• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisa Data 1.Partisipan I

ANALISA DATA DAN INTERPRETASI

A. Analisa Data 1.Partisipan I

a. Identitas Diri Partisipan I

Tabel 1. Gambaran Umum Partisipan I Keterangan Partisipan I

Nama Samaran Mai

Jenis Kelamin Perempuan

Usia 40 tahun

Pendidikan terakhir SD kelas II

Pekerjaan Buruh lepas pertanian, tukang cuci Jumlah tangungan 3 orang

Jumlah anak 3 orang Lama pernikahan 22 tahun Lama bercerai 1 tahun

Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.

b. Deskripsi Data Partisipan I

Partisipan I dalam penelitian ini bernama Mai, seorang wanita yang berusia 40 tahun. Saat ini part bertempat tinggal di desa Pasar Rawa kabupaten Langkat, Sumatera Utara, sekitar 75 km dari kota Medan. Partisipan I menikah dengan Amat, suaminya, tahun 1987 dan dikaruniai 4 orang anak, yaitu 2 anak perempuan dan 2 anak laki- laki. Namun, putra sulung Partisipan I meninggal saat berusia 3 tahun. Anak kedua dan ketiga partisipan I adalah perempuan yang saat ini berusia 18 tahun dan 16 tahun, sedangkan anak bungsu Partisipan I, laki- laki yang berusia 8 tahun.

Partisipan I menikah di usia 19 tahun. Perkenalan Partisipan I dengan suaminya dimulai saat Partisipan I berkunjung ke rumah saudara temannya di Susu. Pertemuan yang singkat tersebut ternyata telah mempertemukan Partisipan I dengan jodohnya. Setelah kurang lebih 3 bulan dari perkenalan itu, Partisipan I pun menikah dengan suaminya tahun 1987. Namun, pernikahan Partisipan I tidak berlangsung dengan bahagia, suaminya berselingkuh dengan wanita lain, selain itu, suami nya juga sering memukulinya, marah kepadanya dan tidak memberikan uang belanja yang mencukupi. Hal ini membuat Partisipan I tidak tahan lagi untuk mempertahankan rumah tangganya dan akhirnya Partisipan I mengajukan perceraian terhadap suaminya, 1 tahun yang lalu, yaitu tepatnya bulan Februari 2008.

Perceraian partisipan I dengan suaminya berlangsung di rumahnya yang diasaksikan oleh kepala lorong setempat. Namun, Partisipan I belum melegalkan

Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.

secara hukum perceraiannya ke pengadilan karena alasan ekonomi. Tidak ada pembicaraan hak asuh anak dalam perceraian, sehingga ketiga anak partisipan diasuh oleh partisipan.

Berdasarkan observasi selama 4 kali pertemuan diperoleh bahwa Partisipan I adalah seorang wanita memiliki ciri fisik dengan tinggi kira- kira 155 cm dan berat badan kurang lebih 50 kg. Berambut panjang, sedikit bergelombang, dan berwarna hitam dengan kulit berwarna sawo matang.

Setelah bercerai dengan suaminya, Partisipan I mengaku lega karena terbebas dari tindakan yang sering menyakitinya. Namun, lima bulan setelah bercerai Partisipan I harus berpisah dengan putri sulungnya yang bernama Mala karena Mala berangkat menjadi TKI di Malaysia. Tidak lama kemudian, partisipan I juga harus berpisah dengan putri keduanya karena bekerja sebagai pelayan warung makan di Medan. Hal ini membuatnya sedih karena sebelumnya ia tidak pernah berpisah dengan anak- anaknya.

Saat ini partisipan I hanya tinggal berdua dengan putra bungsunya yang masih kelas 2 SD. Partisipan I sendiri mengenyam pendidikan hanya sampai kelas 2 SD. Sehari- hari Partisipan I bekerja sebagai buruh lepas di persawahan sekitar rumahnya, namun tidak rutin karena tergantung musim. Jika musim menanam padi, jika padi sudah tumbuh, partisipan I bekerja merumput. Namun, disaat tidak musim menanam, partisipan I juga tetap bekerja di sawah, misalnya ceting, mengambil padi- padi yang tumbuh kembali setelah panen, atau stek, mengumpulkan sisa padi yang sudah dioalah. Suami yang tidak bertanggung jawab dalam keuangan setelah bercerai membuat partisipan I menambah

Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.

pekerjaanya pada malam hari. Partisipan I menambah pekerjaan sebagai tukang cuci di rumah- rumah yang masih berada disekitar desa tersebut, pekerjaan ini ia lakukan setelah bercerai dari suaminya untuk menambah penghasilan. Penghasilan partisipan I tidak menentu karena tergantung dengan jumlah ceting atau stek yang didapatnya. Namun, setiap harinya rata- rata ia berpenghasilan Rp 15.000- Rp 20.000.

c. Obeservasi Umum Partispan I

Tabel 2. Waktu Wawancara Partisipan I

No Partisipan Hari/Tanggal Wawancara Waktu Wawancara Tempat Wawancara Kegiatan 1 Mai Sabtu/ 21 Februari 2009 18.00– 18.20 Rumah partisipan Rrapport dengan partisipan 2 Mai Sabtu/ 21 Februari 2009 20.00- 20.10 Rumah partisipan Rapport, penjadwalan, inform concern. 1 Mai Minggu/ 22 Februari 2009 19.30-20.45 Rumah partisipan Pertanyaan utama, probing 2 Mai Kamis/ 19 Maret 2008 20.00-21.00 Rumah partisipan Pertanyaan utama, probing, dan

Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009. kredibilitas data 3 Mai Jumat/ 3 April 2008 10.00-12.00 Rumah partisipan Probing, kredibilitas data, dan closing

Peneliti mengenal Partisipan I dari seorang kerabat dekat peneliti yang merupakan tetangga partisipan I. Pertemuan pertama dengan partisipan I, peneliti ditemani dengan kerabat dekat peneliti dan berlangsung di rumah partisipan I. Pertemuan pertama I ini adalah upaya yang dilakukan peneliti untuk membangun rapport dan juga menjelaskan kedatangan peneliti ke rumah partisipan I. Selain itu, peneliti juga ingin memastikan kesedian partisipan I untuk menjadi subjek penelitian.

Petemuan pertama ini dilakukan tanggal 21 Februari 2009 pukul 18.00 WIB. Pada pertemuan tersebut, partisipan I sedang bersiap- siap untuk mandi karena partisipan I baru saja pulang dari sawah mengumpulkan sisa padi. Pada pertemuan tersebut, partisipan I mengenakan baju berwana putih polos dengan celana abu- abu yang panjangnya sampai di bawah lutut. Mengingat pertemuan ini hanya untuk meminta persetujuan partisipan I, maka peneliti membangun rapport dengan partisipan I. Peneliti menjelaskan tentang penelitian ini, tujuan dari penelitian, apa saja keterlibatan partisipan I dalam penelitian ini. Setelah menjelaskan maksud dan tujuan dari penelitian, partisipan I tidak ada menyatakan persetujuan dan hanya mengatakan ia, kemudian partisipan I mengatakan bahwa

Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.

ia akan pergi mandi dan partisipan I menyarankan untuk kembali pada malam hari saja karena ia sudah sangat lelah dan waktu maghrib sudah dekat .

Malam harinya, pada pukul 20.00 peneliti kembali mendatangi untuk memastikan kesediaan partisipan I. Pertemuan kedua dengan partisipan I berlangsung di tempat partisipan I bekerja menyuci. Peneliti kembali menjelaskan kepada partisipan I tujuan dan keterlibatan partisipan I pada penelitian. Setelah kurang lebih 10 menit berbincang, partisipan I akhirnya menyetujui dan menentukan jadwal pertemuan untuk mengadakan wawancara pertama. Peneliti juga mengajukan inform concern kepada partisipan I. Awalnya partsipan I menolak, namun setelah dijelaskan akhirnya partisipan I setuju dan menandatanganinya.

Wawancara pertama yang merupakan pertemuan ketiga berlangsung pada tanggal 22 Februari, 2009 pada pukul 19.30 – 20.45 di rumah partisipan I. Pada wawancara pertama partisipan I mengenakan kemeja lengan pendek berwarna biru muda dengan celana pendek berwarna coklat muda yang panjangnya sampai di bawah lutut. Pada saat itu, partisipan I berdua dengan anaknya di rumah, tetapi selama wawancara berlangsung anak partisipan I sedang tidur di kamar. Wawancara pertama ini dilakukan di ruang tamu rumah partisipan I yang berukuran kurang leibh 3 x 3 m. Selama wawancara berlangsung, peneliti dan partisipan I duduk saling berhadapan di kursi tamu dan dibatasi oleh meja. Kondisi rumah pada malam itu hening, alat-alat elektronik, seperti TV, VCD, atau radio tidak ada yang dihidupkan. Jendela rumah semua sudah tertutup rapat, kecuali pintu utama yang masih terbuka. Di dinding ruang tamu tepajang beberapa

Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.

hiasan, tulisan nama- nama anak partisipan dan satu buah foto pernikahan partisipan I dengan mantan suaminya.

Pada awal wawancara, partisipan I hanya menjawab dengan singkat pertanyaan peneliti dan beberapa kali menggenggam kedua tangannya, namun tidak terlalu erat sambil mengerak-gerakannya. Sambil duduk bersandar di bantalan kursi sesekali partisipan I melihat keluar pintu rumah saat menjawab pertanyaan dari peneliti. Saat peneliti menanyakan rasa rindu kepada suaminya ia tidak memberi jawaban begitu juga saat partisipan bertanya mengenai bantuan yang diberikan oleh keluarga.

Wawancara kedua dilakukan tanggal 19 Maret 2009, pukul 20.00- 21.00 WIB di tempat yang sama dengan wawancara pertama, yaitu di ruang tamu rumah partisipan I. Kondisi rumah partisipan I pada malam itu berbeda dengan wawancara pertama, tetapi perabotan masih belum berubah, hanya saja kursi dan meja ruang tamu dirapatkan ke dinding. Saat wawancara kedua anak bungsu partisipan I sedang sakit dan tidur di lantai ruang tamu sedangkan partisipan I duduk disamping anaknya. Malam itu partisipan I menggunnakan celana abu- abu polos dengan panjang sampai di bawah lutut dan kaus berwarna hijau. Selama wawancara berlangsung peneliti duduk saling berhadapan dengan partisipan I di lantai ruang tamu.

Sama dengan wawancara pertama, pada awal wawancara partisipan I menjawab pertanyaan hanya dengan singkat dan saat partisipan I meminta untuk menggambarkan kondisi rumah tangga sebelum bercerai, dengan sedikit senyum partisipan I menjawab biasa saja dan tidak ada pertengkaran. Hal ini berbeda

Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.

dengan wawancara sebelumnya. Peneliti mengalihkan pertanyaan dan partisipan I juga sudah tidak lagi menjawab dengan singkat. Saat peneliti mempertanyakan kembali kondisi rumah tangganya, partisipan I mengatakan ia sering bertengkar dengan suaminya. selama wawancara partisipan I tidak berpindah dari tempat duduknya. Sesekali saat menjawab pertanyaan partisipan I menatap keluar pintu rumah yang terbuka pada malam itu.

Wawancara ketiga berlangsung pada tanggal 3 April 2009 di rumah partisipan I. Berbeda dengan wawancara sebelumnya, wawancara ketiga dilakukan siang hari pukul 10.00 – 10.30 tidak ada yang berubah dari perbotan partisipan I saat wawancara pertama hanya saja susunan kursi tamu tertata dan jendela ruang tamu saat itu terbuka semua. Suasana rumah sangat heing, tidak ada satupun alat elektronik yang dihidupkan. Anak partispan I saat itu sedang sekolah sehingga selama wawancara berlangsung hanya partisipan I dan peneliti di dalam rumah.

Selama wawancara berlangsung partisipan I dan peneliti duduk di kursi ruang tamu dan duduk bersebelahan namun saling berhadapan. Berbeda dengan wawancara sebelumnya, pada awal wawancara partisipan I tidak menjawab pertanyaan dengan singkat. Sesekali partsipan I menggerakan tangganya sambil menjawab pertanyaan partisipan I. Baju kaos warna putih bercorak biru dengan celana coklat yang panjanganya sampai bawah lutut menjadi pakaian yang dikenakan partsipan I pada hari itu.

Wawancara berlangsung lancar, tidak ada pertanyaan yang tidak dijawab oleh partisipan I, namun saat partisipan I menceritakan perselingkuhan suaminya,

Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.

sambil menatap peneliti, nada suara partisipan I berubah tinggi dan sedikit bergetar. Saat peneliti mengganti topik pembicaraan partisipan I kembali tenang dan saat menyinggung masalah suami yang tidak bertanggung jawab dan perselingkuhan mantan suaminya, partisipan I kembali menjawab dengan nada tinggi dan bergetar.

d. Gambaran Pernikahan Sebelum Bercerai

Setelah berkenalan kurang lebih 3 bulan, partisipan I menikah dengan suaminya, tepatnya pada tahun 1986. Pernikahan partisipan I dengan suaminya dikaruniai 4 orang anak, dua anak perempuan dan dua anak laki- laki, namun anak yang pertama telah meninggal dunia. (P1.W3/k. 383-384/hal.43, P1.W3/k. 493/hal.47, P1.W3/k. 431-437/hal.44)

Sehari- hari suami partisipan I bekerja sebagai buruh di perkebunan sawit. Oleh karena itu, selama berumah tangga suami partisipan I jarang pulang ke rumah. Waktu suami pulang ke rumah juga tidak menentu, terkadang 7 hari suami sudah pulang ke rumah, terkadang 15 hari, 10 hari, atau 9 hari suami partisipan I pulang ke rumah. ( P1.W3/k. 427/hal.44, P1.W1/k. 256/hal.7, P1.W2/k. 24-25/hal.14, P1.W1/k. 259-263/hal.7)

Rumah tangga yang dibangun partisipan I dengan mantan suaminya tidak dirasakan bahagia oleh partisipan I. Hanya dua tahun setelah menjalani pernikahannya partisipan merasakan kebahagiaan dalam rumah tangganya. (P1.W3/k. 451-452/hal.46, P1.W3/k. 455-456/hal.46)

Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.

Ketidakbahagiaan dalam rumah tangga partisipan I berawal dari rasa curiga partisipan I terhadap suaminya. Perlahan suami memberikan uang belanja semkain berkurang sedikit demi sedikit. Walaupun uang belanja tetap diberikan tetapi tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Oleh karena itu partisipan I bekerja agar bisa menambah penghasilan untuk biaya anak- anak sekolah. (P1.W3/k. 748-757/hal.53, P1.W3/k. 759-762/hal.53)

Partisipan I juga mendengar berita dari teman -temannya bahwa suaminya berselingkuh dengan wanita lain. Sebelumnya saat anak ketiga partispan I masih kecil, ia juga pernah mendengar berita yang sama, tetapi partisipan I menganggap itu hanya fitnah. Hal ini menjadi fikiran partisipan I hari ke hari, namun partisipan I tetap menyimpan berita ini dan menyelidiki kebenaran berita ini. (P1.W3/k. 552-555/hal.48, P1.W3/k. 1507-1509/hal.70, P1.W3/k519-524/hal.47)

Selain itu, perilaku suami juga mulai berubah. Suami menjadi sering marah saat berada di dalam rumah. Partisipan I merasa bahwa penyebabnya perilaku marah suami karena suaminya sedang ada masalah dengan selingkuhannya. Partisipan I merasa kurang pantas mendapat perilaku seperti itu dari suaminya sedangkan ia merasa sudah letih bekerja di sawah membantu suaminya. Hal ini membuat partisipan kembali marah kepada suaminya dan mereka menjadi sering bertengkar. (P1.W3/k. 448-451/hal.44-45, P1.W3/k. 453-463/hal.45, P1.W2/k. 67-69/hal.15, P1.W2/k. 64-65/hal.15)

Bukan hanya perilaku yang tidak setia yang diberikan suami kepada partisipan I, tetapi juga perilaku yang sering memukul. Kurang lebih 5 tahun usia pernikahannya, partisipan I merasa suami sudah mulai kasar terhadapnya dan

Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.

kerap kali memukulnya, khusunya saat anak- anak tidak ada di rumah, namun terkadang partisipan juga melawan saat suami memukulnya. (P1.W1/k. 45/hal.2, P1.W1/k50-51/hal.2, P1.W1/k399-402/hal.10)

Akhirnya partisipan I menemukan bukti nyata mengenai perselingkuhan suaminya dari handphone suaminya saat suami partisipan I meninggalkan handphone di rumah dan secara kebetulan wanita itu menghubungi handphone suami partisipan I. Partisipan I menerima telpon tersebut dan menemukan bahwa wanita lain tersebut bernama Soleha. (P1.W3/k. 835-849/hal.55, P1.W3/k. 853-866/hal.55, P1.W3/k. 868-885/hal.55-56, P1.W3/k. 889-890/hal.56)

Setelah itu partisipan I terus mencari tahu mengenai perselingkuhan suaminya, dan untuk lebih meyakinkannya partispan I menjumpai seorang dukun untuk berkonsultasi, dan sang dukun menjawab bahwa wanita tersebut telah memiliki seorang anak. (P1.W3/k. 897/hal.56, P1.W3/k. 899-913/hal.56)

Sejalan dengan kondisi rumah tangganya, hubungan partisipan I dengan mertuanya juga kurang baik sejak menikah. Partisipan I merasa mertuanya tidak menyukainya. Kurang lebih setahun pernikahnnya, partisipan I mendengar berita dari saudaranya bahwa mertuanya tidak menyetujui pernikahan mereka karena ia hanyalah orang kampung yang tidak memiliki pengajian. Semenjak mendengar berita tersebut, partisipan I pun merasa tidak enak dengan kelusarga suaminya. (P1.W3/k.612-632/hal. 50, P1.W3/k.704-712/hal. 50)

Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.

Setelah berusaha untuk mempertahankan rumah tangganya, partisipan I justru merasakan kesengsaraan. Perilaku suami yang berselingkuh, memukulinya, dan terkadang tidak tentu dalam memberikan uang belanja membuat partisipan I menjadi tahan lagi dan memutuskan untuk bercerai. (P1.W3/k. 929-934/hal.57, P1.W3/k. 32-38/hal.1-2, P1.W3/k. 29-30/hal.1)

Partisipan I juga mengakui sudah merasa putus asa dan sudah tidak mau lagi berfikir untuk berbaikan dengan suaminya. (P1.W3/k.1134-1135/hal.61, P1.W3/k. 1138-1144/hal.61)

Namun, memutuskan untuk bercerai bukanlah hal yang bisa dilakukan dalam waktu sebentar. Selama 5 bulan, partisipan I mempertimbangkan jalan yang baik ditempuhnya untuk rumah tangganya, memikirkan nasib anak- anaknya, namun di sisi lain, jika tetap bersama suaminya ia merasakan kesengsaraan, dipukul, belanja yang tidak cukup. Akhirnya partisipan I mengaku tidak tahan lagi dan merasa sengsara, dan memutuskan bahwa jalan yang baik adalah bercerai. (P1.W1/k.56-60/hal.2, P1.W2/k.341-365/hal.22, P1.W1/k.56-(P1.W1/k.56-60/hal.2, P1.W1/k.65-71/hal.2)

Perceraian berlangsung dan dihadiri oleh saksi, saat hari perceraian tersebut, saksi sempat meminta partisipan I memikirkan kembali rumah tangganya namun partisipan I mengaku sudah tidak tahan lagi dan tetap meminta untuk bercerai. Setelah mendatangani surat perceraian, muncul rasa senang dalam diri partispan I, karena baginya tidak akan ada lagi penyiksaan, ia merasa seperti burung yang lepas dari dalam sangkar. (P1.W2/k.86-87/hal.16, P1.W2/k.89-98/hal.16, P1.W2/k.163-181/hal.18)

Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.

Tidak ada perebutan harta setelah bercerai. Setelah bercerai, mantan suami partisipan I membagi sedikit hartanya. Rumah yang ditempati partisipan I adalah milik anak- anak, namun selama partipan I belum menikah lagi dan masih mengurus anak- anak, maka rumah itu masih merupakan milik partisipan I. (P1.W2/k.110-130/hal.16-17)

Sedangkan mengenai pengasuhan anak tidak ada dibicarakan dalam perceraian, tetapi karena anak- anak tidak mau ikut dengan ayahnya dan ayah pun tidak pernah meminta untuk membawa dan mengasuh anaknya, maka ketiga anak partisipan tinggal bersamanya. (P1.W2/k.134/hal.17, P1.W2/k.136-139/hal.17, P1.W2/k.141-147/hal.17, P1.W2/k.151-152/hal.17, P1.W3/k.280-281/hal.41)

f. Penyesuaian Perceraian

(1) Penyesuaian Trauma emosional

Bagi partisipan I perceraian merupakan jalan yang baik baginya daripada ia merasakan kesengsaraan dan menderita hidup berumah tangga dengan suaminya. Partisipan I juga tidak pernah menangis, ia lebih memilih untuk menerima semua yang telah terjadi, bahkan saat terakhir kali memutuskan untuk bercerai, partsipan I merasa sudah tenang dan tidak ragu lagi dengan keputusannya. (P1.W3/k.1405-1412/hal.67, P1.W3/k.1414-1427/hal.68)

Setelah perceraian terjadi partisipan I tidak merasa kesedihan atas perpisahannya dengan suaminya. Kesedihan partisipan I hanya memikirkan mengenai anak- anak, tidak lagi memikirkan suaminya.(P1.W2/k.525-526/hal. 26, P1.W2/k.505-509/hal.26, P1.W2/k.497-502/hal.25-26)

Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.

Sampai saat sekarang juga partisipan tidak ada perasaan sedih. Baginya semua peristiwa ini adalah nasib jadi tidak perlu untuk disedihkan berhari- hari. Perilaku suami yang menyakitkannya mengakibatkan partisipan I tidak merasa kehilangan dan sedih, baginya jika suami mau hilang, hilanglah. (P1.W2/k.513-516/hal. 26, P1.W2/k.518-520/hal. 26, P1.W3/k.1443-1454/hal.68)

Partisipan I tidak merasakan sedih atas perceraiannya karena ia yang meminta bercerai dari suaminya. Namun, masalah anak merupakan masalah yang menjadi beban fikiran partisipan I yang terkadang membuatnya sedih. (P1.W2/k.528-537/hal. 26)

Kehadiran teman juga membantu partisipan I untuk menghindari rasa sedih. Terkadang saat partisipan I teringat dengan perilaku suaminya hingga membuat partisipan I kesal di dalam rumah, partisipan I memilih untuk pergi keluar ke rumah teman untuk bercerita tentang masalah anak ataupun pekerjaan, tertawa agar menghilangkan rasa bosan dan menghindari rasa sedih (P1.W3/k.1632-1633/hal.72, P1.W2/k.583-596/hal. 27-28, P1.W2/k.599-608/hal. 28)

Hal lain yang membuat partisipan I tidak bersedih atas perceraiannya karena anaknya tidak merindukan ayahnya. Partisipan I mengetahuinya saat ia mempertanyakan kepada anaknya yang paling kecil saat ia sakita dan anaknya mengatakan ia tidak meinrdukan ayahnya. Putri- putri partisipan yang sudah dewasa dan sudah bisa bekerja dan mencari pengahasilan sendiri juga membuat partisipan I senang. (P1.W2/k.540-560/hal. 26-27, P1.W2/k.612-618/hal. 28)

Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.

Perasaan sayang atau mengingat mantan suami sudah tidak ada lagi setelah bercerai karena perilaku mantan suami selama menikah sangat mengesalkan partisipan I, sehingga ia tidak lagi memikirkan atau mengingat suaminya hanya teringat pada perbuatan suaminya terhadap dirinya. (P1.W1/k.94-97/hal.3, P1.W1/k.127-131/hal.4, P1.W1/k.121-124/hal.4, P1.W1/k.133-137/hal.4)

Partisipan I juga mengatakan bahwa perceraiannya dengan suaminya tidak membuat kesehatan partisipan I menurun, begitu juga makan atau kebiasan tidur pasrtisipan I. Hanya masalah anak yang saat ini jauh dari partisipan I yang menjadi beban fikiran partisipan I saat ini. (P1.W1/k.718-721/hal.31, P1.W1/k.726/hal.31, P1.W1/k.728 /hal.31, P1.W1/k.731-744/hal.31)

(2) Sikap Masyarakat Terhadap Perceraian

Seminggu setelah bercerai partsipan I memberitahukan kepada tetangganya mengenai perceraiannya dengan suaminya agar para tetangga mengetahui bahwa ia sudah tidak lagi memiliki suami, orang yang bertanggung jawab di dalam rumah tangga partisipan I sehingga para tetangga bisa menolongnya, misalnya untuk memperhatikan anaknya berpartisipan In saat ia bekerja. (P1.W3/k.1292/hal.65, P1.W3/k.1309-1325/hal.65, P1.W3/k.1294-1300/hal. 65)

Saat tetangga partisipan I mengetahui perceraiannya dan setelah partisipan menceritakan perilaku suaminya, para tentangga partisipan I memberi tanggapan bahwa perceraian merupakan jalan yang baik bagi partisipan I. Tetangga partisipan I juga mengatakan bahwa lelaki yang seperti suaminya tidak bisa

Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.

dijadikan pendamping hidup lagi, jadi perceraiannya adalah jalan yang baik. (P1.W1/k.185-190/hal. 5, P1.W2/k.194-197/hal. 18)

Masyarakat sekitar juga tidak ada yang mengganggu ataupun mengatakan hal yang negatif kepada partisipan I atas perceraiannya karena menurut partisipan I masyarakat sekitar mengetahui baik buruknya pekerjaan partisipan. (P1.W1/k.208-209/hal. 6, P1.W1/k.169-171/hal. 5, P1.W1/k.169-171/hal. 5)

Sebaliknya, masyarakat sekitar partisipan I tinggal justru banyak membantunya, khususnya menjaga anaknya saat partisipan I sedang bekerja di sawah. Tetangga di sekitar rumah partisipan I akan melarang anak partisipan I berpartisipan In jika dirasakan perpartisipan Inannya berbahaya. (P1.W3/k.1206-1215/hal. 63, P1.W3/k.1232-1235/hal. 64, P1.W3/k.1237-1241/hal. 64)

Status single yang disandang partisipan I setelah bercerai tidak menimbulkan rasa malu baginya. Hal ini dikarenakan partisipan I tidak merasa melakukan kesalahan, justru suaminya yang menimbulkan permasalahan, jadi partisipan I merasa suaminya yang seharusnya malu. Sebaliknya, teman- teman partisipan justru kasihan terhadapny, tidak ada yang memceritakan permasalahan rumah tangganya. (P1.W2/k.229-239/hal.19, P1.W2/k.241-247/hal.20, P1.W3/k.1245-12450/hal.64)

Partisipan I juga tidak menyesali perceraiannya yang terjadi dan tidak merasa bersalah atas perceraiannya dengan suami. Tindakannya untuk meminta bercerai adalah karena perilaku suami yang membuatnya tidak bisa bertahan lagi. (P1.W2/k.215 /hal. 19, P1.W1/k.218-222/hal. 6, P1.W2/k.207-209/hal. 19, P1.W2/k.217-222/hal. 19)

Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.

(3) Penyesuaian Terhadap Kesepian dan Social Readjustment.

Perceraian partisipan I dengan suaminya tidak membuat partisipan I merasa kesepian setelah bercerai karena sejak menikah dulu suami partisipan I jarang berada di rumah sehingga partisipan I sudah biasa tinggal di rumah bersama anak- anak. Kehadiran anak- anak juga membuat partisipan I tidak merasa kesepian berada di rumah. (P1.W1/k.285-287 /hal. 7, P1.W2/k.481-486 /hal. 25)

Walaupun tidak ada perasaan kesepian, namun saat ini partisipan I mengakui bahwa ia kehilangan tempat untuk mengadukan masalah anak- anaknya dan saat ini ia merasa sunyi saat di rumah karena kedua anaknya tidak lagi tinggal di rumah. (P1.W2/k.492-494 /hal. 25, P1.W1/k.249-253/hal. 6-7).

Partisipan I juga tidak merasa kehilangan suaminya. Perilaku mantan suaminya saat menikah membuatnya sakit hati sehingga partisipan I sudah pasrah dan sudah merelakan jika hubungannya dengan mantan suaminya berakhir. (P1.W3/k.1435-1440 /hal. 68)

Kehadiran teman sangat membantu partisipan I dalam menghadapi perceraiannya. Setiap kali fikiran partisipan banyak, kacau, sehingga membuat partisipan I tidak mampu lagi menahannya, partisipan I pergi ke tempat teman- temannya yang bisa menenangkan pikirannya. Partisipan I merasa jika ia terus memendam permasalahan yang dihadapinya, ia akan sakit kepala, jadi lebih baik ia menceritakan permasalahannya dengan teman- temannya, sehingga tidak ada masalah lagi. (P1.W2/k.762-770/hal.32, P1.W3/k.1400-1402/hal.67, P1.W2/k.772-778/hal. 32)

Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.

Sampai saat ini belum ada keinginan partisipan I untuk menikah kembali. Partisipan I mengatakan jika suatu saat nanti ia menemukan jodoh yang baik dan

Dokumen terkait