• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi regional di Propinsi Jawa Barat (periode 1995-2008

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi regional di Propinsi Jawa Barat (periode 1995-2008"

Copied!
150
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

PERTUMBUHAN EKONOMI REGIONAL

DI PROPINSI JAWA BARAT (PERIODE 1995-2008)

SKRIPSI

Diajukan Oleh:

Ayu Zakya Lestari

1060840002791

JURUSAN ILMU EKONOMI DAN STUDI PEMBANGUNAN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

PERTUMBUHAN EKONOMI REGIONAL

DI PROPINSI JAWA BARAT (PERIODE 1995-2008)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Untuk Memenuhi Syarat-syarat Guna Meraih Gelar Sarjana Ekonomi

Oleh :

Ayu Zakya Lestari

Nim: 106084002791

Di Bawah Bimbingan:

Pembimbing I Pembimbing II

Pheni Chalid, SF, MA, Ph.D. Fahmi Wibawa, SE. MBA.

Nip: 195605052000121001

JURUSAN ILMU EKONOMI DAN STUDI PEMBANGUNAN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVESRITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(3)

Hari ini, Tanggal 23 Bulan Juli Tahun 2010 telah dilakukan Ujian

Komprehensif atas nama Ayu Zakya Lestari dengan Nim: 106084002791,

dengan judul skripsi: “ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERTUMBUHAN EKONOMI REGIONAL DI

PROPINSI JAWA BARAT (PERIODE 1995-2008)”. Memperhatikan hasil

dan kemampuan keilmuan mahasiswa tersebut selama ujian berlangsung, maka

skripsi ini sudah dapat diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Sarjana Ekonomi pada Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan

Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Jakarta, 23 Juli 2010

Tim Penguji Komprehensif

Drs. Lukman, M.Si. Utami Baroroh, M.Si.

Ketua Sekretaris

(4)

Hari ini, Tanggal 6 Bulan September Tahun 2010 telah dilakukan Ujian Sidang

Skripsi atas nama Ayu Zakya Lestari dengan Nim: 106084002791, dengan judul

skripsi: “ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERTUMBUHAN EKONOMI REGIONAL DI PROPINSI JAWA BARAT (PERIODE 1995-2008)”. Memperhatikan hasil dan kemampuan keilmuan mahasiswa tersebut selama ujian berlangsung, maka skripsi ini sudah dapat

diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan

Bisnis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 6 September 2010

Tim Penguji Skripsi

Pheni Chalid, SF, MA, Ph.D. Fahmi Wibawa, SE, MBA.

Ketua Sekretaris

Prof. Dr. Abdul Hamid, MS. Utami Baroroh, M.Si.

(5)

SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : Ayu Zakya Lestari

NIM : 106084002791

Jurusan : Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan

Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi saya yang berjudul “Analisis

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Regional di Propinsi

Jawa Barat (Periode 1995-2008)” adalah hasil karya saya sendiri yang

merupakan hasil penelitian, pengolahan dan analisis saya serta bukan merupakan

replika maupun saduran dari hasil karya atau penelitian orang lain.

Apabila terbukti skripsi ini plagiat atau replika maka skripsi ini dianggap gugur

dan harus melakukan penelitian ulang untuk menyusun skripsi baru dan

kelulusan serta gelarnya dibatalkan.

Demikian pernyataan ini dibuat dengan segala akibat yang timbul di kemudian

hari menjadi tanggung jawab saya.

Jakarta, 15 September 2010

(6)

i

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. IDENTITAS PRIBADI

1. Nama : Ayu Zakya Lestari

2. Tempat & Tgl Lahir : Jakarta, 8 November 1988

3. Alamat : Jl. Bratasena VI BC 4/16 Reni Jaya

4. Telepon : 0856 934 63634/ 021 741 0140

II. PENDIDIKAN

1. SD : SD Muhammadiyah 12 Pamulang

2. SMP : SMP Negeri 2 Ciputat

3. SMA : SMA Negeri 46 Jakarta

III.PENGALAMAN ORGANISASI

1. Anggota Div. Seni dan Budaya BEMJ IESP Tahun 2007

2. Sekretaris II BEMJ IESP Tahun 2008

3. Ketua SEIS Dance (Saman Ekonomi dan Ilmu Sosial) Tahun 2008

4. Ketua Propesa Jurusan IESP FEIS Tahun 2008

5. Sekretaris I BEMJ IESP Tahun 2009

6. Bendahara II HMI Komisariat Fak. Ekonomi dan Bisnis Tahun 2010

IV.LATAR BELAKANG KELUARGA

1. Ayah : Drs. A. Rahim Mahmud

2. Tempat & Tgl Lahir : Sumbawa Besar, 19 November 1958

3. Alamat : Reni Jaya, Pamulang

4. Telepon : 021 741 0140

5. Ibu : Nur Indah

6. Tempat & Tgl Lahir : Surabaya, 7 November 1962

7. Alamat : Reni Jaya, Pamulang

8. Telepon : 021 741 0140

(7)

ii

ABSTRACT

The aim of this research is to know the effects of local government budget from the revenue side, which is local income, number of population and human capital ratio, by adding variable dummy as a regional autonomy policy to regional economic growth in province of West Java.

The samples are choosen on the basis of purposive sampling method which is using cluster sampling technique. There are 3 regions which are being researched; Bandung, Cianjur, and Sukabumi. The data are collected from 1995 to 2008. This research is using analysis on panel data estimation which combines time series analysis and cross-section analysis. The panel data estimation technique is utilized on the case of West Java data, covering three classified periods, namely all period, period before, recent and after regional autonomy. The data which are being used for this research is secondary data, with constant data based on year 1993, and other data available from regions or town. The main source of data comes from Statistic Bureau of Indonesia and West Java.

The study results show that all independent variables in the model can explain the variation of dependent variable, which is regional economic growth in province of West Java for 96,15%. So, throughout the research period, there are policy changes which give the effect on regional economic growth. It can be seen from dummy variabel of regional autonomy that influences regional economic growth for significant t-value on up to 95%. Then, about local income variable which do not give effect, but the other variables; number of population gives effect and negative for 7,61% and human capital ratio which gives positive effect for 1,95% on regional economic growth.

(8)

iii

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh anggaran pemerintah daerah dari sisi penerimaan yaitu pendapatan asli daerah, jumlah penduduk dan tingkat pendidikan, dengan menambahkan variabel dummy berupa kebijakan otonomi daerah terhadap pertumbuhan ekonomi regional di propinsi Jawa Barat.

Penentuan sampel dilakukan dengan metode purposive sampling dengan menggunakan teknik cluster sampling. Dalam penentuan sampel terdapat 3 kota/ kabupaten yang diteliti, yakni kabupaten Bandung, kabupaten Cianjur, dan kota Sukabumi. Data yang dihimpun dari tahun 1995-2008. Metode analisis yang digunakan adalah metode data panel yang menggabungkan antara analisis time series dan cross section. Teknik estimasi data panel juga membagi data kedalam tiga periode waktu, yaitu periode keseluruhan, periode sebelum otonomi daerah, dan periode otonomi daerah. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa data atas dasar harga konstan tahun 1993 dan berupa data level pada tingkat kabupaten/ kota. Sumber data utama berasal dari publikasi Biro Pusat Statistik (BPS).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel-variabel bebas dalam model mampu menjelaskan variasi dari variabel tergantung, yakni pertumbuhan ekonomi regional di propinsi Jawa Barat sebesar 96,15%. Jadi, selama periode penelitian adanya shock berupa perubahan kebijakan yakni kebijakan otonomi daerah memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi regional. Hal ini dapat dilihat dari variabel dummy kebijakan otonomi daerah yang berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi regional berupa nilai t-hitung yang signifikan pada tingkat keyakinan 95% . Lalu variabel PAD yang tidak berpengaruh signifikan. Namun tidak dengan variabel jumlah penduduk yang berpengaruh signifikan namun bernilai negatif yaitu sebesar 7,61% dan tingkat pendidikan yang berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi regional sebesar 1,95%.

(9)

iv

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena atas

limpahan rahmat dan karunia-Nya penulis mampu menyelesaikan penulisan

skripsi yang berjudul “Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi

Pertumbuhan Ekonomi Regional di Propinsi Jawa Barat (Periode 1995-2008)”. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Baginda Rasululllah SAW beserta kepada para sahabat dan seluruh pengikut Beliau yang

insya Allah tetap istiqomah hingga akhir zaman kelak, Amin.

Dengan selesainya penyusunan dan penulisan skripsi ini, penulis ingin

menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak

yang telah membantu penulis. Adapun ungkapan terima kasih ini penulis

2. Bapak Prof. Dr. Abdul Hamid, MS selaku Dekan FEB.

3. Bapak Drs. Lukman, M.Si. selaku Ketua Jurusan IESP.

4. Bapak Pheni Chalid, SF, MA, Ph.D. selaku Dosen Pembimbing I atas

kesediaan waktu, tenaga, dan pikirannya membimbing penulis.

5. Bapak Fahmi Wibawa, SE, MBA. Selaku Dosen Pembimbing II atas

kesediaan waktu, tenaga, dan pikirannya membimbing penulis.

6. Seluruh Dosen FEB atas ilmunya yang bermanfaat, semoga dapat menjadi

amalan di akhirat kelak, esp for: Ibu Ami yang cantik dan sabar untuk

curhat, konsultasi, revisi skripsi.. Ibu Rahmawati yang cantik dan pintar,

terima kasih untuk pertanyaan kapan skripsi saya akan selesai. Ibu Isna

yang baik hatinya. Ibu Fitri untuk revisi seminar yang luar biasa dan Ibu

Lili yang begitu baik dan murah hati untuk memudahkan saya dalam

(10)

v

7. Keluarga kecil mba gita, bang aip, dan baby kai.. Hope one day, i’ll find

my lil fam like yours.. Adinda Meutia Rizqina, adik kecilku tersayang..

Terima kasih untuk teh lemon hangat dan vanilla lattenya..

8. My 2nd fam..Mel.Ryn.Nul.Tot.El.Dam..terima kasih untuk 4 tahun yang

luar biasa dan begitu indah, menangis dan tertawa bersama kamu semua

adalah anugerah yang luar biasa..

9. GLOSHE “gitayutitanisavibunskali” terima kasih untuk doa, dukungan,

dan kebersamaan yang begitu hangat..

10. Teman-teman kkn 78, esp boy+adit.. terima kasih untuk 30 hari yang

indah dan begitu bermakna..

11. Sahabat terbaik sepanjang masa, Ihda Maulidah.. Teman kecilku lidya,

prima, nuning, prima, erna, nova..

12. Bapak dan Ibu Akademik FEIS, Bu Siska, Pak Rahmat, Pak Udin, Pak

Sugeng, Bu Yulia

13. Teman-teman IESP A 2006, SEIS Dance (keep on dancing girls!), HMI

KAFEIS (Yakusa!), Rimbassa, Sodara2ku (kaka kembar, lala, mba put).

14. Teman seperjuangan, Upi Lutfiah..untuk rasa optimis yang luarbiasa.

Dan untuk semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu,

terima kasih yang terdalam untuk bantuan, dukungan, dan doanya. Semoga

keberkahan dan kesuksesan selalu menyertai kita semua. Amin.

Akhirnya, semoga bantuan, doa, dan semangat yang diberikan dapat

menjadi amalan bagi semua pihak yang telah membantu penulis dalam

menyelesaikan penulisan serta penyusunan skripsi ini.

Jakarta, Agustus 2010

(11)

vi

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ……… 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...……...………….…... 10

A. Perkembangan Kebijakan Ekonomi di Indonesia…….. 10

1. Perkembangan Kebijakan Ekonomi Era Orde Baru.. 12

2. Perkembangan Kebijakan Ekonomi Era Reformasi.. 17

3. Perkembangan Kebijakan Ekonomi Era Otonomi Daerah ... 19

B. Struktur Pemerintahan di Era Otonomi Daerah…... 23

C. Struktur Keuangan di Era Otonomi Daerah…... 26

D. Hakikat Pertumbuhan Ekonomi ……….…... 36

E. Teori-teori Pertumbuhan Ekonomi …………..……... 38

1. Teori Pendapatan Asli Daerah …...…….... 38

2. Teori Jumlah Penduduk ... 41

3. Teori Tingkat Pendidikan ... 42

F. Penelitian Terdahulu ……….... 45

(12)

vii

3. Pemilihan Metode Estimasi dengan Data Panel ... 73

4. Metode Dummy Variabel ………... 76

5. Model Empiris ... 77

6. Pengujian Hipotesis ……….. 78

E. Operasional Variabel Penelitian ……….... 82

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 84

A. Gambaran Umum Obyek Penelitian ... 84

1. Kabupaten Bandung ... 84

2. Kabupaten Cianjur ... 86

3. Kota Sukabumi ... 88

B. Penemuan dan Pembahasan ... 91

1. Analisa Deskriptif ... 91

a. Analisa Deskriptif Produk Domestik Regional Bruto ... 91

b. Analisa Deskriptif PAD ... 93

c. Analisa Deskriptif Jumlah Penduduk... 94

d. Analisa Deskriptif Tingkat Pendidikan ... 96

2. Estimasi Model Data Panel ... 97

a. Pendekatan Pooled Least Square ... 97

(13)

viii

c. PLS vs FEM ... 98

d. Pendekatan Random Effect Model ... 99

3. Pengujian Hipotesis ... 100

a. Keseluruhan Periode Penelitian (1995-2008) ... 100

1. Uji t ... 101

2. Uji F ... 104

3. Keofisien Determinasi ... 105

4. Interpretasi Hasil Analisis ... 106

b. Periode Sebelum Otonomi Daerah (1995-2000) .. 113

c. Periode Otonomi Daerah (2001-2008) ... 115

d. Pengaruh Variabel-variabel Independen terhadap Variabel Dependen ... 118

BAB V PENUTUP ... 121

A. Kesimpulan ... 121

B. Implikasi ... 123

DAFTAR PUSTAKA…...………... 125

(14)

ix

DAFTAR TABEL

Nomor Keterangan Halaman

2.1 Struktur APBD Propinsi/ Kota/ Kabupaten Pendekatan Kinerja 33

2.2 Penelitian Terdahulu 54

3.1 Perbedaan Fixed Effect Model dan Random Effect Model 73

3.2 Operasional Variabel Penelitian 83

4.1 Regresi Data Panel: Pooled Least Square 97

4.2 Regresi Data Panel: Fixed Effect Model 98

4.3 F- Restricted 98

4.4 Hasil Perhitungan Estimasi Data Panel dengan Dummy Variabel

Terhadap Keseluruhan Periode Penelitian (1995-2008) 101

4.5 Interpretasi Koefisien Fixed Effect Model 106

4.6 Hasil Perhitungan Estimasi Data Panel dengan Dummy Variabel

Terhadap Periode Sebelum Otonomi Daerah (1995-2000) 113

4.7 Hasil Perhitungan Estimasi Data Panel dengan Dummy Variabel

Terhadap Periode Otonomi Daerah (2001-2008) 115

4.8 Arah Hubungan Variabel-variabel Kebijakan Desentralisasi Fiskal

dengan Pertumbuhan Ekonomi Regional di Jawa Barat 118

n Estimasi Data P

anel dengan Dummy Variabel terhadap Keseluruhan Periode Penelitian

(1995-2008) Hasil Perhitungan Estimasi Data Panel dengan Dummy

(15)

x

DAFTAR GAMBAR

Nomor Keterangan Halaman

1.1 Pertumbuhan Ekonomi di Jawa Barat Tahun 1995-2008 5

2.1 Tren Alokasi Transfer Pusat ke Daerah (Tahun 2001-2008) 28

2.2 Bagan Kerangka Pemikiran 63

3.1 t-Statistik 79

3.2 F-Statistik 81

4.1 Pertumbuhan Ekonomi di Jawa Barat Tahun 1995-2008 92

4.2 Pendapatan Asli Daerah di Jawa Barat Tahun 1995-2008 94

4.3 Jumlah Penduduk di Jawa Barat Tahun 1995-2008 95

4.4 Tingkat Pendidikan di Jawa Barat Tahun 1995-2008 96

4.5 F-Restricted 99

4.6 Hasil Uji t-Statistik 102

(16)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Keterangan Halaman

1. Data Observasi 129

2. Output Pooled Least Square 131

3. Output Fixed Effect Model Periode Keseluruhan (1995-2008)`132

4. Output Fixed Effect Model Sebelum Otonomi Daerah

(1995-2000)` 133

5. Output Fixed Effect Model Periode Otonomi Daerah

(17)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Pertumbuhan ekonomi berarti perkembangan kegiatan dalam

perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi dalam

masyarakat bertambah dan kemakmuran masyarakat meningkat. Masalah

pertumbuhan ekonomi dapat dipandang sebagai masalah makroekonomi dalam

jangka panjang. Dari satu periode ke periode lainnya kemampuan suatu negara

untuk menghasilkan barang dan jasa akan meningkat. Kemampuan yang

meningkat ini disebabkan oleh faktor-faktor produksi yang mengalami

peningkatan dalam jumlah dan kualitasnya.

Perkembangan kemampuan dalam memproduksi barang dan jasa

sebagai akibat pertambahan faktor-faktor produksi pada umumnya tidak selalu

diikuti oleh pertambahan produksi barang dan jasa yang sama besarnya.

Pertambahan potensi memproduksi sering kali lebih besar dari pertambahan

produksi yang sebenarnya. Dengan demikian perkembangan ekonomi lebih

lambat dari potensinya.

Pertumbuhan ekonomi mencerminkan kegiatan ekonomi. Pertumbuhan

ekonomi dapat bernilai positif dan dapat pula bernilai negatif. Jika pada suatu

periode perekonomian mengalami pertumbuhan positif, berarti kegiatan

(18)

2

suatu periode perekonomian mengalami pertumbuhan negatif, berarti kegiatan

ekonomi pada periode tersebut mengalami penurunan.

Pertumbuhan ekonomi merupakan kunci dari tujuan ekonomi makro.

Hal ini didasari oleh tiga alasan. Pertama, penduduk selalu bertambah.

Bertambahnya jumlah penduduk ini berarti angkatan kerja juga selalu

bertambah. Pertumbuhan ekonomi akan mampu menyediakan lapangan kerja

bagi angkatan kerja. Jika pertumbuhan ekonomi yang mampu diciptakan lebih

kecil daripada pertumbuhan angkatan kerja, hal ini mendorong terjadinya

pengangguran. Kedua, selama keinginan dan kebutuhan selalu tidak terbatas,

perekonomian harus selalu mampu memproduksi lebih banyak barang dan jasa

untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan tersebut. Ketiga, usaha menciptakan

pemerataan ekonomi (economic stability) melalui redistribusi pendapatan

(income redistribution) akan lebih mudah dicapai dalam periode pertumbuhan

ekonomi yang tinggi.

Berkaitan dengan kebijakan otonomi daerah yang dilaksanakan di

Indonesia berdasarkan UU No.32/ 2004 tentang pemerintahan daerah dan UU

No.33/ 2004 tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah sebagai

revisi dari UU No.22/ 1999 dan UU No.25/ 1999, disadari bahwa kemampuan

setiap daerah dalam melaksanakan fungsi otonomi guna peningkatan

pertumbuhan ekonomi daerahnya tidak sama. Hal ini disambut baik bagi daerah

yang memiliki sumber penerimaan potensial, namun bagi daerah yang memiliki

kemampuan keuangan yang jauh dari memadai, maka mereka mengalami

(19)

3

UU No.32/ 2004 merupakan dasar hukum pendelegasian kekuasaan

tertentu kepada pemerintah daerah dan membentuk proses politik daerah.

Penyerahan fungsi, personil, dan aset dilakukan dari pemerintah pusat kepada

pemerintah propinsi, kabupaten, dan kota. Sedangkan UU No.33/ 2004

mendorong desentralisasi dengan memberikan sumber daya fiskal kepada

pemerintah daerah, termasuk dalam hal penetapan besarnya tarif pajak dan

retribusi daerah. Hal ini bertujuan untuk mendukung tanggung jawab yang

dilimpahkan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.

Adapun pelaksanaan otonomi daerah harus diimbangi dengan sejauh

mana, instrumen atau kemampuan daerah saat ini mampu memberikan nuansa

pengolahan keuangan yang lebih adil, rasional, transparan, partisipatif, dan

akuntabel sebagaimana yang diamanatkan oleh kedua undang-undang otonomi

daerah tersebut.

Kebijakan otonomi daerah baru dijalankan pada 1 Januari 2001

berdasarkan UU No.25/ 1999 yang disempurnakan dengan UU No.33/ 2004

tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Pada waktu ini, Indonesia memasuki babak baru dalam pengelolaan

pemerintahan dan pembangunan. Dalam hal pengelolaan pembangunan dan

keuangan, daerah memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan di bidang

keuangan dan pengelolaan anggaran di sisi penerimaan dan pengeluaran.

Pada sisi penerimaan, daerah kota/ kabupaten mendapat keleluasaan

untuk menggali sumber-sumber penerimaan yang potensial di daerah, tidak lagi

(20)

4

daerah sepenuhnya memiliki kewenangan untuk menentukan penggunaan dana

perimbangan yang diterimanya sesuai dengan kebutuhan daerah.

Propinsi Jawa Barat selama lebih dari tiga dekade telah mengalami

perkembangan perekonomian yang cukup pesat. PDRB propinsi Jawa Barat

pada tahun 2003 mencapai Rp.231.764 milyar (US$ 27.26 Billion) menyumbang

14-15 persen dari total PDB nasional, merupakan angka tertinggi bagi sebuah

propinsi. Sebagai propinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia,

PDRB per kapita Jawa Barat adalah Rp. 5.476.034 (US$644.24) termasuk

minyak dan gas. Pertumbuhan ekonomi tahun 2003 adalah 4,21 persen termasuk

minyak dan gas, bahkan lebih baik dari PDB Indonesia secara keseluruhan

(http://id.wikipedia.org/wiki/Jawa_Barat).

Dengan adanya kebijakan otonomi daerah telah memberikan peluang

bagi propinsi Jawa Barat untuk memiliki kemandirian guna membangun

daerahnya. Kemandirian tersebut berpijak pada [1] prinsip demokrasi, [2]

partisipasi dan peran serta masyarakat, [3] pemerataan keadilan, serta [4]

memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah dalam upaya

mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya lokal.

Perkembangan pertumbuhan ekonomi propinsi Jawa Barat selama 14

tahun terakhir dapat dilihat pada Gambar 1.1 yang menerangkan bahwa

pertumbuhan ekonomi propinsi Jawa Barat mengalami perubahan yang

(21)

5 Sumber: BPS Jawa Barat. Diolah kembali.

Gambar 1.1. Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi di Propinsi Jawa Barat Tahun 1995-2008 (Dalam Persentase)

Perkembangan pertumbuhan ekonomi propinsi Jawa Barat

menunjukkan perkembangan yang positif dari tahun 1995-2008. Namun, pada

tahun 1998 menunjukkan pertumbuhan ekonomi yaitu minus 17,77 persen, hal

ini disebabkan oleh krisis ekonomi dan krisis moneter yang terjadi pada

pertengahan tahun 1997 di Indonesia yang kemudian mengakibatkan krisis

multidimensi sehingga membawa dampak pada pertumbuhan ekonomi yang

negatif di propinsi Jawa Barat. Namun, pada tahun 2000-2008 pertumbuhan

ekonomi dapat kembali pulih, meskipun tidak sebaik tahun-tahun sebelumnya.

Selama periode sebelum otonomi daerah yaitu tahun 1995-2000,

rata-rata pertumbuhan ekonomi adalah 0,12 persen, sedangkan pada periode otonomi

daerah di tahun 2001-2008, pertumbuhan ekonomi meningkat menjadi 5,21

persen. Hal ini menggambarkan perbaikan yang cukup drastis sebagai dampak

dari adanya kebijakan otonomi daerah yang sudah mulai diterapkan di Indonesia

(22)

6

Berkaitan dengan kebijakan otonomi daerah, terdapat indikator utama

penentu perkembangan pertumbuhan ekonomi di suatu daerah yakni anggaran

pemerintah daerah yang dilihat dari sisi penerimaan, yaitu pendapatan asli

daerah (PAD). PAD merupakan salah satu ukuran potensi fiskal daerah, dan

sebagai sumber penerimaan yang penting guna peningkatan pertumbuhan

ekonomi. Seiring dengan kebijakan otonomi daerah, pemerintah daerah semakin

gencar untuk meningkatkan PAD-nya masing-masing dengan berbagai macam

cara, salah satu caranya adalah dilakukan upaya intensifikasi dan ekstensifikasi

dengan mengoptimalkan sumber-sumber penerimaan yang sudah ada, ataupun

menggali sumber-sumber baru.

Sebagai propinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia yang

disebabkan oleh tingginya pertumbuhan penduduk alami maupun karena migrasi

masuk, Jawa Barat memiliki pertumbuhan ekonomi yang cukup baik, namun hal

ini belum dibarengi dengan penyerapan tenaga kerja yang dilihat dari jumlah

pengangguran yang masih mengalami kenaikan. Sehingga perlu dilakukan

penanggulangan terhadap jumlah penduduk yang besar dengan cara penyediaan

lapangan kerja yang memadai atau peningkatan kualitas sumber daya manusia

untuk mengisi pasar kerja guna mengurangi jumlah pengangguran yang akan

berdampak pada peningkatan pertumbuhan ekonomi.

Sedangkan sebagai propinsi yang memiliki perguruan tinggi yang

cukup banyak baik swasta maupun negeri, tingkat pendidikan di propinsi Jawa

Barat juga memiliki peranan penting terhadap pertumbuhan ekonominya.

(23)

7

pada upaya peningkatan kuantitas dan kualitas sarana serta prasarana

pendidikan, peningkatan partisipasi anak usia sekolah, pengembangan

pendidikan luar sekolah, pengembangan sekolah alternatif, serta peningkatan

jumlah dan pemerataan distribusi tenaga pendidik. Namun aksesibilitas

masyarakat terhadap pendidikan masih rendah, angka putus sekolah masih

cukup tinggi, kualitas dan relevansi serta tata kelola pendidikan belum sesuai

dengan kebutuhan dan tuntutan daya saing.

Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk melakukan

penelitian tentang pertumbuhan ekonomi dan faktor-faktor yang

mempengaruhinya di propinsi Jawa Barat. Adapun judul dalam penelitian ini

adalah “Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi

Regional di Propinsi Jawa Barat (Periode 1995-2008)”.

B.Perumusan Masalah

Dengan berlakunya kebijakan otonomi daerah di propinsi Jawa Barat

diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi kemandirian daerah dalam

mengelola dan mengalokasikan sumber pendanaannya. Hal ini sangat

diharapkan sehingga dapat tercapai tujuan utama dari kebijakan tersebut yaitu

mendorong pertumbuhan ekonomi suatu daerah kearah yang lebih baik.

Berdasarkan hal tersebut, maka dalam penelitian ini masalah yang akan

dibahas dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Apakah pendapatan asli daerah mempunyai pengaruh yang signifikan

(24)

8

2. Apakah jumlah penduduk mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap

pertumbuhan ekonomi regional di propinsi Jawa Barat?

3. Apakah tingkat pendidikan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap

pertumbuhan ekonomi regional di propinsi Jawa Barat?

4. Apakah kebijakan otonomi daerah mempunyai pengaruh yang signifikan

terhadap pertumbuhan ekonomi regional di propinsi Jawa Barat?

5. Apakah pendapatan asli daerah, jumlah penduduk, tingkat pendidikan, dan

kebijakan otonomi daerah secara bersama-sama mempunyai pengaruh yang

signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi regional di propinsi Jawa Barat?

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui apakah ada pengaruh yang signifikan antara pendapatan asli

daerah terhadap pertumbuhan ekonomi regional di propinsi Jawa Barat.

2. Mengetahui apakah ada pengaruh yang signifikan antara jumlah penduduk

terhadap pertumbuhan ekonomi regional di propinsi Jawa Barat.

3. Mengetahui apakah ada pengaruh yang signifikan antara tingkat

pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi regional di propinsi Jawa

Barat.

4. Mengetahui apakah ada pengaruh yang signifikan antara kebijakan

otonomi daerah terhadap pertumbuhan ekonomi regional di propinsi Jawa

(25)

9

5. Mengetahui apakah pendapatan asli daerah, jumlah penduduk, tingkat

pendidikan, dan kebijakan otonomi daerah secara bersama-sama

mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi

regional di propinsi Jawa Barat.

2. Manfaat Penelitian

Sedangkan hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk

dijadikan pertimbangan oleh decision maker (pengambil kebijakan) baik di

tingkat propinsi maupun tingkat kabupaten/ kota dalam pengambilan

keputusan yang terkait yakni mengenai faktor-faktor apa saja yang

berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi regional di propinsi Jawa Barat.

Adapun bagi penulis sendiri manfaat yang dapat diambil adalah dapat

menambah wawasan dan pengetahuan mengenai faktor-faktor apa saja yang

(26)

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A.Perkembangan Kebijakan Ekonomi di Indonesia

Dalam mengamati sejarah perkembangan ekonomi di Indonesia,

terutama konsep kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan pemerintahan

daerah, sejak lahirnya orde baru sampai saat sekarang ini, kita perlu

memperhatikan pokok-pokok pemikiran yang mendasari pola perkembangan

ekonomi yang terjadi pada masing-masing era tersebut. Pada dasarnya setiap

pemerintahan di dunia, termasuk di Indonesia bertujuan mengembangkan

perekonomiannya demi tercapainya peningkatan taraf hidup masyarakat banyak.

Taraf hidup yang lebih baik dicerminkan oleh dua indikator utama, yaitu growth

dan equity.

Pertumbuhan ekonomi (economic growth) merupakan perhatian utama

masyarakat perekonomian dunia. Para ekonom dan politisi di semua negara, baik

negara kaya maupun miskin, yang menganut sistem kapitalis, sosialis, maupun

campuran, semuanya sangat mendambakan dan menomorsatukan pertumbuhan

ekonomi. Evaluasi akhir tahun dari pemerintahan dalam sebuah negara selalu

memunculkan data-data statistik yang berkaitan dengan pertumbuhan Gross

National Product (GNP). Indikator keberhasilan program pembangunan di

negara berkembang sering dinilai berdasarkan tinggi rendahnya tingkat

(27)

11

dan kualitas kebijakan pemerintah di bidang ekonomi secara keseluruhan

biasanya diukur berdasarkan kecepatan pertumbuhan yang dihasilkan.

Sedangkan equity merupakan indikator efektivitas dari sebuah

kebijakan pemerintah di masa tersebut, yang artinya bahwa pencapaian dari

tujuan kebijakan tersebut berhasil atau tidak dapat dinikmati oleh semua

komponen bangsa tanpa ada yang terdistorsi.

Namun demikian, dua hal tersebut tidak mudah untuk diraih secara

bersamaan karena pencapaian pertumbuhan tidak secara otomatis diikuti oleh

pencapaian tujuan keadilan, ataupun sebaliknya. Bahkan seringkali dijumpai

antara kedua tujuan tersebut memiliki ―trade off‖ yang artinya apabila sebuah

kebijakan bertujuan untuk mencapai pertumbuhan, maka mau tidak mau tujuan

keadilan tersebut harus dikorbankan; dan sebaliknya apabila tujuan keadilan atau

distribusi yang merata ingin dicapai terlebih dahulu, maka tujuan pertumbuhan

harus dikorbankan.

Penganut teori pertumbuhan mengatakan bahwa dengan mengutamakan

pertumbuhan ekonomi, maka secara otomatis akan terjadi trickledown effect

sehingga kelompok miskin atau golongan berpendapatan rendah akan

mendapatkan cipratan penghasilan dari golongan yang berpendapatan tinggi,

baik melalui sistem donasi, sistem perpajakan progressif, serta sistem subsidi

bagi kelompok miskin.

Sebaliknya, penganut teori keadilan menghendaki adanya pemerataan

pendapatan terlebih dahulu agar semua kebutuhan dasar penduduk dapat

(28)

12

dan kesenjangan ekonomi. Dengan demikian semua orang akan memiliki

semangat membangun bersama guna mencapai taraf hidup yang lebih tinggi

ataupun tingkat perekonomian yang lebih baik.

Diantara kedua kelompok penganut teori pertumbuhan dan keadilan

tersebut, terdapat kelompok yang mengambil jalan tengah dengan menghendaki

tercapainya kedua tujuan tersebut secara sekaligus. Adapun tujuannya adalah

terciptanya perbaikan taraf hidup yang berkeadilan (growth with equity). Dengan

pendekatan ini, pada umumnya laju pertumbuhan ekonomi menjadi lebih rendah

(lambat), tetapi dapat dibarengi dengan keadilan atau pemerataan penghasilan

dan kesempatan yang lebih baik bagi masyarakat secara keseluruhan.

Di Indonesia, arah dan tujuan sebuah kebijakan bergerak sesuai dengan

tuntutan zaman yang berkembang pada suatu era pemerintahan. Sehingga selain

mengaburkan mazhab kebijakan yang dibuat, konsep kebijakan juga cenderung

prematur dan memerlukan penyempurnaan di tengah jalan. Sekilas penulis ingin

membahas perkembangan kebijakan selama era orde baru sampai dengan era

otonomi daerah.

1. Perkembangan Kebijakan Ekonomi Era Orde Baru (1968-1998)

Orde baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto

di Indonesia. Orde baru menggantikan orde lama yang merujuk kepada era

pemerintahan Presiden Soekarno. Orde baru berlangsung dari tahun 1968

hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang

(29)

13

Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan miskin juga semakin

melebar. Pada tahun 1968, MPR secara resmi melantik Soeharto untuk masa

jabatan lima tahun sebagai presiden, dan kemudian dilantik kembali secara

berturut-turut pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998.

Selama masa pemerintahannya, kebijakan-kebijakan dan

pengeksploitasian sumber daya alam secara besar-besaran menghasilkan

pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak merata di Indonesia.

Pada masa awal orde baru, kemajuan pembangunan ekonomi dapat

dilihat dari pendapatan perkapita, pertanian, pembangunan infrastruktur, dan

lain-lain. Saat permulaan orde baru, program pemerintah berorientasi pada

usaha penyelamatan ekonomi nasional terutama pada usaha mengendalikan

tingkat inflasi, penyelamatan keuangan negara dan pengamanan kebutuhan

pokok rakyat. Tindakan pemerintah ini dilakukan karena adanya kenaikan

harga pada awal tahun 1966 yang menunjukkan tingkat inflasi kurang lebih

650 persen setahun. Hal itu menjadi penyebab kurang lancarnya program

pembangunan yang telah direncanakan pemerintah. Setelah itu dikeluarkan

ketetapan MPRS No.XXIII/MPRS/1966 tentang pembaruan kebijakan

ekonomi, keuangan dan pembangunan.

Lalu kabinet AMPERA membuat kebijakan yang mengacu pada Tap

MPRS tersebut yakni sebagai berikut:

1) Mendobrak kemacetan ekonomi dan memperbaiki sektor-sektor yang

menyebabkan kemacetan, seperti: rendahnya penerimaan negara,

(30)

14

produktifnya ekspansi kredit bank serta terlalu banyak tunggakan hutang

luar negeri.

2) Debirokratisasi untuk memperlancar kegiatan perekonomian.

3) Berorientasi pada kepentingan produsen kecil.

Untuk melaksanakan langkah-langkah penyelamatan tersebut maka

ditempuh cara-cara yaitu sebagai berikut:

1) Mengadakan operasi pajak

2) Cara pemungutan pajak baru bagi pendapatan perorangan dan kekayaan

dengan menghitung pajak sendiri dan menghitung pajak orang

3) Dalam era orde baru, pembangunan dilandaskan pada trilogi

pembangunan, yaitu stabilitas, pertumbuhan, dan pemerataan.

Untuk itu pemerintah melakukan ―Pola Umum Pembangunan Jangka

Panjang‖ (25-30 tahun) secara periodik lima tahunan yang disebut Pelita.

1) Pelita I (1 April 1969 – 31 Maret 1974)

Sasaran yang hendak dicapai pada masa ini adalah pangan,

sandang, perbaikan prasarana, perumahan rakyat, perluasan lapangan

kerja, dan kesejahteraan rohani. Pelita I lebih menitikberatkan pada sektor

pertanian. Adapun keberhasilan dalam Pelita I yaitu sebagai berikut:

a. Produksi beras mengalami kenaikan rata-rata 4persen setahun

b. Banyak berdiri industri pupuk, semen, dan tekstil

c. Perbaikan jalan raya

d. Banyak dibangun pusat-pusat tenaga listrik

(31)

15

2) Pelita II (1 April 1974 – 31 Maret 1979)

Sasaran yang hendak dicapai pada masa ini adalah pangan,

sandang, perumahan, sarana dan prasarana, menyejahterakan rakyat, dan

memperluas lapangan kerja . Pelita II berhasil meningkatkan pertumbuhan

ekonomi rata-rata penduduk 7 persen setahun serta perbaikan dalam hal

irigasi. Di bidang industri juga terjadi kenaikan produksi. Lalu banyak

jalan dan jembatan yang direhabilitasi dan di bangun.

3) Pelita III (1 April 1979 – 31 Maret 1984)

Pelita III lebih menekankan pada ―Trilogi Pembangunan‖.

Asas-asas pemerataan dituangkan dalam berbagai langkah kegiatan pemerataan,

seperti pemerataan pembagian kerja, kesempatan kerja, memperoleh

keadilan, pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, dan perumahan, dan

lain-lain.

4) Pelita IV (1 April 1984 – 31 Maret 1989)

Pada Pelita IV lebih dititikberatkan pada sektor pertanian menuju

swasembada pangan dan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan

mesin industri itu sendiri. Hasil yang dicapai pada Pelita IV adalah

swasembada pangan. Pada tahun 1984 Indonesia berhasil memproduksi

beras sebanyak 25,8 ton. Hasilnya Indonesia berhasil swasembada beras.

Selain itu juga dilakukan program KB dan rumah untuk keluarga.

5) Pelita V (1 April 1989 – 31 Maret 1994)

Pada Pelita V ini lebih menitikberatkan pada sektor pertanian dan

(32)

16

produksi pertanian lainnya serta menghasilkan barang ekspor. Pelita V

adalah akhir dari pola pembangunan jangka panjang tahap pertama. Lalu

dilanjutkan pembangunan jangka panjang tahap kedua, yaitu dengan

mengadakan Pelita VI.

6) Pelita VI (1 April 1994 - 31 Maret 1999)

Pada masa ini pemerintah lebih menitikberatkan pada sektor

ekonomi. Pembangunan ekonomi ini berkaitan dengan industri dan

pertanian serta pembangunan dan peningkatan kualitas sumber daya

manusia sebagai pendukungnya. Namun Pelita VI yang diharapkan

menjadi proses lepas landas Indonesia ke arah yang lebih baik lagi, malah

menjadi gagal landas dan kapal pun rusak. Indonesia dilanda krisis

ekonomi yang sulit diatasi pada akhir tahun 1997. Hal ini berawal dari

krisis moneter lalu berlanjut menjadi krisis ekonomi dan akhirnya menjadi

krisis kepercayaan terhadap pemerintah. Pelita VI pun kandas di tengah

jalan.

Kondisi ekonomi menjadi kian terpuruk ditambah dengan kkn yang

merajalela. Pembangunan yang dilakukan hanya dapat dinikmati oleh

sebagian kecil kalangan masyarakat karena cenderung terpusat dan tidak

merata. Meskipun perekonomian Indonesia meningkat, tapi secara

fundamental pembangunan ekonomi sangat rapuh. Terjadi kerusakan serta

pencemaran lingkungan hidup dan sumber daya alam. Perbedaan ekonomi

antar daerah, antar golongan pekerjaan, dan antar kelompok dalam

(33)

17

(marginalisasi sosial). Pembangunan hanya mengutamakan pertumbuhan

ekonomi tanpa diimbangi kehidupan politik, ekonomi, dan sosial yang

demokratis dan berkeadilan.

Pembangunan tidak merata tampak dengan adanya kemiskinan di

sejumlah wilayah yang menjadi penyumbang devisa terbesar seperti Riau,

Kalimantan Timur, dan Irian. Faktor inilah yang selanjutnya ikut menjadi

penyebab terpuruknya perekonomian nasional Indonesia menjelang akhir

tahun 1997. Namun pembangunan ekonomi pada masa orde baru merupakan

pondasi bagi pembangunan ekonomi selanjutnya.

Adapun kelebihan sistem pemerintahan orde baru antara lain: [1]

perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya US$70

dan pada 1996 telah mencapai lebih dari US$1.000, [2] sukses transmigrasi,

[3] sukses KB, dan [4] sukses memerangi buta huruf. Sedangkan kekurangan

sistem pemerintahan orde baru yaitu: [1] maraknya korupsi, kolusi, dan

nepotisme, [2] pembangunan Indonesia yang tidak merata, [3] bertambahnya

kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si kaya dan

si miskin), [4] kritik dibungkam dan oposisi diharamkan, [5] kebebasan pers

sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang dibreidel.

2. Perkembangan Kebijakan Ekonomi Era Reformasi (1998-Sekarang)

Pada pertengahan 1997, Indonesia diserang krisis keuangan dan

ekonomi yang juga dibarengi kemarau terburuk dalam 50 tahun terakhir,

(34)

18

Rupiah jatuh, inflasi meningkat tajam, dan perpindahan modal (capital flight)

dipercepat. Para demonstran yang pada awalnya dipimpin para mahasiswa

meminta pengunduran diri Presiden Soeharto. Di tengah gejolak kemarahan

massa yang meluas, Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998,

tiga bulan setelah MPR melantiknya untuk masa bakti ketujuh. Soeharto

kemudian memilih sang wakil presiden, B.J. Habibie, untuk menjadi presiden

ketiga Indonesia.

Mundurnya Soeharto dari jabatannya pada tahun 1998 dapat

dikatakan sebagai tanda berakhirnya era orde baru, untuk kemudian

digantikan dengan "Era Reformasi". Masih adanya tokoh-tokoh penting pada

masa orde baru di jajaran pemerintahan pada masa reformasi ini sering

membuat beberapa orang mengatakan bahwa orde baru masih belum

berakhir. Oleh karena itu era reformasi atau orde reformasi sering disebut

sebagai "Era Pasca Orde Baru".

Dalam era reformasi, pola sistem pemerintahan dan kebijakan tidak

banyak berubah bila dibandingkan dengan era orde baru. Hal ini disebabkan

karena sebagian besar para pejabat merupakan bekas pejabat pada masa orde

baru. Akibatnya proses penegakan hukum bagi para penyeleweng kekuasaan,

perampok uang rakyat, dan pencoleng negara pada era sebelumnya berjalan

dengan sangat lambat.

Hal ini berdampak pada kondisi ekonomi masa reformasi yang tidak

mengalami perbaikan yang berarti. Kondisi perekonomian pada masa orde

(35)

19

dampak penurunan daya beli masyarakat berpenghasilan rendah, pemerintah

menjalankan program jaring pengaman sosial. Akan tetapi adanya tingkat

pengangguran yang tinggi dan nilai rupiah yang melemah sampai pada batas

terendah sepanjang sejarah Indonesia, yakni mencapai Rp.18.000 per US$

mengakibatkan pogram ini tidak bermakna dan bermanfaat. Kurs dollar yang

tinggi mengakibatkan kegiatan produksi yang bahan bakunya merupakan

barang impor menjadi terganggu. Terhentinya kegiatan impor karena kurs

devisa yang tinggi juga memukul sektor manufacturing dan transportasi yang

disebabkan oleh mahalnya komponen suku cadang yang harus diimpor.

Kondisi pasar yang tidak menentu ini menyebabkan perusahaan banyak yang

berhenti beroperasi dan memberhentikan para karyawannya.

Kedua, kebijakan moneter di Indonesia pada saat itu diatur oleh

IMF, sehingga sesuai dengan saran IMF untuk dilakukan peningkatan suku

bunga hingga mencapai 67 persen per tahun. Hal ini mengakibatkan adanya

negative spread pada sektor perbankan sehingga banyak bank yang harus

dilikuidasi atau dinyatakan beku operasi.

3. Perkembangan Kebijakan Ekonomi Era Otonomi Daerah

(2001-Sekarang)

Reformasi di segala bidang yang di dukung oleh masyarakat dalam

menyikapi permasalahan yang terjadi, baik di tingkat pusat maupun di tingkat

daerah menyebabkan lahirnya otonomi daerah sebagai salah satu tuntutan

(36)

20

diperkenalkannya UU No. 22/ 1999 tentang pemerintahan daerah dan UU No.

25/ 1999 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada

peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan

kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Untuk itu, otonomi

daerah diharapkan dapat: (1) menciptakan efisiensi dan efektifitas

pengelolaan sumber daya daerah, (2) meningkatkan kualitas pelayanan umum

dan kesejahteraan masyarakat, dan (3) membudayakan dan menciptakan

ruang bagi masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam proses pembangunan

(Zainuddin; 2010).

Kebijakan otonomi daerah yang saat ini sangat santer dibicarakan

dimana-mana sebenarnya bukanlah merupakan ―barang baru‖ dalam

penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Semenjak negara ini lahir kebijakan

otonomi daerah sudah mulai dibicarakan. Bahkan para founding fathers

negara ini telah menuangkan ide-ide otonomi daerah dalam penyelenggaraan

pemerintahan negara pada Undang-Undang Dasar 1945 yaitu pada pasal 18.

Selama lebih setengah abad berbagai kebijakan otonomi daerah telah

dilahirkan sesuai dengan semangat zamannya (zeitgeist). Mulai dari UU No.1/

1945, UU No.22/ 1948, UU No.1/ 1957, UU No.18/ 1965, Penpres No.6/

1969, UU No.5/ 1974 dan terakhir dengan UU No.22/ 1999. Selama masa itu

pula terdapat perubahan dan pergeseran semangat otonomi daerah antara lain;

(37)

21

bertanggung jawab serta otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung

jawab.

Jadi inti dari otonomi daerah adalah demokratisasi dan

pemberdayaan. Otonomi daerah sebagai demokratisasi maksudnya adalah

adanya kesetaraan hubungan antara pusat dan daerah, dimana daerah

mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan,

kebutuhan, dan aspirasi masyarakatnya. Aspirasi dan kepentingan daerah

akan mendapatkan perhatian dalam setiap pengambilan kebijakan oleh pusat.

Sedangkan otonomi daerah sebagai pemberdayaan daerah

merupakan suatu proses pembelajaran dan penguatan bagi daerah untuk

mampu mengatur, mengurus, dan mengelola kepentingan dan aspirasi

masyarakatnya sendiri. Dengan demikian daerah secara bertahap akan

berupaya untuk mandiri dan melepaskan diri dari ketergantungan kepada

pemerintah pusat.

Namun otonomi daerah juga telah menimbulkan berbagai kebijakan

yang bersifat kontra produktif terhadap iklim perdagangan dan investasi di

daerah. Adanya target untuk meningkatkan PAD menyebabkan terjadinya

pungutan tambahan yang secara langsung maupun tidak langsung

memberatkan pihak pengusaha maupun masyarakat umum. Sebagai contoh;

pengoperasian kembali jembatan timbang di Sulawesi Selatan yang telah

dicabut berdasarkan UU No.18/ 1997, perdagangan kayu cendana di NTT

(38)

22

Lampung tentang retribusi izin komoditas keluar propinsi Lampung, dan

lain-lain (Boyke; 2007).

Otonomi dilakukan juga dengan ekspektasi agar daerah memiliki

daya saing dan keunggulan lokal. Keinginan tersebut bisa dicapai karena

berbagai perubahan untuk mewujudkan misi itu telah dilakukan. Dari dimensi

pengelolaan anggaran, misalnya lebih dari 67 persen porsi anggaran belanja

negara telah beralih pengelolaannya dari pemerintah pusat ke pemerintah

daerah.

Dari sisi aparatur pemerintah, juga telah terjadi perpindahan pegawai

negeri sipil dari pusat ke daerah mencapai lebih dari 2,5 juta orang. Telah

lebih banyak pegawai negeri di daerah daripada di pusat. Dengan demikian,

terdapat lebih banyak urusan pusat yang diserahkan kepada daerah. Bersama

dengan berpindahnya kewenangan pusat ke daerah, nyatanya tujuan utama

untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat masih jauh dari tercapai, hal ini

dibuktikan dengan jumlah orang miskin tidak menurun, bahkan dalam level

tertentu justru meningkat dan menjadi fenomena yang mudah ditemukan

dimana-mana.

Selain tidak menyembuhkan penyakit lama, otonomi daerah juga

telah menciptakan penyakit baru. Kewenangan lebih besar yang dimiliki

daerah telah merangsang elite daerah melahirkan wilayah pemekaran atas

dasar kepentingan yang sangat sempit, yaitu kepentingan pribadi dan

primordial. Sampai dengan tahun 2009 pemekaran wilayah telah dilakukan

(39)

23

sehingga jumlah daerah di Indonesia adalah 524, yang terdiri dari 33 propinsi,

398 kabupaten dan 93 kota (A. Yani; 2009).

B.Struktur Pemerintahan di Era Otonomi Daerah

Berlakunya undang-undang otonomi daerah di Indonesia yang salah

satunya ditujukan sebagai langkah percepatan pembangunan, memberikan dan

memiliki kewenangan yang cukup besar dalam mengambil keputusan. Dalam

hal ini peran daerah lebih besar daripada peran pemerintah pusat. Pemerintah

pusat hanya memainkan peranan sebagai fasilitator dan dinamisator. Sementara

pemerintah daerah, baik propinsi, kabupaten dan kota, menjadi perencana,

pelaksana, dan pengendali program pembangunan masing-masing.

Untuk mewujudkan pemerintahan yang baik atau good governance

diperlukan reformasi kelembagaan (institutional reform) dan reformasi

manajemen publik (public management reform). Reformasi kelembagaan

menyangkut pembenahan seluruh alat-alat pemerintahan di daerah, baik

struktur maupun infrastrukturnya.

Reformasi manajemen sektor publik terkait dengan perlunya digunakan

model manajemen pemerintahan yang baru yang sesuai dengan tuntutan

perkembangan zaman, misalnya new public management yang berfokus pada

manajemen sektor publik yang berorientasi pada kinerja, bukan berorientasi

pada kebijakan. Penggunaan paradigma new public management tersebut

menimbulkan beberapa konsekuensi bagi pemerintah. Di antaranya perubahan

(40)

24

(traditional budget) menjadi penganggaran berbasis kinerja (performance

budget), tuntutan untuk melakukan efisiensi, pemangkasan biaya (cost cutting),

dan kompetensi tender (compulsory competitive tendering contract).

Adanya kebijakan ini memberikan kewenangan yang luas kepada

daerah otonom yang meliputi seluruh bidang pemerintahan. Secara lebih detail,

UU No.22/ 1999 yang kemudian dilanjutkan dengan UU No.32/ 2004 dengan

beberapa revisi, telah melakukan perubahan signifikan dibandingkan dengan

sistem yang digunakan di masa orde baru.

Pertama, semangat otonomi daerah yang lebih besar ini dimulai dengan

perubahan simbolisasi pada nama daerah otonom. Istilah tingkatan daerah

otonom (Dati I dan Dati II) dihapuskan, dan diganti dengan istilah yang lebih

netral, yaitu propinsi, kabupaten dan kota. Hal ini didasari semangat untuk

menghindari citra bahwa tingkatan lebih tinggi (Dati I) secara hierarkis lebih

berkuasa daripada tingkatan lebih rendah (Dati II). Padahal keduanya merupakan

badan hukum yang terpisah dan sejajar serta mempunyai kewenangan berbeda.

Kedua, UU No.22/ 1999 memperpendek jangkauan asas dekonsentrasi

yang dibatasi hanya sampai pemerintahan propinsi. Pemerintahan kabupaten dan

kota telah terbebas dari intervensi pusat yang sangat kuat melalui perangkapan

jabatan kepala daerah otonom (local self-government) dan kepala wilayah

administratif (field administration). Bupati dan walikota adalah kepada daerah

otonom saja. Sementara itu jabatan kepala wilayah pada kabupaten dan kota

(41)

25

Ketiga, Bupati dan walikota dipilih secara mandiri di daerah tanpa

melibatkan pemerintah propinsi maupun pemerintah pusat. Dalam UU No.22/

1999, kepala daerah dipilih oleh DPRD. Oleh karena itu, bupati/ walikota harus

bertanggung jawab kepada DPRD dan juga dapat diberhentikan oleh DPRD

sebelum masa jabatannya usai. Sementara itu, pemerintah pusat (presiden) hanya

diberi kekuasaan untuk ‗memberhentikan sementara‘ seorang bupati/ walikota

jika dianggap membahayakan integrasi nasional. Pada tahun 2004,

diperkenalkan pilkada langsung dimana kepala daerah dipilih secara langsung

oleh rakyat dari para pasangan calon yang diajukan oleh partai politik.

Perubahan ke arah pendalaman demokrasi ini terus berkembang. UU No.32/

2004 ini kemudian direvisi di tahun 2008 dengan memberikan kesempatan

kepada calon perseorangan untuk berkompetisi dalam pilkada langsung.

Keempat, UU No.22/ 1999 yang kemudian dilanjutkan oleh UU No.32/

2004 menghapuskan posisi wilayah administratif (field administration) pada

level daerah kabupaten dan daerah kota. Integrated prefectoral system yang

sentralistis yang digunakan UU No.5/ 1974 diubah menjadi functional system,

dan bukan sekedar unintegrated prefectoral system yang dikenal pada UU No.1/

1957.

Kelima, Undang-undang tersebut menempatkan pemerintahan

kecamatan dan kelurahan sebagai perangkat daerah otonom, yaitu daerah

kabupaten dan daerah kota. Dengan kata lain, pemerintahan kecamatan

menempati posisi sebagai kepanjangan tangan pemerintahan daerah otonom

(42)

26

Keenam, Undang-undang ini memberikan kewenangan yang lebih luas

kepada daerah otonom yang meliputi seluruh bidang pemerintahan kecuali

politik luar negeri, hankam, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta

‗kewenangan bidang lain‘. Hanya saja, definisi ‗kewenangan bidang lain‘ ini

ternyata masih sangat luas, sebab mencakup perencanaan dan pengendalian

pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem

administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan

pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta

teknologi tinggi strategis, konservasi dan standarisasi nasional.

C.Struktur Keuangan di Era Otonomi Daerah

1. Struktur Keuangan Daerah menurut UU No.25/ 1999 dan UU No.33/

2004

Tujuan pokok UU No.25/ 1999 adalah upaya memberdayakan dan

meningkatkan kemampuan perekonomian daerah, menciptakan sistem

pembiayaan daerah yang adil, proporsional, rasional, transparan, partisipatif,

bertanggung jawab dan pasti, serta mewujudkan sistem perimbangan

keuangan yang baik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Namun dalam penerapannya, UU No.25/ 1999 menimbulkan

berbagai masalah di daerah. Pertama, mengenai kemampuan keuangan atau

kapasitas/ potensi fiskal daerah. Masalah kedua adalah mengenai tingkat

efektifitas dan efisiensi dari PAD maupun yang diterima dari pemerintah

(43)

27

Dengan keluarnya UU No.25/1999, struktur keuangan daerah

mengalami perubahan, yakni sumber baru yang penting adalah dana

perimbangan dari pemerintah pusat. Faktor yang digunakan dalam

menentukan besarnya bantuan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah

mencakup beberapa perumusan yang berkaitan dengan berbagai faktor

seperti upaya pajak (tax effort). Setelah diketahui upaya pajak dari suatu

daerah, maka kemudian dapat dilihat pelaksanaan pajak (tax performance)

dari suatu daerah.

Pajak dalam berbagai unit tingkat pemerintahan baik negara maupun

daerah menggambarkan sebuah konsep mengenai kapasitas wajib pajak

(taxable capacity). Untuk menyediakan kebutuhan barang dan jasa publik

pemerintah daerah sangat membutuhkan dana, dan oleh karena pemerintah

daerah juga memiliki kebutuhan fiskal (fiscal need) yang digunakan untuk

membiayai penyediaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana sosial

ekonomi. Oleh karena itu transfer dana dan pengeluaran yang dilakukan oleh

pemerintah daerah tersebut harus memberikan dampak pemerataan

(equalization effect).

Perbandingan yang dilakukan terhadap tax ratio memberikan

beberapa indikasi adanya nilai-nilai relatif pajak pada suatu daerah. Dengan

mengetahui tax performance dalam hal ini dengan mengetahui tax effort

akan dapat diketahui daerah yang memiliki kemungkinan lebih besar

hasilnya bila dilakukan pemungutan pajak, atau disebut juga yang memiliki

(44)

28

Sementara itu, keuangan daerah juga mengalami beberapa

perubahan. Melalui UU No.25/ 1999 dan UU No.33/ 2004, secara makro

sumber-sumber keuangan daerah diperbesar, sejalan dengan

dikembangkannya prinsip perimbangan. Jumlah alokasi transfer keuangan ke

daerah terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Tabel berikut

menunjukkan peningkatan alokasi transfer pusat ke daerah selama era

desentralisasi.

Sumber: Dirjen Perimbangan Keuangan, Departemen Keuangan RI; 2007.

Gambar 2.1. Tren Alokasi Transfer Pusat ke Daerah (Tahun 2001-2008)

8

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

REALISASI APBN APBN-P APBN

TREN TRANSFER KE DAERAH

(DANA PERIMBANGAN, DANA OTSUS DAN PENYESUAIAN)

TAHUN 2001-2008

DANA PERIMBANGAN OTSUS DAN PENYESUAIAN

2001 2002 2003 2004 2005 2006

DANA DESENTRALI

SASI

81,1 98,1 120,3 129,7 150,5 226,2 254,2 281,2

% dari thn

sebelumnya - 21,1% 22,6% 7,8% 16,0% 50,3% 12,4% 10,6%

APBN 2008

REALISASI APBN APBN-P

2007

(45)

29

Ada sejumlah studi yang telah dilakukan mengenai besarnya dana

yang akan disalurkan dari pusat ke daerah akibat penerapan UU No.25/ 1999,

diantaranya dari Bappenas. Didasarkan pada sejumlah asumsinya, hasil studi

tersebut menunjukkan bahwa penerimaan propinsi secara total meningkat

sebesar 17 persen. Ada juga studi lanilla yang merupakan suatu kajian dari

Yayasan Indonesia Forum tahun 2000, menemukan dampak diberlakukannya

UU No.25/ 1999, yaitu:

1. Umumnya peranan pendapatan asli daerah (PAD) di propinsi yang diteliti,

dalam pembiayaan pembangunan ekonomi (APBD) tidak terlalu besar. Ini

mencerminkan tingginya tingkat ketergantungan financial daerah terhadap

pemerintah pusat.

2. Adanya korelasi positif antara daerah yang kaya sumber daya alam (SDA)

dan/ atau sumber daya manusia (SDM) dalam peranan PAD pada APBD.

3. Pada tahun 1998/ 1999 sebagian besar daerah yang diteliti mengalami

penurunan PAD di dalam pembentukan APBD-nya dikarenakan adanya

krisis ekonomi.

Salah satu komponen pendapatan daerah yang diharapkan menjadi

sumber utama keuangan daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah

PAD. Di antara kelima sumber utama PAD yang ada, pajak daerah dan

retribusi menjadi sumber andalan PAD. Sedangkan pajak pendapatan, pajak

nilai tambah dan pajak barang mewah merupakan tiga jenis pajak yang paling

(46)

30

Pengelolaan keuangan daerah harus transparan yang dimulai dari

proses perencanaan, penyusunan, dan pelaksanaan anggaran daerah. Selain

itu, akuntabilitas dalam pertanggungjawaban publik juga diperlukan, dalam

arti bahwa proses penganggaran mulai dari perencanaan, penyusunan, dan

pelaksanaan harus benar-benar dapat dilaporkan dan dipertanggungjawabkan

kepada DPRD dan masyarakat. Kemudian, value for money yang berarti

diterapkannya tiga prinsip dalam proses penganggaran yaitu ekonomi,

efisiensi dan efektivitas.

Dengan adanya penerapan prinsip-prinsip tersebut, maka akan

menghasilkan pengelolaan keuangan daerah (yang tertuang dalam APBD)

yang benar-benar mencerminkan kepentingan dan pengharapan masyarakat

daerah setempat secara ekonomis, efisien, efektif, transparan, dan

bertanggung jawab. Sehingga nantinya akan melahirkan kemajuan daerah dan

kesejahteraan masyarakat.

2. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

Anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) adalah gambaran

dari kebijakan pemerintah daerah yang dinyatakan dalam ukuran uang, yang

meliputi kebijakan pengeluaran maupun penerimaan pemerintah daerah, serta

realisasi anggaran tahun yang lalu. Sementara itu, pengertian APBD yang

dimuat dalam Kepmendagri No.29/ 2002, adalah suatu rencana keuangan

(47)

31

APBD memiliki tiga fungsi bila dilihat dari perspektif administrasi

negara, yaitu [1] sebagai pedoman bagi pemerintah daerah dalam mengelola

daerah, terutama keuangan daerah untuk satu periode di masa yang akan

datang, [2] sebagai instrumen pengawasan pelaksanaan pemerintahan dan

pembangunan daerah, dan [3] sebagai instrumen untuk menilai kinerja

pemerintah. Sedangkan fungsi APBD dalam pendekatan ekonomi yaitu

sebagai berikut:

a. Fungsi alokasi; kegiatan penyusunan anggaran merupakan sarana

penyediaan barang dan jasa sosial dalam rangka pemenuhan pelayanan

publik.

b. Fungsi distribusi; penyusunan anggaran merupakan mekanisme pembagian

secara merata dan berkeadilan atas berbagai sumber daya dan

pemanfaatannya.

c. Fungsi stabilisasi; pajak dan pengeluaran akan mempengaruhi permintaan

agregat dan kegiatan ekonomi secara keseluruhan.

Dalam penyusunan APBD, ada beberapa prinsip dasar yang harus

diakomodir yaitu:

a. Transparan; APBD yang baik hendaknya dapat memberikan informasi

tentang tujuan, sasaran, hasil, dan manfaat yang diperoleh masyarakat dari

suatu kegiatan atau proyek yang dianggarkan.

b. Partisipatif; Masyarakat harus dilibatkan dalam setiap proses

penganggaran, demi menjamin adanya kesesuaian antara kebutuhan dan

(48)

32

c. Disiplin; Penyusunan APBD harusnya berorientasi pada kebutuhan

masyarakat, tanpa harus meninggalkan keseimbangan antara pembiayaan

penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan masyarakat.

d. Keadilan; Pembiayaan pemerintah daerah dilakukan melalui mekanisme

pajak dan retribusi yang dibebankan oleh segenap lapisan masyarakat.

e. Efisiensi dan efektivitas; Penggunaan dana yang tersedia harus

dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk meningkatkan pelayanan publik dan

kesejahteraan masyarakat.

f. Rasional dan terukur; Jumlah pendapatan merupakan perkiraan yang

terukur secara rasional yang dapat dicapai untuk setiap sumber

pendapatan, dan jumlah belanja yang dianggarkan merupakan batas

tertinggi untuk setiap jenis belanja.

Dalam penyusunan dan penetapan APBD, ada empat aspek penting

yang perlu diperhatikan yaitu:

a. Aspek perencanaan, karena melibatkan pembuatan keputusan politik yang

memiliki dampak pada masa yang akan datang.

b. Aspek politik, karena perumusan dan penetapan anggaran merupakan

proses politik yang memuat mekanisme kolektif untuk menentukan

pengambilan keputusan tentang ―siapa yang akan memperoleh apa‖ dan

―siapa yang akan menanggung bebannya‖.

c. Aspek ekonomi, karena perumusan dan penetapan anggaran merupakan

proses ekonomi dimana alokasi sumber daya merupakan fungsi ekonomi

(49)

33

d. Aspek akuntansi, karena perumusan dan penetapan anggaran merupakan

proses akuntansi dimana informasi tentang pengeluaran dan penerimaan

disusun berdasarkan item penerimaan dan pengeluaran anggaran.

Sedangkan format APBD disusun bertolak belakang dari prinsip

anggaran defisit. Metodenya adalah metode performance budget (anggaran

kinerja), dengan titik tekan pada output. Bentuk struktur APBD dapat dilihat

seperti dibawah ini:

Tabel 2.1

Struktur APBD Propinsi/ Kabupaten/ Kota Pendekatan Kinerja

1. Pendapatan Asli Daerah

a. Pajak Daerah

b. Retribusi Daerah

c. Bagian Laba Usaha Daerah

d. Lain-lain Pendapatan Asli

Daerah

2. Dana Perimbangan

a. Bagi Hasil Pajak & Bukan

Pajak

b. Dana Alokasi Umum

c. Dana Alokasi Khusus

d. Dana Perimbangan dari

Propinsi

3. Lain-lain Pendapatan yang Sah

(50)

34

II. Belanja

A. A. Belanja Aparatur Daerah

B. 1. Belanja Administrasi Umum

a. Belanja Pegawai/ Personalia

b. Belanja Barang dan Jasa

c. Belanja Perjalanan Dinas

d. Belanja Pemeliharaan

1. 2. Belanja Operasi dan Pemeliharaan

a. Belanja Pegawai/ Personalia

b. Belanja Barang dan Jasa

c. Belanja Perjalanan Dinas

d. Belanja Pemeliharaan

2. 3. Belanja Modal/ Pembangunan

Total Belanja Aparatur Daerah

C. B. Pelayanan Publik

1. 1. Belanja Administrasi Umum

a. Belanja Pegawai/ Personalia

b. Belanja Barang dan Jasa

c. Belanja Perjalanan Dinas

d. Belanja Pemeliharaan

2. 2. Belanja Operasi dan Pemeliharaan

a. Belanja Pegawai/ Personalia

b. Belanja Barang dan Jasa

c. Belanja Perjalanan Dinas

d. Belanja Pemeliharaan

3. 3. Belanja Modal/ Pembangunan

Total Belanja Pelayanan Publik

D. Belanja Bagi Hasil & Bantuan

Keuangan

(51)

35

a. Sisa lebih perhitungan anggaran

tahun lalu

b. Transfer dari Dana Cadangan

c. Penerimaan dan Obligasi

d. Hasil Penjualan Aset Daerah yang

dipisahkan

Jumlah Total Penerimaan

2. Pengeluaran Daerah

a. Transfer ke Dana Cadangan

b. Penyertaan Modal

c. Pembayaran Utang Pokok yang

jatuh tempo

d. Sisa lebih perhitungan anggaran

tahun sekarang

Jumlah Total Pengeluaran

Jumlah Pembiayaan

Sumber: Panduan Praktis Mengontrol APBD; 2005.

Dari format di atas dapat dilihat bahwa belanja dapat dibagi dua,

yaitu belanja aparatur dan belanja publik. Belanja aparatur adalah setiap

bentuk belanja pemerintah daerah untuk membiayai kegiatan yang hasil,

manfaat, dan dampaknya tidak secara langsung dinikmati oleh masyarakat

(publik). Sedangkan belanja publik adalah setiap bentuk belanja

Gambar

Gambar 1.1. Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi di Propinsi Jawa
Gambar 2.1. Tren Alokasi Transfer Pusat ke Daerah (Tahun 2001-2008)
Tabel 2.1 Struktur APBD Propinsi/ Kabupaten/ Kota
Tabel 2.2 Penelitian Terdahulu
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil uji eksistensi (uji F) menunjukkan bahwa model yang digunakan eksis yang artinya secara serempak variabel jumlah penduduk, Pendapatan Asli Daerah dan

Tujuan dari penelitian ini untuk menganalisis pengaruh pendapatan asli daerah, jumlah penduduk, inflasi, dan tenaga kerja dalam jangka pendek dan jangka panjang

Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan diatas, maka tujuan penelitian ini untuk menganalisis seberapa besar pengaruh jumlah penduduk, pendapatan asli

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh pendapatan perkapita, jumlah perusahaan dan jumlah penduduk terhadap penerimaan pendapatan asli daerah di kabupaten

Pemerintah, dan pengaruh Jumlah Penduduk terhadap penerimaan Pendapatan Asli. Daerah (PAD) kota Pariaman

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Sisa Lebih

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Sisa Lebih

Dari hasil uji eksistensi (uji F) menunjukkan bahwa model yang digunakan eksis yang artinya secara serempak variabel jumlah penduduk, Pendapatan Asli Daerah dan