• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA

B. Analisa Kasus

1. Analisa kasus terhadap putusan yakni Pasal 114 ayat jo. Pasal 112 ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yaitu:

a. Pasal 114 ayat Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika “Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar atau menyerahkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).”

Unsur-unsurnya adalah : 1. Setiap Orang

Setiap orang adalah manusia ataupun badan hukum sebagai subjek hukum yang dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum. Setiap orang adalah subjek

tindak pidana sebagai orang yang diperiksa dipersidangan identitas Terdakwa sebagaimana diuraikan dalam Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum, benar bahwa terdakwalah orang yang sehat dan jasmani dan rohani serta dapat bertanggungjawab menurut hukum.

Unsur setiap orang dapat dilihat dari adanya pelaku tindak pidana yaitu Muliadi alias Mulia pada hari Sabtu tanggal 18 April 2015, sekitar pukul 18.00 WIB, petugas kepolisian dari Polri Polresta Medan telah melakukan penangkapan terhadap terdakwa atas nama Muliadi alias Mulia di Jalan Asrama Pondok Kelapa Kelurahan Sei Sikambing C-II Kecamatan Medan Helvetia Kota Medan tepatnya di Hotel Antara II Kamar 208 dan pada saat terdakwa ditangkap dari terdakwa berhasil disita barang bukti berupa : 1 (satu) bungkus besar narkotika jenis sabu-sabu dengan berat bersih 96 (sembilan puluh enam) gram, yang dibalut dengan plastik klip bening di dalam 1 (satu) buah tas berwarna coklat dan 1 (satu) unit handphone Merk Nokia warna hitam.

Fakta hukum di persidangan yang menguatkan hal tersebut adalah berdasarkan keterangan saksi, keterangan terdakwa sendiri serta barang bukti yang terungkap di persidangan.

2. Secara Tanpa Hak Melawan Hukum

Unsur secara tanpa hak yakni bahwa terdakwa tidak mempunyai dari intansi berwenang untuk memiliki Narkotika yang dapat diijinkan memiliki untuk digunakan sabu-sabu ataupun ganja adalah pabrik obat, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan persediaan farmasi pemerintah, eksportir, importir, Lembaga

Penelitian atau Lembaga Pendidikan, apotik, Puskesmas, Balai Pengobatan, dokter dan menggunakan Narkotika dengan resep dokter.

Diketahui dari keterangan Terdakwa di persidangan, bahwa pekerjaan Terdakwa tidak ada hubungannya dengan Lembaga Pendidikan atau Lembaga Penetran, sehingga Narkotika jenis sabu-sabu yang ada pada diri Terdakwa tidak berdasarkan atas hak, bahwa dengan demikian unsur kedua ini telah terpenuhi. 3. Menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan atau menerima narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram.

Unsur ketiga dari pasal 114 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2009 Tentang Narkotika terdiri dari beberapa sub unsur, apabila salah satu sub unsur telah terpenuhi pada perbuatan terdakwa maka cukup bagi Majelis Hakim untuk menyatakan bahwa perbuatan terdakwa telah memenuhi unsur tersebut.

Dari fakta hukum yang terungkap dipersidangan yang dapat dari keterangan saksi-saksi dan keterangan terdakwa serta dihubungkan dengan adanya barang bukti, Terdakwa terbukti menjadi perantara dalam jual-beli Narkotika Golongan I yaitu 1 (satu) bungkus besar narkotika jenis sabu-sabu dengan berat bersih 96 (sembilan puluh enam) gram.

Sebelumnya saksi Marzuki menghubungi Terdakwa dan memesan Narkotika sebanyak 100 (seratus) gram, lalu terdakwa menghubungi temannya bernama Naja untuk memesan Narkotika sebanyak 100 (seratus) gram selanjutnya

Marzuki menyuruh Terdakwa untuk datang ke Jalan Gajah Mada untuk mengambil Narkotika jenis sabu-sabu tersebut, kemudian Marzuki menyuruh Terdakwa untuk mengantarkan narkotika tersebut ke Jalan Pondok Kelapa tepatnya di Hotel Antara kamar 208 lalu saat Terdakwa tiba ditempat tersebut kemudian tiba-tiba saksi Kelly Wahyudi bersama dengan team langsung melakukan penangkapan terhadap terdakwa.

Jika memperhatikan fakta-fakta yuridis yang ada tersebut diatas, maka telah diperoleh keyakinan bahwa perbuatan Terdakwa tersebut telah memenuhi unsur-unsur 114 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia tentang Narkotika yang menjadi dasar dakwaan Penuntut Umum, sehingga dengan demikian oleh karena perbuatan terdakwa telah memenuhi semua unsur dalam pasal tersebut yang didakwakan, dan disamping itu ditemukan tidak adanya alasan pembenar terhadap perbuatan Terdakwa maupun adanya alasan pemaaf terhadap diri Terdakwa, sehingga dengan demikian terhadap Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana seperti apa yang telah didakwakan oleh Penuntut Umum kepadanya dan kepada Terdakwa harus dijatuhi pidana penjara yang setimpal dengan perbuatannya.

b. Pasal 112 ayat (2) Undang-Undang nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika “Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan narkotika Golongan I bukan tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima)

tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).”

Unsur-unsurnya adalah 1. Setiap orang

Berdasarkan uraian tersebut diatas, unsur setiap orang telah terpenuhi. 2. Tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai,

menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman.

Tanpa hak maksudnya adalah hal dalam memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan Narkotika tanpa seijin dari pemerintah, dimana penyaluran narkotika dalam rangka peredaran hanya dapat dilakukan oleh pabrik obat, pedagang farmasi besar dan sarana penyimpanan sediaan farmasi yang mendapat ijin dari menteri atau pemerintah.

Berdasarkan keterangan terdakwa Muliadi alias Mulia, terdakwa tidak ada memiliki izin menerima atau menyerahkan 1 (satu) bungkus plastik klip bening yang berisi kristal warna putih berupa narkotika jenis sabu-sabu dengan berat bersih 96 (sembilan puluh enam) gram. Berdasarkan uraian tersebut diatas, unsur tanpa hak dalam kasus ini terpenuhi.

3. Narkotika Golongan I yang beratnya melebihi dari 5 (lima) gram

Narkotika Golongan I beratnya melebihi 5 (lima) gram ini adalah Narkotika Golongan I bukan tanaman yang ditentukan dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

Sesuai dengan surat Direktur Reserse Narkoba Polda Sumut tanggal perihal pemeriksaan secara laboratoris dan dari hasil pemeriksaan

laboratorium Forensik Medan yang dipimpin oleh AKBP Zulni Erma Medan dalam Berita Acara Analisis Laboratorium Barang Bukti Narkotika No. Lab : 4070 / NNF / 201 tanggal 30 April 2015 dengan analisis secara kimia forensik bahwa barang bukti yang disita dari Terdakwa Muliadi alias Mulia, adalah benar dengan hasil positif mengandung Metamfetamina dan terdaftar dalam golongan I nomor urut 61 Lampiran I Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2009 Tentang Narkotika, pemeriksa mengambil kesimpulan bahwa barang bukti yang disita dari terdakwa Muliadi alias Mulia benar narkotika Golongan I dan terhadap barang bukti Narkotika jenis sabu-sabu seluruhnya setelah dilakukan penimbangan beratnya melebihi 5 (lima) gram. Berdasarkan uraian tersebut diatas, unsur Narkotika Golongan I beratnya melebihi dari 5 (lima) gram dalam kasus ini terpenuhi.

2.Analisis terhadap putusan dikaitkan dengan pertanggungajawaban pidana Berdasarkan fakta-fakta hukum didalam persidangan bahwa terdakwa telah memenuhi unsur-unsur pertanggungjawaban pidana, yaitu:

1. Adanya kemampuan bertanggungjawab

Di dalam KUHP, yang berkaitan dengan kemampuan bertanggungjawab adalah Pasal 44, yang isinya “Tiada dapat dipidana barang siapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, sebab kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal”.

Untuk adanya kemampuan bertanggungjawab harus adanya105

105

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta : Rineka Cipta, 2002) hlm. 165

a. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, seusai hukum dan yang melawan hukum.

b. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.

Berdasarkan fakta dalam persidangan diatas maka Terdakwa Muliadi alias Mulia ketika dalam melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan jaksa penuntut umum, terdakwa melakukannya dalam keadan sehat dan akal sempurna, sehingga atas perbuatannya apat dimintai pertanggungjawaban pidana sebagaimana diatur dalam pasal 114 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

2. Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau kealpaan.

Pertanggungjawaban pidana sering juga disebut sebagai kesalahan dalam arti luas. Andi Hamzah menyatakan bahwa kesalahan dalam arti luas meliputi106

Sengaja (opzet) misalnya seseorang yang berbuat dengan sengaja itu, harus dikehendaki apa yang diperbuat dan harus diketahui juga atas apa yang diperbuat. Tidak termasuk perbuatan dengan sengaja adalah suatu gerakan yang ditimbulkan : 1. Sengaja (Opzet); 2. Kelalaian (Culpa); 3. Dapat dipertanggungjawabkan. 106

oleh reflek, gerakan tangkisan dan gerakan-gerakan lain yang tidak dikendalikan oleh kesadaran.107

Von Hippel ditahun 1903 menerangkan bahwa sengaja adalah kehendak untuk membuat suatu perbuatan dan kehendak untuk menimbulkan akibat dari perbuatan itu, dengan kata lain apabila seseorang melakukan perbuatan yang tertentu, tentu saja melakukannya itu hendakk menimbulkan akibat tertentu pula, karena ia melakukan perbuatan itu justru dapat dikatakan bahwa ia menghendaki akibatnya, ataupun hal ikhwal yang menyertai.108

Sedangkan kelalaian (culpa) terletak antara sengaja dan kebetulan. Lalai maksudnya si pelaku tidak menyadari apa akibat dari perbuatannya, atau dengan kata lain tidak memiliki maksud demikian sebelumnya. Bagaimana pun juga, kelalaian itu berati lebih ringan daripada kesengajaan, sehingga diadakan pengurangan pidana terhadap yang lalai.109

Pada umunya, kealpaan (culpa) dibedakan atas110

Kealpaan dengan kesadaran ini ada, kalau yang melakukan perbuatan itu ingat akan akibat yang berbahaya itu. Tetapi, toh ia berani melakukan tindakan itu

: 1. Kealpaan dengan kesadaran (bewustu schuld).

Dalam hal ini, si pelaku telah membayangkan atau menduga akan timbulnya suatu akibat tersebut, tetapi walaupun ia berusaha untuk mencegah, toh timbul juga akibat tersebut.

107

Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, (Yogyakarta: Ghalia Indonesia,

1992) hlm. 156 108

Ibid. 109

Andi Hamzah, Op.cit., hlm. 125

110

karena ia tidak yakin bahwa akibat itu benar akan terjadi dan ia tidak akan bertindak demikian kalau ia yakin bahwa akibat itu akan timbul.

2. Kealpaan tanpa kesadaran (onbewustu schuld)

Dalam hal ini, si pelaku tidak membayangkan atau menduga akan timbulnya suatu akibat yang dilarang dan diancam hukuman oleh undang-undang, sedangkan ia seharusnya memperhitungkan akan timbulnya suatu akibat.

Berdasarkan fakta-fakta dalam persidangan mengenai kasus tersebut diatas bahwa Terdakwa Muliadi alias Mulia telah mempunyai bentuk kesalahan yaitu berupa kesengajaan (opzet).Dimana Terdakwa Muliadi alias Mulia telah mengetahui bahwa perbuatannya itu telah melanggar hukum yaitu dalam hal melakukan tindak pidana narkotika sebagai perantara yang mengantarkan narkotika milik Naja untuk disampaikan kepada saksi Marzuki Hamid.

3. Tidak adanya alasan pemaaf

Apabila tidak dipidananya seseorang yang telah melakukan perbuatan yang mencocoki rumusan delik yang disebabkan karena tidak sepantasnya orang itu dicela, tidak sepatutnya dia disalahkan, maka hal-hal yang menyebabkan dia tidak sepantasnya dicela itu diesebut sebagai hal-hal yang dapat memaafkannya.111

Alasan pemaaf (schulduitsluitingsgrond) ini menyangkut pertanggungjawaban seorang terhadap perbuatan pidana yang telah dilakukannya

pada 7 Juni 2016)

atau criminal responsibility. Alasan ini menghapuskan kesalahan orang yang melakukan delik atas dasar beberapa hal, yaitu112

Berdasarkan uraian kasus diatas, putusan majelis hakim ini telah mencerminkan rasa keadilan dan kepastian hukum. Karena tindak pidana yang dilakukan terdakwa ini kasus yang tergolong besar dan menimbulkan akibat yang besar karena peredaran narkotika yang seperti inilah yang sedang marak terjadi di kalangan masyarakat. Tindakan Terdakwa Muliadi ini lah yang memudahkan masyarakat untuk memperoleh barang haram jenis Narkotika.

:

a. Tidak dapat dipertanggungjawabkan (ontoerekeninngsvaatbaar) b. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer exces) c. Daya paksa (overmacht)

Berdasarkan fakta-fakta dalam persidangan maka Terdakwa Muliadi alias Mulia tidak memiliki alasan pemaaf untuk menghapuskan kesalahan yang telah terdakwa lakukan. Oleh sebab itu Terdakwa Muliadi alias Mulia dapat dimintai pertanggungjawaban pidana sebagimana perbuatan terdakwa diatur dalam pasal 114 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Setelah mendengarkan keterangan saksi-saksi dan fakta-fakta hukum dalam persidangan serta berdasarkan pertimbangan hakim sebagaimana diuraikan diatas, maka majelis hakim memutus terdakwa dengan vonis pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun dan denda sebesar Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar) rupiah dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana penjara selama 2 (dua) bulan.

112

Teguh Prasetyo, Hukum Pidana Edisi Revisi, (Jakarta : PT. Raja Grafindo, 2012), hlm.

Pemidanaan dilakukan agar menimbulkan efek jera terhadapa Terdakwa Muliadi alias Mulia di masa yang akan datang juga menjadi upaya pembinaan, sehingga vonis 7 (tujuh) tahun penjara sudah sepadan dengan tindakan yang dilakuan dan apa saja akibat yang ditimbulkan atas perbuatan terdakwa.

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Peraturan perundang-undangan tentang narkotika pertama kali dibuat oleh Belanda pada tahun 1927 yaitu Ordonansi Obat Bius (Verdoovende Middelen Ordonnantie Stbl. 1927 No. 278 Jo. No. 536). Peraturan ini hanya mengatur tentang penggunaan candu dan obat bius dan melegalkan penggunaannya selama hanya dilakukan di tempat-tempat yang sudah ditetapkan. Akhirnya pada tahun 1976 dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 Tentang Narkotika. Isi dari Undang-Undang ini antara lain tentang peredaran gelap, rehabilitasi pecandu, dan peranan dokter dalam menangani pasien candu. Perkembangan zaman mendapat celah dari kelemahan-kelemahan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976. Lalu pemerintah merevisi lagi hingga lahirlah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997, yang memuat antara lain sanksi pidana yang lebih berat untuk para pelaku bahkan sampai kepada hukuman mati.Perkembangan kemajuan teknologi, khususnya bagian komunikasi dan transportasi, membuat para pelaku penyalahgunaan narkotika ini semakin beragam dan semakin canggih. Jaringan peredarannya yang sudah melewati batas negara kemudian menyebabkan diadakannya penyesuaian dengan Undang-Undang Narkotika, yang melahirkan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika.Undang-Undang ini mengatur mengenai perjanjian

kerjasama, baik bilateral, regional, bahkan internasional. Semua pelaku penyalahguna narkotika darimana pun asalnya, baik dalam ataupun luar negeri bila tertangkap di wilayah Indonesia, maka akan dijatuhi hukuman yang berlaku di Indonesia.

2. Pertanggungjawaban pidana terhadap orang yang tanpa hak menjadi perantara dalam jual beli narkotika golongan I bukan tanaman yang beratnya melebihi 5 gram dalam perkara Register No. 1862/Pid.Sus/2015/PN.MDN, menurut saya sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Kasus ini sudah memenuhi unsur-unsur pertanggungjawabnpidana yaitu dengan adanya kemampuan bertanggungjawab, adanya kesalahan yang dilakukan berupa kesengajaan oleh Terdakwa, dan tidak adanya alasan pemaaf untuk Terdakwa dimana Terdakwa dianggap telah turut serta merusak generasi bangsa dengan membantu menyebarkannya barang haram berupa Narkotika untuk sampai ke tangan pengguna dan Terdakwa telah menghambat Program Pemerintah yang sedang giat-giatnya memberantas penyalahgunaan Narkotika.Terdakwa dituntut 9 (sembilan) tahun pidana penjara. Dalam kasus ini terdakwa dihukum pidana penjara 7 (tujuh) tahun pidana penjara setelah Majelis Hakim mempertimbangkan hal-hal yang patut dipertimbangkan baik untuk meringankan ataupun memberatkan Terdakwa.

B. Saran

Berdasarkan pernyataan di atas, penulis melihat masih ada hal-hal yang kurang. Adapun saran yang dapat penulis berikan untuk menanggulangi tindak pidana di bidang narkotika, yaitu :

1. Perlu kepekaan dan kesadaran yang tinggi pada masyarakat untuk bekerja sama memberantas peredaran narkotika dan prekursor narkotika.

Setiap anggota masyarakat juga harus saling memperhatikan agar tidak ada yang terjerumus ke dalam penyalahgunaan narkotika.

2. Perlu dukungan pemerintah dalam kasus ini. Pemerintah yang belakangan ini juga sedang giat-giatnya memberantas predaran narkotika di kalangan masyarakat misalnya dengan membentuk suatu badan khusus yang menangani narkotika yaitu Badan Narkotika Nasional (BNN).Kekurangefektifan BNN yang dianggap belum mendekatkan diri kepada masyarakat, bisa dilakukan dengan cara-cara memberikan penyuluhan-penyuluhan di lembaga pendidikan, instansi-instansi, dengan cara-cara yang menarik perhatian.

BAB II

PERKEMBANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG

NARKOTIKA

Sebelum membahas jauh sejarah pembentukan Undang-Undang Narkotika dan perkembangannya, maka terlebih dahulu penulis akan meninjau sejarah keberadaan narkotika itu sendiri.

Pada zaman prasejarah di negeri Mesopotamia, atau lebih dikenal Irak, dikenal suatu barang yang namanya Gil, yang artinya bahan yang menggembirakan. Gil ini lazimnya digunakan sebagai obat sakit perut, kemampuan Gil sangat terkenal pada saat itu, dan Gil menyebar di dunia Barat sampai Asia dan Amerika. Ada pula bahan lain yang menyerupai candu masak, yang bernama Jadam. Jadam ini tergolong obat keras yang pada mulanya berkembang di dunia Arab.36

Pada zaman masa penjajahan Belanda kebiasaan penyalahgunaan obat bius dan candu sudah mulai terasa membahayakan masyarakat, pemakainya terutama Demikianlah Gil, candu, serta jadam dengan segenap zat dan jenisnya terus berkembang penggunaannya oleh masyarakat di dunia, dan yang keberadaannya sekarang banyak sekali jenis zat-zat narkotika, baik yang tergolong alami maupun sintetis (buatan). Jenis-jenis narkotika tersebut akan diuraikan pada bagian berikutnya. Karena perkembangan peredaran narkotika yang begitu cepat maka banyak kasus kejahatan narkotika yang muncul di masyarakat, kasus kejahatan narkotika itu hampir kebanyakan menimpa remaja.

36

masyarakat golongan menengah. Oleh sebab itu, pada zaman tersebut pemerintah Hindia-Belanda mengeluarkan V.M.O Staatblad 1927 No. 278 jo No. 536, yaitu peraturan yang mengatur tentang obat bius dan candu.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 131 I.S., yaitu peraturan tentang obat bius yang berlaku di Belanda. Gubernur Jenderal dengan persetujuan Raad van Indien, mengeluarkan Staatblad 1927 No. 278 jo No. 536 tentang Verdovende Midellen Ordonantie yang diterjemahkan dengan Undang Obat Bius. Undang-Undang tersebut adalah untuk mempersatukan dalam satu undang-undang tentang ketentuan mengenai candu dan obat-obatan bius lainnya.37

Sebelum Indonesia merdeka, penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika oleh pemerintah Hindia Belanda ketika itu, bertujuan menyatukan berbagai ketentuan mengenai perdagangan candu, telah ditetapkan Verdoovende Middellen Ordonantie Stbl. 1927 Nomor 278 jo. 536 atau Ordonansi Obat Bius, yang telah diberlakukan pada tanggal 1 Januari 19928 dan ditempatkan dalam Tambahan Lembaran Negara, tanggal 22 Juli 1928 dan tanggal 3 Februari 1928. Setelah Indonesia merdeka Ordonansi Obat Bius 1927 Nomor 278 dan 536, dan ketentuan yang berkaitan dengan candu ini masih terus berlaku berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa segala badan negara dan peraturan yang masih ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.38

37

Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana, (Bandung :

Penerbit Mandar Maju, 2003) cetakan pertama,hlm. 163 38

Romli Atmasasmita, Tindak Pidana Narkotika Transnasional Dalam Sistem Hukum

Awal tahun 1970 penyalahgunaan narkotika sudah semakin sering terjadi di masyarakat dan jenis-jenis narkotika yang beredar pun semakin banyak pula ragamnya. Kenyataan inilah yang mendorong timbulnya kesadaran akan perlunya segera dibentuk suatu undang-undang yang dapat menjangkau bentuk penyalahgunaan narkotika. Setidak-tidaknya undang-undang yang baru itu dapat menimbulkan rasa takut bagi anggota masyarakat untuk tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dikualifikasikan sebagai Tindak Pidana Narkotika.39

Soedjono Dirdjosisworo mengatakan beberapa hal yang menonjol mengenai hal ini adalah kecenderungan kecanduan dan ketagihan narkotika yang membutuhkan terapi dan perbedaannya dengan mereka yang mengadakan serta mengedarkan secara gelap tidak diatur secara tegas. Kenyataan bahwa V.M.O tidak memenuhi syarat lagi sebagai Undang-Undang Narkotika disamping tidak cocok lagi dengan kenyataan admisnistrasi peradilan pidana dewasa ini.40

1. Tidak adanya keseragaman di dalam pengertian narkotika

Khusus dalam masalah penyalahgunaan narkotika ketentuan hukum belum dapat menjangkaunya, sebab ketentuan-ketentuan tersebut bersumber kepada ketentuan lama yang memiliki kelemahan-kelemahan, berupa :

2. Sanksi terlalu ringan dibanding dengan akibat penyalahgunaannya 3. Ketidaktegasan pembatasan pertanggungjawaban terhadap penjual,

pemilik, pengedar, pemakai, dan penyimpan narkotika.

4. Ketidak serasian antara ketentuan hukum pidana mengenai narkotika

39

Hari Sasangka, Op.cit., hlm. 165 40

Soedjono D. Segi Hukum Tentang Narkotika di Indonesia, (Bandung : Penerbit PT.

5. Belum ada badan bertingkat nasional yang khusus mengenai masalah penyalahgunaan narkotika

6. Belum adanya ketentuan khusus wajib lapor adanya penyalahgunaan narkotika

7. Belum adanya hal-hal yang khusus bagi yang berjasa dalam penyelidikan-penyelidikan perkara penyalahgunaan narkotika.

Mengingat hal diatas, maka dipandang perlu dalam waktu yang relatif singkat untuk mengadakan pembaruan dan penyempurnaan perundang-undangan tentang narkotika, dan diharapkan peraturan efektif di dalam pengimplementasian dan tepat sasaran di dalam penanggulangan terhadap penyalahgunaan narkotika.41

Undang-undang pidana yang baik adalah yang sejalan dengan tuntutan perkembangan sosial bisa dipandang sebagai sarana untuk melakukan tindakan prevensi umum. Demikian halnya dengan upaya menghadapi bahaya narkotika. Secara yuridis, khususnya hukum pidana pemerintah didukung oleh kalangan ahli dan praktisi menyadari pentingnya Undang-Undang Narkotika. Persepsi kalangan mengenai relevan dan tanda hadirnya Undang-Undang Narkotika Nasional yang baru merupakan dukungan besar atas diterbitkannya undang-undang tentang narkotika. 42

Untuk memberikan kepastian hukum dalam upaya penanggulangan terhadap penyalahgunaan narkotika, maka sebagai dasar hukum dari Undang-Undang adalah sebagai berikut.

41

Moh. Taufik Makarao, Suhasril dan H. Moh. Zakky, Op. Cit., hlm. 12

42

1. Undang-Undang Dasar 1945

2. Undang-Undang No. 9 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Kesehatan 3. Instruksi Presiden No. 6 Tahun 1971

4. Undang-Undang No. 13 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kepolisian.

5. Undang-Undang No. 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesehatan.

6. Undang-Undang No. 7 Tahun 1963 tentang Farmasi

7. Undang-Undang No. 3 Tahun 1966 tentang Kesehatan Jiwa

8. Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman

Dokumen terkait