ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
PERTUMBUHAN EKONOMI REGIONAL
DI PROPINSI JAWA BARAT (PERIODE 1995-2008)
SKRIPSI
Diajukan Oleh:
Ayu Zakya Lestari
1060840002791
JURUSAN ILMU EKONOMI DAN STUDI PEMBANGUNAN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
PERTUMBUHAN EKONOMI REGIONAL
DI PROPINSI JAWA BARAT (PERIODE 1995-2008)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Untuk Memenuhi Syarat-syarat Guna Meraih Gelar Sarjana Ekonomi
Oleh :
Ayu Zakya Lestari
Nim: 106084002791
Di Bawah Bimbingan:
Pembimbing I Pembimbing II
Pheni Chalid, SF, MA, Ph.D. Fahmi Wibawa, SE. MBA.
Nip: 195605052000121001
JURUSAN ILMU EKONOMI DAN STUDI PEMBANGUNAN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVESRITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Hari ini, Tanggal 23 Bulan Juli Tahun 2010 telah dilakukan Ujian
Komprehensif atas nama Ayu Zakya Lestari dengan Nim: 106084002791,
dengan judul skripsi: “ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERTUMBUHAN EKONOMI REGIONAL DI
PROPINSI JAWA BARAT (PERIODE 1995-2008)”. Memperhatikan hasil
dan kemampuan keilmuan mahasiswa tersebut selama ujian berlangsung, maka
skripsi ini sudah dapat diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Ekonomi pada Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, 23 Juli 2010
Tim Penguji Komprehensif
Drs. Lukman, M.Si. Utami Baroroh, M.Si.
Ketua Sekretaris
Hari ini, Tanggal 6 Bulan September Tahun 2010 telah dilakukan Ujian Sidang
Skripsi atas nama Ayu Zakya Lestari dengan Nim: 106084002791, dengan judul
skripsi: “ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERTUMBUHAN EKONOMI REGIONAL DI PROPINSI JAWA BARAT (PERIODE 1995-2008)”. Memperhatikan hasil dan kemampuan keilmuan mahasiswa tersebut selama ujian berlangsung, maka skripsi ini sudah dapat
diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi
pada Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan
Bisnis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 6 September 2010
Tim Penguji Skripsi
Pheni Chalid, SF, MA, Ph.D. Fahmi Wibawa, SE, MBA.
Ketua Sekretaris
Prof. Dr. Abdul Hamid, MS. Utami Baroroh, M.Si.
SURAT PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : Ayu Zakya Lestari
NIM : 106084002791
Jurusan : Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan
Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi saya yang berjudul “Analisis
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Regional di Propinsi
Jawa Barat (Periode 1995-2008)” adalah hasil karya saya sendiri yang
merupakan hasil penelitian, pengolahan dan analisis saya serta bukan merupakan
replika maupun saduran dari hasil karya atau penelitian orang lain.
Apabila terbukti skripsi ini plagiat atau replika maka skripsi ini dianggap gugur
dan harus melakukan penelitian ulang untuk menyusun skripsi baru dan
kelulusan serta gelarnya dibatalkan.
Demikian pernyataan ini dibuat dengan segala akibat yang timbul di kemudian
hari menjadi tanggung jawab saya.
Jakarta, 15 September 2010
i
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
I. IDENTITAS PRIBADI
1. Nama : Ayu Zakya Lestari
2. Tempat & Tgl Lahir : Jakarta, 8 November 1988
3. Alamat : Jl. Bratasena VI BC 4/16 Reni Jaya
4. Telepon : 0856 934 63634/ 021 741 0140
II. PENDIDIKAN
1. SD : SD Muhammadiyah 12 Pamulang
2. SMP : SMP Negeri 2 Ciputat
3. SMA : SMA Negeri 46 Jakarta
III.PENGALAMAN ORGANISASI
1. Anggota Div. Seni dan Budaya BEMJ IESP Tahun 2007
2. Sekretaris II BEMJ IESP Tahun 2008
3. Ketua SEIS Dance (Saman Ekonomi dan Ilmu Sosial) Tahun 2008
4. Ketua Propesa Jurusan IESP FEIS Tahun 2008
5. Sekretaris I BEMJ IESP Tahun 2009
6. Bendahara II HMI Komisariat Fak. Ekonomi dan Bisnis Tahun 2010
IV.LATAR BELAKANG KELUARGA
1. Ayah : Drs. A. Rahim Mahmud
2. Tempat & Tgl Lahir : Sumbawa Besar, 19 November 1958
3. Alamat : Reni Jaya, Pamulang
4. Telepon : 021 741 0140
5. Ibu : Nur Indah
6. Tempat & Tgl Lahir : Surabaya, 7 November 1962
7. Alamat : Reni Jaya, Pamulang
8. Telepon : 021 741 0140
ii
ABSTRACT
The aim of this research is to know the effects of local government budget from the revenue side, which is local income, number of population and human capital ratio, by adding variable dummy as a regional autonomy policy to regional economic growth in province of West Java.
The samples are choosen on the basis of purposive sampling method which is using cluster sampling technique. There are 3 regions which are being researched; Bandung, Cianjur, and Sukabumi. The data are collected from 1995 to 2008. This research is using analysis on panel data estimation which combines time series analysis and cross-section analysis. The panel data estimation technique is utilized on the case of West Java data, covering three classified periods, namely all period, period before, recent and after regional autonomy. The data which are being used for this research is secondary data, with constant data based on year 1993, and other data available from regions or town. The main source of data comes from Statistic Bureau of Indonesia and West Java.
The study results show that all independent variables in the model can explain the variation of dependent variable, which is regional economic growth in province of West Java for 96,15%. So, throughout the research period, there are policy changes which give the effect on regional economic growth. It can be seen from dummy variabel of regional autonomy that influences regional economic growth for significant t-value on up to 95%. Then, about local income variable which do not give effect, but the other variables; number of population gives effect and negative for 7,61% and human capital ratio which gives positive effect for 1,95% on regional economic growth.
iii
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh anggaran pemerintah daerah dari sisi penerimaan yaitu pendapatan asli daerah, jumlah penduduk dan tingkat pendidikan, dengan menambahkan variabel dummy berupa kebijakan otonomi daerah terhadap pertumbuhan ekonomi regional di propinsi Jawa Barat.
Penentuan sampel dilakukan dengan metode purposive sampling dengan menggunakan teknik cluster sampling. Dalam penentuan sampel terdapat 3 kota/ kabupaten yang diteliti, yakni kabupaten Bandung, kabupaten Cianjur, dan kota Sukabumi. Data yang dihimpun dari tahun 1995-2008. Metode analisis yang digunakan adalah metode data panel yang menggabungkan antara analisis time series dan cross section. Teknik estimasi data panel juga membagi data kedalam tiga periode waktu, yaitu periode keseluruhan, periode sebelum otonomi daerah, dan periode otonomi daerah. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa data atas dasar harga konstan tahun 1993 dan berupa data level pada tingkat kabupaten/ kota. Sumber data utama berasal dari publikasi Biro Pusat Statistik (BPS).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel-variabel bebas dalam model mampu menjelaskan variasi dari variabel tergantung, yakni pertumbuhan ekonomi regional di propinsi Jawa Barat sebesar 96,15%. Jadi, selama periode penelitian adanya shock berupa perubahan kebijakan yakni kebijakan otonomi daerah memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi regional. Hal ini dapat dilihat dari variabel dummy kebijakan otonomi daerah yang berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi regional berupa nilai t-hitung yang signifikan pada tingkat keyakinan 95% . Lalu variabel PAD yang tidak berpengaruh signifikan. Namun tidak dengan variabel jumlah penduduk yang berpengaruh signifikan namun bernilai negatif yaitu sebesar 7,61% dan tingkat pendidikan yang berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi regional sebesar 1,95%.
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena atas
limpahan rahmat dan karunia-Nya penulis mampu menyelesaikan penulisan
skripsi yang berjudul “Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Pertumbuhan Ekonomi Regional di Propinsi Jawa Barat (Periode 1995-2008)”. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Baginda Rasululllah SAW beserta kepada para sahabat dan seluruh pengikut Beliau yang
insya Allah tetap istiqomah hingga akhir zaman kelak, Amin.
Dengan selesainya penyusunan dan penulisan skripsi ini, penulis ingin
menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak
yang telah membantu penulis. Adapun ungkapan terima kasih ini penulis
2. Bapak Prof. Dr. Abdul Hamid, MS selaku Dekan FEB.
3. Bapak Drs. Lukman, M.Si. selaku Ketua Jurusan IESP.
4. Bapak Pheni Chalid, SF, MA, Ph.D. selaku Dosen Pembimbing I atas
kesediaan waktu, tenaga, dan pikirannya membimbing penulis.
5. Bapak Fahmi Wibawa, SE, MBA. Selaku Dosen Pembimbing II atas
kesediaan waktu, tenaga, dan pikirannya membimbing penulis.
6. Seluruh Dosen FEB atas ilmunya yang bermanfaat, semoga dapat menjadi
amalan di akhirat kelak, esp for: Ibu Ami yang cantik dan sabar untuk
curhat, konsultasi, revisi skripsi.. Ibu Rahmawati yang cantik dan pintar,
terima kasih untuk pertanyaan kapan skripsi saya akan selesai. Ibu Isna
yang baik hatinya. Ibu Fitri untuk revisi seminar yang luar biasa dan Ibu
Lili yang begitu baik dan murah hati untuk memudahkan saya dalam
v
7. Keluarga kecil mba gita, bang aip, dan baby kai.. Hope one day, i’ll find
my lil fam like yours.. Adinda Meutia Rizqina, adik kecilku tersayang..
Terima kasih untuk teh lemon hangat dan vanilla lattenya..
8. My 2nd fam..Mel.Ryn.Nul.Tot.El.Dam..terima kasih untuk 4 tahun yang
luar biasa dan begitu indah, menangis dan tertawa bersama kamu semua
adalah anugerah yang luar biasa..
9. GLOSHE “gitayutitanisavibunskali” terima kasih untuk doa, dukungan,
dan kebersamaan yang begitu hangat..
10. Teman-teman kkn 78, esp boy+adit.. terima kasih untuk 30 hari yang
indah dan begitu bermakna..
11. Sahabat terbaik sepanjang masa, Ihda Maulidah.. Teman kecilku lidya,
prima, nuning, prima, erna, nova..
12. Bapak dan Ibu Akademik FEIS, Bu Siska, Pak Rahmat, Pak Udin, Pak
Sugeng, Bu Yulia
13. Teman-teman IESP A 2006, SEIS Dance (keep on dancing girls!), HMI
KAFEIS (Yakusa!), Rimbassa, Sodara2ku (kaka kembar, lala, mba put).
14. Teman seperjuangan, Upi Lutfiah..untuk rasa optimis yang luarbiasa.
Dan untuk semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu,
terima kasih yang terdalam untuk bantuan, dukungan, dan doanya. Semoga
keberkahan dan kesuksesan selalu menyertai kita semua. Amin.
Akhirnya, semoga bantuan, doa, dan semangat yang diberikan dapat
menjadi amalan bagi semua pihak yang telah membantu penulis dalam
menyelesaikan penulisan serta penyusunan skripsi ini.
Jakarta, Agustus 2010
vi
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ……… 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...……...………….…... 10
A. Perkembangan Kebijakan Ekonomi di Indonesia…….. 10
1. Perkembangan Kebijakan Ekonomi Era Orde Baru.. 12
2. Perkembangan Kebijakan Ekonomi Era Reformasi.. 17
3. Perkembangan Kebijakan Ekonomi Era Otonomi Daerah ... 19
B. Struktur Pemerintahan di Era Otonomi Daerah…... 23
C. Struktur Keuangan di Era Otonomi Daerah…... 26
D. Hakikat Pertumbuhan Ekonomi ……….…... 36
E. Teori-teori Pertumbuhan Ekonomi …………..……... 38
1. Teori Pendapatan Asli Daerah …...…….... 38
2. Teori Jumlah Penduduk ... 41
3. Teori Tingkat Pendidikan ... 42
F. Penelitian Terdahulu ……….... 45
vii
3. Pemilihan Metode Estimasi dengan Data Panel ... 73
4. Metode Dummy Variabel ………... 76
5. Model Empiris ... 77
6. Pengujian Hipotesis ……….. 78
E. Operasional Variabel Penelitian ……….... 82
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 84
A. Gambaran Umum Obyek Penelitian ... 84
1. Kabupaten Bandung ... 84
2. Kabupaten Cianjur ... 86
3. Kota Sukabumi ... 88
B. Penemuan dan Pembahasan ... 91
1. Analisa Deskriptif ... 91
a. Analisa Deskriptif Produk Domestik Regional Bruto ... 91
b. Analisa Deskriptif PAD ... 93
c. Analisa Deskriptif Jumlah Penduduk... 94
d. Analisa Deskriptif Tingkat Pendidikan ... 96
2. Estimasi Model Data Panel ... 97
a. Pendekatan Pooled Least Square ... 97
viii
c. PLS vs FEM ... 98
d. Pendekatan Random Effect Model ... 99
3. Pengujian Hipotesis ... 100
a. Keseluruhan Periode Penelitian (1995-2008) ... 100
1. Uji t ... 101
2. Uji F ... 104
3. Keofisien Determinasi ... 105
4. Interpretasi Hasil Analisis ... 106
b. Periode Sebelum Otonomi Daerah (1995-2000) .. 113
c. Periode Otonomi Daerah (2001-2008) ... 115
d. Pengaruh Variabel-variabel Independen terhadap Variabel Dependen ... 118
BAB V PENUTUP ... 121
A. Kesimpulan ... 121
B. Implikasi ... 123
DAFTAR PUSTAKA…...………... 125
ix
DAFTAR TABEL
Nomor Keterangan Halaman
2.1 Struktur APBD Propinsi/ Kota/ Kabupaten Pendekatan Kinerja 33
2.2 Penelitian Terdahulu 54
3.1 Perbedaan Fixed Effect Model dan Random Effect Model 73
3.2 Operasional Variabel Penelitian 83
4.1 Regresi Data Panel: Pooled Least Square 97
4.2 Regresi Data Panel: Fixed Effect Model 98
4.3 F- Restricted 98
4.4 Hasil Perhitungan Estimasi Data Panel dengan Dummy Variabel
Terhadap Keseluruhan Periode Penelitian (1995-2008) 101
4.5 Interpretasi Koefisien Fixed Effect Model 106
4.6 Hasil Perhitungan Estimasi Data Panel dengan Dummy Variabel
Terhadap Periode Sebelum Otonomi Daerah (1995-2000) 113
4.7 Hasil Perhitungan Estimasi Data Panel dengan Dummy Variabel
Terhadap Periode Otonomi Daerah (2001-2008) 115
4.8 Arah Hubungan Variabel-variabel Kebijakan Desentralisasi Fiskal
dengan Pertumbuhan Ekonomi Regional di Jawa Barat 118
n Estimasi Data P
anel dengan Dummy Variabel terhadap Keseluruhan Periode Penelitian
(1995-2008) Hasil Perhitungan Estimasi Data Panel dengan Dummy
x
DAFTAR GAMBAR
Nomor Keterangan Halaman
1.1 Pertumbuhan Ekonomi di Jawa Barat Tahun 1995-2008 5
2.1 Tren Alokasi Transfer Pusat ke Daerah (Tahun 2001-2008) 28
2.2 Bagan Kerangka Pemikiran 63
3.1 t-Statistik 79
3.2 F-Statistik 81
4.1 Pertumbuhan Ekonomi di Jawa Barat Tahun 1995-2008 92
4.2 Pendapatan Asli Daerah di Jawa Barat Tahun 1995-2008 94
4.3 Jumlah Penduduk di Jawa Barat Tahun 1995-2008 95
4.4 Tingkat Pendidikan di Jawa Barat Tahun 1995-2008 96
4.5 F-Restricted 99
4.6 Hasil Uji t-Statistik 102
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Keterangan Halaman
1. Data Observasi 129
2. Output Pooled Least Square 131
3. Output Fixed Effect Model Periode Keseluruhan (1995-2008)`132
4. Output Fixed Effect Model Sebelum Otonomi Daerah
(1995-2000)` 133
5. Output Fixed Effect Model Periode Otonomi Daerah
1
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Pertumbuhan ekonomi berarti perkembangan kegiatan dalam
perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi dalam
masyarakat bertambah dan kemakmuran masyarakat meningkat. Masalah
pertumbuhan ekonomi dapat dipandang sebagai masalah makroekonomi dalam
jangka panjang. Dari satu periode ke periode lainnya kemampuan suatu negara
untuk menghasilkan barang dan jasa akan meningkat. Kemampuan yang
meningkat ini disebabkan oleh faktor-faktor produksi yang mengalami
peningkatan dalam jumlah dan kualitasnya.
Perkembangan kemampuan dalam memproduksi barang dan jasa
sebagai akibat pertambahan faktor-faktor produksi pada umumnya tidak selalu
diikuti oleh pertambahan produksi barang dan jasa yang sama besarnya.
Pertambahan potensi memproduksi sering kali lebih besar dari pertambahan
produksi yang sebenarnya. Dengan demikian perkembangan ekonomi lebih
lambat dari potensinya.
Pertumbuhan ekonomi mencerminkan kegiatan ekonomi. Pertumbuhan
ekonomi dapat bernilai positif dan dapat pula bernilai negatif. Jika pada suatu
periode perekonomian mengalami pertumbuhan positif, berarti kegiatan
2
suatu periode perekonomian mengalami pertumbuhan negatif, berarti kegiatan
ekonomi pada periode tersebut mengalami penurunan.
Pertumbuhan ekonomi merupakan kunci dari tujuan ekonomi makro.
Hal ini didasari oleh tiga alasan. Pertama, penduduk selalu bertambah.
Bertambahnya jumlah penduduk ini berarti angkatan kerja juga selalu
bertambah. Pertumbuhan ekonomi akan mampu menyediakan lapangan kerja
bagi angkatan kerja. Jika pertumbuhan ekonomi yang mampu diciptakan lebih
kecil daripada pertumbuhan angkatan kerja, hal ini mendorong terjadinya
pengangguran. Kedua, selama keinginan dan kebutuhan selalu tidak terbatas,
perekonomian harus selalu mampu memproduksi lebih banyak barang dan jasa
untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan tersebut. Ketiga, usaha menciptakan
pemerataan ekonomi (economic stability) melalui redistribusi pendapatan
(income redistribution) akan lebih mudah dicapai dalam periode pertumbuhan
ekonomi yang tinggi.
Berkaitan dengan kebijakan otonomi daerah yang dilaksanakan di
Indonesia berdasarkan UU No.32/ 2004 tentang pemerintahan daerah dan UU
No.33/ 2004 tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah sebagai
revisi dari UU No.22/ 1999 dan UU No.25/ 1999, disadari bahwa kemampuan
setiap daerah dalam melaksanakan fungsi otonomi guna peningkatan
pertumbuhan ekonomi daerahnya tidak sama. Hal ini disambut baik bagi daerah
yang memiliki sumber penerimaan potensial, namun bagi daerah yang memiliki
kemampuan keuangan yang jauh dari memadai, maka mereka mengalami
3
UU No.32/ 2004 merupakan dasar hukum pendelegasian kekuasaan
tertentu kepada pemerintah daerah dan membentuk proses politik daerah.
Penyerahan fungsi, personil, dan aset dilakukan dari pemerintah pusat kepada
pemerintah propinsi, kabupaten, dan kota. Sedangkan UU No.33/ 2004
mendorong desentralisasi dengan memberikan sumber daya fiskal kepada
pemerintah daerah, termasuk dalam hal penetapan besarnya tarif pajak dan
retribusi daerah. Hal ini bertujuan untuk mendukung tanggung jawab yang
dilimpahkan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.
Adapun pelaksanaan otonomi daerah harus diimbangi dengan sejauh
mana, instrumen atau kemampuan daerah saat ini mampu memberikan nuansa
pengolahan keuangan yang lebih adil, rasional, transparan, partisipatif, dan
akuntabel sebagaimana yang diamanatkan oleh kedua undang-undang otonomi
daerah tersebut.
Kebijakan otonomi daerah baru dijalankan pada 1 Januari 2001
berdasarkan UU No.25/ 1999 yang disempurnakan dengan UU No.33/ 2004
tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Pada waktu ini, Indonesia memasuki babak baru dalam pengelolaan
pemerintahan dan pembangunan. Dalam hal pengelolaan pembangunan dan
keuangan, daerah memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan di bidang
keuangan dan pengelolaan anggaran di sisi penerimaan dan pengeluaran.
Pada sisi penerimaan, daerah kota/ kabupaten mendapat keleluasaan
untuk menggali sumber-sumber penerimaan yang potensial di daerah, tidak lagi
4
daerah sepenuhnya memiliki kewenangan untuk menentukan penggunaan dana
perimbangan yang diterimanya sesuai dengan kebutuhan daerah.
Propinsi Jawa Barat selama lebih dari tiga dekade telah mengalami
perkembangan perekonomian yang cukup pesat. PDRB propinsi Jawa Barat
pada tahun 2003 mencapai Rp.231.764 milyar (US$ 27.26 Billion) menyumbang
14-15 persen dari total PDB nasional, merupakan angka tertinggi bagi sebuah
propinsi. Sebagai propinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia,
PDRB per kapita Jawa Barat adalah Rp. 5.476.034 (US$644.24) termasuk
minyak dan gas. Pertumbuhan ekonomi tahun 2003 adalah 4,21 persen termasuk
minyak dan gas, bahkan lebih baik dari PDB Indonesia secara keseluruhan
(http://id.wikipedia.org/wiki/Jawa_Barat).
Dengan adanya kebijakan otonomi daerah telah memberikan peluang
bagi propinsi Jawa Barat untuk memiliki kemandirian guna membangun
daerahnya. Kemandirian tersebut berpijak pada [1] prinsip demokrasi, [2]
partisipasi dan peran serta masyarakat, [3] pemerataan keadilan, serta [4]
memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah dalam upaya
mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya lokal.
Perkembangan pertumbuhan ekonomi propinsi Jawa Barat selama 14
tahun terakhir dapat dilihat pada Gambar 1.1 yang menerangkan bahwa
pertumbuhan ekonomi propinsi Jawa Barat mengalami perubahan yang
5 Sumber: BPS Jawa Barat. Diolah kembali.
Gambar 1.1. Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi di Propinsi Jawa Barat Tahun 1995-2008 (Dalam Persentase)
Perkembangan pertumbuhan ekonomi propinsi Jawa Barat
menunjukkan perkembangan yang positif dari tahun 1995-2008. Namun, pada
tahun 1998 menunjukkan pertumbuhan ekonomi yaitu minus 17,77 persen, hal
ini disebabkan oleh krisis ekonomi dan krisis moneter yang terjadi pada
pertengahan tahun 1997 di Indonesia yang kemudian mengakibatkan krisis
multidimensi sehingga membawa dampak pada pertumbuhan ekonomi yang
negatif di propinsi Jawa Barat. Namun, pada tahun 2000-2008 pertumbuhan
ekonomi dapat kembali pulih, meskipun tidak sebaik tahun-tahun sebelumnya.
Selama periode sebelum otonomi daerah yaitu tahun 1995-2000,
rata-rata pertumbuhan ekonomi adalah 0,12 persen, sedangkan pada periode otonomi
daerah di tahun 2001-2008, pertumbuhan ekonomi meningkat menjadi 5,21
persen. Hal ini menggambarkan perbaikan yang cukup drastis sebagai dampak
dari adanya kebijakan otonomi daerah yang sudah mulai diterapkan di Indonesia
6
Berkaitan dengan kebijakan otonomi daerah, terdapat indikator utama
penentu perkembangan pertumbuhan ekonomi di suatu daerah yakni anggaran
pemerintah daerah yang dilihat dari sisi penerimaan, yaitu pendapatan asli
daerah (PAD). PAD merupakan salah satu ukuran potensi fiskal daerah, dan
sebagai sumber penerimaan yang penting guna peningkatan pertumbuhan
ekonomi. Seiring dengan kebijakan otonomi daerah, pemerintah daerah semakin
gencar untuk meningkatkan PAD-nya masing-masing dengan berbagai macam
cara, salah satu caranya adalah dilakukan upaya intensifikasi dan ekstensifikasi
dengan mengoptimalkan sumber-sumber penerimaan yang sudah ada, ataupun
menggali sumber-sumber baru.
Sebagai propinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia yang
disebabkan oleh tingginya pertumbuhan penduduk alami maupun karena migrasi
masuk, Jawa Barat memiliki pertumbuhan ekonomi yang cukup baik, namun hal
ini belum dibarengi dengan penyerapan tenaga kerja yang dilihat dari jumlah
pengangguran yang masih mengalami kenaikan. Sehingga perlu dilakukan
penanggulangan terhadap jumlah penduduk yang besar dengan cara penyediaan
lapangan kerja yang memadai atau peningkatan kualitas sumber daya manusia
untuk mengisi pasar kerja guna mengurangi jumlah pengangguran yang akan
berdampak pada peningkatan pertumbuhan ekonomi.
Sedangkan sebagai propinsi yang memiliki perguruan tinggi yang
cukup banyak baik swasta maupun negeri, tingkat pendidikan di propinsi Jawa
Barat juga memiliki peranan penting terhadap pertumbuhan ekonominya.
7
pada upaya peningkatan kuantitas dan kualitas sarana serta prasarana
pendidikan, peningkatan partisipasi anak usia sekolah, pengembangan
pendidikan luar sekolah, pengembangan sekolah alternatif, serta peningkatan
jumlah dan pemerataan distribusi tenaga pendidik. Namun aksesibilitas
masyarakat terhadap pendidikan masih rendah, angka putus sekolah masih
cukup tinggi, kualitas dan relevansi serta tata kelola pendidikan belum sesuai
dengan kebutuhan dan tuntutan daya saing.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk melakukan
penelitian tentang pertumbuhan ekonomi dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya di propinsi Jawa Barat. Adapun judul dalam penelitian ini
adalah “Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi
Regional di Propinsi Jawa Barat (Periode 1995-2008)”.
B.Perumusan Masalah
Dengan berlakunya kebijakan otonomi daerah di propinsi Jawa Barat
diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi kemandirian daerah dalam
mengelola dan mengalokasikan sumber pendanaannya. Hal ini sangat
diharapkan sehingga dapat tercapai tujuan utama dari kebijakan tersebut yaitu
mendorong pertumbuhan ekonomi suatu daerah kearah yang lebih baik.
Berdasarkan hal tersebut, maka dalam penelitian ini masalah yang akan
dibahas dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Apakah pendapatan asli daerah mempunyai pengaruh yang signifikan
8
2. Apakah jumlah penduduk mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi regional di propinsi Jawa Barat?
3. Apakah tingkat pendidikan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi regional di propinsi Jawa Barat?
4. Apakah kebijakan otonomi daerah mempunyai pengaruh yang signifikan
terhadap pertumbuhan ekonomi regional di propinsi Jawa Barat?
5. Apakah pendapatan asli daerah, jumlah penduduk, tingkat pendidikan, dan
kebijakan otonomi daerah secara bersama-sama mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi regional di propinsi Jawa Barat?
C.Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui apakah ada pengaruh yang signifikan antara pendapatan asli
daerah terhadap pertumbuhan ekonomi regional di propinsi Jawa Barat.
2. Mengetahui apakah ada pengaruh yang signifikan antara jumlah penduduk
terhadap pertumbuhan ekonomi regional di propinsi Jawa Barat.
3. Mengetahui apakah ada pengaruh yang signifikan antara tingkat
pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi regional di propinsi Jawa
Barat.
4. Mengetahui apakah ada pengaruh yang signifikan antara kebijakan
otonomi daerah terhadap pertumbuhan ekonomi regional di propinsi Jawa
9
5. Mengetahui apakah pendapatan asli daerah, jumlah penduduk, tingkat
pendidikan, dan kebijakan otonomi daerah secara bersama-sama
mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi
regional di propinsi Jawa Barat.
2. Manfaat Penelitian
Sedangkan hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk
dijadikan pertimbangan oleh decision maker (pengambil kebijakan) baik di
tingkat propinsi maupun tingkat kabupaten/ kota dalam pengambilan
keputusan yang terkait yakni mengenai faktor-faktor apa saja yang
berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi regional di propinsi Jawa Barat.
Adapun bagi penulis sendiri manfaat yang dapat diambil adalah dapat
menambah wawasan dan pengetahuan mengenai faktor-faktor apa saja yang
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.Perkembangan Kebijakan Ekonomi di Indonesia
Dalam mengamati sejarah perkembangan ekonomi di Indonesia,
terutama konsep kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan pemerintahan
daerah, sejak lahirnya orde baru sampai saat sekarang ini, kita perlu
memperhatikan pokok-pokok pemikiran yang mendasari pola perkembangan
ekonomi yang terjadi pada masing-masing era tersebut. Pada dasarnya setiap
pemerintahan di dunia, termasuk di Indonesia bertujuan mengembangkan
perekonomiannya demi tercapainya peningkatan taraf hidup masyarakat banyak.
Taraf hidup yang lebih baik dicerminkan oleh dua indikator utama, yaitu growth
dan equity.
Pertumbuhan ekonomi (economic growth) merupakan perhatian utama
masyarakat perekonomian dunia. Para ekonom dan politisi di semua negara, baik
negara kaya maupun miskin, yang menganut sistem kapitalis, sosialis, maupun
campuran, semuanya sangat mendambakan dan menomorsatukan pertumbuhan
ekonomi. Evaluasi akhir tahun dari pemerintahan dalam sebuah negara selalu
memunculkan data-data statistik yang berkaitan dengan pertumbuhan Gross
National Product (GNP). Indikator keberhasilan program pembangunan di
negara berkembang sering dinilai berdasarkan tinggi rendahnya tingkat
11
dan kualitas kebijakan pemerintah di bidang ekonomi secara keseluruhan
biasanya diukur berdasarkan kecepatan pertumbuhan yang dihasilkan.
Sedangkan equity merupakan indikator efektivitas dari sebuah
kebijakan pemerintah di masa tersebut, yang artinya bahwa pencapaian dari
tujuan kebijakan tersebut berhasil atau tidak dapat dinikmati oleh semua
komponen bangsa tanpa ada yang terdistorsi.
Namun demikian, dua hal tersebut tidak mudah untuk diraih secara
bersamaan karena pencapaian pertumbuhan tidak secara otomatis diikuti oleh
pencapaian tujuan keadilan, ataupun sebaliknya. Bahkan seringkali dijumpai
antara kedua tujuan tersebut memiliki ―trade off‖ yang artinya apabila sebuah
kebijakan bertujuan untuk mencapai pertumbuhan, maka mau tidak mau tujuan
keadilan tersebut harus dikorbankan; dan sebaliknya apabila tujuan keadilan atau
distribusi yang merata ingin dicapai terlebih dahulu, maka tujuan pertumbuhan
harus dikorbankan.
Penganut teori pertumbuhan mengatakan bahwa dengan mengutamakan
pertumbuhan ekonomi, maka secara otomatis akan terjadi trickledown effect
sehingga kelompok miskin atau golongan berpendapatan rendah akan
mendapatkan cipratan penghasilan dari golongan yang berpendapatan tinggi,
baik melalui sistem donasi, sistem perpajakan progressif, serta sistem subsidi
bagi kelompok miskin.
Sebaliknya, penganut teori keadilan menghendaki adanya pemerataan
pendapatan terlebih dahulu agar semua kebutuhan dasar penduduk dapat
12
dan kesenjangan ekonomi. Dengan demikian semua orang akan memiliki
semangat membangun bersama guna mencapai taraf hidup yang lebih tinggi
ataupun tingkat perekonomian yang lebih baik.
Diantara kedua kelompok penganut teori pertumbuhan dan keadilan
tersebut, terdapat kelompok yang mengambil jalan tengah dengan menghendaki
tercapainya kedua tujuan tersebut secara sekaligus. Adapun tujuannya adalah
terciptanya perbaikan taraf hidup yang berkeadilan (growth with equity). Dengan
pendekatan ini, pada umumnya laju pertumbuhan ekonomi menjadi lebih rendah
(lambat), tetapi dapat dibarengi dengan keadilan atau pemerataan penghasilan
dan kesempatan yang lebih baik bagi masyarakat secara keseluruhan.
Di Indonesia, arah dan tujuan sebuah kebijakan bergerak sesuai dengan
tuntutan zaman yang berkembang pada suatu era pemerintahan. Sehingga selain
mengaburkan mazhab kebijakan yang dibuat, konsep kebijakan juga cenderung
prematur dan memerlukan penyempurnaan di tengah jalan. Sekilas penulis ingin
membahas perkembangan kebijakan selama era orde baru sampai dengan era
otonomi daerah.
1. Perkembangan Kebijakan Ekonomi Era Orde Baru (1968-1998)
Orde baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto
di Indonesia. Orde baru menggantikan orde lama yang merujuk kepada era
pemerintahan Presiden Soekarno. Orde baru berlangsung dari tahun 1968
hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang
13
Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan miskin juga semakin
melebar. Pada tahun 1968, MPR secara resmi melantik Soeharto untuk masa
jabatan lima tahun sebagai presiden, dan kemudian dilantik kembali secara
berturut-turut pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998.
Selama masa pemerintahannya, kebijakan-kebijakan dan
pengeksploitasian sumber daya alam secara besar-besaran menghasilkan
pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak merata di Indonesia.
Pada masa awal orde baru, kemajuan pembangunan ekonomi dapat
dilihat dari pendapatan perkapita, pertanian, pembangunan infrastruktur, dan
lain-lain. Saat permulaan orde baru, program pemerintah berorientasi pada
usaha penyelamatan ekonomi nasional terutama pada usaha mengendalikan
tingkat inflasi, penyelamatan keuangan negara dan pengamanan kebutuhan
pokok rakyat. Tindakan pemerintah ini dilakukan karena adanya kenaikan
harga pada awal tahun 1966 yang menunjukkan tingkat inflasi kurang lebih
650 persen setahun. Hal itu menjadi penyebab kurang lancarnya program
pembangunan yang telah direncanakan pemerintah. Setelah itu dikeluarkan
ketetapan MPRS No.XXIII/MPRS/1966 tentang pembaruan kebijakan
ekonomi, keuangan dan pembangunan.
Lalu kabinet AMPERA membuat kebijakan yang mengacu pada Tap
MPRS tersebut yakni sebagai berikut:
1) Mendobrak kemacetan ekonomi dan memperbaiki sektor-sektor yang
menyebabkan kemacetan, seperti: rendahnya penerimaan negara,
14
produktifnya ekspansi kredit bank serta terlalu banyak tunggakan hutang
luar negeri.
2) Debirokratisasi untuk memperlancar kegiatan perekonomian.
3) Berorientasi pada kepentingan produsen kecil.
Untuk melaksanakan langkah-langkah penyelamatan tersebut maka
ditempuh cara-cara yaitu sebagai berikut:
1) Mengadakan operasi pajak
2) Cara pemungutan pajak baru bagi pendapatan perorangan dan kekayaan
dengan menghitung pajak sendiri dan menghitung pajak orang
3) Dalam era orde baru, pembangunan dilandaskan pada trilogi
pembangunan, yaitu stabilitas, pertumbuhan, dan pemerataan.
Untuk itu pemerintah melakukan ―Pola Umum Pembangunan Jangka
Panjang‖ (25-30 tahun) secara periodik lima tahunan yang disebut Pelita.
1) Pelita I (1 April 1969 – 31 Maret 1974)
Sasaran yang hendak dicapai pada masa ini adalah pangan,
sandang, perbaikan prasarana, perumahan rakyat, perluasan lapangan
kerja, dan kesejahteraan rohani. Pelita I lebih menitikberatkan pada sektor
pertanian. Adapun keberhasilan dalam Pelita I yaitu sebagai berikut:
a. Produksi beras mengalami kenaikan rata-rata 4persen setahun
b. Banyak berdiri industri pupuk, semen, dan tekstil
c. Perbaikan jalan raya
d. Banyak dibangun pusat-pusat tenaga listrik
15
2) Pelita II (1 April 1974 – 31 Maret 1979)
Sasaran yang hendak dicapai pada masa ini adalah pangan,
sandang, perumahan, sarana dan prasarana, menyejahterakan rakyat, dan
memperluas lapangan kerja . Pelita II berhasil meningkatkan pertumbuhan
ekonomi rata-rata penduduk 7 persen setahun serta perbaikan dalam hal
irigasi. Di bidang industri juga terjadi kenaikan produksi. Lalu banyak
jalan dan jembatan yang direhabilitasi dan di bangun.
3) Pelita III (1 April 1979 – 31 Maret 1984)
Pelita III lebih menekankan pada ―Trilogi Pembangunan‖.
Asas-asas pemerataan dituangkan dalam berbagai langkah kegiatan pemerataan,
seperti pemerataan pembagian kerja, kesempatan kerja, memperoleh
keadilan, pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, dan perumahan, dan
lain-lain.
4) Pelita IV (1 April 1984 – 31 Maret 1989)
Pada Pelita IV lebih dititikberatkan pada sektor pertanian menuju
swasembada pangan dan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan
mesin industri itu sendiri. Hasil yang dicapai pada Pelita IV adalah
swasembada pangan. Pada tahun 1984 Indonesia berhasil memproduksi
beras sebanyak 25,8 ton. Hasilnya Indonesia berhasil swasembada beras.
Selain itu juga dilakukan program KB dan rumah untuk keluarga.
5) Pelita V (1 April 1989 – 31 Maret 1994)
Pada Pelita V ini lebih menitikberatkan pada sektor pertanian dan
16
produksi pertanian lainnya serta menghasilkan barang ekspor. Pelita V
adalah akhir dari pola pembangunan jangka panjang tahap pertama. Lalu
dilanjutkan pembangunan jangka panjang tahap kedua, yaitu dengan
mengadakan Pelita VI.
6) Pelita VI (1 April 1994 - 31 Maret 1999)
Pada masa ini pemerintah lebih menitikberatkan pada sektor
ekonomi. Pembangunan ekonomi ini berkaitan dengan industri dan
pertanian serta pembangunan dan peningkatan kualitas sumber daya
manusia sebagai pendukungnya. Namun Pelita VI yang diharapkan
menjadi proses lepas landas Indonesia ke arah yang lebih baik lagi, malah
menjadi gagal landas dan kapal pun rusak. Indonesia dilanda krisis
ekonomi yang sulit diatasi pada akhir tahun 1997. Hal ini berawal dari
krisis moneter lalu berlanjut menjadi krisis ekonomi dan akhirnya menjadi
krisis kepercayaan terhadap pemerintah. Pelita VI pun kandas di tengah
jalan.
Kondisi ekonomi menjadi kian terpuruk ditambah dengan kkn yang
merajalela. Pembangunan yang dilakukan hanya dapat dinikmati oleh
sebagian kecil kalangan masyarakat karena cenderung terpusat dan tidak
merata. Meskipun perekonomian Indonesia meningkat, tapi secara
fundamental pembangunan ekonomi sangat rapuh. Terjadi kerusakan serta
pencemaran lingkungan hidup dan sumber daya alam. Perbedaan ekonomi
antar daerah, antar golongan pekerjaan, dan antar kelompok dalam
17
(marginalisasi sosial). Pembangunan hanya mengutamakan pertumbuhan
ekonomi tanpa diimbangi kehidupan politik, ekonomi, dan sosial yang
demokratis dan berkeadilan.
Pembangunan tidak merata tampak dengan adanya kemiskinan di
sejumlah wilayah yang menjadi penyumbang devisa terbesar seperti Riau,
Kalimantan Timur, dan Irian. Faktor inilah yang selanjutnya ikut menjadi
penyebab terpuruknya perekonomian nasional Indonesia menjelang akhir
tahun 1997. Namun pembangunan ekonomi pada masa orde baru merupakan
pondasi bagi pembangunan ekonomi selanjutnya.
Adapun kelebihan sistem pemerintahan orde baru antara lain: [1]
perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya US$70
dan pada 1996 telah mencapai lebih dari US$1.000, [2] sukses transmigrasi,
[3] sukses KB, dan [4] sukses memerangi buta huruf. Sedangkan kekurangan
sistem pemerintahan orde baru yaitu: [1] maraknya korupsi, kolusi, dan
nepotisme, [2] pembangunan Indonesia yang tidak merata, [3] bertambahnya
kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si kaya dan
si miskin), [4] kritik dibungkam dan oposisi diharamkan, [5] kebebasan pers
sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang dibreidel.
2. Perkembangan Kebijakan Ekonomi Era Reformasi (1998-Sekarang)
Pada pertengahan 1997, Indonesia diserang krisis keuangan dan
ekonomi yang juga dibarengi kemarau terburuk dalam 50 tahun terakhir,
18
Rupiah jatuh, inflasi meningkat tajam, dan perpindahan modal (capital flight)
dipercepat. Para demonstran yang pada awalnya dipimpin para mahasiswa
meminta pengunduran diri Presiden Soeharto. Di tengah gejolak kemarahan
massa yang meluas, Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998,
tiga bulan setelah MPR melantiknya untuk masa bakti ketujuh. Soeharto
kemudian memilih sang wakil presiden, B.J. Habibie, untuk menjadi presiden
ketiga Indonesia.
Mundurnya Soeharto dari jabatannya pada tahun 1998 dapat
dikatakan sebagai tanda berakhirnya era orde baru, untuk kemudian
digantikan dengan "Era Reformasi". Masih adanya tokoh-tokoh penting pada
masa orde baru di jajaran pemerintahan pada masa reformasi ini sering
membuat beberapa orang mengatakan bahwa orde baru masih belum
berakhir. Oleh karena itu era reformasi atau orde reformasi sering disebut
sebagai "Era Pasca Orde Baru".
Dalam era reformasi, pola sistem pemerintahan dan kebijakan tidak
banyak berubah bila dibandingkan dengan era orde baru. Hal ini disebabkan
karena sebagian besar para pejabat merupakan bekas pejabat pada masa orde
baru. Akibatnya proses penegakan hukum bagi para penyeleweng kekuasaan,
perampok uang rakyat, dan pencoleng negara pada era sebelumnya berjalan
dengan sangat lambat.
Hal ini berdampak pada kondisi ekonomi masa reformasi yang tidak
mengalami perbaikan yang berarti. Kondisi perekonomian pada masa orde
19
dampak penurunan daya beli masyarakat berpenghasilan rendah, pemerintah
menjalankan program jaring pengaman sosial. Akan tetapi adanya tingkat
pengangguran yang tinggi dan nilai rupiah yang melemah sampai pada batas
terendah sepanjang sejarah Indonesia, yakni mencapai Rp.18.000 per US$
mengakibatkan pogram ini tidak bermakna dan bermanfaat. Kurs dollar yang
tinggi mengakibatkan kegiatan produksi yang bahan bakunya merupakan
barang impor menjadi terganggu. Terhentinya kegiatan impor karena kurs
devisa yang tinggi juga memukul sektor manufacturing dan transportasi yang
disebabkan oleh mahalnya komponen suku cadang yang harus diimpor.
Kondisi pasar yang tidak menentu ini menyebabkan perusahaan banyak yang
berhenti beroperasi dan memberhentikan para karyawannya.
Kedua, kebijakan moneter di Indonesia pada saat itu diatur oleh
IMF, sehingga sesuai dengan saran IMF untuk dilakukan peningkatan suku
bunga hingga mencapai 67 persen per tahun. Hal ini mengakibatkan adanya
negative spread pada sektor perbankan sehingga banyak bank yang harus
dilikuidasi atau dinyatakan beku operasi.
3. Perkembangan Kebijakan Ekonomi Era Otonomi Daerah
(2001-Sekarang)
Reformasi di segala bidang yang di dukung oleh masyarakat dalam
menyikapi permasalahan yang terjadi, baik di tingkat pusat maupun di tingkat
daerah menyebabkan lahirnya otonomi daerah sebagai salah satu tuntutan
20
diperkenalkannya UU No. 22/ 1999 tentang pemerintahan daerah dan UU No.
25/ 1999 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada
peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan
kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Untuk itu, otonomi
daerah diharapkan dapat: (1) menciptakan efisiensi dan efektifitas
pengelolaan sumber daya daerah, (2) meningkatkan kualitas pelayanan umum
dan kesejahteraan masyarakat, dan (3) membudayakan dan menciptakan
ruang bagi masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam proses pembangunan
(Zainuddin; 2010).
Kebijakan otonomi daerah yang saat ini sangat santer dibicarakan
dimana-mana sebenarnya bukanlah merupakan ―barang baru‖ dalam
penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Semenjak negara ini lahir kebijakan
otonomi daerah sudah mulai dibicarakan. Bahkan para founding fathers
negara ini telah menuangkan ide-ide otonomi daerah dalam penyelenggaraan
pemerintahan negara pada Undang-Undang Dasar 1945 yaitu pada pasal 18.
Selama lebih setengah abad berbagai kebijakan otonomi daerah telah
dilahirkan sesuai dengan semangat zamannya (zeitgeist). Mulai dari UU No.1/
1945, UU No.22/ 1948, UU No.1/ 1957, UU No.18/ 1965, Penpres No.6/
1969, UU No.5/ 1974 dan terakhir dengan UU No.22/ 1999. Selama masa itu
pula terdapat perubahan dan pergeseran semangat otonomi daerah antara lain;
21
bertanggung jawab serta otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung
jawab.
Jadi inti dari otonomi daerah adalah demokratisasi dan
pemberdayaan. Otonomi daerah sebagai demokratisasi maksudnya adalah
adanya kesetaraan hubungan antara pusat dan daerah, dimana daerah
mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan,
kebutuhan, dan aspirasi masyarakatnya. Aspirasi dan kepentingan daerah
akan mendapatkan perhatian dalam setiap pengambilan kebijakan oleh pusat.
Sedangkan otonomi daerah sebagai pemberdayaan daerah
merupakan suatu proses pembelajaran dan penguatan bagi daerah untuk
mampu mengatur, mengurus, dan mengelola kepentingan dan aspirasi
masyarakatnya sendiri. Dengan demikian daerah secara bertahap akan
berupaya untuk mandiri dan melepaskan diri dari ketergantungan kepada
pemerintah pusat.
Namun otonomi daerah juga telah menimbulkan berbagai kebijakan
yang bersifat kontra produktif terhadap iklim perdagangan dan investasi di
daerah. Adanya target untuk meningkatkan PAD menyebabkan terjadinya
pungutan tambahan yang secara langsung maupun tidak langsung
memberatkan pihak pengusaha maupun masyarakat umum. Sebagai contoh;
pengoperasian kembali jembatan timbang di Sulawesi Selatan yang telah
dicabut berdasarkan UU No.18/ 1997, perdagangan kayu cendana di NTT
22
Lampung tentang retribusi izin komoditas keluar propinsi Lampung, dan
lain-lain (Boyke; 2007).
Otonomi dilakukan juga dengan ekspektasi agar daerah memiliki
daya saing dan keunggulan lokal. Keinginan tersebut bisa dicapai karena
berbagai perubahan untuk mewujudkan misi itu telah dilakukan. Dari dimensi
pengelolaan anggaran, misalnya lebih dari 67 persen porsi anggaran belanja
negara telah beralih pengelolaannya dari pemerintah pusat ke pemerintah
daerah.
Dari sisi aparatur pemerintah, juga telah terjadi perpindahan pegawai
negeri sipil dari pusat ke daerah mencapai lebih dari 2,5 juta orang. Telah
lebih banyak pegawai negeri di daerah daripada di pusat. Dengan demikian,
terdapat lebih banyak urusan pusat yang diserahkan kepada daerah. Bersama
dengan berpindahnya kewenangan pusat ke daerah, nyatanya tujuan utama
untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat masih jauh dari tercapai, hal ini
dibuktikan dengan jumlah orang miskin tidak menurun, bahkan dalam level
tertentu justru meningkat dan menjadi fenomena yang mudah ditemukan
dimana-mana.
Selain tidak menyembuhkan penyakit lama, otonomi daerah juga
telah menciptakan penyakit baru. Kewenangan lebih besar yang dimiliki
daerah telah merangsang elite daerah melahirkan wilayah pemekaran atas
dasar kepentingan yang sangat sempit, yaitu kepentingan pribadi dan
primordial. Sampai dengan tahun 2009 pemekaran wilayah telah dilakukan
23
sehingga jumlah daerah di Indonesia adalah 524, yang terdiri dari 33 propinsi,
398 kabupaten dan 93 kota (A. Yani; 2009).
B.Struktur Pemerintahan di Era Otonomi Daerah
Berlakunya undang-undang otonomi daerah di Indonesia yang salah
satunya ditujukan sebagai langkah percepatan pembangunan, memberikan dan
memiliki kewenangan yang cukup besar dalam mengambil keputusan. Dalam
hal ini peran daerah lebih besar daripada peran pemerintah pusat. Pemerintah
pusat hanya memainkan peranan sebagai fasilitator dan dinamisator. Sementara
pemerintah daerah, baik propinsi, kabupaten dan kota, menjadi perencana,
pelaksana, dan pengendali program pembangunan masing-masing.
Untuk mewujudkan pemerintahan yang baik atau good governance
diperlukan reformasi kelembagaan (institutional reform) dan reformasi
manajemen publik (public management reform). Reformasi kelembagaan
menyangkut pembenahan seluruh alat-alat pemerintahan di daerah, baik
struktur maupun infrastrukturnya.
Reformasi manajemen sektor publik terkait dengan perlunya digunakan
model manajemen pemerintahan yang baru yang sesuai dengan tuntutan
perkembangan zaman, misalnya new public management yang berfokus pada
manajemen sektor publik yang berorientasi pada kinerja, bukan berorientasi
pada kebijakan. Penggunaan paradigma new public management tersebut
menimbulkan beberapa konsekuensi bagi pemerintah. Di antaranya perubahan
24
(traditional budget) menjadi penganggaran berbasis kinerja (performance
budget), tuntutan untuk melakukan efisiensi, pemangkasan biaya (cost cutting),
dan kompetensi tender (compulsory competitive tendering contract).
Adanya kebijakan ini memberikan kewenangan yang luas kepada
daerah otonom yang meliputi seluruh bidang pemerintahan. Secara lebih detail,
UU No.22/ 1999 yang kemudian dilanjutkan dengan UU No.32/ 2004 dengan
beberapa revisi, telah melakukan perubahan signifikan dibandingkan dengan
sistem yang digunakan di masa orde baru.
Pertama, semangat otonomi daerah yang lebih besar ini dimulai dengan
perubahan simbolisasi pada nama daerah otonom. Istilah tingkatan daerah
otonom (Dati I dan Dati II) dihapuskan, dan diganti dengan istilah yang lebih
netral, yaitu propinsi, kabupaten dan kota. Hal ini didasari semangat untuk
menghindari citra bahwa tingkatan lebih tinggi (Dati I) secara hierarkis lebih
berkuasa daripada tingkatan lebih rendah (Dati II). Padahal keduanya merupakan
badan hukum yang terpisah dan sejajar serta mempunyai kewenangan berbeda.
Kedua, UU No.22/ 1999 memperpendek jangkauan asas dekonsentrasi
yang dibatasi hanya sampai pemerintahan propinsi. Pemerintahan kabupaten dan
kota telah terbebas dari intervensi pusat yang sangat kuat melalui perangkapan
jabatan kepala daerah otonom (local self-government) dan kepala wilayah
administratif (field administration). Bupati dan walikota adalah kepada daerah
otonom saja. Sementara itu jabatan kepala wilayah pada kabupaten dan kota
25
Ketiga, Bupati dan walikota dipilih secara mandiri di daerah tanpa
melibatkan pemerintah propinsi maupun pemerintah pusat. Dalam UU No.22/
1999, kepala daerah dipilih oleh DPRD. Oleh karena itu, bupati/ walikota harus
bertanggung jawab kepada DPRD dan juga dapat diberhentikan oleh DPRD
sebelum masa jabatannya usai. Sementara itu, pemerintah pusat (presiden) hanya
diberi kekuasaan untuk ‗memberhentikan sementara‘ seorang bupati/ walikota
jika dianggap membahayakan integrasi nasional. Pada tahun 2004,
diperkenalkan pilkada langsung dimana kepala daerah dipilih secara langsung
oleh rakyat dari para pasangan calon yang diajukan oleh partai politik.
Perubahan ke arah pendalaman demokrasi ini terus berkembang. UU No.32/
2004 ini kemudian direvisi di tahun 2008 dengan memberikan kesempatan
kepada calon perseorangan untuk berkompetisi dalam pilkada langsung.
Keempat, UU No.22/ 1999 yang kemudian dilanjutkan oleh UU No.32/
2004 menghapuskan posisi wilayah administratif (field administration) pada
level daerah kabupaten dan daerah kota. Integrated prefectoral system yang
sentralistis yang digunakan UU No.5/ 1974 diubah menjadi functional system,
dan bukan sekedar unintegrated prefectoral system yang dikenal pada UU No.1/
1957.
Kelima, Undang-undang tersebut menempatkan pemerintahan
kecamatan dan kelurahan sebagai perangkat daerah otonom, yaitu daerah
kabupaten dan daerah kota. Dengan kata lain, pemerintahan kecamatan
menempati posisi sebagai kepanjangan tangan pemerintahan daerah otonom
26
Keenam, Undang-undang ini memberikan kewenangan yang lebih luas
kepada daerah otonom yang meliputi seluruh bidang pemerintahan kecuali
politik luar negeri, hankam, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta
‗kewenangan bidang lain‘. Hanya saja, definisi ‗kewenangan bidang lain‘ ini
ternyata masih sangat luas, sebab mencakup perencanaan dan pengendalian
pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem
administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan
pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta
teknologi tinggi strategis, konservasi dan standarisasi nasional.
C.Struktur Keuangan di Era Otonomi Daerah
1. Struktur Keuangan Daerah menurut UU No.25/ 1999 dan UU No.33/
2004
Tujuan pokok UU No.25/ 1999 adalah upaya memberdayakan dan
meningkatkan kemampuan perekonomian daerah, menciptakan sistem
pembiayaan daerah yang adil, proporsional, rasional, transparan, partisipatif,
bertanggung jawab dan pasti, serta mewujudkan sistem perimbangan
keuangan yang baik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Namun dalam penerapannya, UU No.25/ 1999 menimbulkan
berbagai masalah di daerah. Pertama, mengenai kemampuan keuangan atau
kapasitas/ potensi fiskal daerah. Masalah kedua adalah mengenai tingkat
efektifitas dan efisiensi dari PAD maupun yang diterima dari pemerintah
27
Dengan keluarnya UU No.25/1999, struktur keuangan daerah
mengalami perubahan, yakni sumber baru yang penting adalah dana
perimbangan dari pemerintah pusat. Faktor yang digunakan dalam
menentukan besarnya bantuan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah
mencakup beberapa perumusan yang berkaitan dengan berbagai faktor
seperti upaya pajak (tax effort). Setelah diketahui upaya pajak dari suatu
daerah, maka kemudian dapat dilihat pelaksanaan pajak (tax performance)
dari suatu daerah.
Pajak dalam berbagai unit tingkat pemerintahan baik negara maupun
daerah menggambarkan sebuah konsep mengenai kapasitas wajib pajak
(taxable capacity). Untuk menyediakan kebutuhan barang dan jasa publik
pemerintah daerah sangat membutuhkan dana, dan oleh karena pemerintah
daerah juga memiliki kebutuhan fiskal (fiscal need) yang digunakan untuk
membiayai penyediaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana sosial
ekonomi. Oleh karena itu transfer dana dan pengeluaran yang dilakukan oleh
pemerintah daerah tersebut harus memberikan dampak pemerataan
(equalization effect).
Perbandingan yang dilakukan terhadap tax ratio memberikan
beberapa indikasi adanya nilai-nilai relatif pajak pada suatu daerah. Dengan
mengetahui tax performance dalam hal ini dengan mengetahui tax effort
akan dapat diketahui daerah yang memiliki kemungkinan lebih besar
hasilnya bila dilakukan pemungutan pajak, atau disebut juga yang memiliki
28
Sementara itu, keuangan daerah juga mengalami beberapa
perubahan. Melalui UU No.25/ 1999 dan UU No.33/ 2004, secara makro
sumber-sumber keuangan daerah diperbesar, sejalan dengan
dikembangkannya prinsip perimbangan. Jumlah alokasi transfer keuangan ke
daerah terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Tabel berikut
menunjukkan peningkatan alokasi transfer pusat ke daerah selama era
desentralisasi.
Sumber: Dirjen Perimbangan Keuangan, Departemen Keuangan RI; 2007.
Gambar 2.1. Tren Alokasi Transfer Pusat ke Daerah (Tahun 2001-2008)
8
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
REALISASI APBN APBN-P APBN
TREN TRANSFER KE DAERAH
(DANA PERIMBANGAN, DANA OTSUS DAN PENYESUAIAN)
TAHUN 2001-2008
DANA PERIMBANGAN OTSUS DAN PENYESUAIAN
2001 2002 2003 2004 2005 2006
DANA DESENTRALI
SASI
81,1 98,1 120,3 129,7 150,5 226,2 254,2 281,2
% dari thn
sebelumnya - 21,1% 22,6% 7,8% 16,0% 50,3% 12,4% 10,6%
APBN 2008
REALISASI APBN APBN-P
2007
29
Ada sejumlah studi yang telah dilakukan mengenai besarnya dana
yang akan disalurkan dari pusat ke daerah akibat penerapan UU No.25/ 1999,
diantaranya dari Bappenas. Didasarkan pada sejumlah asumsinya, hasil studi
tersebut menunjukkan bahwa penerimaan propinsi secara total meningkat
sebesar 17 persen. Ada juga studi lanilla yang merupakan suatu kajian dari
Yayasan Indonesia Forum tahun 2000, menemukan dampak diberlakukannya
UU No.25/ 1999, yaitu:
1. Umumnya peranan pendapatan asli daerah (PAD) di propinsi yang diteliti,
dalam pembiayaan pembangunan ekonomi (APBD) tidak terlalu besar. Ini
mencerminkan tingginya tingkat ketergantungan financial daerah terhadap
pemerintah pusat.
2. Adanya korelasi positif antara daerah yang kaya sumber daya alam (SDA)
dan/ atau sumber daya manusia (SDM) dalam peranan PAD pada APBD.
3. Pada tahun 1998/ 1999 sebagian besar daerah yang diteliti mengalami
penurunan PAD di dalam pembentukan APBD-nya dikarenakan adanya
krisis ekonomi.
Salah satu komponen pendapatan daerah yang diharapkan menjadi
sumber utama keuangan daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah
PAD. Di antara kelima sumber utama PAD yang ada, pajak daerah dan
retribusi menjadi sumber andalan PAD. Sedangkan pajak pendapatan, pajak
nilai tambah dan pajak barang mewah merupakan tiga jenis pajak yang paling
30
Pengelolaan keuangan daerah harus transparan yang dimulai dari
proses perencanaan, penyusunan, dan pelaksanaan anggaran daerah. Selain
itu, akuntabilitas dalam pertanggungjawaban publik juga diperlukan, dalam
arti bahwa proses penganggaran mulai dari perencanaan, penyusunan, dan
pelaksanaan harus benar-benar dapat dilaporkan dan dipertanggungjawabkan
kepada DPRD dan masyarakat. Kemudian, value for money yang berarti
diterapkannya tiga prinsip dalam proses penganggaran yaitu ekonomi,
efisiensi dan efektivitas.
Dengan adanya penerapan prinsip-prinsip tersebut, maka akan
menghasilkan pengelolaan keuangan daerah (yang tertuang dalam APBD)
yang benar-benar mencerminkan kepentingan dan pengharapan masyarakat
daerah setempat secara ekonomis, efisien, efektif, transparan, dan
bertanggung jawab. Sehingga nantinya akan melahirkan kemajuan daerah dan
kesejahteraan masyarakat.
2. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) adalah gambaran
dari kebijakan pemerintah daerah yang dinyatakan dalam ukuran uang, yang
meliputi kebijakan pengeluaran maupun penerimaan pemerintah daerah, serta
realisasi anggaran tahun yang lalu. Sementara itu, pengertian APBD yang
dimuat dalam Kepmendagri No.29/ 2002, adalah suatu rencana keuangan
31
APBD memiliki tiga fungsi bila dilihat dari perspektif administrasi
negara, yaitu [1] sebagai pedoman bagi pemerintah daerah dalam mengelola
daerah, terutama keuangan daerah untuk satu periode di masa yang akan
datang, [2] sebagai instrumen pengawasan pelaksanaan pemerintahan dan
pembangunan daerah, dan [3] sebagai instrumen untuk menilai kinerja
pemerintah. Sedangkan fungsi APBD dalam pendekatan ekonomi yaitu
sebagai berikut:
a. Fungsi alokasi; kegiatan penyusunan anggaran merupakan sarana
penyediaan barang dan jasa sosial dalam rangka pemenuhan pelayanan
publik.
b. Fungsi distribusi; penyusunan anggaran merupakan mekanisme pembagian
secara merata dan berkeadilan atas berbagai sumber daya dan
pemanfaatannya.
c. Fungsi stabilisasi; pajak dan pengeluaran akan mempengaruhi permintaan
agregat dan kegiatan ekonomi secara keseluruhan.
Dalam penyusunan APBD, ada beberapa prinsip dasar yang harus
diakomodir yaitu:
a. Transparan; APBD yang baik hendaknya dapat memberikan informasi
tentang tujuan, sasaran, hasil, dan manfaat yang diperoleh masyarakat dari
suatu kegiatan atau proyek yang dianggarkan.
b. Partisipatif; Masyarakat harus dilibatkan dalam setiap proses
penganggaran, demi menjamin adanya kesesuaian antara kebutuhan dan
32
c. Disiplin; Penyusunan APBD harusnya berorientasi pada kebutuhan
masyarakat, tanpa harus meninggalkan keseimbangan antara pembiayaan
penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan masyarakat.
d. Keadilan; Pembiayaan pemerintah daerah dilakukan melalui mekanisme
pajak dan retribusi yang dibebankan oleh segenap lapisan masyarakat.
e. Efisiensi dan efektivitas; Penggunaan dana yang tersedia harus
dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk meningkatkan pelayanan publik dan
kesejahteraan masyarakat.
f. Rasional dan terukur; Jumlah pendapatan merupakan perkiraan yang
terukur secara rasional yang dapat dicapai untuk setiap sumber
pendapatan, dan jumlah belanja yang dianggarkan merupakan batas
tertinggi untuk setiap jenis belanja.
Dalam penyusunan dan penetapan APBD, ada empat aspek penting
yang perlu diperhatikan yaitu:
a. Aspek perencanaan, karena melibatkan pembuatan keputusan politik yang
memiliki dampak pada masa yang akan datang.
b. Aspek politik, karena perumusan dan penetapan anggaran merupakan
proses politik yang memuat mekanisme kolektif untuk menentukan
pengambilan keputusan tentang ―siapa yang akan memperoleh apa‖ dan
―siapa yang akan menanggung bebannya‖.
c. Aspek ekonomi, karena perumusan dan penetapan anggaran merupakan
proses ekonomi dimana alokasi sumber daya merupakan fungsi ekonomi
33
d. Aspek akuntansi, karena perumusan dan penetapan anggaran merupakan
proses akuntansi dimana informasi tentang pengeluaran dan penerimaan
disusun berdasarkan item penerimaan dan pengeluaran anggaran.
Sedangkan format APBD disusun bertolak belakang dari prinsip
anggaran defisit. Metodenya adalah metode performance budget (anggaran
kinerja), dengan titik tekan pada output. Bentuk struktur APBD dapat dilihat
seperti dibawah ini:
Tabel 2.1
Struktur APBD Propinsi/ Kabupaten/ Kota Pendekatan Kinerja
1. Pendapatan Asli Daerah
a. Pajak Daerah
b. Retribusi Daerah
c. Bagian Laba Usaha Daerah
d. Lain-lain Pendapatan Asli
Daerah
2. Dana Perimbangan
a. Bagi Hasil Pajak & Bukan
Pajak
b. Dana Alokasi Umum
c. Dana Alokasi Khusus
d. Dana Perimbangan dari
Propinsi
3. Lain-lain Pendapatan yang Sah
34
II. Belanja
A. A. Belanja Aparatur Daerah
B. 1. Belanja Administrasi Umum
a. Belanja Pegawai/ Personalia
b. Belanja Barang dan Jasa
c. Belanja Perjalanan Dinas
d. Belanja Pemeliharaan
1. 2. Belanja Operasi dan Pemeliharaan
a. Belanja Pegawai/ Personalia
b. Belanja Barang dan Jasa
c. Belanja Perjalanan Dinas
d. Belanja Pemeliharaan
2. 3. Belanja Modal/ Pembangunan
Total Belanja Aparatur Daerah
C. B. Pelayanan Publik
1. 1. Belanja Administrasi Umum
a. Belanja Pegawai/ Personalia
b. Belanja Barang dan Jasa
c. Belanja Perjalanan Dinas
d. Belanja Pemeliharaan
2. 2. Belanja Operasi dan Pemeliharaan
a. Belanja Pegawai/ Personalia
b. Belanja Barang dan Jasa
c. Belanja Perjalanan Dinas
d. Belanja Pemeliharaan
3. 3. Belanja Modal/ Pembangunan
Total Belanja Pelayanan Publik
D. Belanja Bagi Hasil & Bantuan
Keuangan
35
a. Sisa lebih perhitungan anggaran
tahun lalu
b. Transfer dari Dana Cadangan
c. Penerimaan dan Obligasi
d. Hasil Penjualan Aset Daerah yang
dipisahkan
Jumlah Total Penerimaan
2. Pengeluaran Daerah
a. Transfer ke Dana Cadangan
b. Penyertaan Modal
c. Pembayaran Utang Pokok yang
jatuh tempo
d. Sisa lebih perhitungan anggaran
tahun sekarang
Jumlah Total Pengeluaran
Jumlah Pembiayaan
Sumber: Panduan Praktis Mengontrol APBD; 2005.
Dari format di atas dapat dilihat bahwa belanja dapat dibagi dua,
yaitu belanja aparatur dan belanja publik. Belanja aparatur adalah setiap
bentuk belanja pemerintah daerah untuk membiayai kegiatan yang hasil,
manfaat, dan dampaknya tidak secara langsung dinikmati oleh masyarakat
(publik). Sedangkan belanja publik adalah setiap bentuk belanja