• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI PEMBAHASAN

B. Analisa Bivariat

Berdasarkan hasil penelitian mengenai perbedaan perkembangan bahasa pada anak usia toddler di RW 17 Kelurahan Pisangan Kecamatan Ciputat Timur dan di PSAA Balita Tunas Bangsa Cipayung menunjukkan bahwa ada perbedaan perkembangan bahasa antara anak usia toddler di RW 17 dan di PSAA Balita Tunas Bangsa Cipayung dalam mengatakan 2 suku kata yang sama pada anak usia 12 bulan (p

value = 0,029) dan dalam menggunakan 2 kata pada saat berbicara pada anak usia 36 bulan (p value = 0,029).

Penelitian ini juga menggambarkan tidak ada perbedaan perkembangan bahasa antara anak usia toddler di RW 17 dan di PSAA Balita Tunas Bangsa Cipayung dalam menyebutkan 2-3 kata yang dapat ditiru oleh anak usia 12 bulan (p value = 0,070), mengatakan “papa” ketika ia memanggil/melihat ayah atau mengatakan “mama” jika memanggil/melihat ibu pada usia 15 bulan (p value = 0,486) dan 18 bulan (p value = 0,143), mengucapkan paling sedikit 3 kata yang mempunyai arti selain “papa” dan “mama” pada usia 21 bulan (p value = 0,464) dan 24 bulan (p value = 1,000), menunjuk dengan benar paling sedikit satu bagian badannya pada usia 24 bulan (p value = 0,429) dan 30 bulan (p value = 1,000), membantu memungut mainannya sendiri atau membantu mengangkat piring jika diminta pada anak usia 24 bulan (p

value =1,000) dan 30 bulan (p value = 1,000), menggunakan 2 kata pada saat berbicara pada usia 30 bulan (p value = 0,558), menyebutkan 2 diantara gambar kucing, burung, kuda dan anjing pada usia 30 bulan (p

value = 0,222) dan 36 bulan (p value = 0,529) dan mengikuti perintah yang diberikan dengan seksama (p value = 0,529).

Adanya perbedaan perkembangan dalam mengatakan 2 suku kata yang sama misalnya “ma-ma”, “da-da” atau “pa-pa” pada anak usia 12 bulan dan dalam menggunakan 2 kata pada saat berbicara seperti “minta minum”, “mau tidur” pada anak 36 bulan bisa disebabkan pemberian stimulasi bahasa ketika anak berusia dibawah 12 bulan yang kurang. Pada saat bayi, kecepatan pembentukan sinaps meningkat sebagai respon dari stimulasi. Stimulasi yang tidak dilakukan secara berkesinambungan akan menyebabkan sinaps yang terbentuk menjadi kurang (synaptic pruning) (Berk, 2012).

Menurut Suryawan (2012) penyebab anak mengalami keterlambatan perkembangan bahasa 90% dikarenakan adanya gangguan

input yakni kurangnya pemberian stimulasi. Keterlambatan

perkembangan bahasa pada anak dikarenakan kurangnya stimulus yang diberikan orang tua kepada anak seperti kurangnya mengajak anak berbicara, berinteraksi dan bermain (Suryawan, 2012). Wijaya (2009) menjelaskan bahwa stimulasi perlu dilakukan secara terus menerus karena setiap kali anak berfikir atau memfungsikan otaknya, akan terbentuk sinaps baru untuk merespon stimulasi tersebut. Stimulasi yang terus menerus akan memperkuat sinaps yang lama sehingga otomatis

membuat fungsi otak semakin baik. Dalam teori Operant Conditioning

untuk meningkatkan respon perlu adanya pembiasaan (conditioning) yang terjadi dengan suatu penguatan (reinforcement) (Skinner dalam Kristianty, 2006). Penelitian yang dilakukan Suryani (2013) menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara stimulasi perkembangan bahasa dengan tingkat kemampuan bahasa anak usia 1-3 tahun. Angka korelasi Spearman Rank = +0,309 dengan hubungan kekuatan sedang, dan dikatakan ada korelasi positif yang artinya semakin baik stimulasi perkembangan bahasa, maka semakin baik tingkat perkembangan bahasa anak.

Lebih banyak hasil penelitian yang menunjukkan tidak adanya perbedaan perkembangan bahasa pada anak di dua lokasi tersebut disebabkan karena jumlah sampel yang sedikit. Di dalam PSAA Balita Tunas Bangsa Cipayung, anak mendapatkan pengasuhan secara kontinyu selama 24 jam dari para pengasuh. Pemenuhan kebutuhan dasar anak di panti seperti makan, kebersihan diri, bermain dan hiburan seluruhnya dipenuhi oleh pihak panti. Anak di RW 17 juga mendapatkan pemenuhan kebutuhan yang maksimal dengan ibu yang tidak bekerja. Menurut penelitian Sudono (2000), pekerjaan orang tua yang menyita waktu dapat mengurangi interaksi orang tua dengan anak dan dapat mempengaruhi perkembangan bahasa anak. Sejalan dengan hasil penelitian Dewi (2009) bahwa terdapat hubungan antara pekerjaan ibu dengan perkembangan bahasa anak, dimana ibu yang tidak bekerja (ibu rumah tangga) memiliki anak yang perkembangan bahasanya baik. Hal ini mungkin disebabkan

karena ibu yang tidak bekerja mempunyai banyak waktu untuk berinteraksi dengan anak. Pengasuhan dilakukan sendiri oleh ibu kepada anaknya tanpa menggunakan bantuan jasa orang lain maupun baby sitter

sehingga perkembangan bahasa anak dapat berjalan dengan optimal. Diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan Murray & Yingling (2000) yang mengindikasikan bahwa terdapat hubungan antara kasih sayang dan stimulasi di rumah dengan peningkatan kompetensi bahasa.

Hampir sebagian besar alasan anak yang diasuh di PSAA Balita Tunas Bangsa Cipayung adalah karena orang tua tidak sanggup membiayai kehidupan anaknya. PSAA Balita Tunas Bangsa Cipayung adalah salah satu panti asuhan milik Dinsos DKI Jakarta dengan pembiayaan menggunakan dana APBD. PSAA Balita Tunas Bangsa Cipayung memberikan fasilitas-fasilitas yang memadai untuk menunjang stimulasi perkembangan anak, termasuk perkembangan bahasa. Soetjiningsih (2008) menyatakan bahwa anak yang mendapat stimulasi yang terarah dan teratur akan lebih cepat berkembang dibanding dengan anak yang kurang mendapat stimulasi. Walau responden di RW 17 Kelurahan Pisangan berasal dari keluarga dengan pendapatan perbulan masih dibawah UMR, tapi sebagian besar para ibu dapat menyediakan fasilitas perkembangan bagi anak seperti mainan, buku bergambar dan buku cerita. Sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Gunawan (2010) menggambarkan bahwa status ekonomi keluarga kurang tidak ada hubungannya dengan gangguan perkembangan bahasa anak. Sedangkan menurut Judarwanto (2010), status sosial ekonomi berperan

penting terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak. Dalam hal ini status sosial ekonomi keluarga yang rendah dapat menyebabkan kurang dapat memenuhi kebutuhan anak baik dalam hal nutrisi maupun alat stimulasi perkembangan anak, sehingga kemampuan anak dalam perkembangan bahasa menjadi kurang optimal.

Masing-masing ruang kamar di PSAA Balita Tunas dilengkapi dengan mainan-mainan anak. Anak-anak bermain ketika waktu istirahat dibawah pengawasan pengasuh. Dengan bermain mereka bisa saling berkomunikasi antara satu dengan yang lainnya. Selain itu dengan bermain anak bisa merespon pembicaraan temannya sehingga dapat menambah kosakata (Santrock, 2007). Bermain bagi anak merupakan media yang baik untuk belajar karena dengan bermain anak akan berkomunikasi, belajar menyesuaikan diri dengan lingkungannya, melakukan apa yang dapat dilakukan, mengenal waktu, jarak serta suara (Wong, 2009).

Penempatan anak secara berkelompok dalam satu kamar di PSAA Balita Tunas Bangsa Cipayung mungkin terlihat lebih efektif untuk meningkatkan kemampuan berbicara anak dibanding dengan anak yang diasuh di rumah. Di rumah, anak-anak toddler ketika bermain mayoritas anak bermain dengan kakak atau saudaranya yang lebih tua. Penelitian

National Institute of Child Health and Human Development (NICHD) menemukan bahwa anak berumur 6 bulan ke atas yang memiliki pengalaman di pusat perawatan anak lebih lama, menunjukkan suatu perkembangan bahasa yang lebih baik daripada anak yang hanya diasuh

di rumah. Hal ini mungkin disebabkan anak di panti lebih banyak menerima pola bahasa yang berbeda-beda, lebih banyak mempunyai stimulasi bahasa dan lebih banyak kesempatan untuk bertemu dengan teman sebayanya sehingga memungkinkan anak agar lebih banyak bicara untuk mengungkapkan keinginannya. Waktu bermain anak yang berkurang memiliki dampak serius bagi perkembangan anak dan kesehatan mental emosionalnya seperti anak lebih sering mengalami kecemasan, depresi, perasaan tidak berdaya dan kurangnya percaya diri (Harnowo, 2011).

Hasil penelitian menggambarkan bahwa pada usia 18 bulan terdapat 4 anak (80%) yang mampu mengatakan “papa” ketika ia

memanggil/melihat ayahnya, atau mengatakan “mama” jika

memanggil/melihat ibunya, sedangkan di PSAA Balita tunas bangsa tidak terdapat anak (0%) yang mampu melakukannya. Hal ini bisa disebabkan karena di panti tersebut anak-anak tidak disamaratakan dalam memanggil pengasuh wanita sebagai mama dan pengasuh pria sebagai papa. Dengan kata lain masing-masing pengasuh membahasakan dirinya ibu, mama atau bunda dan ayah, bapak atau papa. Pada dasarnya belajar bahasa adalah melalui peniruan-peniruan maupun pengalaman sehingga anak bisa menyebut benda atau nama orang disekitarnya (Hurlock, 2000). Penelitian ini hanya mengaitkan faktor lingkungan dengan perkembangan anak. Wong (2009) menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan bahasa anak antara lain lingkungan prenatal, pendidikan ibu, pekerjaan ibu, sosial ekonomi dan riwayat

keluarga yang mengalami keterlambatan bahasa. Orang tua dengan tingkat pendidikan rendah merupakan faktor resiko keterlambatan bahasa pada anaknya (Judarwanto, 2010). Tingkat pendidikan tinggi akan membuat orang tua memiliki pengetahuan yang terkai perkembangan bahasa anak yang pada akhirnya dapat diaplikasikan untuk memahami kenutuhan perkembangan anak (Subagyo, 2010). Cara bagaimana orang tua mengajarkan bahasa dan memberi stimulasi mempengaruhi laju perkembangan bahasa. Hal inilah yang membuat anak kurang maksimal dalam perkembangan bahasanya. Penelitian Pancsofar (2006) menyatakan semua keluarga dengan tingkat pendidikan dan ekonomi yang menguntungkan akan mempunyai anak dengan resiko lebih rendah untuk mengalami keterlambatan perkembangan bicara dan bahasa. Sejalan dengan hasil penelitian Gunawan (2010) bahwa semua anak di TPA mengalami perkembangan bicara dan bahasa yang baik dengan tingkat pendidikan pengasuh (orang tua dan pengasuh TPA) yang tinggi serta berasal dari keluarga dengan keadaan ekonomi yang baik.

Anak dengan riwayat ibu sakit selama kehamilan, trauma perinatal, infeksi asfiksia, penggunaan obat ototoksik secara signifikan akan mengalami keterlambatan bicara/bahasa (Leung, 1999). Penelitian Maddeppungeng (2006) menunjukkan diantara 49 anak dengan keterlambatan bahasa terdapat 25 anak (51%) anak yang mempunyai faktor resiko. Faktor resiko dialami sejak masa konsepsi sampai masa neonatal secara langsung maupun tak langsung dapat menganggu perkembangan anak.

Dokumen terkait