Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.
PENYESUAIAN PERCERAIAN PADA WANITA DESA YANG
BERCERAI
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi
Oleh:
FASHIHATIN NISA
051301069
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.
Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai
ABSTRAK
Perceraian merupakan putusnya pernikahan yang melibatkan penyesuaian psikologis, sosial dan keuangan (Atwater, 1983). Perceraian bukanlah merupakan peristiwa tunggal tetapi merupakan suatu proses. Oleh karena itu, perceraian mengakibatkan perubahan baru dalam kehidupan sehingga membutuhkan penyesuaian bagi individu yang mengalaminya. Faktor sosiodemografis seperti, pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan yang rendah dapat mempengaruhi seseorang yang bercerai dalam melakukan penyesuaian terhadap perceraiannya (Amato,2000). Sejalan dengan hal tersebut, secara umum wanita desa memiliki tingkt pendidikan, pendapatan, dan pekerjaan yang rendah yang akan mempengaruhi penyesuaian perceraiannya.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui penyesuaian perceraian pada wanita desa yang bercerai. Pengambilan data menggunakan metode kualitatif dengan jumlah responden sebanyak dua orang. Prosedur pengambilan data dilakukan berdasarkan konstruk operasional (operasional construct sampling). Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam (in-depth interview) sebagai metode utama dan observasi pada saat wawancara dilakukan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum kedua responden mengalami masalah dalam penyesuaian perceraiannya, namun dukungan dari teman, keluarga, dan kehadiran anak sangat membantu penyesuaian perceraian yang dialui.
Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, atas karunia dan hidayahnya,
penulis dapat menyusun penelitian yang berjudul “GAMBARAN
PENYESUAIAN PADA WANITA DESA YANG BERCERAI “ guna
memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi Fakultas
Psikologi Universitas Sumatera Utara.
Tiada gading yang tak retak, begitu juga penyusunan penelitian ini.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun, agar
nantinya penelitian ini dapat memenuhi/ mendekati kesempurnaan sesuai dengan
yang diharapkan.
Pada kesempatan ini, Penulis mengucapkan terima kasih serta
penghargaan yang setinggi – tingginya atas bimbingan dan saran yang telah
diberikan, kepada :
1. Raras Sutatminingsih, M.Psi, Psikolog, selaku dosen pembimbing
saya yang telah banyak memberikan bimbingan dan saran selama
proses penyusunan penelitian.
2. Bapak dan Ibu Dosen yang telah mendidik Penulis selama Kuliah di
Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara, sehingga penulis dapat
menyelesaika studi ke jenjang program Sarjana.
3. Terkhusus kepada Bapak/ Ibu selaku kedua orang tua, yang telah
Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.
doa restu serta dorongan moril sehingga Penulis dapat menyelesaikan
Penelitian ini.
4. Rekan- rekan Mahasiswa Fakultas Psikologi Universita Sumatera
Utara, khususnya buat teman- teman seperjuangan stambuk, 2005, para
responden, dan semua pihak yang telah memberikan bantuan kepada
penulis.
Semoga segala budi baik yang telah diberikan kepada Penulis, dapat
diterima sebagai amal soleh disisi Alllah SWT.
Medan, Juli 2009 Penulis
Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.
DAFTAR ISI
Abstrak ... i
Kata Pengantar ... ii
Daftar Isi ... v
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 10
C. Tujuan Penelitian ... 10
D. Manfaat Penelitian ... 10
1. Manfaat Teoritis ... 10
2. Manfaat Praktis ... 11
E. Sistematika Penulisan ... 11
BAB II LANDASAN TEORI ... 13
A. Pacaran ... 13
1. Definisi Pacaran ... 13
2. Karakteristik Pacaran ... 14
3. Komponen Pacaran ... 16
4. Alasan Berpacaran ... 17
5. Model-model Pacaran ... 19
B. Ta’aruf ... 21
1. Definisi Ta’aruf ... 21
Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.
3. Alasan Ta’aruf ... 24
4. Model Ta’aruf ... 26
5. Proses Ta’aruf ... 27
C. Pernikahan ... 28
1. Definisi Pernikahan ... 28
2. Fase Pernikahan ... 29
D. Kepuasan Pernikahan ... 32
1. Definisi Kepuasan Pernikahan ... 32
2. Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Pernikahan ... 33
3. Aspek Kepuasan Pernikahan ... 36
4. Kriteria Kepuasan Pernikahan ... 40
E. Dinamika Kepuasan Pernikahan Pasangan yang Menikah melalui Pacaran ... 41
G. Paradigma Penelitian ... 43
BAB III METODE PENELITIAN ... 44
A. Pendekatan Kualitatif ... 44
B. Responden dan Lokasi Penelitian ... 45
1. Karakteristik Responden ... 45
2. Jumlah Responden ... 46
3. Lokasi Penelitian ... 47
C. Teknik Pengambilan Sampel ... 47
D. Teknik Pengambilan Data ... 48
Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.
2. Alat Bantu Pengambilan Data ... 49
3. Kredibilitas Penelitian ... 50
E. Prosedur Penelitian ... 52
1. Tahap Persiapan Penelitian ... 52
2. Tahap Pelaksanaan Penelitian... 53
3. Tahap Pencatatan Data ... 54
F. Teknik dan Prosedur Pengolahan Data ... 55
BAB IV ANALISA DATA DAN INTERPRETASI ... 57
A. Deskripsi Data ... 57
1. Pasangan Pacaran (Suami) ... 58
2. Pasangan Pacaran (Istri)... 58
3. Pasangan Ta’aruf (Suami)... 58
4. Pasangan Ta’aruf (Istri) ... 59
B. Analisa Data 1. Pasangan Pacaran (Suami) ... 59
2. Pasangan Pacaran (Istri)... 78
3. Pasangan Ta’aruf (Suami)... 92
4. Pasangan Ta’aruf (Istri) ... 108
C. Interpretasi Data ... 122
1. Pasangan Pacaran (Suami) ... 122
2. Pasangan Pacaran (Istri)... 127
3. Pasangan Ta’aruf (Suami)... 134
Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.
BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN ... 162
A. Kesimpulan ... 162
B. Diskusi ... 163
C. Saran ... 167
1. Saran Praktis ... 167
2. Saran Penelitian Selanjutnya ... 168
DAFTAR PUSTAKA
Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.
DAFTAR TABEL
Tabel IV. A : Gambaran Umum Responden Penelitian ... 57
Tabel IV. B : Rangkuman Hasil Wawancara ... 147
Tabel IV. C : Perbandingan Kepuasan Pernikahan Pada
Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN A
Pedoman Wawancara ... 173
LAMPIRAN B
Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Menikah dan membina kehidupan rumah tangga merupakan salah satu
aktivitas sentral dari manusia yang bertujuan untuk memperoleh suatu kehidupan
yang bahagia dan paripurna. Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan
merupakan suatu bentuk hubungan antara laki-laki dan perempuan yang meliputi
hubungan seksual, legitimasi untuk memiliki keturunan (memiliki anak) dan
penetapan kewajiban yang dimiliki oleh masing-masing pasangan. Pernikahan
yang bahagia merupakan impian bagi setiap pasangan yang menikah. Idealnya di
dalam sebuah pernikahan menghadirkan kedekatan, komitmen, persahabatan,
afeksi, pemenuhan kebutuhan seksual, dan kesempatan untuk menumbuhkan
emosional (gardiners, et.al,. 1998; Myers, 2000 dalam Papalia, 2006)
Kenyataannya pernikahan bukanlah suatu hal yang mudah untuk dialui.
Banyak dari pasangan menikah menemukan bahwa pernikahan yang mereka jalani
tidak sesuai dengan yang diharapkan (Degenova, 2008). Tidak ada pernikahan
tanpa masalah baik kecil ataupun besar. Pada setiap pernikahan walaupun sudah
matang dipersiapkan dan cukup mendalam di bidang perkenalan pribadi, juga
tidak luput dari pertengkaran pribadi atau perselisihan – perselisihan paham
(Gunarsa, 2003).
Konflik-konflik yang ditemui dalam menjalani pernikahan merupakan hal
Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.
suami istri untuk mengatasi konflik- konflik yang terjadi dalam pernikahannnya
dapat mengakibatkan kegagalan dalam hubungan pernikahannya (Papalia,2005).
Argyle dan Henderson (dalam Hurlock,1993) menjelaskan bahwa terdapat
rangkaian keributan atau krisis yang tidak terselesaikan dalam rumah tangga yang
semakin lama menjadi masalah yang meningkat serius dan dapat mengganggu
hubungan pernikahan. Kegagalan pasangan suami istri untuk mempertahankan
keharmonisan pernikahannya menjadi alasan untuk pasangan memilih perceraian
menjadi satu alternatif penyelesaian masalah pernikahan yang terakhir walau
berat dan pahit.
Kenyataannya, akhir-akhir ini, perceraian di Indonesia semakin banyak
dipilih oleh para pasangan untuk menyelesaikan konflik pernikahan yang mereka
hadapi. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya angka perceraian di Indonesia.
Hal tersebut diungkapkan oleh Dirjen Bimas Islam Departemen Agama
Nazaruddin Umar yang menyatakan bahwa gejolak yang mengancam kehidupan
struktur keluarga ini semakin bertambah jumlahnya pada tiga tahun terakhir ini.
Setiap tahunnya ada 2 juta perkawinan, tetapi yang memilukan perceraian
bertambah menjadi dua kali lipat, setiap 100 orang yang menikah, 10 pasangan
diantaranya bercerai
Bimas Islam Departemen Agama, pada tahun 2007, tercatat sedikitnya 200 ribu
pasangan melakukan pisah ranjang alias cerai dan saat ini angka perceraian di
Indonesia sudah menjadi rekor tertinggi di kawasan Asia Pasifik
Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.
Meningkatnya jumlah perceraian menunjukkan bahwa sikap negatif
terhadap perceraian sudah berkurang jika dibandingkan dengan sepuluh tahun
yang lalu, namun sebuah perceraian tetap merupakan hal yang bersifat traumatis
bagi kebanyakan individu yang mengalaminya (Matlin,2005). Indonesia sendiri
yang masih identik dengan budaya ketimurannya masih memberikan stigma
negatif terhadap perceraian. Atwater (1983) mengemukakan bahwa perceraian
merupakan putusnya pernikahan yang melibatkan penyesuaian psikologis, sosial
dan keuangan. Oleh karena itu, perceraian bukanlah hal yang mudah dilalui bagi
individu yang mengalaminya. Hurlock (1980) mengemukakan bahwa efek
traumatik yang ditimbulkan akibat perceraian biasanya lebih besar daripada efek
kematian, karena sebelum dan sesudah perceraian sudah timbul rasa sakit dan
tekanan emosional. Hal ini juga dirasakan oleh salah seorang wanita yang
bercerai:
“Ya sakit, ya marah, ya menderita lah..namanya..pisah kek gitu ya… tapi dikuatkan la, jadi cemana lagi coba..” (P2.W1/k.564-567/hal.87)
Perceraian bukanlah merupakan peristiwa tunggal tetapi merupakan suatu
proses yang didalamnya terdapat pengalaman – pengalaman yang penuh dengan
stres yang dimulai setelah perpisahan secara fisik dan berlanjut setelahnya
(Morrison & Cherlin, 1995 dalam Papalia, 2005). Perceraian yang mengakibatkan
perubahan baru dalam kehidupan membutuhkan penyesuaian di dalamnya
(Stewart & Brentano, 2006). Penyesuaian yang harus dilakukan terhadap
perubahan – perubahan akibat perceraian merupakan hal yang kompleks dan
Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.
Degenova (2008) mengelompokkan delapan ketegori penyesuaian yang
dihadapi setelah perceraian berlangsung, yaitu trauma emosional, sikap
masyarakat terhadap perceraian, kesendirian dan social readjustment, penyesuaian
terhadap pengaturan orang tua, keuangan, pengaturan tanggung jawab dan peran-
peran terhadap pekerjaan, kontak dengan mantan pasangan, dan hubungan dengan
keluarga.
Dalam beberapa kondisi perceraian merupakan pengalaman yang
mengganggu secara emosional dan dalam kondisi terburuknya perceraian
mengakibatkan tingginya tingkatan shock dan disorientasi, khususnya setelah
perpisahan terjadi (Degenova, 2008). Selanjutnya, trauma akibat perceraian akan
semakin dirasakan apabila salah satu pasangan tidak menginginkan adanya
perceraian. Trauma akibat perceraian terlihat pada Misnah, salah seorang wanita
desa yang bercerai
Dah tak bilang waktu diawal- awal dulu..sering kali la..terasa kali la. Penderitaan itu cemana lagi, paling awak bisa nangis sendiri. sedangkan anak kalo ujan- ujan teringat bapak..rasanya aku kalo ujan ujan gini rasanya senang. Itu kan..kalo anak bilang gitu kan terasa. Rasanya oalah..anakku kecarian juga..kehilangan orang tuanya. (P2.W3/k.546-555/hal. 143)
Sikap masyarakat terhadap perceraian juga mempengaruhi seseorang yang
bercerai menghadapi perceraiannya. Hal ini terlihat dalam penelitian Amato (1994
dalam Cohen & Savaya, 2003) terhadap wanita Indian yang bercerai bahwa
stigma negatif masyarakat terhadap perceraian menyebabkan konsekuensi
perceraian yang dialami menjadi sangat sulit jika dibandingkan dengan wanita
Amerika yang bercerai. Bukan hanya sikap masyarakat, sikap individu yang
Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.
bercerai. Bagi individu yang menganggap bahwa perceraian merupakan suatu
kegagalan moral akan lebih mudah merasakan stres dan depresi (Stewart &
Brentano, 2006).
Perasaan kesepian juga akan dirasakan setelah perceraian terjadi
(Degenova, 2008). Oleh karena itu dukungan sosial dari kerabat dan teman sangat
dibutuhkan dan kehadiran dukungan sosial akan sangat membantu individu yang
bercerai dan mengurangi dampak negatif perceraian terhadap kesejahteraan
psikologis (Williams & Alexandra, 2006).
Perceraian juga menyisakan konflik bagi orang tua yang tidak mendapat
hak asuh terhadap anak. Kunjungan orang tua yang tidak mendapatkan asuh
seringnya menimbulkan konflik dan mengurangi kedekatan serta kontak antara
anak dan orang tuanya, walaupun demikian wanita yang mendapatkan hak asuh
anak tetap sering melibatkan suami untuk urusan anak- anak (Degenova, 2008).
Masalah keuangan merupakan hal yang sangat riskan, khususnya pada
wanita. Setelah bercerai wanita umumnya mengalami penurunan pendapatan yang
serius (Brteberg & Tjotta, 2005). Dari beberapa survey yang telah dilakukan
menunjukkan bahwa pendapatan wanita yang bercerai menurun, rata- rata 30 %
dibandingkan dengan wanita yang menikah. Sebaliknya pada laki- laki yang
bercerai mengalami peningkatan rata- rata 28 % sampai 48 %, hal ini disebabkan
karena setelah bercerai umumnya anak- anak di asuh oleh ibu (Stewart &
Brentano, 2006). Penurunan ekonomi juga dirasakan oleh Mai, salah seorang
wanita desa yang bercerai yang mengakibatkan ia menambah pekerjaan setelah
Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.
Ya.. ibu pigi. Kadang musim menanam padi, ibu menanam padi. Musim merumput, ibu merumput. Musim cari padi ke sawah, cari padi. Kalo gak menyuci yang kek tadi malam. Itulah yang ibu cari makan untuk ni yang halal aja (P1.W1/k.352-359/hal. 9)
Perceraian juga membawa perubahan yang radikal dalam peran sebagai
orang tua dan menjadi sulit khususnya pada wanita yang menganut sistem
pernikahan tradisional dimana lelaki yang menjadi sumber perekonomian
keluarga (Stewart & Brentano, 2006). Setelah perceraian terjadi, orang tua akan
dihadapkan dengan pekerjaan yang harus dikerjakan oleh dua orang dan
mengambil alih peran mantan pasangan sebelum perceraiannya terjadi,
konsekuensinya orang tua yang mengasuh anak memiliki waktu yang kurang
dengan anak, kurang mendengarkan, dan sering mengalami masalah dalam hal
mengontrol dan membimbing anak- anak (Degenova, 2008).
Kontak dengan mantan pasangan juga akan berkurang setelah perceraian
khususnya jika timbul rasa kemarahan pada satu pasangan terhadap pasangan
lainnya, begitu juga halnya dengan interaksi terhadap keluarga mantan pasangan.
Sebaliknya, interaksi dengan keluarga akan semakin meningkat setelah perceraian
terjadi (Degenova, 2008).
Kemampuan penyesuaian yang dihadapi setelah perceraian akan berbeda
pada setiap individu. Bagi individu yang tidak mampu melakukan penyesuaian
terhadap perceraiannya akan menimbulkan dampak negatif dalam kehidupannya.
Hal ini dikemukakan oleh Amato (2000) bahwa kegagalan individu untuk
menyesuaikan diri terhadap perceraiannya akan menimbulkan efek negatif, seperti
pengalaman yang penuh dengan stres, meningkatnya emosi dan perilaku negatif,
Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.
dalam keluarga yang baru, pekerjaan, ketidakmampuan mengembangkan idenitas,
dan gaya hidup yang masih terikat dengan pernikahan sebelumnya (Morgan dalam
Amato, 2000).
Dampak negatif yang ditimbulkan akibat perceraian dialami hampir
sebagian besar indvidu yang bercerai baik secara personal maupun sosial
(Amato,2000). Stewart & Brentano (2006) mengemukakan bahwa wanita yang
bercerai menghadapi permasalahan yang tidak begitu parah jika dibandingkan
dengan pria, tetapi berlangsung lama. Pada beberapa tahun setelah bercerai
dilaporkan bahwa wanita mengalami level distress yang lebih tinggi dan depresi
dibandingkan pria. Lamanya efek negatif dari perceraian pada wanita juga
dibuktitakan oleh studi longitudinal yang dilakukan oleh Lorenz, dkk pada tahun
2006. Sebelumnya, pada tahun 1996, Lorenz, dkk telah melakukan penelitian
terhadap wanita di daerah pedesaan Ohio, Amerika Serikat dan hasilnya
menunjukkan bahwa wanita yang bercerai memiliki level yang lebih tinggi
terhadap penyakit dan simptom- simptom depresi. Kemudian pada tahun 2006
penelitian dilakukan kembali pada sampel yang sama dan ditemukan bahwa para
wanita yang bercerai tersebut masih memiliki level yang lebih tinggi terhadap
penyakit dan simptom- simptom depresi dibandingkan dengan wanita yang
menikah.
Tidak semua wanita yang bercerai mengalami efek negatif dalam waktu
lama. Secara umum, individu yang bercerai membutuhkan waktu tiga sampai
empat tahun untuk melakukan penyesuaian terhadap perceraian yang dialaminya
Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.
pekerjaan, dan pendapatan mempengaruhi penyesuaian seorang wanita dalam
melakukan penyesuaian terhadap perceraiannya (Amato, 2000)
Secara umum masyarakat desa hidup dibawah garis kesejahteraan dan
berada dalam kondisi yang miskin, khusunya wanita (Listiani, 2002). Seperti
halnya masalah pendidikan. Umumnya, wanita desa memiliki tingkat pendidikan
yang rendah. Selain karena faktor ekonomi yang rendah, di desa masih terdapat
pandangan bahwa anak perempuan tidak perlu memiliki pendidikan yang tinggi
(Sajogyo, 1996). Masalah status pendidikan juga tidak jauh berbeda dengan
pekerjaan. Secara umum wanita desa tidak bekerja secara tetap, seperti halnya
pegawai. Umumnya, wanita desa bekerja sebagai petani, pengrajin, ataupun
berternak yang penghasilan dan pekerjaannya tidak tetap setiap bulannya, hal ini
tentunya mempengaruhi tingkat pendapatannya setiap bulan (Listiani, 2002).
Kondisi wanita desa yang secara umum memiliki pendapatan, pekerjaan
dan pendidikan yang rendah akan mempengaruhi penyesuaian terhadap
perceraiannya. Hasil penelitian yang dilakukan Cohen & Savaya (2003)
menunjukkan bahwa rendahnya tingkat pendidikan dan pendapatan yang dimiliki
berkorelasi positif dengan ketidakmampuan individu yang bercerai untuk
menyesuaikan diri terhdap perceraiannya, yang dilihat dari lebih tingginya
simptom- simptom depresi pada individu dengan tingkat pendidikan dan
pendapatan rendah dibandingkan dengan individu dengan tingkat pendidikan dan
pendapatan yang tinggi. Amato (2000) juga mengemukakan hal yang sama,
semakin rendah pendidikan dan tidak memiliki pekerjaan akan mempersulit
Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.
Perceraian merupakan suatu proses yang melibatkan penyesuaian di
dalamnya. Sejalan dengan hal tersebut, rendahnya status pendidikan, pekerjaan,
dan pendapatan yang dimiliki wanita desa akan mempengaruhi penyesuaian
setelah perceraian yang dihadapi. Konsekuensinya, ketidakmampuan seorang
wanita desa menyesuaikan diri setelah perceraiannya akan berdampak negatif
terhadap psikologisnya. Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan di atas
peneliti ingin mengetahui bagaimana penyesuaian perceraian pada wanita desa
yang bercerai.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka peneliti merumuskan beberapa
pertanyaan penelitian yang akan dijawab melalui penelitian ini. Dalam hal ini
pertanyaan utama dalam penelitian ini adalah : Bagaimanakah penyesuaian
perceraian pada wanita desa yang bercerai? Pertanyaan umum ini akan terjawab
dengan pertanyaan khusus yang meliputi :
1. Bagaimana 8 kategori penyesuaian perceraian pada wanita desa yang bercerai
(trauma emosional, sikap masyarakat terhadap perceraian, kesendirian dan
social readjustment, penyesuaian terhadap pengaturan orang tua, keuangan,
pengaturan tanggung jawab dan peran- peran terhadap pekerjaan, kontak
dengan mantan pasangan, dan hubungan dengan keluarga).
2. Bagaimana dan faktor- faktor apa saja yang mempengaruhi penyesuaian
Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran penyesuaian
perceraian pada wanita desa yang bercerai.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis
Dari penelitian ini diharapkan dapat memperkaya konsep atau teori yang
menyokong perkembangan ilmu pengetahuan psikologi, khususnya ilmu Psikologi
Klinis yang terkait dengan penyesuaian perceraian pada wanita desa yang
bercerai.
2. Manfaat praktis
(1) Memberikan sumbangan informasi pada masyarakat, keluarga, lembaga-
lembaga atau yayasan yang bergerak dalam bidang perempuan mengenai
hal- hal yang dibutuhkan wanita desa yang bercerai dalam melakukan
penyesuaian terhadap percerainnya.
(2) Memberikan sumbangan informasi mengenai gambaran penyesuaian yang
sulit untuk dihadapi setelah perceraian agar bisa menjadi intervensi
ataupun solusi untuk membantu wanita desa yang bercerai dalam
melakukan penyesuaian terhadap percerainnya.
(3) Memberikan sumbangan informasi hal – hal apa saja yang dapat
membantu wanita desa dalam melakukan penyesuaian terhadap
Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
Bab I : Pendahuluan berisi penjelasan mengenai latar belakang
permasalahan mengenai penyesuaian perceraian pada wanita desa
yang bercerai, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II : Landasan Teori berisi mengenai teori-teori kepustakaan yang
digunakan sebagai landasan dalam penelitian, antara lain defenisi
perceraian, perceraian, penyesuaian perceraian, faktor- faktor yang
mempengaruhi penyesuaian perceraian, dan wanita desa dan
penyesuaian perceraian.
Bab III : Metode Penelitian menjelaskan mengenai metode penelitian yang
berisi tentang pendekatan kualitatif, partisipan penelitian, metode
pengumpulan data, alat bantu pengumpulan data, kredibilita (validitas
penelitian, prosedur penelitian, dan metode analisa data.
Bab IV : Analisa data dan interpretasi berisi mengenai analisa data dan
pembahasan hasil analisa data penelitian dengan teori yang relevan
untuk menjawab pertanyaan penelitian yang telah ditentukan
sebelumnya.
Bab V : Kesimpulan, diskusi, dan saran menjelaskan mengenai kesimpulan
dari apa yang diperoleh di lapangan, diskusi yang merupakan
Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.
atau hasil penelitian sebelumnya serta saran untuk penyempurnaan
Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.
BAB II
LANDASAN TEORI A. Perceraian
1. Pengertian Perceraian
Perceraian merupakan akumulasi dari penyesuaian pernikahan yang buruk,
dan terjadi bila antara suami dan istri sudah tidak mampu lagi mencari cara
penyelesaian masalah yang dapat memuaskan kedua belah pihak. Banyak
pernikahan yang tidak mendatangkan kebahagiaan tetapi tidak diakhiri dengan
perceraian karena pernikahan tersebut didasari oleh pertimbangan agama, moral,
kondisi ekonomi dan alasan lainnya, tetapi banyak juga pernikahan yang diakhiri
dengan perpisahan dan pembatalan secara hukum maupun dengan diam-diam dan
ada juga yang salah satu (suami/istri) meninggalkan keluarga (Hurlock, 1999).
Menurut Atwater (1983) perceraian adalah terputusnya pernikahan, biasanya
bersamaan dengan penyesuaian psikologis, sosial dan keuangan.
Berdasarkan uraian diatas perceraian didefinisikan berakhir atau putusnya
suatu ikatan pernikahan dikarenakan penyesuaian pernikahan yang buruk dan
melibatkan penyesuaian secara sosial, ekonomi, maupun psikologis. Teori ini
akan digunakan untuk mengidentifikasi subyek penelitian yaitu wanita desa yang
Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.
B. Proses Perceraian 1. Perceraian Secara Legal
Pasangan akhirnya memutuskan bahwa mereka akan berpisah dan
memutuskan untuk bercerai. Salah satu atau pasangan yang lainnya akan
mengemasi barang- barang milik mereka dan meninggalkan rumah. Setelah itu
pasangan ini akan dihadapkan dengan konsekuensi atas keputusan mereka. Priode
ini akan menghadapkan mereka dengan kenyataan bahwa mereka sudah terpisah
secara fisik dan biasanya ditandai dengan level distress yang tinggi. Pada
kenyataannya, kebanyakan individu pada masa sebelum dan sesudah berpisah
merupakan masa- masa yang lebih stres dibandingkan saat perceraian telah
diputuskan.
Salah satu tugas yang dilalui selama masa perpisahan adalah perceraian
secara resmi. Terdapat tiga tahap yang dilalui dalam proses perceraian secara
resmi, yaitu: mengurus perceraian, pengaturan keuangan, dan hak asuh anak. jika
kedua pasangan setuju dengan segala suatu hal yang diputuskan maka proses akan
berlangsung dengan sederhana dan lancar.
Mengurus perceraian merupakan tugas pertama yang dilakukan dalam
perceraian secara resmi yang berkaitan dengan pengurusan perceraian ke
pengadilan. Masing- masing pasangan akan mencari pengacara yang menjadi
pendampingan mereka untuk mengurus perceraian ini.
Pengaturan keuangan setelah bercerai merupakan hal yang penting.
Pasangan yang telah bercerai akan berbagi harta yang mereka miliki selama
Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.
yang mudah. Salah satu pasangan bisa saja tidak setuju dengan pembagian
tersebut, karena sulit untuk membuktikan harta benda yang dimilki setelah
menikah dan sebelum menikah. Jika terjadi ketidaksetujuan, proses ini akan
memakan waktu lama dan selalu tidak berakhir dengan pembagian yang
seimbang. Pembagian harta benda setelah bercerai juga menjadi sulit karena
adanya perbedaan kebutuhan wanita dan pria setelah bercerai. Wanita seringnya
menginginkan anak dan rumah, dengan kata lain suami bebas dari tanggung
jawabnya (seperti pengasuhan anak, pajak rumah) tetapi seringnya lelaki tidak
mendapat rumah.
Pengasuhan anak dan hak untuk mengunjungi anak merupakan hal lebih
kompleks dibandingkan dengan pengaturan keuangan. Kedua orang tua
menginginkan untuk mengasuh anaknya. Kedua orang tua juga menginginkan
untuk memiliki kontrol lebih terhadap anak- anak dan ingin bebas dari gangguan
mantan pasangannya, tetapi masing- masing pasangan mungkin akan melakukan
usaha- usaha yang lebih dari mantan pasangannya. Jika pasangan yang bercerai
dapat membuat keputusan mengenai hak asuh, maka pengadilan akan
meresponnya, sebaliknya, jika pasangan yang bercerai tersebut tidak dapat
berkompromi mengenai hak asuh anak, maka pengadilan akan mengambil
langkah- langkah hukum.
Teori mengenai perpisahan digunakan untuk melihat proses legal,
Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.
C. Penyesuaian Perceraian 1. Penyesuaian Perceraian
Penyesuaian perceraian merupakan hal yang kompleks dan memakan waktu
yang lama (Amato,2000). Degenova (2008) mengemukakan penyesuaian yang
harus dihadapi setelah perceraian terjadi, yaitu :
a. Trauma Emosional
Pada situasi tertentu, perceraian merupakan sebuah pengalaman emosional
yang mengganggu. Namun, pada situasi lainnya, perceraian bisa menimbulkan
shock yang tinggi dan disorientasi. Perceraian merupakan krisis emosional yang
dipicu oleh perasaan kehilangan secara tiba- tiba. Proses perceraian meliputi
kekacauan emosi yang terjadi sebelum dan selama perceraian, shock dan krisis
saat perpisahan terjadi, perasaan sedih akibat telah berakhirnya suatu hubungan,
dan usaha untuk mencapai kembali keseimbangan dan menata ulang
kehidupannya. Proses perceraian legal yang menimbulkan perkelahian akan
semakin menambah trauma emosional terhadap perceraian.
Hampir semua studi menunjukkan bahwa pada priode sebelum dan sesudah
perpisahan baik laki- laki dan perempuan melaporkan terjadinya penurunan dalam
penyesuaian psikologis terhadap perceraian. Awal perpisahan merupakan priode
tersulit pada beberapa indvidu. Trauma yang paling besar pada sebagaian individu
terjadi setelah proses legal diputuskan. Suatu studi yang mengkaji mengenai
hubungan antara perceraian dan stres pada wanita dewasa yang bercerai
menunjukkan bahwa peningkatan stres signifikan segera setelah perceraian terjadi
Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.
dengan wanita yang menikah (Lorenz et, al, 1997). Disamping itu, perceraian juga
mengakibatkan kesehatan fisik lebih memburuk, penggunkaan alkohol meningkat
(Mastakaasa,1994), dan tingkat bunuh diri lebih tinggi pada individu yang
bercerai dibandingkan dengan yang menikah. Hal ini mengindikasikan bahwa
perceraian merupakan suatu peristiwa yang traumatis.
b. Sikap Masyarakat Terhadap Perceraian
Salah satu bagian dari trauma akibat perceraian adalah sikap masyarakat
terhadap perceraian dan individu yang bercerai itu sendiri. Pada beberapa
pandangan, perceraian mencerminkan kegagalan moral. Butuh banyak keberanian
untuk memberitahukan bahwa seseorang mengalami kegagalan dalam rumah
tangganya. Teman – teman akan memberi lebel yang kurang menyenangkan
terhadap inidvidu yang bercerai dan menolak kehadirannya.
Stewart & Brentano (2006) mengatakan bahwa seringnya pasangan yang
menikah tidak mengetahui cara bekerjasama dengan teman mereka yang single
dalam aktivitas pasangannya, sehingga individu yang bercerai lebih mengisolasi
diri mereka sendiri dari teman- teman karena merasa tidak nyaman, marah saat
melihat kebahagian orang lain, atau mengasumsikan bahwa orang lain mengkritisi
perilaku mereka. Khusunya jika individu yang bercerai malu karena perilaku
suaminya.
Secara umum individu yang bercerai memandang bahwa perceraian
Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.
secara moral. Individu yang berpandangan negatif terhdap perceraian akan
mempersulit penyesuaiannya terhadap perceraian.
c. Kesendirian dan Social Readjustment
Penyesuaian terhadap kesendirian merupakan hal yang sulit apalagi jika tidak
memiliki anak. Persahabatan dan membentuk suatu hubungan dengan orang lain
merupakan salah satu cara yang yang sangat dianjurkan agar berhasil dalam
melakukan penyesuaian kembali setelah perceraian terjadi. Membina hubungan
baru yang positif dan yang mendukung dapat mengurangi beban psikologi yang
diakbatkan oleh perceraian. Suatu studi menunjukkan bahwa besarnya jaringan
sosial merupakan prediktor yang signifikan terhadap penyesuaian setelah
perceraian (Coysh, Johnston, Tschann, 1989;De Garmo and Forgatch,1999).
Prediktor yang paling kuat terhadap penyesuaian perceraian adalah
keterlibatan dalam suatu hubungan intim. Individu yang memilki pasangan baru
menunjukkan penyesuaian yang lebih baik, kelekatan yang kurang terhadap
mantan pasangan, dan pandangan yang lebih positif terhadap kehidupan (Wang
dan Amato, 2000). Menikah kembali juga membantu individu menyesuaikan diri
dan bukan hanya dapat meningkatkan kepercayaan diri tetapi juga meningkatkan
kenyamanan ekonomi (A.D. Shapiro,1996).
Terdapat perbedaan social readjustment pada individu yang bercerai menurut
usia mereka saat perceraian terjadi. Individu yang berusia lebih tua lebih sulit
menyesuaikan diri dibandingkan dengan individu yang berusia muda. Wanita
Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.
dengan pria. Diantara individu yang tidak menikah kembali, kesendirian
merepresentasikan konsekuensi berat yang dihadapi setelah perceraian.
d. Penyesuaian Terhadap Pengaturan Orang Tua
Penyesuaian terhadap pengaturan orangtua beragam. Orang tua yang peduli
dengan anak- anaknya akan merindukan anak- anaknya dan sering mencari
kesempatan untuk bisa bersama dengan mereka. Tipe orang tua yang peduli
dengan anaknya akan merasa bersalah dan cemas karena tidak bisa sering bersama
anak- anaknya. Sebagian orang tua justru mengabaikan anak- anaknya, tidak
pernah menemuinya, menelpon, ataupun mengingat ulang tahun anak- anaknya.
Kategori ketiga, orangtua masih berkeinginan untuk sering menemui anak-
anaknya namun terhalang karena jarak yang jauh atau kondisi- kondisi lainnya.
Namun, secara keseluruhan penelitian menunjukkan bahwa kedekatan anak
dengan orang tua yang bukan mengasuhnya semakin berkurang setelah perceraian
terjadi.
Seorang wanita yang bercerai lebih sering melibatkan mantan suaminya dalam
hal anak- anak walaupun sering berakhir dengan konflik, sebaliknya hanya sedikit
ibu yang tidak melibatkan suaminya dalam hal- hal yang berkaitan dengan anak.
e. Keuangan
Secara umum wanita memliki pendapatan yang lebih rendah dibandingkan
dengan pria, meskipun memiliki pekerjaan, pendidikan, pengalaman, dan jumlah
Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.
Stewart & Brentano (2006) mengemukakan bahwa konsekuensi dari
penurunan ekonomi setelah bercerai mengakibatkan seorang yang bercerai pindah
ke rumah yang lebih sederhana dibandingkan dengan rumah saat masih menikah
dahulu. Penurunan ekonomi ini mulai terjadi beberapa tahun sebelum bercerai dan
kemudian terus berlanjut setelah bercerai hingga kurang lebih 5 tahun setelah
bercerai.
f. Perubahan Tanggung Jawab dan Peran Kerja
Orangtua yang bercerai yang mengasuh anak- anaknya akan dihadapkan
dengan pekerjaan yang banyak. Setelah terjadi perceraian, orang tua harus
mengatasi seluruh pekerjaan rumah tangga yang seharusnya dikerjakan oleh dua
orang. Konsekuensinya, orang tua yang mengasuh anak- anaknya memilki waktu
yang kurang dengan anak- anak, kurang mendengarkan, dan sering mengalami
masalah dalam hal mengontrol dan membimbing anak- anaknya.
g. Kontak Dengan Mantan Pasangan
Banyak pasangan yang marah pada pasangannya saat perceraian terjadi dan
perasaan tersebut akan terus dibawa selama proses perceraian dan bahkan sampai
beberapa tahun seteah perceraian terjadi. Penting bagi pasangan saling bekerja
sama untuk menjaga rasa marah di depan anak- anak mereka sehingga tidak
melibatkan mereka pada perseteruan setelah perceraian.
Semakin tinggi perasaan marah terhadap pasangannya maka semakin timbul
Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.
setelah bercerai akan semakin berkurang. Kontak dengan mantan pasangan
biasanya meningkat karena berhubungan dengan anak - anak atau masalah
keuangan. Saat anak - anak memiliki masalah, kedua orang tua akan terlibat dan
akan saling berbicara satu dengan yang lainnya. Hubungan yang baik setelah
perceraian akan mempermudah untuk mencari jalan keluar permasalahan dan
anak- anak menjadi sangat terbantu.
Perselisihan setelah perceraian berkaitan dengan hak kunjungan dan dukungan
keuangan terhadap anak. Beberapa pasangan ada yang menyelesaikan masalahnya
di pengadilan karena ayahnya tidak memberi dukungan keuangan tepat waktu.
Perselisihan setelah perceraian lainnya dapat terjadi karena mantan suami
menginginkan pengurangan biaya terhadap anak- anak setelah bercerai.
h. Interaksi Dengan Keluarga
Baik pria atau wanita setelah bercerai lebih mempercayakan permasalahannya
dengan keluarga, khususnya dukungan praktikal dan juga dukungan emosional
unutk menurunkan distress psikologis. Pria lebih cenderung mempercayakan
masalah perceraiannya pada keluarga pada tahap awal perceraian dan wanita pada
jangka waktu yang lebih lama (Gerstel,1988).
Perceraian merupakan proses multigenerasi yang melibatkan orang tua dan
keluarga lainnya, seperti indivdiu yang bercerai dan anak- anak mereka.
Dukungan positif dari orang tua memiliki pengaruh terhadap penyesuaian setelah
perceraian,seperti dukungan emosional, membantu menjaga anak, memberikan
Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.
Frekuensi hubungan dengan mantan mertua setelah bercerai tidak lagi
sesering seperti sebelum bercerai. wanita lebih baik dalam membina hubungan
dengan mantan mertua daripada pria.
Teori penyesuaian perceraian pada individu yang bercerai akan digunakan
untuk mengetahui penyesuaian perceraian pada wanita desa yang bercerai.
2. Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Penyesuaian Perceraian
setiap individu berbeda dalam mengahadapi perceraiannya. Stewart &
Brentano (2006) mengemukakan delapan hal yang mempengaruhi cepat dan
baiknya individu yang bercerai menyesuaikan diri terhadap perceraiannya, yaitu :
a. Kualitas individu
Salah satu kualitas individu yang mempengaruhi penyesuaian seseorang
terhadap perceraian, yaitu usia saat perceraian terjadi. Individu yang memiliki usia
yang lebih tua lebih mengalami distress karena perceraian dan menghadapi waktu
yang sulit untuk melakukan penyesuaian terhadap perceraian daripada individu
yang lebih muda. Beberapa penelitian menunjukkn bahwa bahwa kaitan usia
dengan penyesuaian terhadap perceraian sangat beragam. Terdapat beberapa bukti
bahwa perceraian wanita lebih mudah pada usia tiga puluhan. Pada longitudinal
study, beberapa tahun setelah bercerai, wanita yang bercerai pada usia tiga
puluhan lebih bahagia, less lonely, ekonomi yang mencukupi, dan mengalami
peningkatan psychological functioning. Wanita yang bercerai pada usia yang lebih
Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.
Setengah dari mereka mengalami depresi secara klinis dan seluruhnya mengalami
kesepian.
Individu yang memilki gangguan mental atau antisocial personality akan lebih
sulit melakukan penyesuaian terhadap perceraian. Sebaliknya individu yang
memiliki tingkat pendidikan tinggi dan kesehatan mental yang bagus lebih baik
untuk melakukan penyesuaian terhadap perceraian.
Sikap terhadap pernikahan, keluarga, dan masalah perceraian juga
mempengaruhi. Wanita yang bercerai lebih mudah melakukan penyesuaian
terhadap perceraian jika mereka tidak terlalu mengindentifikasikan sebagai ibu
atau istri. Individu yang menyakini bahwa pernikahan merupakan suatu yang
permanen, penting, dan merupakan suatu kegagalan moral akan lebih mudah
merasakan stres dan depresi saat bercerai.
b. Kebebasan Setelah Bercerai
Bagi individu yang memilki banyak masalah dalam pernikahannya, distress
relatif tinggi selama masa pernikahan dan akan meningkat tajam sebelum bercerai,
kembali menurun tajan setelah bercerai kemudian meningkat lagi dan tetap tinggi.
Sebaliknya, individu yang bahagia selama masa pernikahan, distress relatif rendah
selama masa pernikahan dan akan terjadi sedikit peningkatan sebelum bercerai,
kemudian meningkat tajam setelah bercerai dan pada akhirnya individu tersebut
akan mengalami peningkatan kesehatan psikologis. Individu yang memilki
pernikahan yang buruk akan sulit untuk melakukan penyesuaian terhadap
Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.
Pada sebuah studi menemukan bahwa wanita yang menjadi korban kekerasan
dalam pernikahannya, yang terluka secara emosional dan psikologis atau suami
yang tidak setia lebih mengalami depresi secara klinis dibandingkan dengan
wanita yang tidak mengalami kekerasan selama menikah.
c. Cara Pernikahan Berakhir
Individu yang mengajukan perceraian lebih mudah untuk melakukan
penyesuaian terhadap perceraian dibandingkan dengan individu yang tidak
menginginkan perceraian. Individu yang mengajukan perceraian mengalami
distress dan depresi yang lebih rendah karena mereka berfikir bahwa perceraian
merupakan ide yang bagus. Merasa bersalah terhadap perceraian juga
mengakibatkan penyesuaian terhadap perceraian semakin sulit, khusunya pada
wanita.
d. Dukungan Sosial
Setelah bercerai, khususnya jika individu tersebut mengalami pengalaman
yang stres, maka dengan adanya teman dan kerabat yang memberikan dukungan
sosial akan lebih mudah untuk melakukan penyesuaian terhadap perceraian.
Dukungan sosial dari teman dan keluarga berkorelasi dengan penyesuaian
psikologis yang lebih baik dan lebih sedikit mengalami masalah kesehatan.
Bentuk dukungan sosial yang paling membantu adalah sosioemosional seperti
Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.
bantuan dalam bentuk uang atau materi. Individu yang bercerai akan merasa
didukung saat mereka medapat penerimaan, empati dan kedekatan.
Keluarga yang memberi dukungan dengan menawarkan bantuan akan
mempermudah indidividu yang bercerai untuk melewati masa transisi dan
memfasilitasi penyesuaian jangka panjang. Orangtua biasanya menjadi
pendamping dalam masalah praktis seperti dukungan keungan, rumah, dan dalam
hal mengasuh anak. Kehadiran orang tua juga dapat membantu mengatasi
loneliness. Kehadiran dan dukungan emosional orang tua juga sangat membantu.
Tinggal satu rumah dengan orang tua karena orang tua akan memberikan saran
mana yang harus dilakukan dan mana yang tidak harus dilakukan sehingga dapat
menurunkan stres. Dukungan dari saudara dan mantan mertua juga dapat
membantu individu yang bercerai untuk melakukan penyesuaian lebih baik.
Dukungan sosial yang paling penting adalah dengan memiliki teman dekat.
Individu yang memiliki teman dekat, seseorang yang menawarkan social
intimacy, merasakan stres, depresi dan kecemasan yang lebih rendah dan lebih
baik melakukan penyesuaian terhadap perceraiannya dibandingkan dengan
individu yang hanya memilki teman yang untuk berbagi hobi dan nilai- nilai.
Menjalin hubungan kembali dengan lawan jenis juga membantu penyesuaian
terhadap perceraian baik pada wanita maupun pria. Hubungan ini akan membantu
mereka untuk menilai kelebihan dan kelemahan serta mengurangi lonliness.
Mereka akan lebih menerima bahwa pernikahan telah berakhir dan harus
melangkah maju. Hal ini akan mengakibatkan penurunan pada kelekatan terhadap
Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.
e. Asisten Profesional
Penggunaan jasa profesional juga dapat membantu individu yang bercerai
untuk melakukan penyesuaian terhadap perceraiannya. Menjadi bagian dari
komunitas keagamaan juga membantu individu untuk melakukan penyesuaian
terhadap perceraian karena individu yang bercerai akan mendapat dukungan
sosial, dukungan praktis, kesempatan untuk bertemu dengan pria atau wanita
dewasa lainnya dan merasa menjadi bagian dari komunitas tersebut.
f. Pentingnya Uang
Uang merupakan masalah yang sangat penting setelah bercerai pada wanita
maupun pada pria. Cara seseorang melakukan penyesuaian terhadap
perceraiannya sangat berhubungan dengan situasi ekonominya.
Pertama, level pendapatan merupakan hal yang penting. Individu dengan
pendapatan yang tinggi akan melakukan penyesuaian terhadap perceraiannya
lebih baik. Hal ini akan menjadi masalah, khususnya pada individu yang memilki
pendapatan di bawah kesejahteraan. Uang bukan jaminan bagi seseorang untuk
bisa menyesuaikan diri terhadap perceraiannya tetapi dengan tidak memiliki uang
akan membuat hal tersebut menjadi hampir tidak mungkin.
Kedua dan hal yang lebih penting untuk menyesuaikan diri terhadap
perceraiaan adalah penurunan pendapatan. Saat seseorang merasa kondisi
ekonominya semakin menurun semenjak bercerai, mereka lebih cenderung
mengalami depresi dan lebih banyak megalami masalah. Penurunan pendapatan
Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.
Ketiga, sumber pendapatan merupakan hal yang penting untuk melakukan
penyesuaian yang baik setelah perceraian. Individu yang bercerai menunjukkan
penyesuaian yang baik terhadap perceraiannya saat mereka bisa menggambarkan
sumber pendapatannya dibandingkan dengan individu bercerai yang
pendapatannya bergantung pada orang lain ataupun pemerintah.
Keempat, kemananan dari pendapatan juga merupakan hal yang penting.
Kenyataannya, merasakan ketidaknyaman secara ekonomi lebih mengalami
kesejahteraan psikologis yang buruk dibandingkan dengan berpendapatan rendah.
g. Signifikansi Pekerjaan
Individu menyesuaikan dirinya dengan lebih baik terhadap perceraiannya jika
mereka bekerja dan lebih memilki kestabilan, kompleks, kepuasan, dan
penghasilan yang bagus terhadap perkerjaannya. Saat bercerai, wanita yang
memilki pekerjaan dengan level yang tinggi tidak mengalami peningkatan dalam
terjadinya kecelakaan, bunuh diri, dan addiction. Mereka tidak mengalami
deperesi dan kecemasan seperti wanita dengan level pekerjaan yang lebih rendah.
Pekerjaan juga merupakan pelindung untuk menghadapi stres setelah bercerai.
Pada suatu studi menunjukkan bahwa hal – hal yang menjadi sumber stres setelah
bercerai seperti penurunan pendapatan, kehilangan teman- teman dan pindah ke
rumah dengan lingkungan yang baru, berkaitan dengan penyesuaian yang buruk
setelah bercerai hanya dialami oleh orang – orang bercerai yang tidak bekerja.
Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.
Faktor penting lainnya untuk penyesuaian terhadap perceraian adalah bentuk
hubungan dengan mantan pasangan setelah bercerai. Setelah pasangan bercerai,
konflik diantara mereka tidak akan langsung selesai, walaupun pada beberapa
pasangan tidak. Peneliti menemukan bahwa beberapa tahun setelah bercerai,
kebanyakan pasangan yang bercerai tidak marah secara intens lagi terhadap
mantan pasangannya, namun paling tidak setengah dari mereka masih merasakan
kemarahan dengan mantan pasangan mereka.
Saat pasangan memilki hubungan yang tidak baik satu dengan lainnya setelah
bercerai maka mereka akan memilki masalah dalam penyesuaiannya terhadap
perceraiannya. Jika komunikasi diantara tidak terbuka dan dengan perilaku yang
rasional, maka mereka memilki masalah. Wanita yang memilki cara komunikasi
dengan marah ditemukan lebih mengalami kecemasan dibandingkan dengan
wanita dengan yang bisa mendiskusikan permasalahnnya dengan mantan
suaminya. Beberapa tahun setelah perceraian, wanita yang masih memliki
perasaan negatif terhadap mantan pasangannya lebih depresi secara klinis,
sedangkan pasangan yang kooperatif secara umum puas dengan kehidupan
mereka dan memilki kesejahteraan psikologis yang baik dibandingakan dengan
pasangan yang memilki hubungan negatif.
Teori mengenai faktor- faktor yang mempengaruhi penyesuaian perceraian
digunakan untuk mengetahui faktor- faktor apa saja yang mempengaruhi
penyesuaian perceraian wanita desa yang bercerai.
Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.
Lama Waktu yang dibutuhkan seseorang untuk melakukan penyesuaian
setelah perceraian berlangsung merupakan hal sulit untuk dijawab karena
penyesuaian terhadap perceraian bukan merupakan hal yang bisa terselesaikan
dalam satu waktu. Stewart & Brentano (2006) mengemukakan bahwa secara
umum, individu yang bercerai membutuhkan waktu tiga sampai empat tahun
setelah bercerai untuk bisa kembali normal.
Kitson,1992; Kitson & Morgan,1990 (dalam Amato,2000) mengemukakan
bahwa terdapat tiga hal yang menunjukan penyesuaian perceraian yang sukses,
yaitu :
1. Mengalami sedikit simptom – simptom yang berhubungan dengan
perceraian.
2. Mampu berfungsi dengan baik dalam peranan dalam keluarga ataupun
pekerjaan.
3. Mengembangkan identitas dan gaya hidup yang tidak bergantung dengan
pasangan sebelumnya.
E. Wanita Desa dan Penyesuaian Perceraian
Penduduk desa memiliki ciri- ciri yaitu mempunyai pergaulan hidup yang
saling mengenal, adanya ikatan perasaan yang sama tentang kebiasaan, dan cara
usaha hidup bersikap agraris (Landis dalam Hesniyanto, 2002). Ciri lain dari
masyarakat desa yaitu memiliki hubungan sosial yang kuat dengan teman dan
kerrabat dengan ikatan emosional yang kuat (Beard & Dasagupta,2006). Listiani,
Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.
miskin. Secara umum wanita desa berpendapatan dan memiliki pekerjaan yang
rendah dan tidak tetap, seperti berternak, bersawah, atau membuat kerajinan
tangan kecil untuk melangsungkan hidup.
Sajogyo (1996) mengemukakan bahwa secara umum wanita desa memilki
peran yang khas dalam mengatur rumah tangga. Umumnya, wanita desa
bertanggung jawab penuh dengan dalam bidang domestik rumah tangga,
sedangkan lelaki bertanggung jawab atas peranan ekstra domestik atau luar rumah
tangga. Tingkat pendidikan wanita desa juga rendah. Hal ini diakibatkan karena
adanya budaya pada masyarakat desa bahwa anak perempuan tidak perlu
pendidikan yang lebih tinggi, sebab mereka hanya akan menjadi ibu rumah tangga
saja yang tidak memerlukan keterampilan atau pengetahuan selain pengetahuan
pekerjaan rumah tangga.
Keadaan status pendidikan, pendapatan, dan pekerjaan yang rendah
mempengaruhi seorang wanita yang bercerai untuk menyesuaikan diri setelah
perceraian (Amato,2000). Hal ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan
oleh Cohen & Savaya (2003) yang menunjukkan bahwa rendahnya tingkat
pendidikan dan pendapatan yang dimiliki berkorelasi positif dengan
ketidakmampuan individu yang bercerai untuk menyesuaikan diri terhdap
perceraiannya, yang dilihat dari lebih tingginya simptom- simptom depresi pada
individu dengan tingkat pendidikan dan pendapatan rendah dibandingkan dengan
Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.
Teori mengenai ciri- ciri wanita desa yang memiliki penidikan, pendapatan
dan pekerjaan yang rendah digunakan peneliti untuk menentukan sampel dalam
Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.
Pernikahan
Konflik rumah tangga
Terselesaikan Tidak terselesaikan
Perceraian
8 Kategori Penyesuaian Perceraian : 1. Penyesuaian Trauma emosioanal 2. Penyesuaian Sikap masyarakat
terhadap perceraian
3. Penyesuaian Kesepian dan social readjustment
4. Penyesuaian Pengaturan orang tua 5. Penyesuaian Keuangan
6. Penyesuaian Perubahan tanggung jawab dan peran kerja
7. Penyesuaian Kontak dengan mantan pasangan
8. Penyesuaian Interaksi dengan
Wanita desa :
tingkat pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan ↑
Faktor- Faktor yang
mempengaruhi penyesuaian perceraian
Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.
BAB III
METODE PENELITIAN A. Pendekatan Kualitatif
Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini dengan
tujuan untuk menggali dan mendapatkan gambaran yang luas serta mendalam
berkaitan dengan gambaran penyesuaian perceraian pada wanita desa yang
bercerai. Menurut Creswell (1994) penelitian kualitatif adalah suatu proses
penelitian yang memungkinkan peneliti memahami permasalahan sosial atau
individu secara lebih mendalam dan kompleks, memberikan gambaran secara
holistik, yang disusun dengan kata-kata, mendapatkan kerincian informasi yang
diperoleh dari informan dan berada dalam setting alamiah.
Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2005) mendefinisikan “metodologi
kualitatif” sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa
kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.
Menurut mereka, pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara
holistik.
Sejalan dengan definisi tersebut, Kirk dan Miller (dalam Moleong, 2005)
mendefinisikan bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu
pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung dari pengamatan pada
manusia baik dalam kawasannya maupun peristilahannya. David dan williams
(dalam Moleong, 2005) mengatakan bahwa penelitian kualitatif adalah
Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.
peneliti yang tertarik secara alamiah. Data diperoleh melalui wawancara,
observasi, dan dokumen pribadi.
Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2005) mengatakan salah satu
kekuatan dari pendekatan kualitatif adalah dapat memahami gejala sebagaimana
partisipan mengalaminya, sehingga dapat diperoleh gambaran yang sesuai dengan
diri partisipan dan bukan semata-mata penarikan kesimpulan sebab akibat yang
dipaksakan.
Penelitian ini mienggunakan pendekatan kualitatif dikarenakan pendekatan
kualitatif memungkinkan individu memfokuskan perhatian pada apa yang
dialaminya dan mengungkapkan pengalaman yang dijalaninya sehingga dapat
memperoleh pemahaman yang menyeluruh dan utuh mengenai suatu fenomena
yang diteliti. Peneliti tertarik menggunakan pendekatan kualitatif, karena
pengalaman dan penyesuaian perceraian individu bersifat partisipantif dan unik,
berbeda antara satu individu dengan individu lain. Peneliti berharap dengan
menggunakan metode ini, maka peneliti akan mendapat pengalaman yang
menyeluruh dan utuh tentang fenomena yang diteliti, sehingga dapat menggali
informasi yang lebih kaya dan mendalam mengenai gambaran penyesuaian
perceraian pada wanita desa yang bercerai.
B. Partisipan Penelitian 1. Karakteristik Partisipan
Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.
a. Wanita desa yang bercerai
Listiani (2000) mengatakan bahwa wanita desa secara umum memiliki tingkat
pendapatan yang rendah dan pekerjaan yang tidak menetap. Begitu juga
halnya dengan tingkat pendidikan, secara umum wanita desa berpendidikan
rendah (Sajogyo, 1996). Pekerjaan, pendidikan dan pendapatan yang rendah
berkorelasi dengan ketidakmamampuan individu melakukan penyesuaian
terhadap perceraiannya (Cohen & Savaya, 2003)
b. Perceraian berlangsung minimal 4 tahun
Stewart & Clarkson (2006) mengemukakan bahwa secara umum individu
yang bercerai membutuhkan waktu tiga sampai empat tahun untuk melakukan
penyesuaian terhadap perceraian yang dialaminya.
2. Jumlah Partispan
Miles & Huberman (dalam Poerwandari, 2007) menyatakan bahwa
penelitian kualitatif sedikit banyak dapat dianalogikan dengan proses penyelidikan
(investigasi), tidak banyak berbeda dengan kerja detektif yang harus mendapat
gambaran tentang fenomena yang dimilikinya.
Penelitian kualitatif tidak diarahkan pada jumlah partisipan yang besar,
melainkan pada kasus-kasus tipikal sesuai kekhususan masalah penelitian. Pada
dasarnya, jumlah partisipan pada penelitian kualitatif diarahkan pada kecocokan
konteks (Sarantakos dalam Poerwandari, 2007) dan dapat dilakukan dengan waktu
dan sumber daya yang tersedia. Pada penelitian ini, jumlah partisipan adalah 2
Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.
3. Prosedur Pengambilan Partisipan
Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah berdasarkan
konstruk operasional (theory-based/operational construct sampling). Sampel
dipilih dengan kriteria tertentu, berdasarkan teori atau konstruk operasional sesuai
studi-studi sebelumnya, atau sesuai tujuan penelitian (Patton dalam Poerwandari,
2007). Hal ini dilakukan agar sampel sungguh-sungguh mewakili fenomena yang
dipelajari
4. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di desa Pasar Rawa, Langkat dan Kisaran.
Pemilihan lokasi bertujuan memudahkan peneliti dalam menjangkau partisipan.
C. Metode Pengumpulan Data
Menurut Lofland dan Lofland (dalam Moleong, 2005) sumber utama
dalam penelitian kualitatif ialah kata- kata dan tindakan. Kata- kata dan tindakan
ini dapat dicatat melalui catatan tertulis, pengambilan foto dan statistik. Metode
pengumpulan data yang digunakan disesuaikan dengan masalah, tujuan penelitian
dan sifat objek yang diteliti. Metode- metode yang dapat digunakan dalam
penelitian kualitatif anatara lain wawancara, observasi, diskusi kelompok
terfokus, analisis terhadap dokumen, analisis catatan pribadi, studi kasus, dan
riwayat hidup (Poerwandari,2007). Metode pengumpulan data yang digunakan
Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.
metode utama dan observasi pada saat wawancara dilakukan dengan alasan yang
akan diuraikan selanjutnya.
1. Wawancara
Wawancara menurut Moleong (2005) adalah percakapan dengan maksud
tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara
(interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewee)
yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Wawancara kualitatif dilakukan
bila peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna
partisipantif yang dipahami individu, berkenaan dengan topik yang diteliti dan
bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu hal yang tidak dapat
dilakukan melalui pendekatan lain.
Patton (dalam Poerwandari, 2001) membedakan tiga pendekatan dasar
wawancara dalam memperoleh data kualitatif yaitu wawancara informal,
wawancara dengan pedoman umum, dan wawancara dengan pedoman terstandar
terbuka. Penelitian ini menggunakan pedoman wawancara yang bersifat umum,
yaitu mencantumkan isu-isu yang harus diliput tanpa menentukan urutan
pertanyaan. Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah
wawancara mendalam (in- depth interview). Banister (1994) menjelaskan bahwa
wawancara mendalam adalah wawancara yang tetap menggunakan pedoman
wawancara, namun penggunaannya tidak sekedar wawancara terstruktur.
Pedoman wawancara berisi open-ended question yang bertujuan agar arah
Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.
Pedoman wawancara disusun berdasarkan teori dari Stewart & Brentano
(2006) mengenai proses perceraian dan faktor- faktor yang mempengaruhi
penyesuaian percerian, teori mengenai penyesuaian perceraian oleh Dogenova
(2008). Stewart & Brentano (2006) mengemukakan bahwa perceraian merupakan
peristiwa yang kompleks dan merupakan proses yang berlangsung lama.
Berdasarkan teori-teori inilah, pedoman wawancara disusun untuk
memperoleh data tentang penyesuaian setelah perceraian pada wanita desa yang
bercerai. Tema –tema yang dapat menjadi pedoman wawancara adalah tentang
gambaran pernikahan partisipan sebelum bercerai (latar belakang pernikahan dan
konflik- konflik dalam rumah tangga), perceraian (proses legal perceraian),
penyesuaian perceraian (penyesuaian perceraian terhadap trauma emosional,
penyesuaian sikap masyarakat terhadap perceraian, penyesuaian terhadap
kesendirian dan social readjustment, penyesuaian terhadap pengaturan orang tua,
penyesuaian terhadap keuangan, penyesuaian terhadap perubahan tanggung
jawab dan peran kerja, penyesuaian terhadap kontak dengan mantan pasangan,
penyesuaian terhadap hubungan dengan keluarga) dan faktor- faktor yang
mempengaruhi penyesuaian perceraian.
2. Observasi
Patton (dalam Poerwandari,2001) menegaskan bahwa observasi
merupakan metode pengumpulan data esensial dalam penelitian, apalagi dengan
Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.
Tujuan observasi adalah mendeskripsikan setting yang dipelajari,
aktivitas- aktivitas yang berlangsung, orang –orang yang terlibat dalam kejadian
yang diamati tersebut. Deskripsi harus akurat, faktual sekaligus teliti tanpa harus
dipenuhi berbagai hal yang tidak relevan (Poerwandari,2007)
Hal yang sangat penting dalam melakukan observasi adalah peneliti
melaporkan hasil observasinya secara deskriptif, tidak interpretatif. Pengamat
tidak mencatat kesimpulan atau interpretasi, melainkatn data konkrit berkenaan
dengan fenomena yang diamati (Poerwandari,2007)
Beberapa alat observasi yang dapat digunakan anatar lain anecdotal,
catatan berkala, check list, rating scale, dan mechanical devices (Rahayu &
Ardani, 2004). Penelitian ini menggunakan alat observasi berupa anecdotal
dimana observer mencatat hal –hal yang penting sesegera mungkin pada tingkah
laku yang istimewa saat penelitian berlangsung.
Observasi dalam penelitian digunakan hanya sebagai alat tambahan yang
dilakukan pada saat wawancara berlang€sung untuk melihat reaksi partisipan,
antara lain : ekspresi wajah, gerakan tubuh, intonasi suara, malihat bagaimana
reaksi calon partisipan ketika peneliti meminta kesedseriannya untuk
diwawancara, bagaimana sikap partisipan terhadap peneliti, bagaimana sikap dan
reaksi partisipan terhadap pertnyaan- pertanyaan yang diajukan, bagaimana
keadaan partisipan pada saat wawancara, hal- hal yang sering dilakukan partisipan
dalam proses wawancara.
Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.
1. Alat perekam (tape recorder)
Menurut Poerwandari (2007), sedapat mungkin suatu wawancara perlu
direkam dan dibuat transkripnya sesuai verbatim (kata demi kata). Oleh karena
itu, peneliti menggunkan alat perekam agar tidak perlu terlalu sibuk mencatat dan
dapat memfokuskan perhatian pada topik pembicaraan dan observasi. Dengan
demikian diharapkan jalannya wawancara dapat diharapkan jalannya wawancara
dapat berlangsung lebih lancar dalam konteks alami.
2. Pedoman Wawancara
Pedoman wawancara disusun berdasarkan teori-teori dalam BAB II,
sehingga peneliti mempunyai kerangka pikiran tentang hal-hal yang ingin
ditanyakan. Tema- tema yang dapat menjadi pedoman wawancara (gambaran
pernikahan sebelum bercerai, perceraian, penyesuaian perceraian, faktor yang
mempengaruhi perceraian). Pedoman wawancara tidak digunakan secara kaku,
karena tidak tertutup kemungkinan peneliti menanyakan hal-hal di luar pedoman
wawancara supaya data yang dihasilkan lebih akurat dan lengkap.
E. Kredibilitas (validitas) Penelitian
Kredibilitas adalah istilah yang digunakan dalam penelitian kualitatif
untuk menggantikan konsep validitas (Poerwandari, 2007). Deskripsi mendalam
yang menjelaskan kemajemukan (kompleksitas) aspek-aspek yang terkait (dalam
bahasa kuantitatif: variabel) dan interaksi dari berbagai aspek menjadi salah satu
Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.
penelitian kualitatif juga terletak pada keberhasilan mencapai maksud
mengeksplorasi masalah dan mendeskripsikan setting, proses, kelompok sosial
atau pola interaksi yang kompleks.
Patton (dalam poerwandari, 2007) mengungkapkan bahwa langkah-
langkah yang digunakan untuk meningkatkan kredibilitas penelitian dapat
dilakukan dengan cara :
a. Mencatat bebas hal- hal penting serinci mungkin, mencakup pengamatan
objektif terhadap setiing, partisipan ataupun hal lain yang terkait. Peneliti juga
perlu menyediakan catatan khusus yang memungkinkannya berbagai alternatif
konsep, skema, atau metafor yang terkait dengan data. Catatan ini sangat
penting dalam memudahkannya mengembangkan analisis dan interpretasi.
b. Mendokumentasikan data yang terkumpul, proses pengumpulan data maupun
strategi analisisnya secara lengkap.
c. Memanfaatkan langkah- langkah dan proses yang diambil peneliti- peneliti
sebelumnya sebgai masukan bagi peneliti untuk melakukan pendekatan
penelitian dan menjamin pengumpulan data yang berkualitas untuk
penelitiannya sendiri.
d. Menyertakan patner atau orang- orang yang dapat berperan sebagai pengkritik
yang memberikan saran- saran pembelaan yang akan memberikan pertanyaan-
pertanyaan kritis terhadap analisis yang dilakukan peneliti.
e. Melakukan upaya konstan untuk menemukan kasus- kasus negatif :
Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.
meningkat apabila peneliti memberikan perhatian pada kasus- kasus yang
tidak sesuai dengan pola umum.
f. Melakukan pengecekan dan pengecekan kembali data (checking and
rechecking) dengan menguji kemungkinan dugaan- dugaan yang berbeda.
Peneliti perlu mengembangkan pengujian- pengujian untuk mengecek analisis
dan mengaplikasikannya pada data, serta mengajukan pertanyaan- pertanyaan
tentang data.
Pada penelitian ini, hal- hal yang digunakan untuk meningkatkan kredibilitas
penelitian yaitu berupa mencatat bebas hal- hal penting serinci mungkin,
mencakup pengamatan objektif terhadap setting, partisipan ataupun hal lain yang
terkait. Peneliti juga mendokumentasikan semua data- data yang terkumpul
selama penelitian.
F. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian yang digunakan dalam penelitian ini sesuai dengan
yang diungkapkan Bogdan (dalam Mongleong, 2000). Terdapat tiga tahapan
dalam prosedur penelitian kualitatif, yaitu tahap pralapangan, pekerjaan lapangan,
dan tahap analisa data.
1. Tahap Persiapan Penelitian
Pada tahap persiapan penelitian, peneliti mengemukakan sejumlah hal
yang diperlukan untuk melaksanakan penelitian (Moleong,2000).