• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai"

Copied!
289
0
0

Teks penuh

(1)

Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.

PENYESUAIAN PERCERAIAN PADA WANITA DESA YANG

BERCERAI

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh:

FASHIHATIN NISA

051301069

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.

Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai

ABSTRAK

Perceraian merupakan putusnya pernikahan yang melibatkan penyesuaian psikologis, sosial dan keuangan (Atwater, 1983). Perceraian bukanlah merupakan peristiwa tunggal tetapi merupakan suatu proses. Oleh karena itu, perceraian mengakibatkan perubahan baru dalam kehidupan sehingga membutuhkan penyesuaian bagi individu yang mengalaminya. Faktor sosiodemografis seperti, pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan yang rendah dapat mempengaruhi seseorang yang bercerai dalam melakukan penyesuaian terhadap perceraiannya (Amato,2000). Sejalan dengan hal tersebut, secara umum wanita desa memiliki tingkt pendidikan, pendapatan, dan pekerjaan yang rendah yang akan mempengaruhi penyesuaian perceraiannya.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui penyesuaian perceraian pada wanita desa yang bercerai. Pengambilan data menggunakan metode kualitatif dengan jumlah responden sebanyak dua orang. Prosedur pengambilan data dilakukan berdasarkan konstruk operasional (operasional construct sampling). Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam (in-depth interview) sebagai metode utama dan observasi pada saat wawancara dilakukan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum kedua responden mengalami masalah dalam penyesuaian perceraiannya, namun dukungan dari teman, keluarga, dan kehadiran anak sangat membantu penyesuaian perceraian yang dialui.

(3)

Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, atas karunia dan hidayahnya,

penulis dapat menyusun penelitian yang berjudul “GAMBARAN

PENYESUAIAN PADA WANITA DESA YANG BERCERAI “ guna

memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi Fakultas

Psikologi Universitas Sumatera Utara.

Tiada gading yang tak retak, begitu juga penyusunan penelitian ini.

Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun, agar

nantinya penelitian ini dapat memenuhi/ mendekati kesempurnaan sesuai dengan

yang diharapkan.

Pada kesempatan ini, Penulis mengucapkan terima kasih serta

penghargaan yang setinggi – tingginya atas bimbingan dan saran yang telah

diberikan, kepada :

1. Raras Sutatminingsih, M.Psi, Psikolog, selaku dosen pembimbing

saya yang telah banyak memberikan bimbingan dan saran selama

proses penyusunan penelitian.

2. Bapak dan Ibu Dosen yang telah mendidik Penulis selama Kuliah di

Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara, sehingga penulis dapat

menyelesaika studi ke jenjang program Sarjana.

3. Terkhusus kepada Bapak/ Ibu selaku kedua orang tua, yang telah

(4)

Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.

doa restu serta dorongan moril sehingga Penulis dapat menyelesaikan

Penelitian ini.

4. Rekan- rekan Mahasiswa Fakultas Psikologi Universita Sumatera

Utara, khususnya buat teman- teman seperjuangan stambuk, 2005, para

responden, dan semua pihak yang telah memberikan bantuan kepada

penulis.

Semoga segala budi baik yang telah diberikan kepada Penulis, dapat

diterima sebagai amal soleh disisi Alllah SWT.

Medan, Juli 2009 Penulis

(5)

Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.

DAFTAR ISI

Abstrak ... i

Kata Pengantar ... ii

Daftar Isi ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 10

1. Manfaat Teoritis ... 10

2. Manfaat Praktis ... 11

E. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II LANDASAN TEORI ... 13

A. Pacaran ... 13

1. Definisi Pacaran ... 13

2. Karakteristik Pacaran ... 14

3. Komponen Pacaran ... 16

4. Alasan Berpacaran ... 17

5. Model-model Pacaran ... 19

B. Ta’aruf ... 21

1. Definisi Ta’aruf ... 21

(6)

Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.

3. Alasan Ta’aruf ... 24

4. Model Ta’aruf ... 26

5. Proses Ta’aruf ... 27

C. Pernikahan ... 28

1. Definisi Pernikahan ... 28

2. Fase Pernikahan ... 29

D. Kepuasan Pernikahan ... 32

1. Definisi Kepuasan Pernikahan ... 32

2. Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Pernikahan ... 33

3. Aspek Kepuasan Pernikahan ... 36

4. Kriteria Kepuasan Pernikahan ... 40

E. Dinamika Kepuasan Pernikahan Pasangan yang Menikah melalui Pacaran ... 41

G. Paradigma Penelitian ... 43

BAB III METODE PENELITIAN ... 44

A. Pendekatan Kualitatif ... 44

B. Responden dan Lokasi Penelitian ... 45

1. Karakteristik Responden ... 45

2. Jumlah Responden ... 46

3. Lokasi Penelitian ... 47

C. Teknik Pengambilan Sampel ... 47

D. Teknik Pengambilan Data ... 48

(7)

Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.

2. Alat Bantu Pengambilan Data ... 49

3. Kredibilitas Penelitian ... 50

E. Prosedur Penelitian ... 52

1. Tahap Persiapan Penelitian ... 52

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian... 53

3. Tahap Pencatatan Data ... 54

F. Teknik dan Prosedur Pengolahan Data ... 55

BAB IV ANALISA DATA DAN INTERPRETASI ... 57

A. Deskripsi Data ... 57

1. Pasangan Pacaran (Suami) ... 58

2. Pasangan Pacaran (Istri)... 58

3. Pasangan Ta’aruf (Suami)... 58

4. Pasangan Ta’aruf (Istri) ... 59

B. Analisa Data 1. Pasangan Pacaran (Suami) ... 59

2. Pasangan Pacaran (Istri)... 78

3. Pasangan Ta’aruf (Suami)... 92

4. Pasangan Ta’aruf (Istri) ... 108

C. Interpretasi Data ... 122

1. Pasangan Pacaran (Suami) ... 122

2. Pasangan Pacaran (Istri)... 127

3. Pasangan Ta’aruf (Suami)... 134

(8)

Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN ... 162

A. Kesimpulan ... 162

B. Diskusi ... 163

C. Saran ... 167

1. Saran Praktis ... 167

2. Saran Penelitian Selanjutnya ... 168

DAFTAR PUSTAKA

(9)

Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.

DAFTAR TABEL

Tabel IV. A : Gambaran Umum Responden Penelitian ... 57

Tabel IV. B : Rangkuman Hasil Wawancara ... 147

Tabel IV. C : Perbandingan Kepuasan Pernikahan Pada

(10)

Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN A

Pedoman Wawancara ... 173

LAMPIRAN B

(11)

Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Menikah dan membina kehidupan rumah tangga merupakan salah satu

aktivitas sentral dari manusia yang bertujuan untuk memperoleh suatu kehidupan

yang bahagia dan paripurna. Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan

merupakan suatu bentuk hubungan antara laki-laki dan perempuan yang meliputi

hubungan seksual, legitimasi untuk memiliki keturunan (memiliki anak) dan

penetapan kewajiban yang dimiliki oleh masing-masing pasangan. Pernikahan

yang bahagia merupakan impian bagi setiap pasangan yang menikah. Idealnya di

dalam sebuah pernikahan menghadirkan kedekatan, komitmen, persahabatan,

afeksi, pemenuhan kebutuhan seksual, dan kesempatan untuk menumbuhkan

emosional (gardiners, et.al,. 1998; Myers, 2000 dalam Papalia, 2006)

Kenyataannya pernikahan bukanlah suatu hal yang mudah untuk dialui.

Banyak dari pasangan menikah menemukan bahwa pernikahan yang mereka jalani

tidak sesuai dengan yang diharapkan (Degenova, 2008). Tidak ada pernikahan

tanpa masalah baik kecil ataupun besar. Pada setiap pernikahan walaupun sudah

matang dipersiapkan dan cukup mendalam di bidang perkenalan pribadi, juga

tidak luput dari pertengkaran pribadi atau perselisihan – perselisihan paham

(Gunarsa, 2003).

Konflik-konflik yang ditemui dalam menjalani pernikahan merupakan hal

(12)

Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.

suami istri untuk mengatasi konflik- konflik yang terjadi dalam pernikahannnya

dapat mengakibatkan kegagalan dalam hubungan pernikahannya (Papalia,2005).

Argyle dan Henderson (dalam Hurlock,1993) menjelaskan bahwa terdapat

rangkaian keributan atau krisis yang tidak terselesaikan dalam rumah tangga yang

semakin lama menjadi masalah yang meningkat serius dan dapat mengganggu

hubungan pernikahan. Kegagalan pasangan suami istri untuk mempertahankan

keharmonisan pernikahannya menjadi alasan untuk pasangan memilih perceraian

menjadi satu alternatif penyelesaian masalah pernikahan yang terakhir walau

berat dan pahit.

Kenyataannya, akhir-akhir ini, perceraian di Indonesia semakin banyak

dipilih oleh para pasangan untuk menyelesaikan konflik pernikahan yang mereka

hadapi. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya angka perceraian di Indonesia.

Hal tersebut diungkapkan oleh Dirjen Bimas Islam Departemen Agama

Nazaruddin Umar yang menyatakan bahwa gejolak yang mengancam kehidupan

struktur keluarga ini semakin bertambah jumlahnya pada tiga tahun terakhir ini.

Setiap tahunnya ada 2 juta perkawinan, tetapi yang memilukan perceraian

bertambah menjadi dua kali lipat, setiap 100 orang yang menikah, 10 pasangan

diantaranya bercerai

Bimas Islam Departemen Agama, pada tahun 2007, tercatat sedikitnya 200 ribu

pasangan melakukan pisah ranjang alias cerai dan saat ini angka perceraian di

Indonesia sudah menjadi rekor tertinggi di kawasan Asia Pasifik

(13)

Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.

Meningkatnya jumlah perceraian menunjukkan bahwa sikap negatif

terhadap perceraian sudah berkurang jika dibandingkan dengan sepuluh tahun

yang lalu, namun sebuah perceraian tetap merupakan hal yang bersifat traumatis

bagi kebanyakan individu yang mengalaminya (Matlin,2005). Indonesia sendiri

yang masih identik dengan budaya ketimurannya masih memberikan stigma

negatif terhadap perceraian. Atwater (1983) mengemukakan bahwa perceraian

merupakan putusnya pernikahan yang melibatkan penyesuaian psikologis, sosial

dan keuangan. Oleh karena itu, perceraian bukanlah hal yang mudah dilalui bagi

individu yang mengalaminya. Hurlock (1980) mengemukakan bahwa efek

traumatik yang ditimbulkan akibat perceraian biasanya lebih besar daripada efek

kematian, karena sebelum dan sesudah perceraian sudah timbul rasa sakit dan

tekanan emosional. Hal ini juga dirasakan oleh salah seorang wanita yang

bercerai:

“Ya sakit, ya marah, ya menderita lah..namanya..pisah kek gitu ya… tapi dikuatkan la, jadi cemana lagi coba..” (P2.W1/k.564-567/hal.87)

Perceraian bukanlah merupakan peristiwa tunggal tetapi merupakan suatu

proses yang didalamnya terdapat pengalaman – pengalaman yang penuh dengan

stres yang dimulai setelah perpisahan secara fisik dan berlanjut setelahnya

(Morrison & Cherlin, 1995 dalam Papalia, 2005). Perceraian yang mengakibatkan

perubahan baru dalam kehidupan membutuhkan penyesuaian di dalamnya

(Stewart & Brentano, 2006). Penyesuaian yang harus dilakukan terhadap

perubahan – perubahan akibat perceraian merupakan hal yang kompleks dan

(14)

Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.

Degenova (2008) mengelompokkan delapan ketegori penyesuaian yang

dihadapi setelah perceraian berlangsung, yaitu trauma emosional, sikap

masyarakat terhadap perceraian, kesendirian dan social readjustment, penyesuaian

terhadap pengaturan orang tua, keuangan, pengaturan tanggung jawab dan peran-

peran terhadap pekerjaan, kontak dengan mantan pasangan, dan hubungan dengan

keluarga.

Dalam beberapa kondisi perceraian merupakan pengalaman yang

mengganggu secara emosional dan dalam kondisi terburuknya perceraian

mengakibatkan tingginya tingkatan shock dan disorientasi, khususnya setelah

perpisahan terjadi (Degenova, 2008). Selanjutnya, trauma akibat perceraian akan

semakin dirasakan apabila salah satu pasangan tidak menginginkan adanya

perceraian. Trauma akibat perceraian terlihat pada Misnah, salah seorang wanita

desa yang bercerai

Dah tak bilang waktu diawal- awal dulu..sering kali la..terasa kali la. Penderitaan itu cemana lagi, paling awak bisa nangis sendiri. sedangkan anak kalo ujan- ujan teringat bapak..rasanya aku kalo ujan ujan gini rasanya senang. Itu kan..kalo anak bilang gitu kan terasa. Rasanya oalah..anakku kecarian juga..kehilangan orang tuanya. (P2.W3/k.546-555/hal. 143)

Sikap masyarakat terhadap perceraian juga mempengaruhi seseorang yang

bercerai menghadapi perceraiannya. Hal ini terlihat dalam penelitian Amato (1994

dalam Cohen & Savaya, 2003) terhadap wanita Indian yang bercerai bahwa

stigma negatif masyarakat terhadap perceraian menyebabkan konsekuensi

perceraian yang dialami menjadi sangat sulit jika dibandingkan dengan wanita

Amerika yang bercerai. Bukan hanya sikap masyarakat, sikap individu yang

(15)

Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.

bercerai. Bagi individu yang menganggap bahwa perceraian merupakan suatu

kegagalan moral akan lebih mudah merasakan stres dan depresi (Stewart &

Brentano, 2006).

Perasaan kesepian juga akan dirasakan setelah perceraian terjadi

(Degenova, 2008). Oleh karena itu dukungan sosial dari kerabat dan teman sangat

dibutuhkan dan kehadiran dukungan sosial akan sangat membantu individu yang

bercerai dan mengurangi dampak negatif perceraian terhadap kesejahteraan

psikologis (Williams & Alexandra, 2006).

Perceraian juga menyisakan konflik bagi orang tua yang tidak mendapat

hak asuh terhadap anak. Kunjungan orang tua yang tidak mendapatkan asuh

seringnya menimbulkan konflik dan mengurangi kedekatan serta kontak antara

anak dan orang tuanya, walaupun demikian wanita yang mendapatkan hak asuh

anak tetap sering melibatkan suami untuk urusan anak- anak (Degenova, 2008).

Masalah keuangan merupakan hal yang sangat riskan, khususnya pada

wanita. Setelah bercerai wanita umumnya mengalami penurunan pendapatan yang

serius (Brteberg & Tjotta, 2005). Dari beberapa survey yang telah dilakukan

menunjukkan bahwa pendapatan wanita yang bercerai menurun, rata- rata 30 %

dibandingkan dengan wanita yang menikah. Sebaliknya pada laki- laki yang

bercerai mengalami peningkatan rata- rata 28 % sampai 48 %, hal ini disebabkan

karena setelah bercerai umumnya anak- anak di asuh oleh ibu (Stewart &

Brentano, 2006). Penurunan ekonomi juga dirasakan oleh Mai, salah seorang

wanita desa yang bercerai yang mengakibatkan ia menambah pekerjaan setelah

(16)

Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.

Ya.. ibu pigi. Kadang musim menanam padi, ibu menanam padi. Musim merumput, ibu merumput. Musim cari padi ke sawah, cari padi. Kalo gak menyuci yang kek tadi malam. Itulah yang ibu cari makan untuk ni yang halal aja (P1.W1/k.352-359/hal. 9)

Perceraian juga membawa perubahan yang radikal dalam peran sebagai

orang tua dan menjadi sulit khususnya pada wanita yang menganut sistem

pernikahan tradisional dimana lelaki yang menjadi sumber perekonomian

keluarga (Stewart & Brentano, 2006). Setelah perceraian terjadi, orang tua akan

dihadapkan dengan pekerjaan yang harus dikerjakan oleh dua orang dan

mengambil alih peran mantan pasangan sebelum perceraiannya terjadi,

konsekuensinya orang tua yang mengasuh anak memiliki waktu yang kurang

dengan anak, kurang mendengarkan, dan sering mengalami masalah dalam hal

mengontrol dan membimbing anak- anak (Degenova, 2008).

Kontak dengan mantan pasangan juga akan berkurang setelah perceraian

khususnya jika timbul rasa kemarahan pada satu pasangan terhadap pasangan

lainnya, begitu juga halnya dengan interaksi terhadap keluarga mantan pasangan.

Sebaliknya, interaksi dengan keluarga akan semakin meningkat setelah perceraian

terjadi (Degenova, 2008).

Kemampuan penyesuaian yang dihadapi setelah perceraian akan berbeda

pada setiap individu. Bagi individu yang tidak mampu melakukan penyesuaian

terhadap perceraiannya akan menimbulkan dampak negatif dalam kehidupannya.

Hal ini dikemukakan oleh Amato (2000) bahwa kegagalan individu untuk

menyesuaikan diri terhadap perceraiannya akan menimbulkan efek negatif, seperti

pengalaman yang penuh dengan stres, meningkatnya emosi dan perilaku negatif,

(17)

Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.

dalam keluarga yang baru, pekerjaan, ketidakmampuan mengembangkan idenitas,

dan gaya hidup yang masih terikat dengan pernikahan sebelumnya (Morgan dalam

Amato, 2000).

Dampak negatif yang ditimbulkan akibat perceraian dialami hampir

sebagian besar indvidu yang bercerai baik secara personal maupun sosial

(Amato,2000). Stewart & Brentano (2006) mengemukakan bahwa wanita yang

bercerai menghadapi permasalahan yang tidak begitu parah jika dibandingkan

dengan pria, tetapi berlangsung lama. Pada beberapa tahun setelah bercerai

dilaporkan bahwa wanita mengalami level distress yang lebih tinggi dan depresi

dibandingkan pria. Lamanya efek negatif dari perceraian pada wanita juga

dibuktitakan oleh studi longitudinal yang dilakukan oleh Lorenz, dkk pada tahun

2006. Sebelumnya, pada tahun 1996, Lorenz, dkk telah melakukan penelitian

terhadap wanita di daerah pedesaan Ohio, Amerika Serikat dan hasilnya

menunjukkan bahwa wanita yang bercerai memiliki level yang lebih tinggi

terhadap penyakit dan simptom- simptom depresi. Kemudian pada tahun 2006

penelitian dilakukan kembali pada sampel yang sama dan ditemukan bahwa para

wanita yang bercerai tersebut masih memiliki level yang lebih tinggi terhadap

penyakit dan simptom- simptom depresi dibandingkan dengan wanita yang

menikah.

Tidak semua wanita yang bercerai mengalami efek negatif dalam waktu

lama. Secara umum, individu yang bercerai membutuhkan waktu tiga sampai

empat tahun untuk melakukan penyesuaian terhadap perceraian yang dialaminya

(18)

Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.

pekerjaan, dan pendapatan mempengaruhi penyesuaian seorang wanita dalam

melakukan penyesuaian terhadap perceraiannya (Amato, 2000)

Secara umum masyarakat desa hidup dibawah garis kesejahteraan dan

berada dalam kondisi yang miskin, khusunya wanita (Listiani, 2002). Seperti

halnya masalah pendidikan. Umumnya, wanita desa memiliki tingkat pendidikan

yang rendah. Selain karena faktor ekonomi yang rendah, di desa masih terdapat

pandangan bahwa anak perempuan tidak perlu memiliki pendidikan yang tinggi

(Sajogyo, 1996). Masalah status pendidikan juga tidak jauh berbeda dengan

pekerjaan. Secara umum wanita desa tidak bekerja secara tetap, seperti halnya

pegawai. Umumnya, wanita desa bekerja sebagai petani, pengrajin, ataupun

berternak yang penghasilan dan pekerjaannya tidak tetap setiap bulannya, hal ini

tentunya mempengaruhi tingkat pendapatannya setiap bulan (Listiani, 2002).

Kondisi wanita desa yang secara umum memiliki pendapatan, pekerjaan

dan pendidikan yang rendah akan mempengaruhi penyesuaian terhadap

perceraiannya. Hasil penelitian yang dilakukan Cohen & Savaya (2003)

menunjukkan bahwa rendahnya tingkat pendidikan dan pendapatan yang dimiliki

berkorelasi positif dengan ketidakmampuan individu yang bercerai untuk

menyesuaikan diri terhdap perceraiannya, yang dilihat dari lebih tingginya

simptom- simptom depresi pada individu dengan tingkat pendidikan dan

pendapatan rendah dibandingkan dengan individu dengan tingkat pendidikan dan

pendapatan yang tinggi. Amato (2000) juga mengemukakan hal yang sama,

semakin rendah pendidikan dan tidak memiliki pekerjaan akan mempersulit

(19)

Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.

Perceraian merupakan suatu proses yang melibatkan penyesuaian di

dalamnya. Sejalan dengan hal tersebut, rendahnya status pendidikan, pekerjaan,

dan pendapatan yang dimiliki wanita desa akan mempengaruhi penyesuaian

setelah perceraian yang dihadapi. Konsekuensinya, ketidakmampuan seorang

wanita desa menyesuaikan diri setelah perceraiannya akan berdampak negatif

terhadap psikologisnya. Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan di atas

peneliti ingin mengetahui bagaimana penyesuaian perceraian pada wanita desa

yang bercerai.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, maka peneliti merumuskan beberapa

pertanyaan penelitian yang akan dijawab melalui penelitian ini. Dalam hal ini

pertanyaan utama dalam penelitian ini adalah : Bagaimanakah penyesuaian

perceraian pada wanita desa yang bercerai? Pertanyaan umum ini akan terjawab

dengan pertanyaan khusus yang meliputi :

1. Bagaimana 8 kategori penyesuaian perceraian pada wanita desa yang bercerai

(trauma emosional, sikap masyarakat terhadap perceraian, kesendirian dan

social readjustment, penyesuaian terhadap pengaturan orang tua, keuangan,

pengaturan tanggung jawab dan peran- peran terhadap pekerjaan, kontak

dengan mantan pasangan, dan hubungan dengan keluarga).

2. Bagaimana dan faktor- faktor apa saja yang mempengaruhi penyesuaian

(20)

Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran penyesuaian

perceraian pada wanita desa yang bercerai.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Dari penelitian ini diharapkan dapat memperkaya konsep atau teori yang

menyokong perkembangan ilmu pengetahuan psikologi, khususnya ilmu Psikologi

Klinis yang terkait dengan penyesuaian perceraian pada wanita desa yang

bercerai.

2. Manfaat praktis

(1) Memberikan sumbangan informasi pada masyarakat, keluarga, lembaga-

lembaga atau yayasan yang bergerak dalam bidang perempuan mengenai

hal- hal yang dibutuhkan wanita desa yang bercerai dalam melakukan

penyesuaian terhadap percerainnya.

(2) Memberikan sumbangan informasi mengenai gambaran penyesuaian yang

sulit untuk dihadapi setelah perceraian agar bisa menjadi intervensi

ataupun solusi untuk membantu wanita desa yang bercerai dalam

melakukan penyesuaian terhadap percerainnya.

(3) Memberikan sumbangan informasi hal – hal apa saja yang dapat

membantu wanita desa dalam melakukan penyesuaian terhadap

(21)

Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

Bab I : Pendahuluan berisi penjelasan mengenai latar belakang

permasalahan mengenai penyesuaian perceraian pada wanita desa

yang bercerai, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat

penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II : Landasan Teori berisi mengenai teori-teori kepustakaan yang

digunakan sebagai landasan dalam penelitian, antara lain defenisi

perceraian, perceraian, penyesuaian perceraian, faktor- faktor yang

mempengaruhi penyesuaian perceraian, dan wanita desa dan

penyesuaian perceraian.

Bab III : Metode Penelitian menjelaskan mengenai metode penelitian yang

berisi tentang pendekatan kualitatif, partisipan penelitian, metode

pengumpulan data, alat bantu pengumpulan data, kredibilita (validitas

penelitian, prosedur penelitian, dan metode analisa data.

Bab IV : Analisa data dan interpretasi berisi mengenai analisa data dan

pembahasan hasil analisa data penelitian dengan teori yang relevan

untuk menjawab pertanyaan penelitian yang telah ditentukan

sebelumnya.

Bab V : Kesimpulan, diskusi, dan saran menjelaskan mengenai kesimpulan

dari apa yang diperoleh di lapangan, diskusi yang merupakan

(22)

Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.

atau hasil penelitian sebelumnya serta saran untuk penyempurnaan

(23)

Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.

BAB II

LANDASAN TEORI A. Perceraian

1. Pengertian Perceraian

Perceraian merupakan akumulasi dari penyesuaian pernikahan yang buruk,

dan terjadi bila antara suami dan istri sudah tidak mampu lagi mencari cara

penyelesaian masalah yang dapat memuaskan kedua belah pihak. Banyak

pernikahan yang tidak mendatangkan kebahagiaan tetapi tidak diakhiri dengan

perceraian karena pernikahan tersebut didasari oleh pertimbangan agama, moral,

kondisi ekonomi dan alasan lainnya, tetapi banyak juga pernikahan yang diakhiri

dengan perpisahan dan pembatalan secara hukum maupun dengan diam-diam dan

ada juga yang salah satu (suami/istri) meninggalkan keluarga (Hurlock, 1999).

Menurut Atwater (1983) perceraian adalah terputusnya pernikahan, biasanya

bersamaan dengan penyesuaian psikologis, sosial dan keuangan.

Berdasarkan uraian diatas perceraian didefinisikan berakhir atau putusnya

suatu ikatan pernikahan dikarenakan penyesuaian pernikahan yang buruk dan

melibatkan penyesuaian secara sosial, ekonomi, maupun psikologis. Teori ini

akan digunakan untuk mengidentifikasi subyek penelitian yaitu wanita desa yang

(24)

Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.

B. Proses Perceraian 1. Perceraian Secara Legal

Pasangan akhirnya memutuskan bahwa mereka akan berpisah dan

memutuskan untuk bercerai. Salah satu atau pasangan yang lainnya akan

mengemasi barang- barang milik mereka dan meninggalkan rumah. Setelah itu

pasangan ini akan dihadapkan dengan konsekuensi atas keputusan mereka. Priode

ini akan menghadapkan mereka dengan kenyataan bahwa mereka sudah terpisah

secara fisik dan biasanya ditandai dengan level distress yang tinggi. Pada

kenyataannya, kebanyakan individu pada masa sebelum dan sesudah berpisah

merupakan masa- masa yang lebih stres dibandingkan saat perceraian telah

diputuskan.

Salah satu tugas yang dilalui selama masa perpisahan adalah perceraian

secara resmi. Terdapat tiga tahap yang dilalui dalam proses perceraian secara

resmi, yaitu: mengurus perceraian, pengaturan keuangan, dan hak asuh anak. jika

kedua pasangan setuju dengan segala suatu hal yang diputuskan maka proses akan

berlangsung dengan sederhana dan lancar.

Mengurus perceraian merupakan tugas pertama yang dilakukan dalam

perceraian secara resmi yang berkaitan dengan pengurusan perceraian ke

pengadilan. Masing- masing pasangan akan mencari pengacara yang menjadi

pendampingan mereka untuk mengurus perceraian ini.

Pengaturan keuangan setelah bercerai merupakan hal yang penting.

Pasangan yang telah bercerai akan berbagi harta yang mereka miliki selama

(25)

Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.

yang mudah. Salah satu pasangan bisa saja tidak setuju dengan pembagian

tersebut, karena sulit untuk membuktikan harta benda yang dimilki setelah

menikah dan sebelum menikah. Jika terjadi ketidaksetujuan, proses ini akan

memakan waktu lama dan selalu tidak berakhir dengan pembagian yang

seimbang. Pembagian harta benda setelah bercerai juga menjadi sulit karena

adanya perbedaan kebutuhan wanita dan pria setelah bercerai. Wanita seringnya

menginginkan anak dan rumah, dengan kata lain suami bebas dari tanggung

jawabnya (seperti pengasuhan anak, pajak rumah) tetapi seringnya lelaki tidak

mendapat rumah.

Pengasuhan anak dan hak untuk mengunjungi anak merupakan hal lebih

kompleks dibandingkan dengan pengaturan keuangan. Kedua orang tua

menginginkan untuk mengasuh anaknya. Kedua orang tua juga menginginkan

untuk memiliki kontrol lebih terhadap anak- anak dan ingin bebas dari gangguan

mantan pasangannya, tetapi masing- masing pasangan mungkin akan melakukan

usaha- usaha yang lebih dari mantan pasangannya. Jika pasangan yang bercerai

dapat membuat keputusan mengenai hak asuh, maka pengadilan akan

meresponnya, sebaliknya, jika pasangan yang bercerai tersebut tidak dapat

berkompromi mengenai hak asuh anak, maka pengadilan akan mengambil

langkah- langkah hukum.

Teori mengenai perpisahan digunakan untuk melihat proses legal,

(26)

Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.

C. Penyesuaian Perceraian 1. Penyesuaian Perceraian

Penyesuaian perceraian merupakan hal yang kompleks dan memakan waktu

yang lama (Amato,2000). Degenova (2008) mengemukakan penyesuaian yang

harus dihadapi setelah perceraian terjadi, yaitu :

a. Trauma Emosional

Pada situasi tertentu, perceraian merupakan sebuah pengalaman emosional

yang mengganggu. Namun, pada situasi lainnya, perceraian bisa menimbulkan

shock yang tinggi dan disorientasi. Perceraian merupakan krisis emosional yang

dipicu oleh perasaan kehilangan secara tiba- tiba. Proses perceraian meliputi

kekacauan emosi yang terjadi sebelum dan selama perceraian, shock dan krisis

saat perpisahan terjadi, perasaan sedih akibat telah berakhirnya suatu hubungan,

dan usaha untuk mencapai kembali keseimbangan dan menata ulang

kehidupannya. Proses perceraian legal yang menimbulkan perkelahian akan

semakin menambah trauma emosional terhadap perceraian.

Hampir semua studi menunjukkan bahwa pada priode sebelum dan sesudah

perpisahan baik laki- laki dan perempuan melaporkan terjadinya penurunan dalam

penyesuaian psikologis terhadap perceraian. Awal perpisahan merupakan priode

tersulit pada beberapa indvidu. Trauma yang paling besar pada sebagaian individu

terjadi setelah proses legal diputuskan. Suatu studi yang mengkaji mengenai

hubungan antara perceraian dan stres pada wanita dewasa yang bercerai

menunjukkan bahwa peningkatan stres signifikan segera setelah perceraian terjadi

(27)

Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.

dengan wanita yang menikah (Lorenz et, al, 1997). Disamping itu, perceraian juga

mengakibatkan kesehatan fisik lebih memburuk, penggunkaan alkohol meningkat

(Mastakaasa,1994), dan tingkat bunuh diri lebih tinggi pada individu yang

bercerai dibandingkan dengan yang menikah. Hal ini mengindikasikan bahwa

perceraian merupakan suatu peristiwa yang traumatis.

b. Sikap Masyarakat Terhadap Perceraian

Salah satu bagian dari trauma akibat perceraian adalah sikap masyarakat

terhadap perceraian dan individu yang bercerai itu sendiri. Pada beberapa

pandangan, perceraian mencerminkan kegagalan moral. Butuh banyak keberanian

untuk memberitahukan bahwa seseorang mengalami kegagalan dalam rumah

tangganya. Teman – teman akan memberi lebel yang kurang menyenangkan

terhadap inidvidu yang bercerai dan menolak kehadirannya.

Stewart & Brentano (2006) mengatakan bahwa seringnya pasangan yang

menikah tidak mengetahui cara bekerjasama dengan teman mereka yang single

dalam aktivitas pasangannya, sehingga individu yang bercerai lebih mengisolasi

diri mereka sendiri dari teman- teman karena merasa tidak nyaman, marah saat

melihat kebahagian orang lain, atau mengasumsikan bahwa orang lain mengkritisi

perilaku mereka. Khusunya jika individu yang bercerai malu karena perilaku

suaminya.

Secara umum individu yang bercerai memandang bahwa perceraian

(28)

Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.

secara moral. Individu yang berpandangan negatif terhdap perceraian akan

mempersulit penyesuaiannya terhadap perceraian.

c. Kesendirian dan Social Readjustment

Penyesuaian terhadap kesendirian merupakan hal yang sulit apalagi jika tidak

memiliki anak. Persahabatan dan membentuk suatu hubungan dengan orang lain

merupakan salah satu cara yang yang sangat dianjurkan agar berhasil dalam

melakukan penyesuaian kembali setelah perceraian terjadi. Membina hubungan

baru yang positif dan yang mendukung dapat mengurangi beban psikologi yang

diakbatkan oleh perceraian. Suatu studi menunjukkan bahwa besarnya jaringan

sosial merupakan prediktor yang signifikan terhadap penyesuaian setelah

perceraian (Coysh, Johnston, Tschann, 1989;De Garmo and Forgatch,1999).

Prediktor yang paling kuat terhadap penyesuaian perceraian adalah

keterlibatan dalam suatu hubungan intim. Individu yang memilki pasangan baru

menunjukkan penyesuaian yang lebih baik, kelekatan yang kurang terhadap

mantan pasangan, dan pandangan yang lebih positif terhadap kehidupan (Wang

dan Amato, 2000). Menikah kembali juga membantu individu menyesuaikan diri

dan bukan hanya dapat meningkatkan kepercayaan diri tetapi juga meningkatkan

kenyamanan ekonomi (A.D. Shapiro,1996).

Terdapat perbedaan social readjustment pada individu yang bercerai menurut

usia mereka saat perceraian terjadi. Individu yang berusia lebih tua lebih sulit

menyesuaikan diri dibandingkan dengan individu yang berusia muda. Wanita

(29)

Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.

dengan pria. Diantara individu yang tidak menikah kembali, kesendirian

merepresentasikan konsekuensi berat yang dihadapi setelah perceraian.

d. Penyesuaian Terhadap Pengaturan Orang Tua

Penyesuaian terhadap pengaturan orangtua beragam. Orang tua yang peduli

dengan anak- anaknya akan merindukan anak- anaknya dan sering mencari

kesempatan untuk bisa bersama dengan mereka. Tipe orang tua yang peduli

dengan anaknya akan merasa bersalah dan cemas karena tidak bisa sering bersama

anak- anaknya. Sebagian orang tua justru mengabaikan anak- anaknya, tidak

pernah menemuinya, menelpon, ataupun mengingat ulang tahun anak- anaknya.

Kategori ketiga, orangtua masih berkeinginan untuk sering menemui anak-

anaknya namun terhalang karena jarak yang jauh atau kondisi- kondisi lainnya.

Namun, secara keseluruhan penelitian menunjukkan bahwa kedekatan anak

dengan orang tua yang bukan mengasuhnya semakin berkurang setelah perceraian

terjadi.

Seorang wanita yang bercerai lebih sering melibatkan mantan suaminya dalam

hal anak- anak walaupun sering berakhir dengan konflik, sebaliknya hanya sedikit

ibu yang tidak melibatkan suaminya dalam hal- hal yang berkaitan dengan anak.

e. Keuangan

Secara umum wanita memliki pendapatan yang lebih rendah dibandingkan

dengan pria, meskipun memiliki pekerjaan, pendidikan, pengalaman, dan jumlah

(30)

Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.

Stewart & Brentano (2006) mengemukakan bahwa konsekuensi dari

penurunan ekonomi setelah bercerai mengakibatkan seorang yang bercerai pindah

ke rumah yang lebih sederhana dibandingkan dengan rumah saat masih menikah

dahulu. Penurunan ekonomi ini mulai terjadi beberapa tahun sebelum bercerai dan

kemudian terus berlanjut setelah bercerai hingga kurang lebih 5 tahun setelah

bercerai.

f. Perubahan Tanggung Jawab dan Peran Kerja

Orangtua yang bercerai yang mengasuh anak- anaknya akan dihadapkan

dengan pekerjaan yang banyak. Setelah terjadi perceraian, orang tua harus

mengatasi seluruh pekerjaan rumah tangga yang seharusnya dikerjakan oleh dua

orang. Konsekuensinya, orang tua yang mengasuh anak- anaknya memilki waktu

yang kurang dengan anak- anak, kurang mendengarkan, dan sering mengalami

masalah dalam hal mengontrol dan membimbing anak- anaknya.

g. Kontak Dengan Mantan Pasangan

Banyak pasangan yang marah pada pasangannya saat perceraian terjadi dan

perasaan tersebut akan terus dibawa selama proses perceraian dan bahkan sampai

beberapa tahun seteah perceraian terjadi. Penting bagi pasangan saling bekerja

sama untuk menjaga rasa marah di depan anak- anak mereka sehingga tidak

melibatkan mereka pada perseteruan setelah perceraian.

Semakin tinggi perasaan marah terhadap pasangannya maka semakin timbul

(31)

Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.

setelah bercerai akan semakin berkurang. Kontak dengan mantan pasangan

biasanya meningkat karena berhubungan dengan anak - anak atau masalah

keuangan. Saat anak - anak memiliki masalah, kedua orang tua akan terlibat dan

akan saling berbicara satu dengan yang lainnya. Hubungan yang baik setelah

perceraian akan mempermudah untuk mencari jalan keluar permasalahan dan

anak- anak menjadi sangat terbantu.

Perselisihan setelah perceraian berkaitan dengan hak kunjungan dan dukungan

keuangan terhadap anak. Beberapa pasangan ada yang menyelesaikan masalahnya

di pengadilan karena ayahnya tidak memberi dukungan keuangan tepat waktu.

Perselisihan setelah perceraian lainnya dapat terjadi karena mantan suami

menginginkan pengurangan biaya terhadap anak- anak setelah bercerai.

h. Interaksi Dengan Keluarga

Baik pria atau wanita setelah bercerai lebih mempercayakan permasalahannya

dengan keluarga, khususnya dukungan praktikal dan juga dukungan emosional

unutk menurunkan distress psikologis. Pria lebih cenderung mempercayakan

masalah perceraiannya pada keluarga pada tahap awal perceraian dan wanita pada

jangka waktu yang lebih lama (Gerstel,1988).

Perceraian merupakan proses multigenerasi yang melibatkan orang tua dan

keluarga lainnya, seperti indivdiu yang bercerai dan anak- anak mereka.

Dukungan positif dari orang tua memiliki pengaruh terhadap penyesuaian setelah

perceraian,seperti dukungan emosional, membantu menjaga anak, memberikan

(32)

Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.

Frekuensi hubungan dengan mantan mertua setelah bercerai tidak lagi

sesering seperti sebelum bercerai. wanita lebih baik dalam membina hubungan

dengan mantan mertua daripada pria.

Teori penyesuaian perceraian pada individu yang bercerai akan digunakan

untuk mengetahui penyesuaian perceraian pada wanita desa yang bercerai.

2. Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Penyesuaian Perceraian

setiap individu berbeda dalam mengahadapi perceraiannya. Stewart &

Brentano (2006) mengemukakan delapan hal yang mempengaruhi cepat dan

baiknya individu yang bercerai menyesuaikan diri terhadap perceraiannya, yaitu :

a. Kualitas individu

Salah satu kualitas individu yang mempengaruhi penyesuaian seseorang

terhadap perceraian, yaitu usia saat perceraian terjadi. Individu yang memiliki usia

yang lebih tua lebih mengalami distress karena perceraian dan menghadapi waktu

yang sulit untuk melakukan penyesuaian terhadap perceraian daripada individu

yang lebih muda. Beberapa penelitian menunjukkn bahwa bahwa kaitan usia

dengan penyesuaian terhadap perceraian sangat beragam. Terdapat beberapa bukti

bahwa perceraian wanita lebih mudah pada usia tiga puluhan. Pada longitudinal

study, beberapa tahun setelah bercerai, wanita yang bercerai pada usia tiga

puluhan lebih bahagia, less lonely, ekonomi yang mencukupi, dan mengalami

peningkatan psychological functioning. Wanita yang bercerai pada usia yang lebih

(33)

Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.

Setengah dari mereka mengalami depresi secara klinis dan seluruhnya mengalami

kesepian.

Individu yang memilki gangguan mental atau antisocial personality akan lebih

sulit melakukan penyesuaian terhadap perceraian. Sebaliknya individu yang

memiliki tingkat pendidikan tinggi dan kesehatan mental yang bagus lebih baik

untuk melakukan penyesuaian terhadap perceraian.

Sikap terhadap pernikahan, keluarga, dan masalah perceraian juga

mempengaruhi. Wanita yang bercerai lebih mudah melakukan penyesuaian

terhadap perceraian jika mereka tidak terlalu mengindentifikasikan sebagai ibu

atau istri. Individu yang menyakini bahwa pernikahan merupakan suatu yang

permanen, penting, dan merupakan suatu kegagalan moral akan lebih mudah

merasakan stres dan depresi saat bercerai.

b. Kebebasan Setelah Bercerai

Bagi individu yang memilki banyak masalah dalam pernikahannya, distress

relatif tinggi selama masa pernikahan dan akan meningkat tajam sebelum bercerai,

kembali menurun tajan setelah bercerai kemudian meningkat lagi dan tetap tinggi.

Sebaliknya, individu yang bahagia selama masa pernikahan, distress relatif rendah

selama masa pernikahan dan akan terjadi sedikit peningkatan sebelum bercerai,

kemudian meningkat tajam setelah bercerai dan pada akhirnya individu tersebut

akan mengalami peningkatan kesehatan psikologis. Individu yang memilki

pernikahan yang buruk akan sulit untuk melakukan penyesuaian terhadap

(34)

Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.

Pada sebuah studi menemukan bahwa wanita yang menjadi korban kekerasan

dalam pernikahannya, yang terluka secara emosional dan psikologis atau suami

yang tidak setia lebih mengalami depresi secara klinis dibandingkan dengan

wanita yang tidak mengalami kekerasan selama menikah.

c. Cara Pernikahan Berakhir

Individu yang mengajukan perceraian lebih mudah untuk melakukan

penyesuaian terhadap perceraian dibandingkan dengan individu yang tidak

menginginkan perceraian. Individu yang mengajukan perceraian mengalami

distress dan depresi yang lebih rendah karena mereka berfikir bahwa perceraian

merupakan ide yang bagus. Merasa bersalah terhadap perceraian juga

mengakibatkan penyesuaian terhadap perceraian semakin sulit, khusunya pada

wanita.

d. Dukungan Sosial

Setelah bercerai, khususnya jika individu tersebut mengalami pengalaman

yang stres, maka dengan adanya teman dan kerabat yang memberikan dukungan

sosial akan lebih mudah untuk melakukan penyesuaian terhadap perceraian.

Dukungan sosial dari teman dan keluarga berkorelasi dengan penyesuaian

psikologis yang lebih baik dan lebih sedikit mengalami masalah kesehatan.

Bentuk dukungan sosial yang paling membantu adalah sosioemosional seperti

(35)

Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.

bantuan dalam bentuk uang atau materi. Individu yang bercerai akan merasa

didukung saat mereka medapat penerimaan, empati dan kedekatan.

Keluarga yang memberi dukungan dengan menawarkan bantuan akan

mempermudah indidividu yang bercerai untuk melewati masa transisi dan

memfasilitasi penyesuaian jangka panjang. Orangtua biasanya menjadi

pendamping dalam masalah praktis seperti dukungan keungan, rumah, dan dalam

hal mengasuh anak. Kehadiran orang tua juga dapat membantu mengatasi

loneliness. Kehadiran dan dukungan emosional orang tua juga sangat membantu.

Tinggal satu rumah dengan orang tua karena orang tua akan memberikan saran

mana yang harus dilakukan dan mana yang tidak harus dilakukan sehingga dapat

menurunkan stres. Dukungan dari saudara dan mantan mertua juga dapat

membantu individu yang bercerai untuk melakukan penyesuaian lebih baik.

Dukungan sosial yang paling penting adalah dengan memiliki teman dekat.

Individu yang memiliki teman dekat, seseorang yang menawarkan social

intimacy, merasakan stres, depresi dan kecemasan yang lebih rendah dan lebih

baik melakukan penyesuaian terhadap perceraiannya dibandingkan dengan

individu yang hanya memilki teman yang untuk berbagi hobi dan nilai- nilai.

Menjalin hubungan kembali dengan lawan jenis juga membantu penyesuaian

terhadap perceraian baik pada wanita maupun pria. Hubungan ini akan membantu

mereka untuk menilai kelebihan dan kelemahan serta mengurangi lonliness.

Mereka akan lebih menerima bahwa pernikahan telah berakhir dan harus

melangkah maju. Hal ini akan mengakibatkan penurunan pada kelekatan terhadap

(36)

Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.

e. Asisten Profesional

Penggunaan jasa profesional juga dapat membantu individu yang bercerai

untuk melakukan penyesuaian terhadap perceraiannya. Menjadi bagian dari

komunitas keagamaan juga membantu individu untuk melakukan penyesuaian

terhadap perceraian karena individu yang bercerai akan mendapat dukungan

sosial, dukungan praktis, kesempatan untuk bertemu dengan pria atau wanita

dewasa lainnya dan merasa menjadi bagian dari komunitas tersebut.

f. Pentingnya Uang

Uang merupakan masalah yang sangat penting setelah bercerai pada wanita

maupun pada pria. Cara seseorang melakukan penyesuaian terhadap

perceraiannya sangat berhubungan dengan situasi ekonominya.

Pertama, level pendapatan merupakan hal yang penting. Individu dengan

pendapatan yang tinggi akan melakukan penyesuaian terhadap perceraiannya

lebih baik. Hal ini akan menjadi masalah, khususnya pada individu yang memilki

pendapatan di bawah kesejahteraan. Uang bukan jaminan bagi seseorang untuk

bisa menyesuaikan diri terhadap perceraiannya tetapi dengan tidak memiliki uang

akan membuat hal tersebut menjadi hampir tidak mungkin.

Kedua dan hal yang lebih penting untuk menyesuaikan diri terhadap

perceraiaan adalah penurunan pendapatan. Saat seseorang merasa kondisi

ekonominya semakin menurun semenjak bercerai, mereka lebih cenderung

mengalami depresi dan lebih banyak megalami masalah. Penurunan pendapatan

(37)

Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.

Ketiga, sumber pendapatan merupakan hal yang penting untuk melakukan

penyesuaian yang baik setelah perceraian. Individu yang bercerai menunjukkan

penyesuaian yang baik terhadap perceraiannya saat mereka bisa menggambarkan

sumber pendapatannya dibandingkan dengan individu bercerai yang

pendapatannya bergantung pada orang lain ataupun pemerintah.

Keempat, kemananan dari pendapatan juga merupakan hal yang penting.

Kenyataannya, merasakan ketidaknyaman secara ekonomi lebih mengalami

kesejahteraan psikologis yang buruk dibandingkan dengan berpendapatan rendah.

g. Signifikansi Pekerjaan

Individu menyesuaikan dirinya dengan lebih baik terhadap perceraiannya jika

mereka bekerja dan lebih memilki kestabilan, kompleks, kepuasan, dan

penghasilan yang bagus terhadap perkerjaannya. Saat bercerai, wanita yang

memilki pekerjaan dengan level yang tinggi tidak mengalami peningkatan dalam

terjadinya kecelakaan, bunuh diri, dan addiction. Mereka tidak mengalami

deperesi dan kecemasan seperti wanita dengan level pekerjaan yang lebih rendah.

Pekerjaan juga merupakan pelindung untuk menghadapi stres setelah bercerai.

Pada suatu studi menunjukkan bahwa hal – hal yang menjadi sumber stres setelah

bercerai seperti penurunan pendapatan, kehilangan teman- teman dan pindah ke

rumah dengan lingkungan yang baru, berkaitan dengan penyesuaian yang buruk

setelah bercerai hanya dialami oleh orang – orang bercerai yang tidak bekerja.

(38)

Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.

Faktor penting lainnya untuk penyesuaian terhadap perceraian adalah bentuk

hubungan dengan mantan pasangan setelah bercerai. Setelah pasangan bercerai,

konflik diantara mereka tidak akan langsung selesai, walaupun pada beberapa

pasangan tidak. Peneliti menemukan bahwa beberapa tahun setelah bercerai,

kebanyakan pasangan yang bercerai tidak marah secara intens lagi terhadap

mantan pasangannya, namun paling tidak setengah dari mereka masih merasakan

kemarahan dengan mantan pasangan mereka.

Saat pasangan memilki hubungan yang tidak baik satu dengan lainnya setelah

bercerai maka mereka akan memilki masalah dalam penyesuaiannya terhadap

perceraiannya. Jika komunikasi diantara tidak terbuka dan dengan perilaku yang

rasional, maka mereka memilki masalah. Wanita yang memilki cara komunikasi

dengan marah ditemukan lebih mengalami kecemasan dibandingkan dengan

wanita dengan yang bisa mendiskusikan permasalahnnya dengan mantan

suaminya. Beberapa tahun setelah perceraian, wanita yang masih memliki

perasaan negatif terhadap mantan pasangannya lebih depresi secara klinis,

sedangkan pasangan yang kooperatif secara umum puas dengan kehidupan

mereka dan memilki kesejahteraan psikologis yang baik dibandingakan dengan

pasangan yang memilki hubungan negatif.

Teori mengenai faktor- faktor yang mempengaruhi penyesuaian perceraian

digunakan untuk mengetahui faktor- faktor apa saja yang mempengaruhi

penyesuaian perceraian wanita desa yang bercerai.

(39)

Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.

Lama Waktu yang dibutuhkan seseorang untuk melakukan penyesuaian

setelah perceraian berlangsung merupakan hal sulit untuk dijawab karena

penyesuaian terhadap perceraian bukan merupakan hal yang bisa terselesaikan

dalam satu waktu. Stewart & Brentano (2006) mengemukakan bahwa secara

umum, individu yang bercerai membutuhkan waktu tiga sampai empat tahun

setelah bercerai untuk bisa kembali normal.

Kitson,1992; Kitson & Morgan,1990 (dalam Amato,2000) mengemukakan

bahwa terdapat tiga hal yang menunjukan penyesuaian perceraian yang sukses,

yaitu :

1. Mengalami sedikit simptom – simptom yang berhubungan dengan

perceraian.

2. Mampu berfungsi dengan baik dalam peranan dalam keluarga ataupun

pekerjaan.

3. Mengembangkan identitas dan gaya hidup yang tidak bergantung dengan

pasangan sebelumnya.

E. Wanita Desa dan Penyesuaian Perceraian

Penduduk desa memiliki ciri- ciri yaitu mempunyai pergaulan hidup yang

saling mengenal, adanya ikatan perasaan yang sama tentang kebiasaan, dan cara

usaha hidup bersikap agraris (Landis dalam Hesniyanto, 2002). Ciri lain dari

masyarakat desa yaitu memiliki hubungan sosial yang kuat dengan teman dan

kerrabat dengan ikatan emosional yang kuat (Beard & Dasagupta,2006). Listiani,

(40)

Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.

miskin. Secara umum wanita desa berpendapatan dan memiliki pekerjaan yang

rendah dan tidak tetap, seperti berternak, bersawah, atau membuat kerajinan

tangan kecil untuk melangsungkan hidup.

Sajogyo (1996) mengemukakan bahwa secara umum wanita desa memilki

peran yang khas dalam mengatur rumah tangga. Umumnya, wanita desa

bertanggung jawab penuh dengan dalam bidang domestik rumah tangga,

sedangkan lelaki bertanggung jawab atas peranan ekstra domestik atau luar rumah

tangga. Tingkat pendidikan wanita desa juga rendah. Hal ini diakibatkan karena

adanya budaya pada masyarakat desa bahwa anak perempuan tidak perlu

pendidikan yang lebih tinggi, sebab mereka hanya akan menjadi ibu rumah tangga

saja yang tidak memerlukan keterampilan atau pengetahuan selain pengetahuan

pekerjaan rumah tangga.

Keadaan status pendidikan, pendapatan, dan pekerjaan yang rendah

mempengaruhi seorang wanita yang bercerai untuk menyesuaikan diri setelah

perceraian (Amato,2000). Hal ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan

oleh Cohen & Savaya (2003) yang menunjukkan bahwa rendahnya tingkat

pendidikan dan pendapatan yang dimiliki berkorelasi positif dengan

ketidakmampuan individu yang bercerai untuk menyesuaikan diri terhdap

perceraiannya, yang dilihat dari lebih tingginya simptom- simptom depresi pada

individu dengan tingkat pendidikan dan pendapatan rendah dibandingkan dengan

(41)

Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.

Teori mengenai ciri- ciri wanita desa yang memiliki penidikan, pendapatan

dan pekerjaan yang rendah digunakan peneliti untuk menentukan sampel dalam

(42)

Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.

Pernikahan

Konflik rumah tangga

Terselesaikan Tidak terselesaikan

Perceraian

8 Kategori Penyesuaian Perceraian : 1. Penyesuaian Trauma emosioanal 2. Penyesuaian Sikap masyarakat

terhadap perceraian

3. Penyesuaian Kesepian dan social readjustment

4. Penyesuaian Pengaturan orang tua 5. Penyesuaian Keuangan

6. Penyesuaian Perubahan tanggung jawab dan peran kerja

7. Penyesuaian Kontak dengan mantan pasangan

8. Penyesuaian Interaksi dengan

Wanita desa :

tingkat pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan ↑

Faktor- Faktor yang

mempengaruhi penyesuaian perceraian

(43)

Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.

BAB III

METODE PENELITIAN A. Pendekatan Kualitatif

Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini dengan

tujuan untuk menggali dan mendapatkan gambaran yang luas serta mendalam

berkaitan dengan gambaran penyesuaian perceraian pada wanita desa yang

bercerai. Menurut Creswell (1994) penelitian kualitatif adalah suatu proses

penelitian yang memungkinkan peneliti memahami permasalahan sosial atau

individu secara lebih mendalam dan kompleks, memberikan gambaran secara

holistik, yang disusun dengan kata-kata, mendapatkan kerincian informasi yang

diperoleh dari informan dan berada dalam setting alamiah.

Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2005) mendefinisikan “metodologi

kualitatif” sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa

kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.

Menurut mereka, pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara

holistik.

Sejalan dengan definisi tersebut, Kirk dan Miller (dalam Moleong, 2005)

mendefinisikan bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu

pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung dari pengamatan pada

manusia baik dalam kawasannya maupun peristilahannya. David dan williams

(dalam Moleong, 2005) mengatakan bahwa penelitian kualitatif adalah

(44)

Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.

peneliti yang tertarik secara alamiah. Data diperoleh melalui wawancara,

observasi, dan dokumen pribadi.

Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2005) mengatakan salah satu

kekuatan dari pendekatan kualitatif adalah dapat memahami gejala sebagaimana

partisipan mengalaminya, sehingga dapat diperoleh gambaran yang sesuai dengan

diri partisipan dan bukan semata-mata penarikan kesimpulan sebab akibat yang

dipaksakan.

Penelitian ini mienggunakan pendekatan kualitatif dikarenakan pendekatan

kualitatif memungkinkan individu memfokuskan perhatian pada apa yang

dialaminya dan mengungkapkan pengalaman yang dijalaninya sehingga dapat

memperoleh pemahaman yang menyeluruh dan utuh mengenai suatu fenomena

yang diteliti. Peneliti tertarik menggunakan pendekatan kualitatif, karena

pengalaman dan penyesuaian perceraian individu bersifat partisipantif dan unik,

berbeda antara satu individu dengan individu lain. Peneliti berharap dengan

menggunakan metode ini, maka peneliti akan mendapat pengalaman yang

menyeluruh dan utuh tentang fenomena yang diteliti, sehingga dapat menggali

informasi yang lebih kaya dan mendalam mengenai gambaran penyesuaian

perceraian pada wanita desa yang bercerai.

B. Partisipan Penelitian 1. Karakteristik Partisipan

(45)

Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.

a. Wanita desa yang bercerai

Listiani (2000) mengatakan bahwa wanita desa secara umum memiliki tingkat

pendapatan yang rendah dan pekerjaan yang tidak menetap. Begitu juga

halnya dengan tingkat pendidikan, secara umum wanita desa berpendidikan

rendah (Sajogyo, 1996). Pekerjaan, pendidikan dan pendapatan yang rendah

berkorelasi dengan ketidakmamampuan individu melakukan penyesuaian

terhadap perceraiannya (Cohen & Savaya, 2003)

b. Perceraian berlangsung minimal 4 tahun

Stewart & Clarkson (2006) mengemukakan bahwa secara umum individu

yang bercerai membutuhkan waktu tiga sampai empat tahun untuk melakukan

penyesuaian terhadap perceraian yang dialaminya.

2. Jumlah Partispan

Miles & Huberman (dalam Poerwandari, 2007) menyatakan bahwa

penelitian kualitatif sedikit banyak dapat dianalogikan dengan proses penyelidikan

(investigasi), tidak banyak berbeda dengan kerja detektif yang harus mendapat

gambaran tentang fenomena yang dimilikinya.

Penelitian kualitatif tidak diarahkan pada jumlah partisipan yang besar,

melainkan pada kasus-kasus tipikal sesuai kekhususan masalah penelitian. Pada

dasarnya, jumlah partisipan pada penelitian kualitatif diarahkan pada kecocokan

konteks (Sarantakos dalam Poerwandari, 2007) dan dapat dilakukan dengan waktu

dan sumber daya yang tersedia. Pada penelitian ini, jumlah partisipan adalah 2

(46)

Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.

3. Prosedur Pengambilan Partisipan

Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah berdasarkan

konstruk operasional (theory-based/operational construct sampling). Sampel

dipilih dengan kriteria tertentu, berdasarkan teori atau konstruk operasional sesuai

studi-studi sebelumnya, atau sesuai tujuan penelitian (Patton dalam Poerwandari,

2007). Hal ini dilakukan agar sampel sungguh-sungguh mewakili fenomena yang

dipelajari

4. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di desa Pasar Rawa, Langkat dan Kisaran.

Pemilihan lokasi bertujuan memudahkan peneliti dalam menjangkau partisipan.

C. Metode Pengumpulan Data

Menurut Lofland dan Lofland (dalam Moleong, 2005) sumber utama

dalam penelitian kualitatif ialah kata- kata dan tindakan. Kata- kata dan tindakan

ini dapat dicatat melalui catatan tertulis, pengambilan foto dan statistik. Metode

pengumpulan data yang digunakan disesuaikan dengan masalah, tujuan penelitian

dan sifat objek yang diteliti. Metode- metode yang dapat digunakan dalam

penelitian kualitatif anatara lain wawancara, observasi, diskusi kelompok

terfokus, analisis terhadap dokumen, analisis catatan pribadi, studi kasus, dan

riwayat hidup (Poerwandari,2007). Metode pengumpulan data yang digunakan

(47)

Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.

metode utama dan observasi pada saat wawancara dilakukan dengan alasan yang

akan diuraikan selanjutnya.

1. Wawancara

Wawancara menurut Moleong (2005) adalah percakapan dengan maksud

tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara

(interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewee)

yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Wawancara kualitatif dilakukan

bila peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna

partisipantif yang dipahami individu, berkenaan dengan topik yang diteliti dan

bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu hal yang tidak dapat

dilakukan melalui pendekatan lain.

Patton (dalam Poerwandari, 2001) membedakan tiga pendekatan dasar

wawancara dalam memperoleh data kualitatif yaitu wawancara informal,

wawancara dengan pedoman umum, dan wawancara dengan pedoman terstandar

terbuka. Penelitian ini menggunakan pedoman wawancara yang bersifat umum,

yaitu mencantumkan isu-isu yang harus diliput tanpa menentukan urutan

pertanyaan. Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah

wawancara mendalam (in- depth interview). Banister (1994) menjelaskan bahwa

wawancara mendalam adalah wawancara yang tetap menggunakan pedoman

wawancara, namun penggunaannya tidak sekedar wawancara terstruktur.

Pedoman wawancara berisi open-ended question yang bertujuan agar arah

(48)

Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.

Pedoman wawancara disusun berdasarkan teori dari Stewart & Brentano

(2006) mengenai proses perceraian dan faktor- faktor yang mempengaruhi

penyesuaian percerian, teori mengenai penyesuaian perceraian oleh Dogenova

(2008). Stewart & Brentano (2006) mengemukakan bahwa perceraian merupakan

peristiwa yang kompleks dan merupakan proses yang berlangsung lama.

Berdasarkan teori-teori inilah, pedoman wawancara disusun untuk

memperoleh data tentang penyesuaian setelah perceraian pada wanita desa yang

bercerai. Tema –tema yang dapat menjadi pedoman wawancara adalah tentang

gambaran pernikahan partisipan sebelum bercerai (latar belakang pernikahan dan

konflik- konflik dalam rumah tangga), perceraian (proses legal perceraian),

penyesuaian perceraian (penyesuaian perceraian terhadap trauma emosional,

penyesuaian sikap masyarakat terhadap perceraian, penyesuaian terhadap

kesendirian dan social readjustment, penyesuaian terhadap pengaturan orang tua,

penyesuaian terhadap keuangan, penyesuaian terhadap perubahan tanggung

jawab dan peran kerja, penyesuaian terhadap kontak dengan mantan pasangan,

penyesuaian terhadap hubungan dengan keluarga) dan faktor- faktor yang

mempengaruhi penyesuaian perceraian.

2. Observasi

Patton (dalam Poerwandari,2001) menegaskan bahwa observasi

merupakan metode pengumpulan data esensial dalam penelitian, apalagi dengan

(49)

Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.

Tujuan observasi adalah mendeskripsikan setting yang dipelajari,

aktivitas- aktivitas yang berlangsung, orang –orang yang terlibat dalam kejadian

yang diamati tersebut. Deskripsi harus akurat, faktual sekaligus teliti tanpa harus

dipenuhi berbagai hal yang tidak relevan (Poerwandari,2007)

Hal yang sangat penting dalam melakukan observasi adalah peneliti

melaporkan hasil observasinya secara deskriptif, tidak interpretatif. Pengamat

tidak mencatat kesimpulan atau interpretasi, melainkatn data konkrit berkenaan

dengan fenomena yang diamati (Poerwandari,2007)

Beberapa alat observasi yang dapat digunakan anatar lain anecdotal,

catatan berkala, check list, rating scale, dan mechanical devices (Rahayu &

Ardani, 2004). Penelitian ini menggunakan alat observasi berupa anecdotal

dimana observer mencatat hal –hal yang penting sesegera mungkin pada tingkah

laku yang istimewa saat penelitian berlangsung.

Observasi dalam penelitian digunakan hanya sebagai alat tambahan yang

dilakukan pada saat wawancara berlang€sung untuk melihat reaksi partisipan,

antara lain : ekspresi wajah, gerakan tubuh, intonasi suara, malihat bagaimana

reaksi calon partisipan ketika peneliti meminta kesedseriannya untuk

diwawancara, bagaimana sikap partisipan terhadap peneliti, bagaimana sikap dan

reaksi partisipan terhadap pertnyaan- pertanyaan yang diajukan, bagaimana

keadaan partisipan pada saat wawancara, hal- hal yang sering dilakukan partisipan

dalam proses wawancara.

(50)

Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.

1. Alat perekam (tape recorder)

Menurut Poerwandari (2007), sedapat mungkin suatu wawancara perlu

direkam dan dibuat transkripnya sesuai verbatim (kata demi kata). Oleh karena

itu, peneliti menggunkan alat perekam agar tidak perlu terlalu sibuk mencatat dan

dapat memfokuskan perhatian pada topik pembicaraan dan observasi. Dengan

demikian diharapkan jalannya wawancara dapat diharapkan jalannya wawancara

dapat berlangsung lebih lancar dalam konteks alami.

2. Pedoman Wawancara

Pedoman wawancara disusun berdasarkan teori-teori dalam BAB II,

sehingga peneliti mempunyai kerangka pikiran tentang hal-hal yang ingin

ditanyakan. Tema- tema yang dapat menjadi pedoman wawancara (gambaran

pernikahan sebelum bercerai, perceraian, penyesuaian perceraian, faktor yang

mempengaruhi perceraian). Pedoman wawancara tidak digunakan secara kaku,

karena tidak tertutup kemungkinan peneliti menanyakan hal-hal di luar pedoman

wawancara supaya data yang dihasilkan lebih akurat dan lengkap.

E. Kredibilitas (validitas) Penelitian

Kredibilitas adalah istilah yang digunakan dalam penelitian kualitatif

untuk menggantikan konsep validitas (Poerwandari, 2007). Deskripsi mendalam

yang menjelaskan kemajemukan (kompleksitas) aspek-aspek yang terkait (dalam

bahasa kuantitatif: variabel) dan interaksi dari berbagai aspek menjadi salah satu

(51)

Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.

penelitian kualitatif juga terletak pada keberhasilan mencapai maksud

mengeksplorasi masalah dan mendeskripsikan setting, proses, kelompok sosial

atau pola interaksi yang kompleks.

Patton (dalam poerwandari, 2007) mengungkapkan bahwa langkah-

langkah yang digunakan untuk meningkatkan kredibilitas penelitian dapat

dilakukan dengan cara :

a. Mencatat bebas hal- hal penting serinci mungkin, mencakup pengamatan

objektif terhadap setiing, partisipan ataupun hal lain yang terkait. Peneliti juga

perlu menyediakan catatan khusus yang memungkinkannya berbagai alternatif

konsep, skema, atau metafor yang terkait dengan data. Catatan ini sangat

penting dalam memudahkannya mengembangkan analisis dan interpretasi.

b. Mendokumentasikan data yang terkumpul, proses pengumpulan data maupun

strategi analisisnya secara lengkap.

c. Memanfaatkan langkah- langkah dan proses yang diambil peneliti- peneliti

sebelumnya sebgai masukan bagi peneliti untuk melakukan pendekatan

penelitian dan menjamin pengumpulan data yang berkualitas untuk

penelitiannya sendiri.

d. Menyertakan patner atau orang- orang yang dapat berperan sebagai pengkritik

yang memberikan saran- saran pembelaan yang akan memberikan pertanyaan-

pertanyaan kritis terhadap analisis yang dilakukan peneliti.

e. Melakukan upaya konstan untuk menemukan kasus- kasus negatif :

(52)

Fashihatin : Penyesuaian Perceraian Pada Wanita Desa Yang Bercerai, 2009.

meningkat apabila peneliti memberikan perhatian pada kasus- kasus yang

tidak sesuai dengan pola umum.

f. Melakukan pengecekan dan pengecekan kembali data (checking and

rechecking) dengan menguji kemungkinan dugaan- dugaan yang berbeda.

Peneliti perlu mengembangkan pengujian- pengujian untuk mengecek analisis

dan mengaplikasikannya pada data, serta mengajukan pertanyaan- pertanyaan

tentang data.

Pada penelitian ini, hal- hal yang digunakan untuk meningkatkan kredibilitas

penelitian yaitu berupa mencatat bebas hal- hal penting serinci mungkin,

mencakup pengamatan objektif terhadap setting, partisipan ataupun hal lain yang

terkait. Peneliti juga mendokumentasikan semua data- data yang terkumpul

selama penelitian.

F. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian yang digunakan dalam penelitian ini sesuai dengan

yang diungkapkan Bogdan (dalam Mongleong, 2000). Terdapat tiga tahapan

dalam prosedur penelitian kualitatif, yaitu tahap pralapangan, pekerjaan lapangan,

dan tahap analisa data.

1. Tahap Persiapan Penelitian

Pada tahap persiapan penelitian, peneliti mengemukakan sejumlah hal

yang diperlukan untuk melaksanakan penelitian (Moleong,2000).

Gambar

Tabel IV. C : Perbandingan Kepuasan Pernikahan Pada
Tabel 1. Gambaran Umum Partisipan I
Tabel 2. Waktu Wawancara Partisipan I
Tabel 3. Gambaran Umum Partisipan I
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan adanya beban kerja yang tidak sesuai ( overload ) dengan job desc yang dialami oleh karyawan divisi operasional pada PT. Delta

Pengawasan farmasi dan makanan adalah rangkaian kegiatan dan tindak lanjutnya dalam rangka penegakan peraturan perundang-undangan di bidang farmasi dan makanan

Apa yang kita malcsudkan dengan istilah 'humanis' itu adil kepada semuawarganya, tidakkira bangsa, agama, ataufahaman ideologi."20 Tambahan pula, humanisme Kassim

Objektif kajian ini adalah bertujuan untuk mengenal pasti tahap kualiti udara persekitaran selepas banjir di kawasan yang terjejas dengan banjir di sekitar negeri Kelantan

Peranserta Wanita Peternak Sapi Perah (Marsudi Lestariningsih, Basuki, Endang Y) 125 Bekerja untuk mencari nafkah yang dilakukan oleh masyarakat desa sudah merupakan

Bagaimana perhitungan biaya modal (Capital Cost), perhitungan biaya operasi awal dan perawatan peralatan, perhitungan biaya pembangkitan total perancangan

Kebutuhan adalah keinginan manusia akan barang dan jasa yang harus dipenuhi.. Pelanggan adalah orang/perusahaan yang menggunakan

Sehingga pada proses pemilihan gambar gerak tari, siswa sudah dikatakan cukup mampu memilih gambar gerak tari dengan baik atau tepat (keharmonisan elemen tari), tetapi