• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengalaman ibu dalam memberikan pendidikan seks pada anak usia prasekolah (3–6 tahun) di PAUD Menur rw. 09 kelurahan Cipinang Jakarta Timur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengalaman ibu dalam memberikan pendidikan seks pada anak usia prasekolah (3–6 tahun) di PAUD Menur rw. 09 kelurahan Cipinang Jakarta Timur"

Copied!
118
0
0

Teks penuh

(1)

PENGALAMAN

PENDIDIKAN SEKS PADA ANAK USIA

PRASEKOLAH (3

09 KELURAHAN CIPINANG JAKARTA TIMUR

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF

i

PENGALAMAN IBU DALAM MEMBERIKAN

PENDIDIKAN SEKS PADA ANAK USIA

PRASEKOLAH (3-6 TAHUN) DI PAUD MENUR RW.

09 KELURAHAN CIPINANG JAKARTA TIMUR

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF

HIDAYATULLAH

JAKARTA

1435 H/2014 M

DALAM MEMBERIKAN

PENDIDIKAN SEKS PADA ANAK USIA

6 TAHUN) DI PAUD MENUR RW.

09 KELURAHAN CIPINANG JAKARTA TIMUR

Gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

(2)
(3)
(4)
(5)

v

RIWAYAT HIDUP

Nama : Sumaryani

Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta 27 Juni 1991 Status Pernikahan : Belum menikah

Alamat : Jl. Cipinang Lontar II Rt.007/Rw.009 No.15 Kelurahan Cipinang Kecamatan Pulogadung Jakarta Timur 13240

Telepon : 085695348117

Email : ryani_chan@yahoo.com

Riwayat Pendidikan

1. TK Bhayangkari 16 [1996-1997]

2. SD Negeri Cipinang 05 Jakarta Timur [1997-2003] 3. SMP Negeri 92 Jakarta Timur [2003-2006] 4. SMA Negeri 31 Jakarta Timur [2006-2009]

Pengalaman Pelatihan, Seminar, dan Workshop:

1. Peserta Nursing Camp Ikatan Lembaga Mahasiswa Ilmu Keperawatan (ILMIKI) Wilayah III (DKI Jakarta Jawa Barat dan Banten) “Memaksimalkan Peran Organisasi Keperawatan Dalam Menghadapi Tantangan Global” tahun 2011

2. Seminar Kesehatan Masyarakat “Thinking Before Eating berlebihankah konsumsi MSG anda” tahun 2011

3. Seminar “Role of Bioinformatics in Biological Sequence Analysis and Genomic Epidemiology” tahun 2012

4. Workshop Nasional “Uji Kompetensi Keperawatan” Tahun 2012

(6)

vi

(7)

vii

LEMBAR PERSEMBAHAN

Skripsi bagaikan kumpulan ilmu, keringat, jerih payah, dan suka duka selama 4 tahun menjalani bangku perkuliahan. Lembar ini saya dedikasikan untuk mereka yang selalu sedia membantu dan menyemangati. Terima kasih sedalam-dalamnya

saya ucapkan kepada:

Allah SWT yang senantiasa telah melimpahkan rahmat serta karuniaNya.

Kedua orang tua tercinta yang telah senantiasa memberikan cinta, kasih sayang, bantuan secara langsung maupun tidak langsung dan selalu mendoakan untuk

keberhasilan saya.

Kakak-kakak saya tersayang (Sumarni Tuti Mardiah Kiah Marliah dan Ahmad Abdul Rojak) yang selalu memberi tawa dan celotehan-celotehan yang

memotivasi saya untuk segara menyelesaikan tugas akhir saya ini.

Sahabat-sahabat saya yang telah memberikan keceriaan selama 4 tahun belajar bersama (Anggi Arum Ayu Inggar Sheshe Sumi Tiwi Winda dan Yanti) yang

tak pernah luput canda, tawa, bantuan, semangat, dan doa yang selalu diberikan kepada saya.

Sahabat group ONE (Adelia Nining Qoys Rusmanto dan Ummi) yang telah bersama-sama untuk saling membantu medukung memotivasi dan bertukar

pikiran dalam menyelasaikan tugas akhir ini.

(8)

viii PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Skripsi Januari 2013

Sumaryani NIM: 109104000030

Pengalaman Ibu Dalam Memberikan Pendidikan Seks Pada Anak Usia Prasekolah (3 Hingga 6 Tahun) di PAUD Menur RW.09 Kelurahan Cipinang Jakarta timur

x + 87 halaman + 4 lampiran

ABSTRAK

Perilaku seksual yang ditunjukan anak khususnya usia prasekolah dalam memuaskan rasa keingintahuan terkait eksploitasi seks merupakan suatu indikasi orang tua khususnya ibu dalam menginterpretasikan rasa keingintahuan yang ditunjukan anak sebagai petanda bahwa anak siap untuk diberikan pendidikan seks. Masalahnya seks masih dianggap tabu untuk dibicarakan khususnya pada anak usia 3 hingga 6 tahun apalagi untuk mengajarkannya kepada anak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengalaman ibu dalam memberikan pendidikan seks pada anak usia prasekolah (3 hingga 6 tahun). Metode yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan desain studi fenomenologis deskriptif pengambilan data penelitian dilakukan dengan wawancara mendalam. Informan dipilih dengan teknik purposive sampling. Informan pada penelitian ini adalah ibu yang memiliki anak usia 3 hingga 6 tahun yang bersekolah di PAUD Menur. Data dianalisis menggunakan metode Colaizzi. Penelitian ini mengidentifikasikan 5 tema yaitu: (1) Ibu sebagai pemberi pendidikan seks utama pada anak (2)Persepsi ibu mengenai pendidikan seks pada anak prasekolah (3)Pengetahuan ibu mengenai pendidikan seks (4)Sikap ibu dalam memberikan pendidikan seks pada anak prasekolah dan (5)Faktor-faktor yang mempengaruhi ibu dalam memberikan pendidikan seks pada anak. Hasil penelitian menunjukan bahwa ibu merupakan pemberi pendidikan seks utama pada anak. Peran ayah tidak terlihat. Ibu percaya pentingnya pendidikan untuk anak namun tidak memiliki pengetahuan dan pemahaman yang cukup baik mengenai pendidikan seks khususnya pada anak usia prasekolah. Orang tua perlu meningkatkan pemahaman serta pengetahuannya mengenai pendidikan seks pada anak khususnya usia prasekolah. Penambahan program pendidikan seks di PAUD akan membantu orang tua dan anak terkait perkembangan seksual anak.

(9)

ix NURSING SCIENCE PROGRAM

FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES

SYARIF HIDAYATULLAH STATE ISLAMIC UNIVERSITY JAKARTA

Undergraduate Thesis January 2014 Sumaryani NIM : 109104000030

Mothers Experience In Providing Sex Education In Preschooler ( 3 to 6 years ) in PAUD Menur RW.09 Cipinang Village East Jakarta

xii + 87 pages + 4 appendixes

ABSTRACT

Sexual behavior is shown in the preschool age children especially satisfying curiosity related to sexual exploitation is an indication of parents, especially mothers in interpreting child's curiosity as a marker indicated that the child is ready to be given sex education. The problem of sex still considered taboo, especially in children aged 3 to 6 years let alone teach it to children. This study aims to determine the mother's experience in providing sex education to preschool children (3 to 6 years). The method used is a qualitative research study design descriptive phenomenological research data collection is done by in-depth interviews. Informants were selected by purposive sampling technique. Informants in this study were mothers of children aged 3 to 6 years old who attend PAUD Menur. Data were analyzed using Colaizzi method. This study identifies five themes namely:(1)Mother as the main providers of sex education on children (2)Mother perceptions regarding sex education in preschool children

(3)Mother knowledge about sex education( 4 ) The attitude of the mother in delivering sex education in preschool children and ( 5 ) the factors affecting the mother in providing sex education to children . The results showed that mothers are the main providers of sex education in children. The role of the father is not visible. Mother believes the importance of education for children but do not have sufficient knowledge and understanding of both the sex education especially in preschool children. Parents need to increase the understanding and knowledge about sex education to children, especially preschoolers. The addition of sex education programs in PAUD will help parents and children related to sexual development of children.

(10)

x

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakatuh

Alhamdulillahirabbil’alamin segala puji bagi Allah yang telah memberikan rahmat dan karuniaNya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “PENGALAMAN IBU DALAM MEMBERIKAN PENDIDIKAN SEKS PADA ANAK USIA PRASEKOLAH (3-6 TAHUN) DI PAUD MENUR RW. 09 KELURAHAN CIPINANG JAKARTA TIMUR”.

Skipsi ini dibuat untuk memenuhi tugas akhir perkuliahan guna memenuhi persyaratan gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep).

Terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Karena itu, penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Komarudin Hidayat selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Prof. Dr (hc). dr. M.K. Tadjudin, Sp.And selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Ns. Waras Budi Utomo, S.Kep, M.KM selaku Ketua Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Ibu Maftuhah, M.Kep, PHD selaku pembimbing I yang telah membimbing

serta mengarahkan penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

5. Bapak Jamaludin, S.Kp.,M.Kep selaku pembimbing II yang telah mengoreksi serta menyetujui penulis untuk mengajukan skripsi ini.

6. Segenap Bapak dan Ibu Dosen atau Staf Pengajar Program Studi Ilmu Keperawatan yang telah memberikan ilmu pengetahuannya kepada peneliti selama duduk pada bangku kuliah serta staf akademik Bapak Azib Rosyidi, S.Psi dan Ibu Syamsiyah yang telah banyak membantu.

7. Ketua Pengurus dan pengajar di PAUD Menur Rw.09 Kelurahan Cipinang Jakarta Timur

(11)

xi

9. Temen-teman angkatan 2009 yang telah memberikan semangat serta masukan kepada penulis.

10.Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak bisa disebutkan satu-persatu dalam kesempatan ini.

Peneliti sadar atas segala kekurangan dan keterbatasan dalam penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat penulis harapkan demi penyempurnaan skripsi ini agar lebih baik. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat baik untuk penulis maupun pembaca.

Jakarta, Januari 2014

(12)

xii DAFTAR ISI

SURAT PERNYATAAN ……… i

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN ……… ii

LEMBAR PENGESAHAN ………. iii

RIWAYAT HIDUP ……… v

LEMBAR PERSEMBAHAN ……… vii

ABSTRAK ……… viii

ABSTRACT ……… ix

KATA PENGANTAR ……… x

DAFTAR ISI ……… xii

DAFTAR TABEL ……… xiv

DAFTAR BAGAN ……… xv

DAFTAR LAMPIRAN ……….. xvii

BAB I PENDAHULUAN ……… 1

A. Latar Belakang ……… 1

B. Rumusan Masalah ……… 7

C. Tujuan Penelitian ……… 7

D. Manfaat Penelitian ……… 8

E. Ruang Lingkup Penelitian ………. 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……… 10

A. Pengalaman ……… 10

B. Anak Usia Prasekolah ……… 11

C. Pendidikan Seks ……… 20

D. Ibu ……… 24

(13)

xiii

BAB III KERANGKA KONSEP ……… 40

A. Kerangka Konsep ……… 40

B. Definisi Istilah ……… 41

BAB IV METODELOGI PENELITIAN ……… 42

A. Desain Penelitian ……… 42

B. Waktu dan Lokasi Penelitian ……… 43

C. Informan Penelitian ……… 44

D. Instrumen Penelitian ……… 45

E. Teknik Pengambilan Data ……… 45

F. Teknik Analisis Data ……… 45

G. Validasi Data ……… 47

H. Etika Penelitian ……… 48

BAB V HASIL PENELITIAN ……… 50

A. Gambaran Umum Wilayah Penelitian ……… 50

B. Analisa Tematik Hasil Penelitian ……… 51

BAB VI PEMBAHASAN ……… 67

A. Pembahasan Hasil Penelitian ……… 67

B. Keterbatasan Penelitian ……… 84

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN ……… 85

A. Kesimpulan ………. 85

B. Saran ……… 87 DAFTAR PUSTAKA

(14)

xiv

DAFTAR TABEL

No. tabel halaman

(15)

xv

DAFTAR BAGAN

No. Bagan halaman

(16)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Pedoman Wawancara Lampiran 2 Matriks Analisa Data

(17)

1 A. Latar Belakang

Masalah seks masih dianggap tabu untuk dibicarakan khususnya pada anak usia prasekolah (3 hingga 6 tahun) apalagi untuk mengajarkannya kepada anak. Masyarakat terkadang merasa tabu dalam membicarakan persoalan mengenai seks kepada anak, menurut Skripsiadi (2005) terdapat dua hal yang membuat masyarakat merasa tabu dalam membicarakan hal tersebut, diantaranya: faktor budaya yang melarang pembicaraan mengenai seks di depan umum, karena dianggap sebagai sesuatu yang porno dan sifatnya sangat pribadi sehingga tidak boleh diungkapkan kepada orang lain, dan pengertian seks yang ada di masyarakat masih sangat sempit, pembicaraan tentang seks seolah-olah hanya diartikan ke arah hubungan seksual. Kenyataanya pembicaraan soal seks pada anak usia prasekolah sangatlah penting, karena pada usia tersebut anak sudah mulai untuk melakukan eksploitasi seks.

(18)

perilaku yang terkadang membuat orang tua khususnya ibu kewalahan tersebut merupakan rasa keingintahuan yang normal untuk mengenal organ genitalnya, serta perbedaan struktur tubuh antara laki-laki dan perempuan (Kliegman, 2011 dan Wong, 2008). Memperkenalkan anak mengenai perbedaan antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan perlu dilakukan sejak usia prasekolah (Skripsiadi, 2005). Tidak ada batasan yang jelas kapan pendidikan seks dapat diberikan pada anak, namun dengan munculnya perilaku-perilaku tersebut dapat menjadi suatu indikasi untuk orang tua dalam menginterpretasikan rasa keingintahuan yang ditunjukan anak sebagai petanda bahwa anak siap untuk diberikan pendidikan seks (Potter dan Perry, 2005).

(19)

Pada penelitian yang dilakukan oleh Kenny dan Wurtele (2008) pada anak taman kanak-kanak (TK) atau daycare di Miami, Florida menyatakan bahwa anak lebih mengenal nama bagian tubuh yang non genital seperti: tangan, kaki, mata, dan lainnya. Namun, hanya sebagian kecil anak yang mengetahui istilah vagina untuk alat kelamin perempuan dan penis untuk alat kelamin laki-laki. Hal ini membuktikan bahwa masih kurang peran orang tua dalam memperkenalkan perbedaan dan nama-nama yang sesuai untuk genitalia perempuan maupun laki-laki.

Pendidikan seks yang dapat diberikan orang tua pada anak usia prasekolah selain memperkenalkan jenis kelamin yaitu, mengajarkan kepada anak mengenai area “privasi” sebelum anak masuk sekolah (Kliegman, 2011). Pendidikan seks tersebut akan membantu orang tua dalam mengembangkan anak menjadi sehat secara seksual. Anakpun akan memiliki self-esteem yang lebih baik di masa dewasanya sehingga anak akan terhindar dari pelecahan seksual yang sedang marak terjadi (Skripsiadi, 2005).

(20)

Masih tingginya kasus pelecehan seksual pada anak yang bahkan dilakukan oleh orang-orang terdekat anak termasuk keluarga menunjukan pentingnya pendidikan seks sejak usia prasekolah. Masalahnya, pendidikan seks kurang diperhatikan orang tua sehingga mereka menyerahkan semua pendidikan seks pada saat anak bersekolah. Penelitian yang dilakukan LAI (2005) dalam mengetahui persepsi orang tua terhadap pelaksanaan program pendidikan seks pada anak Taman Kanak-Kanak (TK) di Hong Kong, mendapati bahwa orang tua memiliki pemahaman yang tidak adekuat terhadap pendidikan seks yang dilakukan oleh pihak Taman Kanak-Kanak. Hal ini disebabkan masih tabunya anggapan orang tua mengenai pendidikan seks untuk anak prasekolah.

(21)

informasi dalam porsi tertentu, sehingga tidak membuat anak semakin bingung atau penasaran. (Skripsiadi, 2005)

Penelitian yang dilakukan di Yogyakarta oleh Kurniawati, Rahmat, & Lusmilasari (2005) membuktikan bahwa secara umum persepsi dan sikap ibu dalam menerapkan pendidikan seks pada anak usia 0-5 tahun kurang baik. Hal ini dilihat dari pandangan atau pendapat ibu terhadap perasaan mendukung atau memihak maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak yang berkaitan dengan perkembangan seksual anak dan peran ibu dalam menerapkan pendidikan seks pada anak. Adapun kesimpulan dari penelitian ini didapati bahwa terdapat hubungan antara persepsi ibu tentang pendidikan seks pada anak usia 0-5 tahun dengan sikap ibu dalam menerapkan pendidikan seks. Hal ini membutikan bahwa orang tua belum mempunyai pemahaman yang kuat dan belum menjalankan tugasnya dalam mengajarkan pendidikan seks pada anak sesuai dengan perkembangan anak. Namun penelitian lain yang dilakukan oleh Kusumawati (2009) pada salah satu TK di daerah Mojokerto membuktikan bahwa ada hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan orang tua tentang pendidikan seks dini dengan perkembangan perilaku seks pada anak usia 3 hingga 6 tahun. Oleh karena itu, peran orang tua sebagai pemberi informasi awal mengenai seks pada anak menjadi salah satu faktor yang akan mempengaruhi perkembangan dan kehidupan anak kelak.

(22)

pendidikan seks. Semakin rendah penghasilan keluarga maka orang tua akan semakin lama di luar rumah sehingga dalam mengajarkan pendidikan seks pada anak semakin buruk. Faktor budaya yang masih beranggapan bahwa pendidikan seks merupakan hal tabu akan mempengaruhi orang tua dalam memberikan pendidikan seks pada anak, dan riwayat pendidikan orang tua dalam mendapatkan informasi mengenai seks sebelumnya juga akan mempengaruhi orang tua dalam memberikan pendidikan seks.

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan di PAUD Menur Rw. 09 Kelurahan Cipinang-Jakarta Timur didapati bahwa dari orang tua murid yang dijadikan responden dalam studi pendahuluan memiliki karakter, tingkat pendidikan, pekerjaan dan suku bangsa yang berbeda-beda. Adapun pekerjaan yang dilakukan oleh para orang tua (ibu) murid PAUD Menur Rw 09 hampir sebagian besar merupakan seorang ibu rumah tangga, sedangkan pendidikan yang mereka dapatkan sebagian besar telah menempuh hingga tahap Perguruan Tinggi, dengan begitu data yang diperoleh dalam penelitian ini menjadi lebih bervariatif.

(23)

Berdasarkan fenomena yang telah dijelaskan pada topik sebelumnya, membuat peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana pengalaman orang tua khususnya ibu dalam memberikan pendidikan seks pada anak prasekolah (usia 3 hingga 6 tahun) yang dapat dilihat baik dari segi persepsi atau pengetahuan, perasaan, respon, perilaku, tindakan ataupun faktor-faktor lain yang terkait di PAUD Menur Rw. 09 kelurahan Cipinang Jakarta Timur.

B. Rumusan Masalah

(24)

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengalaman ibu dalam memberikan pendidikan seks pada anak usia prasekolah (3 hingga 6 tahun) di PAUD Menur Rw.09 Kelurahan Cipinang Jakarta Timur.

D. Manfaat Penelitian

1. Orang tua

Memberikan informasi tentang pentingnya pendidikan seks pada usia prasekolah kepada orang tua sebagai pendidik awal bagi anak dan memperoleh gambaran pengalaman orang tua khususnya ibu dalam memberikan pendidikan seks pada anak prasekolah.

2. Institusi pendidikan atau PAUD

Sebagai informasi dan bahan pertimbangan untuk menambahkan pendidikan seks pada anak sebagai materi yang akan diberikan untuk orang tua dan anak.

3. Perawat

(25)

4. Penelitian selanjutnya

Sebagai sumber referensi dan bacaan untuk peneliti selanjutnya dalam kaitanya dengan pengalaman ibu dalam memberikan pendidikan seks pada anak prasekolah.

E. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada orang tua khususnya ibu yang memiliki anak usia prasekolah (3 hingga 6 tahun) dan bersekolah di PAUD Menur Rw. 09 Kelurahan Cipinang Jakarta Timur. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan desain studi fenomenologis deskriptif. Sampel dalam penelitian ini adalah informan yang dipilih dengan menggunakan teknik purposive sampling. Sedangkan untuk memperoleh informasi tentang

(26)

10 A. Pengalaman

1. Pengertian

(27)

B. Anak Usia Prasekolah

1. Pengertian

Anak usia pra-sekolah adalah anak yang berusia tiga sampai enam tahun (Supartini, 2004 dan Hasan, 2009). Pada anak pra-sekolah, pertumbuhan berlangsung secara stabil, terjadi perkembangan dengan aktivitas jasmani yang bertambah dan meningkatnya keterampilan dan proses berpikir (Narendra, 2002). Kombinasi pencapaian biologis, psikososial, kognitif, spiritual, dan sosial selama periode pra-sekolah, yakni mempersiapkan anak pra-sekolah untuk perubahan gaya hidup yang paling bermakna sebelum anak masuk sekolah (Wong, 2008).

(28)

Montessori beranggapan bahwa tahap perkembangan pada rentang usia tiga hingga enam tahun, terjadi kepekaan untuk peneguhan sensori dan semakin memiliki kepekaan indrawi, yang masuk ke dalam masa keemasan atau golden age. Pada masa keemasan (golden age), terjadi transformasi yang luar biasa pada otak dan fisiknya, namun juga termasuk ke dalam masa rapuh. Oleh karena itu, masa keemasan ini sangat penting bagi perkembangan intelektual, emosi, dan sosial anak di masa yang akan datang dengan memperhatikan dan menghargai keunikan setiap anak. Apabila masa keemasan ini sudah terlewati, maka tidak dapat tergantikan. Perkembangan yang terjadi pada masa ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak selanjutnya (Asmani, 2009).

2. Tumbuh kembang anak prasekolah

a. Perkembangan biologis

(29)

Namun, perkembangan otot dan pertumbuhan tulang masih jauh dari matur. Penghalusan koordinasi mata-tangan dan otot jelas terbukti dalam beberapa area. Perkembangan motorik halus jelas terbukti pada keterampilan anak, seperti dalam menggambar dan berpakaian (Wong, 2008).

b. Perkembangan psikososial

Tugas psiko-sosial utama pada periode pra-sekolah adalah menguasai rasa inisiatif. Pada tahap perkembangan ini anak sedang dalam stadium belajar energik. Meraka bermain, bekerja, dan hidup sepenuhnya serta merasakan rasa pencapaian dan kepuasan yang sebenarnya dalam aktivitas mereka. Konfik timbul ketika anak telah melampaui batas kemampuan mereka dan memasuki serta mengalami rasa bersalah karena tidak berperilaku atau bertindak dengan benar. Perasaan bersalah, cemas, dan takut juga bisa berakibat oleh pikiran yang berbeda dengan perilaku yang diharapkan.

Perkembangan superego atau kesadaran telah dimulai pada akhir masa toddler dan merupakan tugas utama untuk anak pra-sekolah. Mempelajari kebenaran dari kesalahan dan mempelajari kebaikan dari keburukan adalah permulaan moralitas (Wong, 2008).

c. Perkembangan kognitif

(30)

berpusat pada diri sendiri, tetapi ketidakmampuan untuk menempatkan diri sendiri di tempat orang lain. Anak menginterpretasikan objek atau peristiwa, tidak dari segi umum, melainkan dari segi hubungan mereka atau penggunaan mereka terhadap objek tersebut. Mereka tidak dapat melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda dengan yang dimilikinya, mereka tidak dapat melihat sudut pandang orang lain, dan mereka juga tidak dapat mengetahui alasan untuk melakukannya.

Berpikir pra-operasional bersifat konkret atau nyata. Anak-anak tidak dapat berpikir melebihi yang terlihat, dan mereka kurang mampu membuat deduksi atau generalisasi. Pemikiran didominasi oleh apa yang mereka lihat, dengar, atau alami. Akan tetapi, mereka semakin dapat menggunakan bahasa dan simbol untuk mewakili objek yang ada di lingkungan mereka. Melalui bermain imajinatif, bertanya, dan interaksi lainnya, mereka mulai membuat konsep dan membuat hubungan sederhana antar-ide. Pada tahap akhir periode ini pemikiran mereka bersifat intuitif (misalnya bintang harus pergi tidur karena mereka juga tidur) dan mereka baru mulai menghadapi masalah berat badan, tinggi badan, ukuran, dan waktu. Cara berpikir juga bersifat transduktif karena dua kejadian terjadi bersamaan, mereka saling menyebabkan satu sama lain, atau pengetahuan tentang satu ciri dipindahkan ke ciri lain (misalnya semua wanita yang berperut besar pasti hamil).

(31)

Anak pra-sekolah berasumsi bahwa setiap orang berpikir seperti yang mereka pikirkan dan penjelasan singkat mengenai pemikiran mereka membuat keseluruhan pemikiran mereka dipahami oleh orang lain. Adanya komunikasi verbal yang merujuk pada diri sendiri dan bersifat egosentris ini maka mengeksplorasi dan memahami pikiran anak kecil sering kali dibutuhkan melalui pendekatan nonverbal lainnya. Anak pada kelompok usia ini, metode yang paling menyenangkan dan efektif adalah bermain, yang menjadi cara anak untuk memahami, menyesuaikan dan mengembangkan pengalaman hidup.

Anak pra-sekolah semakin banyak menggunakan bahasa tanpa memahami makna dari kata-kata tersebut, terutama konsep kanan dan kiri, sebab-akibat, dan waktu. Anak bisa menggunakan konsep secara benar tetapi hanya dalam keadaan yang telah mereka pelajari.

Pemikiran anak pra-sekolah sering kali dijelaskan sebagai pikiran magis. Karena egoisentrisme dan alasan transduktif mereka, mereka percaya bahwa pikiran adalah yang paling berkuasa. Pikiran tersebut menempatkan mereka pada posisi yang rentan untuk merasa bersalah dan bertangguang jawab terhadap pikiran buruk, yang secara kebetulan terjadi sesuai dengan kejadian yang diharapkan. Ketidakmampuan untuk merasionalisasi sebab-akibat suatu penyakit atau cidera secara logis menyulitkan meraka memahami kejadian tersebut (Wong, 2008). d. Perkembangan moral

(32)

kecil sedang berada pada tingkat paling dasar. Mereka berperilaku sesuai dengan kebebasan atau batasan yang berlaku pada suatu tindakan. Anak menghindari hukuman dan mematuhi tanpa mempertanyakan siapa yang berkuasa untuk menentukan dan memperkuat aturan dan label (benar atau salah). Anak akan menentukan bahwa perilaku yang benar terdiri atas sesuatu yang memuaskan kebutuhan mereka sendiri dan terkadang kebutuhan orang lain. Walaupun unsur-unsur keadilan, memberi dan menerima serta pembagian yang adil juga terlihat pada tahap ini. Hhal tersebut diinterpretasikan dengan cara yang sangat praktis dan konkret tanpa kesetiaan, rasa terima kasih, atau keadilan (Wong, 2008).

e. Perkembangan spiritual

Pengetahuan anak tentang kenyakinan dan agama dipelajari dari orang lain yang bermakna dalam lingkungan mereka, biasanya dari orang tua dan praktik keagamaan mereka. Namun, pemahaman anak kecil mengenai spiritual dipengaruhi oleh tingkat kognitifnya. Anak pra-sekolah memiliki konsep konkret mengenai Tuhan dengan karakteristik fisik, yang sering kali menyerupai teman imaginer mereka. Mereka mengerti kisah sederhana dari kitab suci dan menghapal doa-doa yang singkat, tetapi pemahaman mereka mengenai ritual ini masih terbatas.

(33)

salah mengartikan penyakit sebagai hukuman akibat pelanggaran mereka yang nyata atau khayalan. Penting bagi anak untuk memandang Tuhan sebagai pemberi cinta tanpa syarat, bukan sebagai hakim dari perilaku baik atau buruk (Wong, 2008).

f. Perkembangan citra tubuh

Masa pra-sekolah memainkan peranan penting dalam perkembangan citra tubuh. Meningkatnya pemahaman bahasa, anak pra-sekolah mengenali bahwa individu memiliki penampilan yang diinginkan dan yang tidak diinginkan. Mereka mengenali perbedaan warna kulit dan identitas rasial serta rentan mempelajari prasangka dan bias. Mereka menyadari makna kata seperti “cantik” atau “buruk”, dan penampilan mereka mencerminkan pendapat orang lain. Pada usia 5 tahun anak mulai membandingkan ukuran tubuhnya degan teman sebaya dan bisa menjadi sadar bahwa mereka tinggi atau pendek, terutama jika orang lain mengatakan mereka “sangat besar” atau “sangat kecil” untuk usia mereka. Meskipun perkembangan citra tubuh telah maju, anak pra-sekolah tidak dapat mendefinisikan ruang lingkup tubuhnya dengan baik dan mereka hanya memiliki sedikit pengetahuan mengenai anatomi internalnya (Wong, 2008).

g. Perkembangan seksualitas

(34)

kelamin dan menjadi ingin tahu tentang perbedaan tersebut. Fase yang sangat penting pada perkembangan seksual pada masa ini yaitu, mengenal identitas dan kepercayaan seksual individu secara menyeluruh. Anak usia pra-sekolah menguatkan rasa identitas gender dan mulai membedakan perilaku sesuai gender yang didefinisikan secara sosial. Proses pembelajaran ini terjadi dalam perjalan interaksi normal orang dewasa-anak dari boneka yang diberikan kepada anak, pakaian yang dikenakan, permainan yang dimainkan, dan respon yang dihargai. Anak juga mengamati perilaku orang dewasa, mulai untuk menirukan tindakan orang tua yang berjenis kelamin sama, dan mempertahankan atau memodifikasi perilaku yang didasarkan pada umpan balik orang tua.

(35)

Pertanyaan mengenai reproduksi seksual bisa sampai ke bagian depan pencarian anak prasekolah, bahkan pertanyaan tentang dari mana bayi berasal atau perilaku seksual yang diamati oleh anak harus dijelaskan secara terbuka, jujur, dan sederhana. Bahkan jika pertanyaan tidak dijawab, kesempatan pembelajaran harus tetap diberikan melalui menunjuk pada wanita yang sedang hamil atau perilaku hewan di kebun binatang atau melalui diskusi tentang seksualitas sebagai tindak lanjut dari cerita atau program televise yang melibatkan topik ini (Potter dan Perry, 2005; Wong, 2008).

h. Perkembangan sosial

Selama periode pra-sekolah proses individualisasi-perpisahan sudah komplet. Anak pra-sekolah telah mengatasi banyak kecemasan yang berhubungan dengan orang asing dan ketakutan akan perpisahan pada tahun-tahun sebelumnya. Mereka dapat berhubungan dengan orang yang tidak dikenal dengan mudah dan menoleransi perpisahan singkat dari orang tua dengan sedikit atau tanpa protes. Namun, mereka masih membutuhkan keamanan dari orang tua, penerangan, bimbingan, dan persetujuan, terutama ketika memasuki masa prasekolah atau sekolah dasar (Wong, 2008).

C. Pendidikan Seks

1. Pengertian

(36)

konsekuensi psikologis yang berkaitan dengan kondisi tersebut. Secara umum, pendidikan seks terdiri atas penjelasan tentang organ reproduksi, kehamilan, tingkah laku seksual, alat kontrasepsi, kesuburan dan menopause, serta penyakit kelamin (Skripsiadi, 2005).

Pengertian pendidikan seks dalam islam adalah pendidikan tentang tingkah laku yang baik (berakhlak) berhubungan dengan seks. Jadi, pendidikan seks ini walaupun tidak dapat dihindarkan dari membahas tentang seks dalam arti keilmuan (seksologi), yang terpenting dalam pandangan islam adalah bagaimana penanaman nilai-nilai moral agama, serta akidah yang kuat dalam pendidikan seks tersebut. Harapannya, anak mampu tumbuh dengan kematangan seksual yang berlandaskan pada kekuatan iman, kebersihan jiwa, dan ketinggian akhlak (El-Qudsy, 2012). Pendapat lain pendidikan seks menurut Profesor Gawshi adalah untuk memberi pengetahuan yang benar kepada anak yang menyiapkanya untuk beradaptasi secara baik dengan sikap-sikap seksual di masa depan kehidupannya dan pemberian pengetahuan ini menyebabkan anak memperoleh kecenderungan logis yang benar terhadap masalah seksual dan reproduksi (Madani, 2003).

(37)

a. Memperlakukan anak sesuai dengan kodratnya. b. Pengenalan dasar anatomi badan

c. Mengajarkan norma seks kepada anak

1) Kenalkan tentang konsep aurat dalam islam. Tunjukan bagian tubuh mana yang boeh terlihat atau tidak bagi anak laki-laki atau anak perempuan

2) Ajarkan berbagai doa yang berhubungan dengan alat vital. Contohnya doa ketika anak membersihkan alat vitalnya selepas buang air besar atau buang air kecil.

3) Mengajarkan cara berpakaian dan ia harus melepaskan pakaianya, harus dilakukan di tempat pribadi. Tutup pintu kamar mandi atau kamar tidur dan jelaskan kepada anak bahwa ini adalah perilaku yang pribadi.

4) Memberikan contoh yang benar adalah penting bagi anak. 5) Hindari kecerobohan

6) Pada usia prasekolah, orang tua tidak perlu menjelaskan secara detail tentang hubungan intim suami istri. Ada beberapa pertanyaan yang tidak harus dijawab ketika itu. Namun, kita dapat membuat janji pada waktu yang lain (El-Qudsy, 2012).

Pendapat lain pendidikan seks berdasarkan usia yaitu pada usia balita: a. Membantu anak agar merasa nyaman dengan tubuhnya.

(38)

c. Membantu anak memahami perbedaan perilaku yang boleh dan tidak boleh dilakukan di depan umum. Contohnya, saat anak selesai mandi harus mengenakan baju di dalam kamar mandi atau kamarnya. Orang tua harus menanamkan bahwa tidak diperkenankan berlarian usai mandi tanpa busana. Anak harus tahu bahwa ada hal-hal pribadi dari tubuhnya yang tidak semua orang boleh lihat apalagi menyentuhnya. d. Mengajarkan anak untuk mengetahui perbedaan anatomi tubuh pria

dan wanita. Menjelaskan proses tubuh, seperti hamil dan melahirkan dalam kalimat sederhana. Menjelaskan bagaimana bayi bisa berada dalam kandungan ibu. Hal ini tentu saja harus dilihat perkembangan kognitif anak, yang penting orang tua tidak membohongi anak, misalnya dengan mengatakan kalau adik datang dari langit atau dibawa burung. Orang tua sebisa mungkin memosisikan diri sebagai anak pada usia tersebut, yakni dengan memberitahu hal-hal yang ingin diketahuinya atau dapat menjelaskan dengan contoh yang terjadi pada binatang.

e. Menghindari perasaan malu dan bersalah atas bentuk serta fungsi tubuhnya.

f. Mengajarkan anak untuk mengetahui nama yang benar setiap bagian tubuh dan fungsinya. Katakan vagina untuk alat kelamin wanita dan penis untuk alat kelamin pria ketimbang mengatakan burung atau yang lainnya.

(39)

h. Memberi dukungan dan suasana kondusif agar anak mau datang kepada orang tua untuk bertanya soal seks (Novita,2007).

2. Tujuan pendidikan seks

Tujuan yang ingin dicapai dalam memberikan pendidikan seks kepada anak menurut islam adalah sebagai berikut:

a. Penanaman dan pengukuhan akhlak sejak dini kepada anak dalam menghadapi masalah seksual agar tidak mudah terjerumus pada pergaulan bebas. Diharapkan mereka mampu membentengi diri dalam menghadapai perubahan-perubahan dorongan seksual secara islami.

b. Membina keluarga dan menjadi orang tua yang bertanggung jawab terhadap masa depan seksual anaknya.

c. Sebagai upaya preventif dalam kerangka moralitas agama untuk menghindarkan anak dari pergaulan bebas dan penyimpangan seksual.

d. Membentuk sikap emosional yang sehat terhadap masalah seksual. e. Membekali anak dengan informasi yang benar dan bertanggung

jawab tentang seks agar mereka terhindar informasi dari sumber-sumber yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.

(40)

D. Ibu

1. Pengertian

Orang tua terdiri dari ayah dan ibu kandung (KBBI, 2013). Orang tua khususnya ibu adalah pihak yang paling dekat dengan anak-anaknya sehingga mereka diberi amat dan tanggung jawab untuk mengembangkan anak-anaknya. Setiap orang tua memiliki tugas kependidikan dan hal itu hendaknya bisa dijalankan dengan baik karena setiap orang tua pasti memiliki kepentingan terhadap anak-anaknya (Roqib, 2009).

Islam mengutamakan peran ibu dalam kaitannya dengan pendidikan anak. Al-Mawardi rahimahullah menggambarkan hubungan

ibu dengan anaknya. Dia berkata: “kaum ibu unggul kasih sayangnya

lebih melimpah cinta kasihnya karena merekalah yang langsung melahirkannya dan memperhatikan pendidikannya. Mereka manusia yang

paling lembut hatinya dan paling halus jiwanya.” Oleh karena itu

keberadaan ibu dalam keluarga pelaksanaan kewajibannya dalam

mendidik dan merawat dipandang sebagai tiang keluarga yang paling penting dan sebagai sebab utama ketentraman psikologis dan sosiologis

keluarga (Baharits 2005).

2. Peran ibu

(41)

dicapai pada masa anak usia 3 hingga 6 tahun adalah belajar mengenai jenis kelamin dan peran menyertainya. Belajar mengenal peran-peran seksual, selain berarti memperkenalkan anak pada kelompok jenis kelaminnya, juga pada sifat, sikap dan peran yang diharapkan dari dirinya sesuai jenis kelaminnya. Ibu sebagai orang tua berkewajiban menanamkan identitas dan peran seksual yang sesuai dengan jenis kelamin.

(42)

maka sukar diharapkan ia bisa memperoleh kebahagiaan dari lingkungan dan kepuasan dari dirinya sendiri (Skripsiadi, 2005).

Memperkenalkan anak mengenai perbedaan antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan memang perlu dilakukan sejak dini (pra-sekolah). Apalagi karena hal itu berkaitan dengan tugas perkembangan yang dimiliki anak pada masa usia ini, yaitu mempelajari perbedaan jenis kelamin. Sejumlah penelitian membuktikan bahwa dengan memberikan pendidikan seks sejak dini pada anak, orang tua dapat membantu mengembangkan anak yang sehat secara seksual. Selain itu, anak akan mamiliki self-esteem yang lebih baik di masa dewasanya (Skripsiadi, 2005).

Tahapan yang harus dilakukan ibu sebagai orang tua adalah membentuk kepribadian yang utuh dan kuat, termasuk perkembangan seksual sebagai upaya menumbuhkan sikap dan tingkah laku seksual yang sehat. Saringendyanti, 1998 menerangkan bahwa pembentukan kepribadian ini memerlukan pengarahan yang sengaja dipersiapkan untuk mereka, dan diberikan secara bijaksana tanpa paksaan.

a. Menciptakan perasaan aman dan terlindung.

(43)

dalam pengawasan ketat yang justru akan merangsang pemberontakan.

b. Membangkitkan gairah anak melalui teladan sebagai proses belajar meniru.

Dalam perkembangan anak, meniru merupakan salah satu cara belajar. Oleh karena itu, memberikan teladan yang patut ditiru melalui sifat, sikap, dan cara-cara tingkah laku akan merangsang pola-pola tingkah laku dan kepribadian anak, termasuk ke dalamnya kecerdasan dan keterampilan sehari-hari.

c. Melepas anak secara perlahan agar anak mengenali kemampuan dirinya.

Dalam kondisi ini, keakraban dan kehangatan antara orang tua dan anak secara berangsur-angsur dilepas agar anak tidak terus menerus tergantung pada orang tua. Anak perlu diberi pengertian bahwa ada jarak antara pemikiran dan keinginan serta pemuasan keinginan. Hal itu dilakukan agar anak menyadari adanya pembatasan antara dirinya dan lingkungan di luar dirinya, serta menyadari adanya dunia khayal dan dunia nyata yang akan dijalaninya.

d. Memberikan wawasan yang luas di luar diri si anak, yaitu tentang dunia di sekitarnya.

(44)

dan diberi peranan yang berbeda-beda, sehingga ia dapat menahan diri terhadap hal-hal yang tidak dapat diterima lingkungannya. Pengendalian diri seperti ini perlu dipupuk agar struktur kepribadiannya kuat dan peka lingkungan.

e. Anak harus belajar menemukan pendapat dan pandangan hidup yang berbeda-beda di luar dirinya.

Pendapat dan pandangan hidup itu mungkin saja berlainan dengan yang terdapat pada keluarganya. Dengan demikian, terbentuknya pandangan hidup anak bukan sekedar hubungan kekeluargaan dan hubungan sosial sebagaimana orang menilainya, melainkan sesuai dengan penilaian anak sendiri. Hal yang demikian itu akan melatih anak berpikir menuju dewasa, memiliki inspirasi dan keteguhan dalam bersikap mempertahankan pandangan hidupnya. Beberapa strategi umum yang dapat diterapkan oleh ibu sebagai orang tua dalam memberikan pendidikan seks pada anak:

a. Memperkuat pendidikan agama

Pendidikan agama sangat diperlukan oleh anak dalam perkembangan seksualnya sebagai benteng dalam menghadapi masa depannya.

b. Memulailah sejak dini

Pentingnya memberikan pendidikan kepada anak sejak dini karena ketika itu anak masih seperti lembaran putih yang siap untuk dihiasi apa saja.

(45)

Sejak usia kanak-kanak setiap orang harus diberikan pendidikan seks agar ia tidak merasa binggung dan tersesat ketika menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi dalam dirinya. Pendidikan yang sesuai dengan tingkatan umur dan intelegensi setiap anak dan terus ditingkatkan seiring berjalannya waktu menuju kedewasaannya. Jadi, materi atau jawaban yang diberikan harus sesuai dengan daya nalar dan pemahaman anak. Jika tidak, sisamping tidak efisien, anak akan terobsesi untuk mendapatkan yang lebih.

d. Bertahap dan terus-menerus

Ketika memberikan informasi seks kepada anak, haruslah secara bertahap, terus-menerus, dan sesuai dengan perkembangan usia. Informasi yang diberikan secara bertahap, terus-menerus, dan diulang-ulang, akan mempermudah anak dalam penyerapan informasi.

e. Dari hati ke hati dan terbuka

Pendidikan seks yang tepat hanya dapat diberikan jika pesan yang tepat dapat diberikan orang tua, baik secar eksplisit maupun implisit. Jadi, harus ada keterbukaan serta atmosfer rumah yang tidak kaku dan dogmatis. Dari cara ini anak-anak akan dapat merasakan bahwa orang tuanya saling mencintai dan anak akan menghargainya.

(46)

Dalam memberikan pendidikan seks kepada anak, jangan tunggu sampai anak bertanya mengenai seks. Sebaiknya pendidikan seks diberikan secara terencana sesuai dengan keadaan dan kebutuhan anak.

g. Jangan lari dari pertanyaan anak

Ketika anak bertanya, orang tua tidak boleh lari dari pertanyaan masalah seputar seks karena pertanyaan sekitar seks adalah sesuatu yang lumrah dan fitrah.

h. Kontinyu dan berkesinambungan

Pendidikan seharusnya diberikan secara kontinyu dengan berbagai sarana dan dalam kesempatan yang berbeda.

i. Jadilah teladan yang baik untuk anak.

Orang tua mampu menjadi contoh dan teladan yang benar bagi anaknya, termasuk dalam pendidikan seks.

j. Silaturahmi ke keluarga salehah

Untuk memperkukuh nilai-nilai pendidikan seks islami dan menghindarkan perasaan kecil hati atau merasa sendirian dalam melaksanakan nilai-nilai agamanya, seorang anak tidak cukup hanya mendapatkan contoh dalam keluarganya. Ia perlu juga melihat orang lain atau keluarga muslimah lain.

k. Mintalah bantuan orang yang ahli

(47)

mampu dalam masalah pendidikan seks secara islami (El-Qudsy, 2012).

Anak pra-sekolah telah memiliki sejumlah besar informasi selama kehidupan mereka yang masih singkat. Meskipun pikiran mereka belum matur, anak selalu mencari penjelasan dan alasan yang logis dan masuk akal bagi mereka, sehingga tak jarang anak suka melontarkan pertanyaan-pertanyaan terkait masalah seksualitas kepada orang tua. Ada dua aturan yang mengatur jawaban dari pertanyaan yang sensitif mengenai topik seperti seks.

a. Aturan yang pertama adalah mengetahui apa yang diketahui dan dipikirkan anak. dengan menginvestigasi teori, anak telah menghasilkan penjelasan yang masuk akal, orang tua tidak hanya memberikan jawaban yang benar, tetapi juga membantu anak memahami mengapa penjelasan mereka tidak masuk akal. Alasan lain untuk menemukan apa yang dipikirkan anak sebelum member informasi apa pun adalah bahwa jawaban yang “tidak ditanyakan” bisa saja diberikan.

(48)

isi dasar untuk menjelaskan konsep lain di kemudian hari (Wong, 2008).

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi orang tua khususnya ibu dalam

memberikan pendidikan seks pada anak

Walker (2001) dalam penelitiannya yang dilakukan pada orang tua di Inggris, untuk melihat komunikasi antara orang tua dan anak dalam membicarakan mengenai seks. Walker menemukan faktor-faktor yang dapat meningkatkan dan membatasi komunikasi antara orang tua dan anak yang saling terkait dalam pendidikan seks.

a. Faktor pembatas keterlibatan orang tua dalam pendidikan seks termasuk:

1) Kurangnya kesadaran akan kebutuhan anak mereka untuk pendidikan seks.

2) Tidak melihat pendidikan seks sebagai bagian dari peran orang tua mereka.

3) Perasaan malu yang mengelilingi seluruh pengalaman dalam membicarakan hal-hal seksual.

4) Ketidakpastian tentang apa yang mereka harus tahu, lakukan dan katakan sebagai orang tua.

5) Kesalahpahaman umum dan sosial harapan bahwa orang tua harus memberi anak mereka bicara seks yang formal. b. Faktor yang meningkatkan pendidikan seks yang ditemukan

(49)

1) Rangsangan yang memicu kesempatan selama kehidupan keluarga yang sibuk.

2) Menolak gagasan bahwa masalah kesehatan seksual dalam keluarga adalah tabu.

3) Komunikasi terbuka antara orang tua dan lingkungan sekolah.

4) Akses terhadap informasi dan sumber.

Faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi orang tua khususnya ibu dalam memberikan pendidikan seks pada anak khususnya usia prasekolah, menurut Lubis (2012) antara lain:

a. Faktor sosial ekonomi

Faktor sosial ekonomi mempengaruhi ibu dalam mengajarkan pendidikan seks pada anak, maka semakin rendah penghasilan keluarga dan semakin lama ibu bekerja di luar rumah sehingga mengajarkan pendidikan seks semakin buruk.

b. Faktor sosial budaya

Faktor sosial budaya juga berpengaruh terhadap ibu dalam mengajarkan pendidikan seks pada anak karena rasa tabu dan malu untuk membicarakan seks pada anak, juga anak usia prasekolah masih dianggap belum pantas dan terlalu kecil untuk mengajarkan pendidikan seks.

c. Riwayat pendidikan seks ibu

(50)

diajarkan pendidikan seks, maka tidak akan mengajarkan pendidikan seks pada anaknya.

Masih tabunya masyarakat dalam membicarakan masalah seksualitas dipertegas oleh Skripsiadi (2005), yang menjelaskan faktor membuat masyarakat tabu untuk membicarakan hal-hal yang menyangkut seksualitas, anatara lain:

a. Faktor budaya yang melarang pembicaraan mengenai seksualitas di depan umum, karena dianggap sebagai sesuatu yang porno dan sifatnya sangat pribadi sehingga tidak boleh diungkapkan kepada orang lain.

(51)

Tabel 2.1

2001 Joy L Walker Komunikasi antara orang tua dan anak

mengenai seks

Qualitative

analytical  menemukan faktor-faktor yang dapat meningkatkan dan membatasi komunikasi antara orang tua dan anak yang saling terkait dalam pendidikan seks.

 Faktor pembatas keterlibatan orang tua dalam pendidikan seks termasuk:

 Kurangnya kesadaran akan kebutuhan anak mereka untuk pendidikan seks

 Tidak melihat pendidikan seks sebagai bagian dari peran orang tua mereka

 perasaan malu mengelilingi seluruh pengalaman dalam membicarakan hal-hal seksual

 Ketidakpastian tentang apa yang mereka harus tahu, lakukan dan katakan sebagai orang tua

(52)

sosial harapan bahwa orang tua harus memberi anak mereka bicara seks yang formal

 Sedangkan faktor meningkatkan pendidikan seks yang ditemukan menjadi:

 Rangsangan yang memicu peluang selama kehidupan keluarga yang sibuk

 Menolak gagasan bahwa masalah kesehatan seksual dalam keluarga adalah tabu

 Komunikasi terbuka antara orang tua dan lingkungan sekolah

 Akses terhadap informasi dan sumber. terhadap pendidikan seks pada anak usia 0-5 tahun kurang baik. Hal ini dilihat dari pandangan dan interpretasi mengenai perkembangan seksualitas anak, peran orang tu dalam memberikan pendidikan seks, dan penerapan pendidikan seks.

(53)

pendapat ibu terhadap perasaan mendukung atau memihak.

 Adanya hubungan antara persepsi ibu tentang pendidikan seks pada anak usia 0-5 tahun

LAI persepsi orang tua Hong Kong terhadap

Qualitative study Orang tua memiliki pemahaman

yang tidak adekuat dari pendidikan seks di Taman

kanak- beberapa orang tua berpendapat bahwa penting berbicara mengenai seksual pada anak dengan percakapan terbuka, walupun orang tua mengalami kesulitan dalam berkomunikasi.

 Yakni dengan mengajarkan nilai-nilai untuk membangun personalitas dan meningkatkan pengetahuan anak mereka.

 Orang tua menyadari bahwa sekolah berperan penting dalam pendidikan seks pada anak mereka.

(54)

Childhood Sexual Abuse: Preschoolers’ Knowledge of Genital Body Part.

Kenny, Sandy

K. Wurtele dengan menyebutkan nama dari bagian

Kusumawati Pengetahuan orang tua tentang

Ada bermakna antara hubungan tingkat pengetahuan orang tua tentang pendidikan seks dini dengan perkembangan

Kualitative study Ibu lebih cenderung untuk

membicarakan

(55)

temuan ini

Utami Lubis Penghasilan ibu, suku, riwayat pendidikan seks

(56)

E. Kerangka Teori

Bagan 2.1

Dimodifikasi dari Supartini (2004) & Hasan (2009); Potter (2005); El-Qudsy, 2012; Walker (2001); Lubis (2012); Novita (2007)

Tugas perkembangan: Menguatkan rasa identitas gender dan

mulai membedakan perilaku sesuai gender

yang didefinisikan secara sosial Anak usia

prasekolah (3 hingga 6 tahun)

Peran orang tua

(ibu) Pendidikan seks

Faktor sosial ekonomi

Faktor sosial budaya Faktor-faktor yang dapat membatasi

Faktor riwayat pendidikan seks Faktor-faktor yang dapat meningkatkan

Pengalaman ibu dalam memberikan pendidikan

(57)

41 A. Kerangka konsep

(58)

B. Definisi istilah

1. Pengalaman adalah hal yang subjektif yang dialami seseorang yang dipengaruhi oleh memori/ingatan dan kondisi sosial budaya, sehingga akan mempengaruhi persepsi, pengetahuan serta perilaku seseorang itu sendiri. 2. Ibu adalah salah satu orang tua yang lebih berperan penting dalam

mendidik dan merawat anak.

3. Anak usia prasekolah adalah anak yang berusia 3 hingga 6 tahun, yang mempunyai salah satu tugas perkembangan, yaitu menguatkan rasa identitas gender dan mulai membedakan perilaku sesuai gender yang didefinisikan secara sosial dan rasa ingin tahu besar terhadap segalanya termasuk masalah seksualitas.

(59)

43 A. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan desain studi fenomenologi deskriptif. Penelitian kualitatif merupakan sejenis penelitian formatif yang secara khusus memberikan teknik untuk memperoleh jawaban atau informasi mendalam tentang pendapat dan perasaan seseorang (Sumantri, 2011).

Fenomenologi merupakan pandangan berpikir yang menekankan pada fokus kepada pengalaman-pengalaman subjektif manusia dan interpretasi-interpretasi dunia (Moleong, 2010). Fokus utama fenomenologi adalah pengalaman nyata (Saryono dan Anggraeni, 2010). Tujuan studi fenomenologi adalah memahami makna dari pengalaman kehidupan yang dialami informan dan menjelaskan perspektif filosofi yang mendasari fenomena tersebut (Dharma, 2011).

Fenomenologi merupakan pendekatan yang sesuai untuk menginvestigasi fenomena penting seseorang yang berguna bagi bidang keperawatan (Streubert dan Carpenter, 2003). Pendekatan fenomenologi ini akan menjelaskan atau mengungkapkan makna konsep atau fenomena pengalaman yang didasari oleh kesadaran yang terjadi pada beberapa individu (Sumantri, 2011).

(60)

kekayaan, keluasan, dan kedalaman pengalaman itu sendiri (Streubert dan

Carpenter, 2003). Spiegelberg (1975 dalam Steubert dan Carpenter 2003) mengidentifikasi tiga langkah prosesi untuk fenomenologi deskriptif. Langkah pertama yaitu intuisi, peneliti menggumpulkan data dengan cara mengeksplorasi pengalaman informan tentang fenomena yang diteliti melalui wawancara mendalam.

Langkah kedua yaitu analisis, dimana peneliti mengidentifikasi pengalaman yang diteliti. Peneliti menyatukan diri dengan hasil pendataan dengan cara mendengarkan deskripsi individu tentang pengalamannya kemudian mempelajari data yang telah ditranskipkan dan ditelaah berulang-ulang. Peneliti mengidentifikasi esensi dari fenomena yang diteliti berdasarkan data yang didapat. Peneliti kemudian mengeksplorasi hubungan dan keterkaitan antara elemen-elemen tertentu dengan fenomena tersebut. Peneliti

mengidentifikasi tema-tema arti dan makna tentang pengalaman ibu

berdasarkan data yang diperoleh dari transkip wawancara dengan informan guna menjamin keakuratan dan kemurnian hasil penelitian.

Langkah ketiga adalah deskripsi, dimana peneliti menuliskan laporan data yang digunakan. Peneliti mengkomunikasikan dan memberikan gambaran tertulis dari elemen kritikal yang didasarkan pada pengklarifikasian dan pengelompokan fenomena.

B. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tiga tahap yaitu tahap persiapan

(61)

melakukan penyusunan proposal penelitian serta studi pendahuluan dan studi kepustakaan. Tahap pelaksanaan penelitian ini dilaksanakan pada bulan November sampai Desember tahun 2013. Selanjutnya setelah proses pengumpulan data dan penelitian selesai maka dilanjutkan dengan tahap analisi data serta penyusunan laporan yang dilakukan bulan Desember hingga Januari 2014.

Lokasi penelitian yang dilakukan peneliti adalah PAUD Menur Rw.09 Kelurahan Cipinang Jakarta Timur. Tempat tersebut dipilih dikarenakan belum pernah dilakukan penelitian tentang hal tersebut di daerah ini. PAUD Menur sendiri adalah tempat pendidikan khusus untuk anak usia 3 hingga 6

tahun dengan siswa yang cukup banyak yaitu 33 anak yang terdaftar.

C. Informan Penelitian

Pemilihan partisipan dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling, yang ditetapkan secara langsung (purposive) dengan

prinsip kesesuaian (appropriateness) dan kecukupan (adequancy). Purposive

sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber data dengan

pertimbangan tertentu. Informan pada penelitian ini yaitu, orang tua dari anak yang bersekolah di PAUD Menur Rw. 09 Kelurahan Cipinang Jakarta Timur, dengan kriteria inklusi informan dalam penelitian ini, yaitu:

(62)

D. Instrumen Penelitian

Instrumen kunci dalam penelitian kualitatif ini yaitu peneliti sendiri dengan melakukan wawancara mendalam dengan bantuan pedoman wawancara mendalam, alat pencatat, dan alat perekam serta membuat catatan lapangan saat wawancara.

E. Teknik Pengambilan Data

Dalam memperoleh data peneliti melakukan wawancara mendalam kepada

informan. Wawancara tersebut dilakukan dengan cara menanyakan sesuatu kepada informan dan bercakap-cakap secara langsung. Berikut adalah tahapan pengambilan data yang dilakukan peneliti:

a. Peneliti melakukan wawancara mendalam dengan informan minimal 30 menit untuk mengetahui pengalaman yang dialami informan secara spesifik dan informan akan menceritakan semua pengalamannya dengan jelas dan lengkap.

b. Wawancara yang dilakukan direkam dengan alat perekam agar semua pembicaraan akan terekam dan tidak ada yang terlewat.

c. Peneliti melakukan wawancara dengan membuat catatan lapangan yang berisi inti dari setiap ungkapan informan serta catatan mengenai ekspresi

(63)

F. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode Colaizzi (1978). Langkah-langkah analisis data berdasarkan Colaizzi (1978) (dalam Streubert dan Carpenter, 2003), meliputi:

1. Peneliti dapat memberikan gambaran fenomena yang diteliti, yaitu tentang pengalaman ibu dalam memberikan pendidikan seks pada anak usia prasekolah (3 hingga 6 tahun).

2. Peneliti mengumpulkan data melalui wawancara kepada partisipan dan membuat transkrip dari hasil wawancara partisipan sesuai fenomena yang diteliti.

3. Peneliti membaca semua hasil transkrip partisipan secara berulang-ulang sesuai fenomena yang diteliti.

4. Peneliti membaca transkrip kembali dan mencari pernyatan-pernyataan penting dari setiap pernyataan partisipan.

5. Peneliti menentukan makna dari setiap pernyataan penting dari semua partisipan.

6. Peneliti mengorganisasikan data yang terkumpul dan mengelompokkannya kedalam suatu kelompok tema.

7. Peneliti menulis hasil secara keseluruhan ke dalam bentuk desktiptif secara lengkap, dengan melakukan analisis detail tentang perasaan partisipan dan perspektif yang terkandung dalam tema.

(64)

Bagan 4.1. Teknik Analisa data

Sumber: Colaizzi (1978) dalam Streubert dan Carpenter (2003)

G. Validasi Data

Temuan atau data dalam penelitian kualitatif dapat dinyatakan valid apabila tidak ada perbedaan antara yang dilaporkan peneliti dengan apa yang sesungguhnya terjadi pada obyek yang diteliti (Sugiyono, 2010). Menurut Sumantri (2011) dan Saryono (2010) dibutuhkan beberapa cara menentukan keabsahan data. Uji keabsahan data yang digunakan dalam penelitian ini

menulis hasil secara keseluruhan ke dalam bentuk desktiptif secara lengkap menentukan makna dari setiap pernyataan

penting dari semua partisipan

mengelompokkannya ke dalam suatu kelompok tema

Kembali ke partisipan untuk validasi data desripsi yang dibuat

membaca semua hasil transkrip partisipan secara berulang-ulang

mencari pernyatan-pernyataan penting dari setiap pernyataan partisipan

Memiliki gambaran fenomena yang diteliti secara jelas

(65)

dilakukan dengan cara peer debriefing (membicarakannya dengan orang lain) yaitu mengekspos hasil sementara atau hasil akhir yang diperoleh dalam bentuk diskusi analitik dengan rekan-rekan sejawat atau yang ahli dalam bidang kualitatif (Sumantri2011;Saryono2010). Dalam hal ini peneliti

berdiskusi kepada orang yang berpengalaman terhadap isi dan metodologi penelitian, yaitu kepada pembimbing. Peneliti juga melakukan member check, yaitu dengan menguji kemungkinan dugaan-dugaan yang berbeda dan mengembangkan pengujian-pengujian untuk mengecek analisis, dengan mengaplikasikannya pada data, serta dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang data (Sumantri2011;Saryono2010). Dimana peneliti

kembali ke lapangan dan melakukan konfirmasi atau klarifikasi terhadap data yang sudah diperoleh dengan menanyakan kembali kepada informan.

H. Etika Penelitian

Penelitian keperawatan berhubungan langsung dengan manusia namun tidak berdampak langsung terhadap fisik, tetapi mungkin akan berdampak terhadap emosional informan. Masalah etika yang harus diperhatikan menurut Polit dan Hungler (2001) sebagai berikut :

1. Kemanfaatan (Benefecience)

(66)

2. Aspek kebebasan (Self determination)

Selama penelitian berlangsung peneliti memberikan aspek kebebasan untuk menentukan apakah informan bersedia atau tidak untuk mengikuti atau memberikan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian.

3. Kerahasiaan (Privacy)

Selama penelitian informan juga dijaga kerahasiaan identitas selama dan sesudah penelitian. Nama informan akan dirahasiakan sebagai ganti digunakan nomor informan. Selama kegiatan penelitian nama informan akan dirahasiakan sebagai gantinya digunakan inisial (anonimity). Peneliti menjaga kerahasiaan informasi yang diberikan dan hanya menggunakan informasi tersebut untuk kegiatan penelitian (confidentiality).

4. Perlindungan dari ketidaknyamanan (Protection from discomfort)

(67)

51 C. Gambaran Umum Wilayah Penelitian

Kelurahan Cipinang merupakan satu dari tujuh kelurahan yang berada di kecamatan Pulogadung Jakarta Timur yang memiliki luas

wilayah 15509 Ha. Batas wilayah kelurahan Cipinang adalah sebelah

utara berbatasan dengan Kelurahan Rawamangun sebelah timur

berbatasan dengan kali Cipinang Kelurahan Jatinegara Kaum sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Pisangan Timur dan sebelah selatan berbatasan dengan Jalan Raya I Gusti Ngurahrai Kelurahan Cipinang Muara. Jumlah penduduk di kelurahan Cipinang sendiri sebanyak 15.555 KK dengan jumlah laki-laki sebanyak 12.495 orang dan perempuan 3.060 orang. Kelurahan Cipinang terdiri atas 18

Rukun Warga (RW) di setiap RW terdapat Pendidikan Anak Usia

Dini (PAUD) sebagai salah satu upaya Pemerintahan daerah setempat sebagai pengganti Taman KKanak untuk mencerdaskan anak-anak balita (Data Laporan Kelurahan Cipinang Bulan Novermber 2013). PAUD Menur sendiri merupakan salah satu PAUD yang

berada di RW. 09 Kelurahan Cipinang terdapat 33 anak berusia 3 hingga 6 tahun yang terdaftar di PAUD ini (Data Siswa PAUD Menur Tahun 2013).

(68)

1. Karakteristik Informan

Gambaran karakteristik informan meliputi umur jenis kelamin

pekerjaan pendidikan terakhir yang menjadi pemberi pendidikan seks pada anak khususnya pada usia prasekolah. Informan dalam penelitian ini adalah pendidikan utama pada anak dalam memberikan

pendidikan seks pada anak di rumah yang seluruhnya dilakukan oleh

ibu. Rentang usia informan penelitian yaitu 25-37 tahun dengan rata-rata pekerjaan sebagai ibu rumah tangga dan pendidikan mengeyam pendidikan mulai dari SMP hingga S1.

Tabel 5.1 karakteristik informan

Nama inisial Pekerjaan Pendidikan terakhir Nama anak Usia anak Kode

Ibu rumah tangga

Ibu rumah tangga

Ibu rumah tangga

Ibu rumah tangga

tangga

(69)

2. Pengalaman ibu dalam memberikan pendidikan seks pada anak usia prasekolah (3 hingga 6 tahun).

Gambaran hasil penelitian pengalaman ibu dalam memberikan pendidikan seks pada anak usia prasekolah di PAUD Menur RW.09 Kelurahan Cipinang Jakarta Timur secara rinci menjelaskan uraian

lima tema yang teridenfikasi dari hasil wawancara tema-tema tersebut meliputi: (1) Ibu sebagai pemberi pendidikan seks utama pada anak, (2) Persepsi ibu mengenai pendidikan seks pada anak, (3) Pengetahuan ibu mengenai seksualitas (4) Sikap ibu dalam

memberikan pendidikan seks pada anak (5) Faktor-faktor yang mempengaruhi ibu dalam memberikan pendidikan seks pada anak.

Berdasarkan lima tema yang ditemukan pada saat wawancara, berikut adalah uraian dari masing-masing tema yang ditemukan, meliputi:

a. Ibu sebagai pemberi pendidikan seks utama pada anak.

(70)

lebih banyak dalam memberikan pendidikan seks pada anaknya. Peran serta ayah sebagai orang tua laki-laki bagi anak dalam memberikan pendidikan seks juga penting namun seperti yang diungkapkan informan bahwa peran ayah dalam hal ini tidak terlihat. Hal ini dikarenakan kesibukan ayah dalam berkerja dari pagi hingga malam sehingga tidak memiliki waktu yang cukup bersama dengan anaknya apalagi untuk memberikan pendidikan seks pada anak. Berikut pernyataan informan:

“anak saya lebih dekat ya sama saya. kalau tanya apa-apa juga ke saya. Kalau bapaknya kan kerja. Saya sama dia terus yang ada di rumah.” (P1)“bapaknya sibuk ama kerja. Jadi ga pernah cerita tentang ini itu.” (P2)

“jarang juga ketemu bapaknya. Bapaknya kan kerja pagi pulang malem. Jarang ketemu. Iya lebih ke saya” (P3)

“dia kan kerja dari pagi sampe malam. Malam-malam aja belum tentu ketemu kan. Jadi menjelaskannya itu hanya terkadang aja.” (P4)

“keseringan pulang jam 8 malem. Jadi dianya uda tidur. Selama libur juga belom sih.” (P5)

“suami saya kan kerja. Saya sama anak saya yang sering ada di rumah. Dia aja kalau mau ngapa-ngapain juga sama saya.” (P6)

b. Persepsi ibu mengenai pendidikan seks pada anak prasekolah (3 hingga 6 tahun).

Persepsi ibu mengenai pendidikan seks pada anak khususnya usia prasekolah meliputi persepsi mengenai makna dari pendidikan seks itu sendiri tingkat kepentingan dari pendidikan seks pada

anak dan waktu yang tepat bagi anak dalam memperoleh pendidikan seks. Beberapa uraian sub tema meliputi:

(71)

Makna pendidikan seks pada anak untuk anak usia prasekolah menurut orang tua khususnya ibu sangat beragama. Informan mengungkapkan sebenarnya kurang memahami pendidikan seks itu sendiri khususnya bagi anak usia 3 hingga 6 tahun. Hal ini terlihat dari pernyataan dua informan yang mengungkapkan bahwa pendidikan seks itu sendiri adalah pengajaran mengenai seks bebas dan bahayanya sehingga diharapkan anak dapat terhindar dari masalah tersebut. Berikut pernyataan informan:

“diberi tahu bagaimana bahayanya berhubungan seks bebas. Apa apa saja ya yang harus dia ketahui untuk dihindari.” (P4)

“biar ga melenceng dari norma agama, dari masalah yang tak terduga, biar ga dapet fitnah juga.” (P2)

Satu informan lagi menyatakan bahwa pendidikan seks itu sendiri merupakan pengajarakan mengenai masa pubertas anak. Berikut pernyataannya:

“ya tentang masa remaja dia masa pubernya atau masa baliqnya gitu.” (P6)

Persepsi yang sesuai bagi ibu mengenai pendidikan seks pada anak khususnya untuk anak usia prasekolah seperti

yang diungkapkan tiga dari enam informan menyatakan bahwa pendidikan seks bagi anak usia 3 hingga 6 tahun adalah mengenai jenis kelaminnya dan fungsinya. Berikut pernyataan informan:

(72)

kesenggama, jadi ke alat kelaminnya itu apa dan fungsinya.” (P1)

“Mengenai fungsi organ intim. terus fungsi-fungsi organ yang ada di tubuhnya juga.” (P3)

“kalau umur segini paling….kasih taunya bedanya laki-laki sama perempuan.” (P5)

2) Tingkat kepentingan pendidikan seks untuk anak usia prasekolah.

Temuan yang didapat peneliti mengenai persepsi ibu mengenai seberapa penting pendidikan seks bagi anak khususnya pada anak usia 3 hingga 6 tahun ini. Seluruh informan menyatakan bahwa pendidikan seks penting untuk anaknya namun di sini terlihat bahwa alasan ibu yang beragam mengenai pendidikan seks pada anak masih belum memahami pendidikan seks itu sendiri khususnya untuk anak usia prasekolah. Berikut pernyataan informan:

“penting juga sih. kalau dia bertanya kan kita harus jawab.” (P1)

“Penting.. biar ga melenceng dari norma agama, dari masalah yang tak terduga, biar ga dapet fitnah juga.” (P2)

“Penting.. biar otaknya juga berkembang gitu” (P3) “mungkin penting penting banget. Soalnya kan namanya sekarang ini pergaulan makin bebas.” (P4) “Penting..agar anak dapat bersikap baik terhadap orang lain. ya terutama dengan teman sebayanya.” (P5)

“ya penting..supaya anak saya bisa tahu tentang seks itu apa.” (P6)

3) Waktu yang tepat untuk memberikan anak pendidikan seks.

(73)

seks bagi anak hanya satu informan yang menyatakan

bahwa pendidikan seks dapat diberikan ketika anak mulai bertanya. Berikut pernyataan informan:

“Sekitar lima tahun gitu karena anak segitu kan dia mulai bisa bertanya.” (P1)

Lima dari enam informan lain berpendapat bahwa pendidikan seks sebaiknya dimulai ketika anak usia sekolah. Hal ini dikarenakan bahwa mereka merasa bahwa anak usia 3 hingga 6 tahun masih belum pantas dan belum bisa mengerti jika diajarkan pendidikan seks. Berikut pernyataan informan:

“mungkin 7 tahun ya. Soalnya kalau 4 tahun 5 tahun kan dia kurang paham. Apa lagi SD sekarang kan pergaulannya kan makin lama makin bebas juga ya. Mungkin dari dia sekolah dasar.” (P4)

“kalau saya sih baiknya usia sekolah. Karna saat udah usia sekolah itu kan sudah mulai diajarkan segala macam kan? TK PAUD kan masih main-main.” (P5)

c. Pengetahuan ibu mengenai pendidikan seks.

Pengetahuan yang dimiliki ibu akan mempengaruhi pemberian pendidikan seks pada anak. Pengetahuan yang dikaji oleh penelitian terkait dengan pengetahuan mengenai pendidikan seks yang meliputi pengetahuan mengenai organ-organ seksual

fungsinya dan tumbuh kembang seksualitas yang terjadi pada anak. Pengetahuan ibu pun dapat diliat dari sumber informasi dan riwayat pendidikan seks ibu.

Gambar

Tabel 2.1 Penelitian Terkait……………………………………….
Tabel 2.1 Penelitian Terkait
Tabel 5.1 karakteristik informan
Gambaran hasil penelitian pengalaman ibu dalam memberikan

Referensi

Dokumen terkait

Ketika adanya tekanan oleh kristal, tekanan tadi ‘mendorong’ keluar elektron yang tersimpan di dalam basis dielektrik tadi, mengakibatkan beda tegangan sebagai akibat dari

Apabila tidak terdapat wakil penawar yang hadir pada saat pembukaan, panitia menunda pembukaan kotak/tempat pemasukan dokumen penawaran sampai dengan batas

Berdasarkan hasil uraian di atas, maka dari itu penulis perlu membuat laporan kerja praktik lapangan (LKP) dengan judul “Strategi Pemasaran Dalam Meningkatkan

membuang limbah rumah tangga langsung ke saluran pembuangan tanpa pengolahan. Fasilitas pengolahan limbah rumah tangga secara komunal/ terpusat masih sangat minim sekali, jauh

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh rasio likuiditas, leverage dan profitabilitas terhadap returnsaham padaperusahaan manufaktur yang terdaftar di

Bekas militer-wajib dan bekas militer-sukarela adalah tenaga yang telah terdidik dan terlatih dalam olah-jurit, Dalam keadaan darurat atau keadaan perang yang pada

Penelitian menyimpulkan bahwa (1) gambaran faktor riwayat keluarga hipertensi usia produktif sebagian besar memiliki riwayat keluarga menderita hipertensi, (2) gambaran berat

Di antara serabut kolagen yang membentuk berkas terdapat fibroblast yang sering disebut “sel tendon” Di antara berkas satu dengan yang lain terdapat jaringan ikat longgar