• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

B. Penemuan dan Pembahasan

1. Analisa Deskriptif

a. Analisa Deskriptif Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Riil di Propinsi Jawa Barat

Salah satu hal penting dalam pembangunan dan merupakan salah satu tujuan pembangunan nasional adalah pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Dalam konteks pertumbuhan ekonomi daerah hal tersebut juga tidak jauh berbeda. Setiap daerah tentunya menginginkan dan menjadikan pertumbuhan ekonomi menjadi salah satu sasaran dalam pembangunan daerahnya.

Produk domestik regional bruto menggambarkan kemampuan suatu wilayah dalam menciptakan nilai tambah pada suatu waktu tertentu. PDRB dapat dilihat dari tiga sisi pendekatan, yaitu produksi, penggunaan, dan pendapatan. Ketiganya menyajikan komposisi data nilai tambah dirinci menurut sektor ekonomi, komponen penggunaan, dan sumber pendapatan.

PDRB dari sisi produksi merupakan penjumlahan seluruh nilai tambah bruto yang mampu diciptakan oleh sektor-sektor ekonomi atas berbagai aktivitas produksinya. Sedangkan dari sisi penggunaan menjelaskan tentang penggunaan dari nilai tambah tersebut. Selanjutnya, dari sisi pendapatan, nilai tambah merupakan jumlah dari upah/ gaji surplus usaha, penyusutan, dan pajak tak langsung neto yang diperoleh.

92

berlaku‖, yakni menggunakan harga tahun berjalan serta ―atas dasar harga konstan‖, yaitu menggunakan data harga tahun tertentu (tahun dasar).

Sumber: BPS Jawa Barat. Diolah Kembali.

Gambar 4.1. Pertumbuhan Ekonomi di Propinsi Jawa Barat Tahun

1995-2008 (Dalam Juta Rupiah)

Seperti terlihat pada Gambar 4.1, dalam kurun waktu 14 tahun terakhir ini, pertumbuhan ekonomi di propinsi Jawa Barat hampir memiliki pergerakan yang sama, meskipun besarnya pertumbuhan ekonomi yang berbeda. Pergerakan tersebut mengindikasikan bahwa struktur perekonomian yang ada masih memiliki kesamaan antar daerah kabupaten/ kota di propinsi Jawa Barat.

Seperti yang kita lihat pada pada tahun 1998 pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya karena adanya krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Hal ini juga diikuti dengan proses transisi kebijakan pemerintahan yang menyangkut pemerintahan daerah. Masa transisi dari pola kebijakan yang sentralistik

93

selama periode orde baru menuju arah kebijakan pemerintahan daerah yang lebih terdesentralisasi.

Namun, pertumbuhan ekonomi mengalami peningkatan pada tahun 2003-2004, yakni 2-3 tahun pasca era kebijakan otonomi daerah diterapkan di Indonesia. Hal ini disebabkan karena terjadi peningkatan alokasi dana yang dimiliki kabupaten/ kota di propinsi Jawa Barat sebagai akibat dari kebijakan tersebut. Kemudian, pada periode selanjutnya pertumbuhan ekonomi masih tetap memiliki pergerakan yang sama, dimana pergerakan tersebut mengacu pada arah yang positif, meskipun besarnya masih bersifat fluktuatif.

b. Analisa Deskriptif Pendapatan Asli Daerah di Propinsi Jawa Barat Sebagai salah satu ukuran potensi fiskal daerah, pendapatan asli daerah merupakan salah satu hal penting dalam upaya penggalian potensi daerah. Pentingnya hal tersebut tercermin dari semakin gencarnya tiap-tiap daerah dalam hal penggalian potensi tersebut guna mengisi besarnya nilai PAD, terlebih setelah diberlakukannya kebijakan otonomi daerah guna peningkatan pertumbuhan ekonomi suatu daerah.

Secara umum, pertumbuhan PAD setiap daerah bergerak pada arah yang sama, yakni semakin meningkat dari tahun ke tahun, terutama pasca diberlakukannya kebijakan desentralisasi fiskal. Hal ini mengindikasikan bahwa sejak diterapkannya kebijakan tersebut, daerah-daerah di propinsi Jawa Barat cenderung untuk meningkatkan PAD-nya sebagai implikasi

94

dari kebijakan otonomi daerah dengan tujuan peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah.

Sumber: BPS Jawa Barat. Diolah Kembali.

Gambar 4.2. PAD di Propinsi Jawa Barat Tahun 1995-2008 (Dalam

Ribu Rupiah)

c. Analisa Deskriptif Jumlah Penduduk di Propinsi Jawa Barat

Berkaitan dengan jumlah penduduk sebagai salah satu determinan pertumbuhan ekonomi, Levine dan Renelt (1992) mengutarakan bahwa population growth menentukan tingkat kemakmuran ekonomi.

Disamping itu, Becker et al. (1990) berpendapat bahwa dengan asumsi tingkat fertilitas sebagai endogenous variable, masyarakat dengan

jumlah penduduk yang cukup banyak akan cenderung untuk melakukan investasi lebih di bidang SDM. Di sisi lain, daerah yang jarang penduduknya memiliki insentif ekonomi untuk meningkatkan jumlah anak guna mengisi kekosongan pasar tenaga kerja. Namun demikian, net impact terhadap pencapaian kinerja ekonomi tidaklah mudah untuk ditentukan.

95

Diungkapkan pula bahwa populasi dapat menurunkan produktivitas karena adanya efek diminishing returns atas penggunaan tanah dan sumber daya alam (Becker et al.1999: hlm 149).

Sumber: BPS Jawa Barat. Diolah Kembali.

Gambar 4.3. Jumlah Penduduk di Propinsi Jawa Barat Tahun

1995-2008

Pada gambar 4.3 dapat kita lihat bahwa jumlah penduduk di propinsi Jawa Barat memiliki pergerakan yang sama, dengan besaran yang berbeda yakni semakin meningkat setiap tahunnya. Kecenderungan penduduk yang terus bertambah tidak hanya disebabkan oleh pertambahan penduduk secara alamiah, namun tidak terlepas dari kecenderungan migran baru yang masuk disebabkan daya tarik propinsi Jawa Barat, baik dilihat dari potensi daerah seperti adanya sektor industri, pertanian, maupun pariwisata, sehingga ketersediaan lapangan kerja dan semakin kondusifnya kesempatan berusaha akan menarik para pendatang dari luar Jawa Barat.

96 d. Analisa Deskriptif Tingkat Pendidikan di Propinsi Jawa Barat

Sebagai proxy atas tingkat pendidikan, penulis menggunakan

rasio penyelesaian pendidikan SMU dan Perguruan Tinggi terhadap penduduk berusia 10 tahun ke atas. Rasio ini cukup populer digunakan berdasarkan data yang penulis peroleh dari Badan Pusat Statistik Jawa Barat sehingga cukup tepat menggambarkan kualitas sumber daya manusia di negara-negara berkembang. Sebagaimana disepakati oleh para praktisi dan akademisi, tingkat pendidikan terkait secara positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, variabel tersebut diharapkan pula akan menghasilkan angka positif dalam penelitian ini.

Sumber: BPS Jawa Barat. Diolah Kembali.

Gambar 4.4. Tingkat Pendidikan di Propinsi Jawa Barat Tahun 1995- 2008

Dalam gambar 4.4 di atas dapat dilihat bahwa pergerakan tingkat pendidikan di propinsi Jawa Barat hampir sama dengan nilai yang berbeda,

97

yakni semakin meningkat setiap tahunnya, namun ada juga yang mengalami penurunan namun tidak terlalu signifikan. Menurunnya tingkat pendidikan ini dapat disebabkan oleh berbagai macam hal. Diantaranya kemampuan dan kemauan masyarakat untuk berusaha memperoleh pendidikan yang baik dan dapat menunjang kehidupannya. Hal ini dinilai sebagai suatu ukuran bahwa tingkat pendidikan dapat menggambarkan kualitas sumber daya manusia suatu daerah guna mengetahui pertumbuhan ekonomi daerah yang bersangkutan tersebut.

2. Estimasi Model Data Panel

a. Pendekatan Pooled Least Squares (PLS)

Pertama-tama dilakukan pengolahan data dengan metode pendekatan Pooled Least Squares, sebagai salah satu syarat untuk

melakukan uji F-Restricted. Dari hasil pengolahan program E-Views 6.0

didapatkan hasil seperti tampilan sebagai berikut: Tabel 4.1

Regresi Data Panel: Pooled Least Square R-squared 0.921273 Adjusted R-squared 0.915058 Sumber: Data diolah. Lampiran 2.

b. Pendekatan Fixed Effect Model (FEM)

Setelah itu dilakukan pengolahan data dengan metode pendekatan Fixed Effect Model untuk dibandingkan dengan metode pendekatan Pooled

98

Least Square pada uji F-Restricted. Dari hasil pengolahan program

E-Views 6.0 didapatkan hasil seperti tampilan sebagai berikut:

Tabel 4.2

Regresi Data Panel: Fixed Effect Model R-squared 0.961490 Adjusted R-squared 0.954889 Sumber: Data diolah. Lampiran 3.

c. PLS vs FEM

Untuk mengetahui model data panel yang akan digunakan, maka digunakan uji restricted dengan cara membandingkan statistik dan F-tabel. Sebelum membandingkan F-statistik dan F-tabel terlebih dahulu dibuat hipotesisnya. Adapun hipotesisnya adalah sebagai berikut:

H0: Model PLS (Restricted) H1: Model FEM (Unrestricted)

Dari hasil regresi berdasarkan metode Fixed Effect Model dan

Pooled Least Square diperoleh nilai F-statistik yakni sebagai berikut:

Tabel 4.3 F-Restricted

Redundant Fixed Effects Tests Pool: Untitled

Test cross-section fixed effects

Effects Test Statistic d.f. Prob.

Cross-section F 16.844297 (2,35) 0.0000

99

Dari tabel 4.3 diperoleh nilai F-statistik adalah 16,844297, dengan nilai F-tabel pada df (2,35) α = 5 % adalah 3,27, sehingga nilai F statistik > F tabel, maka H0 ditolak, sehingga model data panel yang dapat digunakan adalah Fixed Effect Model.

H0 diterima H0 ditolak

0 3,27 16,844297

Gambar 4.5. F-Restricted

Berdasarkan gambar 4.5 di atas terlihat bahwa F-restricted (F-statistik) > F-tabel, maka H0 ditolak, artinya model data panel yang digunakan adalah Fixed Effect Model (FEM).

d. Pendekatan Random Effect Model

Setelah diketahui bahwa model yang digunakan adalah Fixed

Effect Model, model data panel masih harus dibandingkan lagi antara

Fixed Effect dengan Random Effect. Pendekatan Random Effect memiliki

syarat bahwa number of unit cross section > number of coefficient. Tetapi pada penelitian kali ini, persamaan regresi tidak memenuhi syarat tersebut, dimana number of unit cross section < number of coefficient sehingga

100

pendekatan Random Effect tidak dapat dilakukan dan model panel tetap

pada Fixed Effect Model.

Dokumen terkait