• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

B. Anak Usia Prasekolah

Anak usia pra-sekolah adalah anak yang berusia tiga sampai enam tahun (Supartini, 2004 dan Hasan, 2009). Pada anak pra-sekolah, pertumbuhan berlangsung secara stabil, terjadi perkembangan dengan aktivitas jasmani yang bertambah dan meningkatnya keterampilan dan proses berpikir (Narendra, 2002). Kombinasi pencapaian biologis, psikososial, kognitif, spiritual, dan sosial selama periode pra-sekolah, yakni mempersiapkan anak pra-sekolah untuk perubahan gaya hidup yang paling bermakna sebelum anak masuk sekolah (Wong, 2008).

Anak pra-sekolah memiliki karakteristik sebagai individu yang ingin tahu, dapat berpikir secara intuitif, dan mengajukan pertanyaan hampir segala hal. Mereka ingin tahu alasan, sebab, dan maksud segala sesuatu (mengapa) dapat terjadi tetapi tidak merisaukan proses (bagaimana) kejadiannya. Fantasi dan realitas tidak dapat dibedakan dengan baik (Bastable, 2002). Pada usia pra-sekolah rasa ingin tahu yang pertama kali muncul adalah mengenai perbedaan struktur tubuh antara anak laki-laki dan perempuan serta anak-anak dan dewasa (Wong, 2008). Hal ini sejalan dengan tugas perkembangan anak usia pra-sekolah adalah menguatkan rasa identitas gender dan mulai membedakan perilaku sesuai gender yang didefinisikan secara sosial (Potter, 2005). Belajar mengenal peran-peran seksual, selain berarti memperkenalkan anak pada kelompok jenis kelaminnya, juga pada sifat, sikap dan peran yang diharapkan dari dirinya sesuai jenis kelaminnya (Skripsiadi, 2005).

Montessori beranggapan bahwa tahap perkembangan pada rentang usia tiga hingga enam tahun, terjadi kepekaan untuk peneguhan sensori dan semakin memiliki kepekaan indrawi, yang masuk ke dalam masa keemasan atau golden age. Pada masa keemasan (golden age), terjadi transformasi yang luar biasa pada otak dan fisiknya, namun juga termasuk ke dalam masa rapuh. Oleh karena itu, masa keemasan ini sangat penting bagi perkembangan intelektual, emosi, dan sosial anak di masa yang akan datang dengan memperhatikan dan menghargai keunikan setiap anak. Apabila masa keemasan ini sudah terlewati, maka tidak dapat tergantikan. Perkembangan yang terjadi pada masa ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak selanjutnya (Asmani, 2009).

2. Tumbuh kembang anak prasekolah a. Perkembangan biologis

Kecepatan pertumbuhan fisik melambat dan semakin stabil selama masa pra-sekolah. Postur tubuh anak pra-sekolah lebih langsing tetapi kuat, anggun, tangkas, dan tanggap. Namun hanya ada sedikit perbedaan dalam karakteristik fisik sesuai dengan jenis kelamin, kecuali yang ditentukan oleh faktor lain seperti pakaian dan potongan rambut. Pada anak usia pra-sekolah sebagian besar sistem tubuh telah matur dan stabil serta dapat menyesuaikan diri dengan stress dan perubahan yang moderat. Selama periode ini sebagian besar anak sudah menjalani toilet training. Perkembangan motorik terjadi pada sebagian besar peningkatan kekuatan dan penghalusan keterampilan yang telah diajari sebelumnya, seperti berjalan, berlari, dan melompat.

Namun, perkembangan otot dan pertumbuhan tulang masih jauh dari matur. Penghalusan koordinasi mata-tangan dan otot jelas terbukti dalam beberapa area. Perkembangan motorik halus jelas terbukti pada keterampilan anak, seperti dalam menggambar dan berpakaian (Wong, 2008).

b. Perkembangan psikososial

Tugas psiko-sosial utama pada periode pra-sekolah adalah menguasai rasa inisiatif. Pada tahap perkembangan ini anak sedang dalam stadium belajar energik. Meraka bermain, bekerja, dan hidup sepenuhnya serta merasakan rasa pencapaian dan kepuasan yang sebenarnya dalam aktivitas mereka. Konfik timbul ketika anak telah melampaui batas kemampuan mereka dan memasuki serta mengalami rasa bersalah karena tidak berperilaku atau bertindak dengan benar. Perasaan bersalah, cemas, dan takut juga bisa berakibat oleh pikiran yang berbeda dengan perilaku yang diharapkan.

Perkembangan superego atau kesadaran telah dimulai pada akhir masa toddler dan merupakan tugas utama untuk anak pra-sekolah. Mempelajari kebenaran dari kesalahan dan mempelajari kebaikan dari keburukan adalah permulaan moralitas (Wong, 2008).

c. Perkembangan kognitif

Piaget dalam teori perkembangan kognitifnya memasukan anak sekolah yang berusia 3 hingga 6 tahun berada pada tahap pra-operasional. Ciri menonjol pada tahap ini dalam perkembangan intelektual adalah egosentrisme, hal ini bukan berarti egois atau

berpusat pada diri sendiri, tetapi ketidakmampuan untuk menempatkan diri sendiri di tempat orang lain. Anak menginterpretasikan objek atau peristiwa, tidak dari segi umum, melainkan dari segi hubungan mereka atau penggunaan mereka terhadap objek tersebut. Mereka tidak dapat melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda dengan yang dimilikinya, mereka tidak dapat melihat sudut pandang orang lain, dan mereka juga tidak dapat mengetahui alasan untuk melakukannya.

Berpikir pra-operasional bersifat konkret atau nyata. Anak-anak tidak dapat berpikir melebihi yang terlihat, dan mereka kurang mampu membuat deduksi atau generalisasi. Pemikiran didominasi oleh apa yang mereka lihat, dengar, atau alami. Akan tetapi, mereka semakin dapat menggunakan bahasa dan simbol untuk mewakili objek yang ada di lingkungan mereka. Melalui bermain imajinatif, bertanya, dan interaksi lainnya, mereka mulai membuat konsep dan membuat hubungan sederhana antar-ide. Pada tahap akhir periode ini pemikiran mereka bersifat intuitif (misalnya bintang harus pergi tidur karena mereka juga tidur) dan mereka baru mulai menghadapi masalah berat badan, tinggi badan, ukuran, dan waktu. Cara berpikir juga bersifat transduktif karena dua kejadian terjadi bersamaan, mereka saling menyebabkan satu sama lain, atau pengetahuan tentang satu ciri dipindahkan ke ciri lain (misalnya semua wanita yang berperut besar pasti hamil).

Bahasa terus berkembang selama periode pra-sekolah. Berbicara terutama masih menjadi pembawa komunikasi egosentris.

Anak pra-sekolah berasumsi bahwa setiap orang berpikir seperti yang mereka pikirkan dan penjelasan singkat mengenai pemikiran mereka membuat keseluruhan pemikiran mereka dipahami oleh orang lain. Adanya komunikasi verbal yang merujuk pada diri sendiri dan bersifat egosentris ini maka mengeksplorasi dan memahami pikiran anak kecil sering kali dibutuhkan melalui pendekatan nonverbal lainnya. Anak pada kelompok usia ini, metode yang paling menyenangkan dan efektif adalah bermain, yang menjadi cara anak untuk memahami, menyesuaikan dan mengembangkan pengalaman hidup.

Anak pra-sekolah semakin banyak menggunakan bahasa tanpa memahami makna dari kata-kata tersebut, terutama konsep kanan dan kiri, sebab-akibat, dan waktu. Anak bisa menggunakan konsep secara benar tetapi hanya dalam keadaan yang telah mereka pelajari.

Pemikiran anak pra-sekolah sering kali dijelaskan sebagai pikiran magis. Karena egoisentrisme dan alasan transduktif mereka, mereka percaya bahwa pikiran adalah yang paling berkuasa. Pikiran tersebut menempatkan mereka pada posisi yang rentan untuk merasa bersalah dan bertangguang jawab terhadap pikiran buruk, yang secara kebetulan terjadi sesuai dengan kejadian yang diharapkan. Ketidakmampuan untuk merasionalisasi sebab-akibat suatu penyakit atau cidera secara logis menyulitkan meraka memahami kejadian tersebut (Wong, 2008). d. Perkembangan moral

Teori Kohlberg menempatkan anak sekolah pada tingkat pra-konvensional atau pra-moral. Perkembangan penilaian moral anak

kecil sedang berada pada tingkat paling dasar. Mereka berperilaku sesuai dengan kebebasan atau batasan yang berlaku pada suatu tindakan. Anak menghindari hukuman dan mematuhi tanpa mempertanyakan siapa yang berkuasa untuk menentukan dan memperkuat aturan dan label (benar atau salah). Anak akan menentukan bahwa perilaku yang benar terdiri atas sesuatu yang memuaskan kebutuhan mereka sendiri dan terkadang kebutuhan orang lain. Walaupun unsur-unsur keadilan, memberi dan menerima serta pembagian yang adil juga terlihat pada tahap ini. Hhal tersebut diinterpretasikan dengan cara yang sangat praktis dan konkret tanpa kesetiaan, rasa terima kasih, atau keadilan (Wong, 2008).

e. Perkembangan spiritual

Pengetahuan anak tentang kenyakinan dan agama dipelajari dari orang lain yang bermakna dalam lingkungan mereka, biasanya dari orang tua dan praktik keagamaan mereka. Namun, pemahaman anak kecil mengenai spiritual dipengaruhi oleh tingkat kognitifnya. Anak pra-sekolah memiliki konsep konkret mengenai Tuhan dengan karakteristik fisik, yang sering kali menyerupai teman imaginer mereka. Mereka mengerti kisah sederhana dari kitab suci dan menghapal doa-doa yang singkat, tetapi pemahaman mereka mengenai ritual ini masih terbatas.

Perkembangan kesadaran sangat terkait dengan perkembangan spiritual. Pada usia ini anak mempelajari kebenaran dari kesalahan dan berperilaku dengan benar untuk menghindari hukuman. Perbuatan

salah mengartikan penyakit sebagai hukuman akibat pelanggaran mereka yang nyata atau khayalan. Penting bagi anak untuk memandang Tuhan sebagai pemberi cinta tanpa syarat, bukan sebagai hakim dari perilaku baik atau buruk (Wong, 2008).

f. Perkembangan citra tubuh

Masa pra-sekolah memainkan peranan penting dalam perkembangan citra tubuh. Meningkatnya pemahaman bahasa, anak pra-sekolah mengenali bahwa individu memiliki penampilan yang diinginkan dan yang tidak diinginkan. Mereka mengenali perbedaan warna kulit dan identitas rasial serta rentan mempelajari prasangka dan bias. Mereka menyadari makna kata seperti “cantik” atau “buruk”, dan penampilan mereka mencerminkan pendapat orang lain. Pada usia 5 tahun anak mulai membandingkan ukuran tubuhnya degan teman sebaya dan bisa menjadi sadar bahwa mereka tinggi atau pendek, terutama jika orang lain mengatakan mereka “sangat besar” atau “sangat kecil” untuk usia mereka. Meskipun perkembangan citra tubuh telah maju, anak pra-sekolah tidak dapat mendefinisikan ruang lingkup tubuhnya dengan baik dan mereka hanya memiliki sedikit pengetahuan mengenai anatomi internalnya (Wong, 2008).

g. Perkembangan seksualitas

Freud menempatkan anak pra-sekolah dalam teori psikoseksualnya berada pada tahap falik, dimana selama tahap ini genital menjadi area tubuh yang menarik dan sensitif. Anak mengetahui perbedaan jenis

kelamin dan menjadi ingin tahu tentang perbedaan tersebut. Fase yang sangat penting pada perkembangan seksual pada masa ini yaitu, mengenal identitas dan kepercayaan seksual individu secara menyeluruh. Anak usia pra-sekolah menguatkan rasa identitas gender dan mulai membedakan perilaku sesuai gender yang didefinisikan secara sosial. Proses pembelajaran ini terjadi dalam perjalan interaksi normal orang dewasa-anak dari boneka yang diberikan kepada anak, pakaian yang dikenakan, permainan yang dimainkan, dan respon yang dihargai. Anak juga mengamati perilaku orang dewasa, mulai untuk menirukan tindakan orang tua yang berjenis kelamin sama, dan mempertahankan atau memodifikasi perilaku yang didasarkan pada umpan balik orang tua.

Pada tahap ini eksplorasi tubuh merupakan perkembangan yang sedang dialami anak. Eksporasi dapat mencakup mengelus diri sendiri, manipulasi genital, memeluk boneka, hewan peliharaan, atau orang di sekitar mereka; dan percobaan sensual lainnya. Sementara mempelajari bahwa tubuh itu baik dan bahwa stimulasi tertentu itu menyenangkan, anak dapat juga diajarkan tentang perbedaan perilaku yang bersifat pribadi versus publik. Permainan dengan pasangan jenis kelamin dapat ditangani dengan cara seperti apa adanya. Orang tua dapat menginterpretasi rasa keingintahuan yang ditunjukan sebagai suatu indikasi yang menandakan bahwa anak telah siap untuk belajar tentang perbedaan dan nama-nama yang sesuai untuk genitalia perempuan dan laki-laki.

Pertanyaan mengenai reproduksi seksual bisa sampai ke bagian depan pencarian anak prasekolah, bahkan pertanyaan tentang dari mana bayi berasal atau perilaku seksual yang diamati oleh anak harus dijelaskan secara terbuka, jujur, dan sederhana. Bahkan jika pertanyaan tidak dijawab, kesempatan pembelajaran harus tetap diberikan melalui menunjuk pada wanita yang sedang hamil atau perilaku hewan di kebun binatang atau melalui diskusi tentang seksualitas sebagai tindak lanjut dari cerita atau program televise yang melibatkan topik ini (Potter dan Perry, 2005; Wong, 2008).

h. Perkembangan sosial

Selama periode pra-sekolah proses individualisasi-perpisahan sudah komplet. Anak pra-sekolah telah mengatasi banyak kecemasan yang berhubungan dengan orang asing dan ketakutan akan perpisahan pada tahun-tahun sebelumnya. Mereka dapat berhubungan dengan orang yang tidak dikenal dengan mudah dan menoleransi perpisahan singkat dari orang tua dengan sedikit atau tanpa protes. Namun, mereka masih membutuhkan keamanan dari orang tua, penerangan, bimbingan, dan persetujuan, terutama ketika memasuki masa prasekolah atau sekolah dasar (Wong, 2008).

C. Pendidikan Seks

Dokumen terkait