• Tidak ada hasil yang ditemukan

3.1 Proses Perdamaian Menuju Demokratisasi Pasca MoU di Aceh

Tiga tahun lalu di Helsinki, Finlandia, para wakil pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merderka (GAM) menorehkan sejarah dengan menyepakati sebuah nota kesepahaman (MoU) untuk mengakhiri konflik politik bersenjata di Aceh dan semua masyarakat Aceh menyambut lega. Masyarakat Aceh bersyukur karena akhirnya konflik yang sudah berlangsung lama itu segera diredakan dengan langkah damai. Dan selanjutnya menjadi tugas bersama untuk mewujudkan program-program perdamaian secara bertanggung jawab dan efektif. Hal ini di tegaskan oleh Hermanto Hasan beliau menggungkapkan bahwa :

“usia perdamaian Aceh memang telah ,memasuki tahun ke 3 namun masih banyak tantangan dan hambatan yang membentang didepan, karena perlu disadari bahwa sukses atau gagalnya perdamaian di Aceh sangat tergantung pada tiga hal yaitu kondisi sejarah yang lahir dan mengisi proses perdamaian, kondisi-kondisi politik yang menyertainya serta komitmen dan keikhlasan para pihak terhadap MOU Helsinki atau perdamaian berkelanjutan yang bermartabat bagi semua pihak”.34

Konflik Aceh merupakan konflik politik yang turut mengandalakan kekuatan militer kedua pihak, karakter konflik ini adalah adanya kekuatan bersenjata yang membawa tujuan-tujuan politik yang fundamental. GAM yang pada saat itu ingin memerdekakan Aceh dari Indonesia turut mengunakan kekuatan senjata untuk melawan Indonesia disamping diplomasi dan pemerintah indonesiapun mengandalkan kekuatan militer untuk merespon deklarasi Aceh merdeka.

34

Wawancara Hermanto Hasan, Program Manager Aceh People Forum di Kantor APF Lamguogop, 27 maret 2008

Namun dalam konteks kesepahaman MoU Helsinki GAM lebih mengarahkan dirinya untuk mewujudkan hak-hak ekonomi, politik, social dan budaya rakyat Aceh yang mengalami marginalisasi oleh Indonesia tanpa membicarakan lagi kemerdekaan Aceh dari Indonesia. Karena dalam hal ini Aceh membara mencari kedaulatan dan keadilan. Penjelasan ini diperkuat oleh Zufri Zainuddin :

“ya,bahwasanya, perang yang terjadi di Aceh cukup jelas gambarannya, karena di Aceh pernah ada kedaulatan politik, dan secara factual ada keadilan yang tertindas.untuk proses perdamaian di Aceh perlu keadilan yang ditegakkkan dengan menghilangkan praktik impuinitas dalam kasus pelanggaran HAM dimasa lalu hingga sekarang, tanpa pengadilan bagi korban bisa menjadi mimpi buruk bagi Aceh, bahkan dendam tetap tegar dalam memori kolektif masyarakat Aceh, sekali lagi, mentransformasikan MoU kedalam UUPA secara benar menjadi kunci perdamaian berkelanjutan”.35

Kelanjutan proses perdamaian di Aceh juga ditentukan oleh kondisi- kondisi social politik yang menyertainya. Kondisi ini berupa adanya jaminan terhadap kebebasan politik bagi rakyat Aceh untuk menyuarakan pendapatnya. Kebebasan untuk mengorganisasikan dirinya dalam lembaga-lembaga social dan politik yang bisa memperkaya ruang infrastrutur politik di Aceh. Ada 4 poin yang dilakukan oleh sejumlah LSM/NGO dan BRR yang merupakan lembaga-lembaga social yang terbentuk dari terbukanya ruang demokrasi dai Aceh pasca MOU tersebut yaitu : (1). Disarmament yaitu penarikan senjata dari PIhak GAM (2).

Demobilization yaitu penarikan tentara dari Aceh baik tentara darurat militer

maupun darurat sipil oleh pemerintah RI, (3). Reintegration yaitu penyatuan kembali masyarakat Aceh yang terpisah-pisah ideologi dalam bingkai NKRI atau mengreintegrasikan kembalai masyarakat akibat konflik terjadi. (4). Rehabilitasi

35

yaitu membangun kembali infrastruktur dan suprastruktur di Aceh baik itu dari segi ekonomi, politik dan social budaya. Hal ini diungkapkan oleh Tarmizi yaitu :

“dalam proses membangun perdamaian menuju demokratisasi ada dua tahap yang harus ditempuh oleh sejumlah NGO yang berada di Aceh yaitu tahap jangka pendek dan jangka panjang. Jangka pendek yaitu pemusnahan senjata dan penarikan tentara Indonesia yang berlangsung Tahun 2006 lalu, kemudian jangka panjang yaitu pengreintegrasian masyarakat Aceh dan rehabilitasi mungkin ini akan memakan waktu 10 atau 15 tahun mendatang. Sebelum ini smua terealisasikan demokrasi yang dicita-citakan masyarakat Aceh belum dapat dikatakan sempurna”.36

Dalam proses yang panjang pasca perdamaian yang tertuang dalam nota kesepahaman MOU Helsinki menuju demokratisasi di Aceh yaitu menumbuhkan ideologi nasionalis masyarakat Aceh akibat kesenjangan konflik yang dilakukan sejumlah NGO lokal maupun asing dan lembaga Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) di Aceh untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat Aceh terhadap NKRI. Proses tersebut sangat mempengaruhi demokratisasi yang ingin dibangun oleh sejumlah elemen-elemen masyarakat. Dan adapun beberapa proses tersebut yaitu sebagi berikut :

3.1.1 Disarmament

Disarmament adalah penarikan senjata dari Gerakan Aceh Merdeka

(GAM) oleh Misi Pemantau Aceh atau Aceh Monitoring Mission (AMM). Dalam situasi damai, senjata memang tidak diperlukan lagi. Ia hanya dibutuhkan pada saat perang untuk menghadapi musuh, dan begitulah dengan GAM yang kemudian merelakan senjata-senjata yang dimilkinya di gergaji dan dimusnahkan karena memang situasinya sudah damai.

36

Kerelaan GAM untuk dimusnahkan senjatanya menjadi suatu indikasi dalam implementasi MOU yaitu dalam jangka waktu yang telah ditentukan dan disepakati sesegera mungkin untuk GAM menyerahkan senjata yang dimilikinya kepada AMM yang berada di Nanggroe Aceh Darussalam pada saat proses perdamaian baru berlangsung yaitu tahun 2005. berdasarkan hasil kesepakatan perjanjian Helsinki, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) harus menyerahkan 840 pucuk senjata dengan dilakukan secara bertahap yaitu tahap pertama September 2005 GAM menyerahkan 243 pucuk senjata, tahap kedua oktober 2005, 233 pucuk senjata yang diserahkan, kemudia tahap ketiga November 2005, 222 pucuk senjata dan tahap keempat yang terakhir GAM menyerahkan 142 pucuk senjata.37

Menyangkut penyerahan senjata ini merupakan bukti proses perdamaian yang ingin diciptakan oleh semua pihak di Aceh. Melalui penyerahan senjata ini diharapkan konflik yang pernah terjadi di Aceh tidak akan terulang kembali, sudah cukup rasanya penderitaan yang dialami masyarakat aceh saat itu yang merasakan kehilangan materi maupun immateri. Hal ini diungkapkan oleh Zufri Zainuddin :

“penyerahan senjata yang dilakukan GAM saat itu bukanlah suatu momentum yang membawa perdamaian seutuhnya di Bumi Serambi mekkah ini, kita tidak ingin takabur tapi berharap agar konflik tidak akan muncul kembali seiring dengan pelucutan senjata tersebut. Tapi konteks damai seutuhnya yang ingin diwujudkan adalah proses penyatuan masyarakat Aceh yang telah terpecah-pecah saat konflik terjadi, kalo hal ini belum dapat terealisasikan Disarmamen, dan demobilization yang telah terlaksanakan pada jtahap janggka pendek 2 tahun yang lalu merupakan isapan jempol belaka”.38

Dengan demikian proses penyerahan senjata yang dilakukan oleh Gam adalah untuk menjalankan perdamaian yang telah disepakati sesuai dengan butir

37

Aceh Magazine edisi III Februari 2006

38

MOU sehingga tidak adalagi penyalah gunaan senjata yang mengakibatkan terjadinya perselisihan antara GAM dan RI.

3.1.2 Demobilization

Demobilization yaitu penarikan personil tentara baik TNI/POLRI non

organik dari Aceh oleh pusat atau pemerintah RI. Ini merupakan fase kritis dan tersulit yang berhasil dilalui. Pihak TNI menarik 5.369 pasukan, POLRI menarik 1.300 POLRI non organic dari Aceh.39 Meskipun pihak GAM tidak menyerahkan daftar 3.000 mantan anggota Teuntra Neugara Aceh (TNA) Pemerintah Republik Indonesia tetap menarik personil tentaranya.

Sebelumnya hal ini sempat menjadi perdebatan antara GAM dan AMM namun semua dapat terselesaikan dengan mengingat perjanjian yang telah disepakati agar terealisasikan sesuai waktu yang telah ditentukan. Penarikan tentara oleh RI telah membawa efek positive terhadap masyarakat sipil yang sebelumnya sempat kawatir dengan perjajian yang berlangsung takut, akan kejadian pada saat perjajian pertama gagal dicapai.

Maka dalam rangka mempertahankan keberlangsungan MoU yang telah disepakati tahap demi tahap pun sesegera mungkin direalisasikan agar mengurangi terjadinya pertumpahan darah seperti pada tahun-tahun sebelumnya.

3.1.3 Reintegration

Tercapainya perdamaian antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh merdeka pada Agustus 2005 adalah sebuah prestasi besar tidak hanya untuk perdamaian antara gerakan separatis dengan pemerintah, akan tetapi

39

juga bagi masyarakat Aceh dan bangsa Indonesia secara keseluruhan, dan bahkan lebih dari itu, untuk perdamaian dan keamanan kawasan.

Jalan yang ditempuh menuju perdamaian Aceh sesungguhnya relatif cukup panjang, memakan waktu, menguras tenaga dan pikiran, dan melibatkan aktor yang relatif banyak baik pada tingkat lokal, nasional dan bahkan international. Dalam waktu yang cukup singkat kesepakatan Helsinki telah menunjukkan bukti- bukti awal yang menggembirakan. Jumlah korban dan pelanggaran dilapangan menurun drastis. Kehadiran AMM pada bulan-bulan pasca MoU telah mempercepat proses penyerahan senjata GAM, hal yang sama juga berlaku dalam hal penarikan pasukan keamanan dan pertahanan pemerintah.

Kemajuan lain yang telah dicapai adalah berlangsungnya proses demokrasi yang diamanahkan oleh kesepakatan Helsinki, yakni Pilkada yang memilih Bupati/Waliokota di 18 Kabupaten/Kota dan Gubernur untuk pemerintah Propinsi. Dengan segala kelebihan dan kekurangan Pilkada Aceh 2006 lalu telah berhasil memilih para pemimpin Aceh secara langsung, dalam suasana yang relatif bersih dan damai. Pilkada juga telah mengakomodir calon Independen yang pada umumnya adalah mantan aktivis dan pejuang Gerakan Aceh Merdeka, baik untuk pemimpin Aceh tinggkat dua maupun tingkat satu. Hal ini telah menunjukkan bahwa sesuatu yang tidak pernah terbayangkan dalam masa-masa sebelumnya, setelah perdamaian telah dapat diterima sebagai sebuah kenyataan.

Hal lain yang juga merupakan amanat kesepakan Helsinki dalam proses menuju perdamaian adalah proses reintegrasi, yang secara formal ditangani oleh Badan Reintegrasi Damai Aceh (BRDA). Secara lebih khusus proses reintegrasi yang ditangani oleh BRDA lebih ditujukan kepada keluarga korban, mantan

kombatan, dan masyarakat korban konflik.proses reintegrasi memang telah dimulai namun tantangan yang akan dilalui masih sangat banyak dan berat, akan tetapi ukuran keberhasilan proses damai di Aceh akan sangat bergantung kepada seberapa cepat tuntasnya proses reintegrasi ditangani.40

Reintegrasi yang berlangsung di Aceh pasca MoU adalah suatu proses penyatuan masyarakat yang sempat ingin melepaskan diri dari NKRI namun upaya yang ditempuh melalui jalan perundingan damai di Helsinki mampu mengintegrasikan kembali wilayah Aceh tersebut ke pangkuan ibu pertiwi. Meskipun masih panjang jalan yang ditempuh dalam mengintegrasikan masyarakat Aceh terlepas dari semua itu diharapkan proses reintegrasi ini akan berlangsung sesuai yang diharapkan sehingga menciptakan suatu perdamain yang dicita-citakan.

3.1.4 Rehabilitasi

Proses rehabilitasi pasca konflik dan Tsunami adalah upaya pemulihan berbagai struktur dalam masyarakat dan merupakan sesuatu yang harus dan menjadi tanggung jawab semua pihak baik nasional maupun international. Menjaga dan mengontrol pembangunan fisik serta melestarikan perdamaian abadi di Aceh adalah wujud cita-cita yang harus diciptakan di aceh hari ini.

Hal yang perlu dilakukan untuk pemulihan berbagai struktur di Aceh adalah dengan cara para pemimpin Aceh harus menggalang persatuan yang baik sehingga tidak ada kesan sedikitpun berpilah-pilah dalam menyelesaikan pemulihan Aceh kembali. Dan adapun berbagai struktur yang akan diras perlu untuk dilakukan rehabilitasi adalah struktur perekonomian rakyat yang ingin

40

menciptakan perekonomian yang mandiri, tata kelola pemerintah yang terbebas dari korupsi, penegakan HAM harus bebar-benar terealisasikan dalam bentuk nyata baik kasus masa lalu maupun yang baru-baru terjadi, serta struktur politik masyarkat.

3.2 Peranan Aceh People Forum (APF) Dalam Demokrasi di Aceh

Berbagai persoalan terjadi di aceh hingga sampai pada puncaknya yaitu perdamaian yang telah lama diharapkanpun terwujud, ruang demokrasi mulai dibuka luas hal ini dapat kita lihat dengan banyaknya LSM/NGO yang tumbuh di Aceh. Ini merupakan suatu transisi menuju Aceh yang memiliki kebebasan dalam berekpresi untuk membangun organisasi-organisasi masyarakat sipil ditengah menyelesaikan persoalan yang dihadapi rakyat Aceh. Untuk itu sejumlah NGO lokal melancarkan visi nya dalam rehabilitasi Aceh pasca konflik dan tsunami walaupun kebanyakan sejumlah NGO lokal lebih kepada penanganan korban bencana, namun Aceh People Forum memiliki peranan yang lain yaitu menjalankan visinya untuk membangun demokrasi di Aceh dengan beberapa peranan tersebut hingga mampu menciptakan masyarakat aceh yang mandiri, demokratis secara ekonomi dan politik.

Dari hasil penelitian yang peneliti lakukan dilapangan ada beberapa peranan APF dalam terkait membangun demokrasi diAceh yaitu APF Dalam menjalankan peranannya membangun demokrasi di Aceh pasca penandatanganan nota kesepahaman MoU Helsinki, disini APF berperan sebagai katalisator,

Mediator, Transformator, evaluator dan inisiator. Dimana saat berperan sebagai katalisator APF sebagai pendamping bertindak mempercepat proses sosialisasi

Sebagai mediator APF sebagai pendamping berperan sebagai perantara dan penghubung anatara pihak-pihak yang berkonflik atau antara masyarakat yang didampinginya dengan pihak pemerintah atau politisi karena salah satunya perananan pendamping itu adalah sebagai perantara antara kepentingan, masalah dan mencari jalan keluar dari permasalahan yang timbul dan dihadapi dalam masyarakat. Peranan sebagai transformator adalah APF merupakan motor penggerak untuk menyampaikan sesuatu yang ada dalam masyarakat. Dan peranan sebagai evaluator APF harus mampu melakukan evaluasi tehadap perencanaan kegiatan dari kelompok-kelompok. Dan temuan dari hasil evaluasi tersebut akan menjadi dasar perencanaan kegiatan berikutnya atau memeprbaiki cara kerja yang sedang dilakukan bersama. Dan peranan sebagai inisiator ini merupakan peranan yang bisa memikirkan sesuatu atau inisiatif yang belum ditemukan oleh masyarakat dan inisiatif ini tidak bertentangan dengan kaidah masyarakat dan jika memilki pemikiran yang baru APF sebagai pendamping harus memilki cara agar dapat diterima oleh masyarakat.

Adapun beberapa peranan APF dalam hal tersebut adalah sebagai berikut yaitu :

3.2.1 Membangun Partisipasi Masyarakat Sipil

Hancurnya system demokrasi sebuah negara adalah dimana saat seluruh komponen rakyat hidup dalam ketakutan dan baying-bayang rezim militeristik. Tidak ada gebebasan berekspresi dan tertutupnya ruang gerak mereka dalam mengemukakan pendapat politiknya. Dalam kondisi demikian APF tidak akan melepasakan begitu saja kesempatan berdemokrasi tanpa melakukan tindakan politik di Aceh, mengingat masyarakat Aceh yang trauma akibat konflik dan

kemudian tsunami menjadi semakin apatis terhadap kesempatan berdemokrasi mereka.

Sebelum tanggal 26 Desember 2004 akses dalam membantu masalah yang dihadapi masyarakat Aceh oleh pihak luar baik NGO asing, Nasional maupun lokal sangat dibatasi oleh serangkaian peraturan pemerintah dan operasi militer. Hal ini terutama disebabkan karena situasi konflik yang berkepanjangan antara Pemerintah RI dan GAM. Pada situasi saat itu pengembangan gerakan masyarakat sipil di Aceh amat terbatas. Kebanyakan organisasi masyarakat sipil di aceh dapat digambarkan sebagai aktor-aktor alternative dan independen yang bekerja untuk isu HAM, hukum dan keadilan. Sehingga kebanyakan masyarakat sipil di Aceh malas berpolitik mereka lebih sering menghabiskan waktu dengan duduk di warung kopi dan membicarakan hal-hal yang berbaur politik dengan seadanya yang mereka ketahui saja, tidak ada sebuah wadah atau lembaga yang bisa menampung aspirasi mereka untuk berpendapat.

Mengingat hal yang memprihatinkan tersebut Maka APF sebagai Organisasi masyarkat menjalankan peranannya dalam memberikan pendidikan politik terhadap masyarakat Aceh dalam bentuk training dan workshop-workshop dengan bekerja sama dengan berbagai NGO-NGO asing dan nasional seperti Aceh

Development Found dan Yayasan Persahabatan Indonesi Kanada (YAPPIKA)

pelatihan yang diberikan adalah berupa bantuan teknis dan pendampingan secara terus menerus dalam memberdayakan dan peningkatan peran masyarakat untuk mengembangkan partisipasi publik yang inklusif, mempengaruhi kebijakan dan peningkatan keterampilan masyarakat dalam bidang analisis kebijakan misalnya

dapat, membangun kepercayaan diri dan kemampuan mereka untuk berpartisipasi secara aktif dalam proses penyusunan kebijakan.

3.2.2 Membangun Lembaga Mitra di Daerah

Aceh People Forum sebagai organisasi non pemerintah yang berperan dalam mewujudkan demokratisasi mempunyai peranan dalam membangun organisasi masyarakat sipil yang merupakan mitra kerjanya di APF dalam menjalankan kegiatan-kegiatan di daerah-daerah dan peranannya ini lebih memusatkan kepada membangun lembaga mitra di daerah.

Untuk mewujudkan lembaga mitra yang terpercaya dan mandiri diperlukan suatu sinergisasi dan sistem koordinasi yang baik, agar tidak terjadi tupang tindih dalam menjalankan kegiatan dan timbul masalah internal dalam tubuh APF sebagai lembaga trust Fond. Sebagai sebuah organisasi baru yang mempunyai fungsi membangun koordinasi dan sinergisasi organisasi lokal yang bekerja di level gras root APF yang merupakan Trust Fund melakukan support secara financial dalam pengembangan kapasitas serta melakukan pendampingan kepada lembaga mitra. Hampir tidak ada organisasi lain yang mempunyai pendekatan seperti organisasi yang sedang dibangun oleh APF sehingga trial and error kerap sekali terjadi.41

Hal demikian juga diungkapkan oleh Tarmizi selaku direktur organisasi, beliau mengungkapkan bahwa :

“tidaklah mudah membangun organisasi masyarakat sipil ditengah keheroikan yang dihadapi masyarakat pasca konflik dan tsunami namun ini merupakan pe er bagi kami (APF) untuk menyelesaikannya, banyak kendala yang dihadapi sering terjadi misalnya ini kan lembaga baru karena kurangnya referensi untuk perencanaan yang sudah dibangun

41

maka terkadang tidak konsisten dan sering berubah-berubah apa yang sudah menjadi perencanaan, dan kurangnya tenaga kerja yang professional dalam hal ini, nah kalo sudah seperti ini direkturlah dan board yang harus bekerja keras”.42

Maka dalam hal ini adapun langkah-langkah yang ditempuh APF dalam membangun lembaga mitra didaerah sebagai peranannya APF melakukan beberapa cara yaitu :43

1. Memfasilitasi penguatan kapasitas mitra dengan mengikutsertakan dalam berbagai training di banda Aceh baik diadakan lembaga IGNO dan Lembaga UN.

2. Memberikan program dalam bentuk penguatan lembaga selama tiga bulan yaitu pada tahun 2007 lalu.

3. Memberikan strategi planning APF dan Mitra.

4. Memberikan training ruang gerak, Momentum dan teritori.

5. pemberian seed fund untuk persiapan dan operasional organisasi mitra.

Dari hasil pengamatan peneliti dilapangan, yang berkaitan dengan peranan APF maka Karena APF memilih untuk memberi dukungan pada lembaga kecil, yang tidak populer yang belum mendapat support namun melakukan kerja-kerja yang sangat signifikan di dalam membantu masyarakat dan membangun komunitas di grassroot, maka sudah pasti kapasitas managemen lembaga mitra APF sangat lemah. Hal yang sama juga terjadi pada lembaga anggota Board yang terlibat dalam membentuk APF. Kelemahan tersebut akhirnya harus mempriotaskan pengunaan sumber daya untuk meningkatkan dan membenahi kapasitas organisasi mitra dan calon mitra sebagai pra syarat unyuk memberikan dukungan.

42

Wawancara Tarmizi, Loc.Cit

43

Adapun enam lembaga mitra yang tersebar di tujuh kabupaten yang dibangun oleh APF serta menjadi partner kerja dalam menyelesaikan permaslahan yang timbul dalam masyarkat Aceh adalah sebagai berikut :

1. Community For Aceh Resources And Development yang berada di

Banda Aceh dengan fokus kerja dalam menajalankan program bersama Aceh People Forum adalah merupakan wadah bagi masyarakat Aceh untuk berpartisipasi dalam mempengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah terlebih untuk pembentukan tata kelola pemerintah yang baik.

2. South West Emergency Board yang berada di Lamno Aceh Jaya

tujuan didirikannya SWEB ini adalah dalam rangka mewujudkan kemandirian rakyat demi terwujudnya masyarakat yang adil dan demokratis dikhususkan kepada masyarakat yang korban konflik dan bencana serta terpenuhinya hak asasi manusia. Dengan fokus kerja bersama APF adalah memfasilitasi masyarakat korban untuk dapat terlibat aktif dalam proses penganbilan keputusan yang berhubungan dengan rehabilitasi masyarakat korban, dan bersama dengan masyarakatmembangun kembali sendi perekonomian, pendidikan dan kodisi kesehatan yang hancur akibat gempa dan tsunami, serta memperkuat organisasi dan kelompok masyarakat korban guna mengatasi berbagai masalah yang timbul dalam masyarakat.

3. Perempuan Merdeka di Banda Aceh, dengan tujuan didirikannya adalah menciptakan perempuan yang kritis dan partisipatif dalam

memperjuangkan hak-haknya dan hak masyarakat pada umumnya. Dengan fokus kerja bersama APF adalah Pembentukan kelompok- kelompok perempuan yang berbasis masyarakat sipil dengan cara melakukan pendampingan terhadap masyarakat korban konflik dan masyarakat korban gempa dan gelombang tsunami di Aceh. Serta melakukan penguatan terhadap kelompok perempuan yang telah terbentuk dengan memberikan pendidikan, pemahaman hak-hak sipil politik dan hak-hak perempuan, meningkatkan sumber daya dan pemberdayaan ekonomi sesuai dengan kebutuhan dan masalah yang dihadapi.

4. Childrens Media Centre di Banda Aceh adalah sebuah organisasi

dimana memberikan pelayanan dan dampingan serta perubahan terhadap anak-anak yang sebelumnya cendrung kearah kekerasan karena seumur hidup mereka berada diwilayah konflik bersenjata menjadai kearah non violence action dalam kehidupan sehari-hari baik dilingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Juga memberdayakan anak-anak aceh sebagai komunitas yang mampu menjadi agent perubahan dan mempersiapkan generasi aceh yang demokratis.

5. FOSOMA atau Forum Solidaritas Masyarakat yang berada di Bireuen tujuan didirikannya adalah menciptakan kemandirian masyarakat untuk berorganisasi dan berpartisipasi dalam daerah lingkungannya. Dengan memilki fokus kerja yaitu mewujudkan hak asasi manusia,kesetaraan jender, anti kekerasan, demokratis,

sejahtera, dan berkeadilan sosial, bagi masyarakat Aceh melalui kerja sama antar komunitas ditingkat nasional, regional, dan internasional.

Dokumen terkait