• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V HASIL PENELITIAN

B. Analisa bivariat

1. Hubungan antara jenis kelamin dengan sikap masyarakat

Hasil analisis menggunakan Pearson correlation didapatkan P= 0,609 (Sig = 0,05), maka Ho diterima yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara jenis kelamin dan sikap masyarakat. Hal ini tidak sesuai dengan teori Lewin (1970) dan Green (1991) yang mengatakan bahwa jenis kelamin adalah salah satu faktor pembentuk sikap. Penyebab ketidaksesuaian ini dimungkinkan karena perbandingan jumlah responden yang tidak sama, yaitu laki-laki 19 orang, sedangkan perempuan berjumlah 46 orang. Dari jumlah yang tidak seimbang inilah yang menyebabkan ketidaksesuaian jumlah pada laki-laki dan perempuan yang menyebabkan laki-laki mendapatkan sedikit gambaran sikap dibandingkan perempuan yang berjumlah 46 sikap.

Hasil observasi dan wawancara terhadap responden, didapatkan bahwa sebagian besar sikap penduduk dipengaruhi oleh budaya masyarakat dalam memperoleh pengobatan. Masyarakat cenderung meminta pengobatan kepada orang-orang di luar tenaga kesehatan profesional seperti dokter, namun mereka menggunakan jasa pengobatan alternatif dalam mendapatkan penyembuhan. Keadaan inilah yang sangat mempengaruhi

sikap masyarakat terhadap program pencegahan filariasis. Jikalau dalam keadaan sakitpun masyarakat enggan dalam mengkonsumsi obat, maka saat keadaan sehat masyarakat cenderung menolak untuk mengkonsumsi obat.

Penyebab dari tidak ada hubungan yang signifikan adalah komponen afektif dan konatif (Kothandapani (1974) dalam Azwar (2013)). Komponen afektif dapat dilihat dari emosi seseorang terhadap suatu objek, sedangkan komponen konatif dapat dilihat dari perilaku dan sikap seseorang sehari-hari. Sebagai contoh, seseorang yang memiliki sikap negatif terhadap minum obat (tidak mementingkan obat dalam penyembuhan), akan cenderung menolak jika diberikan obat.

Penelitian serupa pernah dilakukan oleh Yetti (2007) di Jakarta, yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan kepatuhaan perilaku kesehatan. Sampel yang diteliti berjumlah 94 orang didapatkan nilai P 0,245.

2. Hubungan antara umur dengan sikap

Hasil analisis menggunakan Spearman correlation didapatkan P tabel 0,835 dengan ketentuan P value 0,05 yang menunjukkan bahwa Ho diterima atau dapat dijelaskan bahwa tidak ada hubungan antara variabel umur dengan sikap. Hal ini tidak sesuai dengan teori yang dipakai pada penelitian ini yakni Teori Lewin (1970) dan Green (1991) yang menunjukkan bahwa umur merupakan salah satu faktor pembentuk sikap.

Tidak adanya hubungan ini dimungkinkan karena faktor afektif dari responden. Komponen afektif dapat dilihat dari kecenderungan sikap responden selama hidupnya. Jika orang yang memiliki sikap selalu menolak dengan pengobatan atau program pemberian obat, maka meskipun umur semakin bertambah, sikap akan tetap cenderung sama karena sikap dan persepsi seseorang akan cenderung stabil dan menetap. Hal ini dapat dilihat dari terdapatnya lansia yang memiliki sikap kurang terhadap program pencegahan filariasis (1,5%).

Hasil penelitian serupa yang dilakukan oleh Joni (2008) di Tangerang, didapatkan hasil bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara usia dengan kepatuhan responden dalam mengkonsumsi obat anti tuberkulosis paru di Pusksesmas Panunggangan Kota Tangerang.

3. Hubungan antara pendidikan dengan sikap

Hasil analisis menggunakan Spearman correlation didapatkan P tabel 0,889 dengan P values 0,05 yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara pendidikan dengan sikap. Hasil ini tidak sesuai dengan teori Lewin (1970) dan Green (1991) yang mengatakan bahwa pendidikan adalah salah satu komponen pembentuk sikap.

Ketidaksesuaian ini dimungkinkan karena belum adanya gejala atau tanda penyakit yang dilihat (preceived) ( Lewin (1954) dalam Notoatmodjo (2010)). Dalam teori Health Belief Model, Lewin mengungkapkan bahwa pendidikan bisa menjadi komponen sikap jika telah mendapatkan suatu

gejala yang tidak menguntungkan bagi dirinya. Seseorang dengan level pendidikan tinggi, akan cenderung melihat bahwa jika sakit, baru minum obat.

Hal ini tidak sejalan dengan teori Azwar (2013) yang mengatakan bahwa salah satu komponen pembentuk sikap adalah lembaga pendidikan dan lembaga agama. Teori Azwar menjelaskan bahwa ada enam komponen pembentuk sikap, dan pendidikan adalah komponen kelima dalam pembentukan sikap.

4. Hubungan antara pendapatan dengan sikap

Hasil analisis dengan menggunakan Pearson correlation didapatkan P tabel 0,574 dengan P Value 0,05 yang menunjukkan bahwa Ho diterima atau tidak adanya hubungan antara pendapatan dengan sikap. Hasil ini tidak sesuai dengan teori Lewin dan Green yang dipakai pada penelitian ini. Lewin mengatakan bahwa kelas ekonomi adalah salah satu faktor pembentuk sikap.

Ketidaksesuaian ini dimungkinkan karena tidak adanya biaya yang dikeluarkan saat responden menerima atau menolak program ini. Lewin (1954) dalam Notoatmodjo (2010) mengatakan bahwa masyarakat akan memiliki sikap yang baik jika dapat melihat manfaat yang dikurangi biaya dalam pengambilan keputusan. Biaya disini memiliki peran yang penting dalam menentukan sikap selanjutnya karena cenderung orang akan merasa rugi jika telah membayar sesuatu tapi tidak dimanfaatkan. Dalam penelitian

ini, masyarakat tidak akan ada kerugian secara material ketika masyarakat menerima obat atau tidak dan minum obat atau tidak, dikarenakan program ini telah ditanggung pemerintah.

Penelitian serupa pernah dilakukan oleh Yuliarti (2007) yang mengatakan bahwa dari sampel sebanyak 104 menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara penghasilan keluarga dengan penerimaan obat.

5. Hubungan antara pengetahuan dengan sikap

Hasil analisis menggunakan Pearson correlation didapatkan P tabel 0,270 dengan P Value 0,05, hal ini menunjukkan bahwa Ho diterima atau tidak adanya hubungan pengetahuan dengan sikap. Hasil ini tidak sesuai dengan teori Lewin (1970) dan Green (1991) yang menjadi dasar penelitian ini.

Penyebab yang signifikan dari tidak adanya hubungan ini adalah dalam memberikan pendidikan kesehatan, petugas tidak memberikan menyeluruh kepada semua kelompok umur, melainkan hanya kepada ibu-ibu pengajian dan perkumpulan warga. Sedangkan masyarakat dengan kelompok remaja tidak mendapatkan pendidikan kesehatan dari petugas, melainkan dari sekolah atau media massa. Hal inilah yang membuat tidak sama dan tidak setaranya pengetahuan yang didapatkan oleh masyarakat tentang filariasis dan program pencegahan filariasis ini.

6. Hubungan antara jenis kelamin dengan perilaku minum obat

Hasil analisis menggunakan Chi square didapatkan bahwa P tabel adalah 0,617 dengan P value 0,05 yang menunjukkan bahwa Ho diterima atau tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan perilaku minum obat anti filaria. Hasil ini tidak sesuai dengan teori yang mendasari penelitian ini, yakni teori Lewin (1970) dan Green (1991). Lewin mengatakan bahwa jenis kelamin adalah salah satu faktor pembentuk perilaku masyarakat.

Becker (1974) dalam Notoatmodjo (2010) memperkirakan bahwa teori Lewin yang menyebutkan bahwa jenis kelamin mempunyai pengaruh terhadap perilaku adalah karena dalam kesehariannya, perempuan lebih tunduk dan patuh kepada laki-laki. Laki-laki adalah kepala keluarga yang mempunyai kekuatan, sehingga mempunyai rasa bahwa keputusannya adalah keputusan mutlak. Namun, setelah kemajuan jaman dan terbukanya seluruh aspek pengetahuan terhadap perempuan, hal tersebut semakin berubah. Pada saat ini, perempuan mendapatkan pendidikan yang sama dengan laki-laki, mempunyai pengetahuan yang sama, dan mempunyai pengaruh yang sama terhadap masyarakat. Hal inilah yang menjadi penyebab ketidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan perilaku yang dilakukan. Mechanics (1988) dalam Notoatmodjo (2010) mengatakan bahwa dalam keadaan sakit atau dalam memenuhi kebutuhannya, laki-laki dan perempuan akan melakukan tindakan dan tahapan-tahapan yang sama.

Hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan Joni (2008). Dalam penelitiannya yang berjudul faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan pasien tuberkulosis dalam mengkonsumsi obat anti tuberkulosis di Puskesmas Panunggangan kota Tanggerang tahun 2008. Penderita wanita biasanya akan lebih patuh minum obat karena sesuai kodrat wanita yang ingin tampak terlihat cantik dan tidak ingin ada cacat pada tubuhnya.

7. Hubungan antara umur dengan perilaku minum obat

Hasil analisis dengan menggunakan Sperman correlation didapatkan P tabel 0,494 dengan P value 0,05 yang menunjukkan bahwa Ho diterima atau tidak ada hubungan antara umur dengan perilaku minum obat anti filaria. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan teori Lewin (1970) dan Green (1991) yang menyatakan bahwa umur adalah salah satu faktor pembentuk perilaku masyarakat.

Erik Erikson dalam teori perkembangannya mengatakan bahwa pada tahap Integrity atau Despair manusia akan mengalami beberapa kemunduran dalam mengambil keputusan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa masih ada 6,2% lansia yang tidak minum obat yang diberikan. Hal inilah yang memperkuat ketidak ada hubungan antara umur denga perilaku masyarakat dalam minum obat.

Penelitian serupa juga dilakukan oleh Randika (2011) yang berjudul Faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan minum obat anti Filariasis pada penduduk usia 15-65 tahun di RW 09 Kelurahan Pondok

Petir Kecamatan Bojongsari Kota Depok Tahun 2011. Hasil penelitian tersebut adalah didapatkan p=0,450 sehingga disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara umur dengan perilaku minum obat.

8. Hubungan antara pendidikan dengan perilaku minum obat

Hasil analisis dengan menggunakan Spearman correlation didapatkan P tabel 0,845 dengan P Value 0,05 yang menunjukkan bahwa Ho diterima atau tidak ada hubungan antara pendidikan dengan perilaku minum obat anti filaria. Hasil ini tidak sesuai dengan teori Lewin (1970) dan Green (1991) yang mengatakan bahwa pendidikan adalah salah satu faktor pembentuk perilaku manusia.

Lewin (1970) dalam Notoatmodjo (2010) menyatakan bahwa faktor pembentuk perilaku akan sangat kuat jika terdapat faktor pendorong (cues) dalam diri dan lingkungan yang ditempati. Dalam penelitian ini, faktor pendorong dapat dilihat dari jurusan atau ranah masyarakat dalam mengambil pendidikan. Pendidikan sangat erat kaitannya dengan pengetahuan, namun jika pendidikan yang diambil tidak menjurus pada jurusan kesehatan, maka perilaku kesehatanpun akan menurun. Seseorang dengan pendidikan tinggi belum tentu mengetahui dengan detail tentang filariasis, sehingga perilaku terhadap pencegahan filariasis akan cenderung kurang. Hal inilah yang menyebabkan pendidikan tidak selalu berhubungan dengan perilaku kesehatan.

Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Randika (2011) yang mendapatkan P pada variabel pendidikan 0,976, sehingga disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara pendidikan dengan kepatuhan minum obat filariasis.

9. Hubungan antara pendapatan dengan perilaku minum obat

Hasil analisis dengan menggunakan Spearman correlation didapatkan P tabel 0,413 dengan P Value 0,05 yang menunjukan bahwa Ho diterima atau tidak ada hubungan antara pendapatan dengan perilaku minum obat anti filaria. Hasil ini tidak sesuai dengan teori Lewin (1970) yang menyatakan bahwa pendapatan atau kelas ekonomi adalah salah satu faktor pembentuk perilaku kesehatan.

Masih dalam teori yang sama, Lewin memberikan penguatan bahwa pendapatan atau ekonomi tidak secara langsung membentuk perilaku. Masyarakat akan cenderung memanfaatkan sesuatu yang didapatkan jika dia telah mengeluarkan biaya dalam mendapatkannya. Rasa rugi adalah salah satu faktor penguat untuk melakukan suatu tindakan atau perilaku sehat. Masyarakat akan merasa terdorong untuk mengambil manfaat jikalau dia akan merasa rugi atau membuang uang jika tidak dimanfaatkan. Sedangkan pada program pencegahan filariasis ini, pemerintah menjalankan program dengan gratis, sehingga menurunkan dorongan untuk bertindak.

Penelitian serupa juga dilakukan oleh Jaya (2009) yang mengemukakan bahwa hasil uji statistik antara pendapatan dengan

kepatuhan minum obat adalah P= 0,757 sehingga disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara pendapatan dengan kepatuhan minum obat.

10. Hubungan antara pengetahuan dengan perilaku minum obat

Hasil analisis dengan menggunakan Pearson correlation didapatkan P tabel 0,589 dengan P Value 0,05 yang menunjukkan bahwa Ho diterima atau tidak ada hubungan antara pengetahuan dengan perilaku minum obat anti filaria. Hasil ini tidak sesuai dengan teori Lewin (1970) dan Green (1991) yang menyatakan bahwa pengetahuan adalah salah satu faktor pembentuk perilaku manusia.

Penyebab utama ketidaksesuaian ini adalah bahwa petugas kesehatan tidak memberikan pendidikan kesehatan secara merata kepada semua kelompok umur. Petugas hanya memberikan pendidikan kesehatan kepada ibu-ibu pengajian dan pertemuan warga. Sedangkan kelompok remaja tidak mendapatkan pendidikan kesehatan dari petugas. Selain itu, petugas tidak memberikan obat secara langsung kepada masyarakat pada waktu obat akan diminum (malam hari). Waktu pemberian obat juga menentukan bagaimana sikap dan perilaku masyarakat terhadap obat tersebut, karena jikalau ada sesuatu yang akan ditanyakan, masyarakat bisa langsung bertanya dan petugas bisa langsung memberikan pengarahan. Selain itu, petugas bisa melihat secara langsung ketika masyarakat minum obat yang dibagikan.

Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan teori Bahavior Intention yang dikemukakan oleh Snehedu Kar (1988) dalam Notoatmodjo (2010) yang

mengatakan bahwa perilaku dalam kesehatan dipengaruhi oleh niat, dukungan sosial, pengetahuan, otonomi pribadi, dan situasi yang memungkinkan.

Dokumen terkait