melayu, menyatunya kedua unsur pasangan pe-ngantin tercermin dalam kata kiasan ‘asam di gunung, garam di laut,
bertemu juga dalam belanga’.
Dalam teks cangget dan perkawinan (begawi cakak pepadun) ditemukan ccriteme-ceriteme yang memperlihatkan oposisi-oposisi berpasangan, yang kemudian disatukan, seolah-olah diredam opo-sisinya, oleh criteme-criteme yang lain, yang kemudian membang-kitkan citra kesatuan, keseimbangan dan kekuatan. Segitiga tegak yang merupakan struktur di balik relasi antar struktur kekerabatan orang Lampung mencerminkan tiga komponen dalam nalar orang Lampung, yakni kelompok kekerabatan berdasarkan ikatan keturun-an, kelompok kekerabatan berdasarkan ikatan adat, dan kelompok berdasarkan ikatan perkawinan. Dalam perkawinan terdapat ke-lompok pemberi anak dara (pihak perempuan), dan keke-lompok pe-nerima anak dara (pihak laki-laki) yang diasumsikan juga sebagai kelompok ‘tamu’ (pihak perempuan) dan ‘tuan rumah’ (pihak laki-laki). Dalam sistem kekerabatan yang didasarkan keturunan patrilineal ini, --pihak laki-laki--, garis keturunan ayah adalah kelompok yang harus dibela segala kepentingan hidupnya oleh pihak laki-laki. Dalam hal ini kelompok perempuan atau istri adalah ‘tamu’ yang sangat dihormati dalam kekerabatan laki-laki, namun tidak dapat mewakili kepentingan pihak laki-laki di dalam bentuk apa pun.
Perkawinan adalah elemen antara yang menjembatani masuknya pengantin ke dalam kelompok pemimpin adat. Di dalam segitiga ter sebut oposisi-oposisi binair kemudian ditengahi oleh elemen lain yang kemudian membentuk oposisi binair dengan oposisi binair sebelumnya. Elemen baru, elemen ‘antara’, menjembatani oposisi binair yang telah ada, namun sekaligus juga menyatukan elemen-elemen yang semula berlawanan, karena dengan adanya elemen ‘antara’ tersebut, kini elemen-elemen yang berlawanan tadi menyatu dalam satu posisi, yang bertentangan dengan elemen ‘an-tara’. Perkawinan menempatkan individu berada dalam kawasan liminal (Victor Turner, 1967). Liminal adalah dua kawasan dunia yang berbeda, baik itu dunia kultural maupun dunia sosial mereka. Perkawinan adalah proses berpindahnya seseorang dari kelompok kanak-kanak menjadi golongan pemimpin atau tetua adat yang dihubungkan dengan perkawinan yang merupakan ‘proses antara’. Elemen antara menjembatani oposisi binair yang telah ada, namun sekaligus juga menyatukan elemen-elemen yang semula berlawanan, karena dengan adanya elemen ‘antara’ tersebut, kini elemen-elemen yang berlawanan tadi menyatu dalam satu posisi, yang bertentangan dengan elemen ‘antara’. Di dalam upacara perkawinan, hal ini ter-cermin dalam urutan-urutan cangget yang dipergelarkan, yaitu
Cangget Pilangan (beralihnya seorang anak menjadi gadis –muli--,
sehingga bisa mewakili ayahnya di sesat); Cangget Penganggik (saat perkawinan, fase ‘antara’, liminal); dan Cangget Agung (men jadi tetua adat, sehingga kedudukannya di dalam sesat harus diwakili seorang muli). Dengan adanya elemen baru ini terciptalah satu nilai yang disebut oleh orang Lampung sebagai kesempurnaan sebagaimana yang tertuang dalam falsafah seruas tiga buku, tiga
genap dua ganjil. Tiga komponen yang harus dimiliki oleh orang
Lampung, benuwa-begawi, cakak pepadun, terjadi bersamaan de-ngan terlaksananya upacara perkawinan. Struktur segitiga tegak di balik data etnografis ini menggambarkan konsepsi atau cara nalar orang Lampung (Lampung-ness mind) menampilkan kesatuan,
keseimbangan, kekuatan. Struktur segitiga tegak muncul dari pena-laran yang berada pada tataran nirsadar masyarakat Lampung dalam menempatkan pemahaman nilai-nilai budaya dan kedudukan sosial seseorang yang menggambarkan konsepsi orang Lampung akan nilai kehormatan dalam kedudukan sosial. Kedudukan dan kehormatan orang Lampung bersumber pada adat cepala-adat pengakuk- dan
adat kebumian yang harus kokoh agar tidak terguling. Sebagaimana
kedudukan, sebuah kehormatan, haruslah kokoh ditunjang oleh tiga dasar agar seseorang menjadi ‘sempurna’ baik sebagai manusia, dan sebagai makhluk sosial.
Proses pengolahan data bersamaan penafsiran data, ekstrapolasi data dan pemaknaan atau meaning, dilakukan dengan cara yang ditunjukkan oleh ahimsa-Putra (2001) ketika menganalisis do-ngeng masyarakat suku Bajo dan novel Umar Kayam, yakni de-ngan analisis struktural-hermeneutik ahimsa-Putra mede-nganalisis tafsir atas episode serta struktur dari ceriteme untuk memberikan jawaban atas pertanyaan bagaimana nalar kemanusiaan dan pe-doman hidup masyarakat Bajo dan Jawa (dalam novel Umar Kayam) dapat dipahami. geertz (1973) mengatakan bahwa simbol, makna, konsepsi, bentuk, teks adalah ‘kebudayaan’. Bagi geertz, pertanyaan yang paling penting dalam interpretasi atas kebudayaan adalah “bagaimana kita harus membangun suatu kisah tentang suatu susunan imajinatif sebuah masyarakat”. Dengan memandang
cangget sebagai kebudayaan, maka interpretasi dilakukan sebagai
suatu usaha perbandingan untuk memahami arti hukum dan fakta dalam sudut pandang komunitas yang memiliki tata hukum tersebut. Hukum sebagai bagian dari perilaku yang berbeda karakter dari pengimajinasian ‘kenyataan’. Hal ini harus terlebih dahulu dengan memahami ‘bahasa’ sebagai sistem simbol dan memahami dialektika. Oleh karena itu pengertian ‘benar’ dan ‘salah’ dalam hukum haruslah dipahami dalam konstruksi kebahasaan mengenai apa yang disebut ‘salah’ dan apa yang disebut ‘benar’ dalam konteks komunitas lokal (native’s point of view). Dalam hal ini peneliti adalah seorang aktor
yang melibatkan diri di tengah peristiwa. Sebagai orang yang telah hidup sekian puluh tahun di kalangan orang Lampung, peneliti sesungguhnya juga telah melakukan ‘penelitian’.
Tahap terakhir adalah pelaporan (writing). Kajian ini mengupas oposisi, relasi dari semua aspek pertunjukan di dalam cangget, dan struktur segitiga tegak yang terdapat dalam pola budaya dan struktur sosial masyarakat Lampung. Struktur-struktur ini mencerminkan prinsip nalar orang Lampung dalam memandang, menafsirkan, dan memahami dunia seputar mereka. Simpulan dari informasi yang dibentuk merupakan satu gambaran mengenai nilai budaya dan identitas kultural Lampung. Melalui cangget yang merupakan jaringan makna dari pengakuan-pengakuan rasionalitas keberadaan orang Lampung, ditemukan bahwa di balik cangget berdiam struktur nalar orang Lampung.