DAFTAR PUSTAKA Buku :
Sujono, AR dan Bony Daniel. 2011. Komentar Dan Pembahasan Undang UndangNomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.Jakarta: Sinar Grafika. Ari, Akhyar Gayo, 2014. Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika.Cetakan
Pertama, Yogyakarta: Azza Grafika Dan P3DI Stejen DPR RI.
Hamzah, Andi. 1984. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia.
_______. 1994. Azas-Azas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta.
Poernomo, Bambang. 1992. Asas-Asas Hukum Pidana. Yogyakarta: Ghalia Indonesia.
Soedjono, D.1976. Segi Hukum Tentang Narkotika di Indonesia.Bandung: PT Karya Nusantara
Supramono, Gatot.2007.Hukum Narkoba Indonesia. Cetakan Ketiga, Jakarta: Penerbit Djambatan.
Sasangka, Hari.2003. Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana.
CetakanPertama, Bandung: Penerbit Mandar Maju.
Siswanto, H. S. 2012. Politik Hukum Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009. Jakarta: Rineka Cipta.
Ibrahim, Johnny. 2005. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum.Jakarta: Bayu Media Publishing
Emong, Komariah Sapardjaja. 2002. Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana Indonesia. Cetakan Pertama, Bandung: Alumni. Adi, Kusno. 2009. Diversi Sebagai Upaya Alternatif Penanggulangan Tindak
Pidana Narkotika Oleh Anak.Malang: UMM Press.
Marpaung, Leden.2005. Asas Teori Praktik Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika.
Solly, M. Lubis. 2003. Landasan dan Teknik Perundang-Undangan. Cetakan Pertama.Bandung: Alumni.
Moeljatno.2002. Azas-Azas Hukum Pidana.Jakarta: Rineka Cipta. Taufik, Moh. Makarao, Suhasril, Moh. Zakky A.S.2003. Tindak Pidana
Narkotika.Jakarta: Ghalia Indonesia.
_______. 2010. Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek. Bogor: Ghalia Indonesia.
Yahya, M. Harahap. 2005. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Edisi Kedua.Cetakan Keenam. Jakarta: Sinar Grafika.
Samidjo. 1985. Ringkasan Tanya Jawab Hukum Pidana. Bandung: CV. ARMICO Rahardjo, Satjipto.2009. Penegakan Hukum. Cetakan Kedua. Yogyakarta: Genta
Publishing.
Riyanto, Slamet. 2000. Hukum Pembuktian. Fakultas Hukum, Universitas Islam AsSyafi’ah.
Atmasasmita, Romli.1997. Tindak Pidana Narkotika Transnasional Dalam SistemHukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Muhammad, Rusli. 2007. Hukum Acara Pidana Kontemporer. Bandung: Citra Aditya Bakti
Prasetyo, Teguh. 2012. Hukum Pidana Edisi Revisi. Jakarta: PT. Raja Grafindo. Ekathajana, Widodo.2008. Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Prodjodikoro, Wirjono. 1983. Hukum Acara Pidana Di Indonesia. Bandung: Sumur Bandung.
Artikel
Harian Rakyat Merdeka. 15 Mei 2016. Kurir Gentar Jika Diancam Hukuman Mati,halaman 15.
Website
http://kbbi.web.id, diakses pada 15 Mei 2016.
http://stopnarkobaa.blogspot.com, diakses pada 3 Mei 2016.
http://duniainformatikaindonesia.blogspot.co.id, diakses pada 4 Mei 2016.
http://hukumonline.com/2013, diakses pada 23 Maret 2016.
https://materihukum.wordpress.com/2013/11/04/alasan-penghapusan-pidana.html
diakses pada 7 Juni 2016.
Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Kamus
BAB III
ANALISIS HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA MENJADI PERANTARA DALAM MENYERAHKAN NARKOTIKA
(Studi Putusan No. 1862/Pid.Sus/2015/PNMdn) A. Kasus Posisi
1.Kronologis
Pada hari Sabtu tanggal 18 April 2015 sekitar pukul 18.00 WIB ketika
terdakwa sedang berada di Jalan Asrama Pondok Kelapa Kelurahan Sei
Sikambing C-II Kecamatan Medan Helvetia Kota medan tepatnya di Hotel Antara
Kamar 208, terdakwa yang dihubungi oleh saksi Marzuki Hamid untuk memesan
Narkotika jenis sabu-sabu sebanyak 100 (seratus) gram, lalu terdakwa
menghubungi Naja untuk memesan Narkotika jenis sabu-sabu atas pesanan saksi
Marzuki Hamid, kemudian Naja menyuruh terdakwa datang ke Jalan Gajah Mada
Medan untuk mengambil Narkotika jenis sabu-sabu tersebut.
Selanjutnya kemudian kembali menghubungi saksi Marzuki Hamid dan
oleh saksi Marzuki Hamid, terdakwa disuruh untuk mengantarkan Narkotika jenis
sabu-sabu yang telah dipesan di Jalan Asrama Pondok Kelapa Kelurahan Sei
Sikambing C-II Kecamatan Medan Helvetia Kota Medan tepatnya di Hotel Antara
II kamar 208 dan pada saat terdakwa tiba di tempat tersebut tiba-tiba saksi Kelly
Wahyudi, saksi Yudi Prayetno, saksi Munizar dan saksi Afriyanto Maha, yang
keempat saksi ini merupakan anggota Polri Polresta Medan, kemudian melakukan
penangkapan terhadap terdakwa dan menyita Narkotika jenis sabu-sabu yang
setelah ditimbang dengan berat bersih 96 (sembilan puluh enam) gram dantelah
keempat saksi telah melakukan penangkapan terhadap saksi Marzuki Hamid dan
atas informasi dari saksi Marzuki Hamid bahwa Narkotika yang diperoleh saksi
Marzuki Hamid adalah dari terdakwa.
Selanjutnya para saksi menyuruh saksi Marzuki Hamid untuk kembali
memesan Narkotika jenis sabu-sabu kepada terdakwa. Bahwa terdakwa tidak ada
memiliki izin berwenang dalam menawarkan untuk dijual, menjual, membeli,
menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan atau menerima
Narkotika jenis sabu-sabu.
Selanjutnya terdakwa beserta barang bukti dibawa ke Polresta Medan guna
diproses lebih lanjut. Berdasarkan Berita Acara Analisa Laboratorium Barang
Bukti Narkotika No. Lab :4070/NNF/201 tanggal 30 April 2015 yang menyatakan
barang bukti yang diperiksa 1 (satu) plastik klip bening berisi kristal warna putih
dengan berat berat netto 10 (sepuluh) gram milik terdakwa adalah benar
mengandung positif Metamfetamina dan terdaftar dalam Golongan I nomor urut
61 Lampiran I Undang-Undang Republik Indonesia nomor 23 Tahun 2009 tentang
Narkotika.
2. Dakwaan85
Di dalam pasal 143 ayat (2) KUHAP, penuntut umum membuat surat
dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi86
a. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin,
kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan terdakwa. :
85
Surat Dakwaan adalah surat atau akte yang memuat rumusan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa yang disimpulkan dan ditarik dari hasil pemeriksaan penyidikan dan merupakan dasar serta landasan bagi hakim dalam pemeriksaan sidang di pengadilan.
86
Moh. Taufik Makarao, Suhasril, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek
b. Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang
didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindalk pidana
dilakuukan,
c. Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum,
d. Turunan surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan disampaikan
kepada tersangka atau kuasanya atau penasihat hukumnya dan penyidik,
pada saat yang bersamaan dengan penyampaian surat pelimpahan perkara
tersebut ke pengadilan.
Jaksa penuntut umum mengajukan Terdakwa Muliadi kedepan Pengadilan
Negeri Medan dengan dakwaan sebagai berikut :
a. Dakwaan Primair :
Dakwaan yang disusun untuk menuntut perkara pidana lebih dari satu
dakwaan yang disusun dengan mempertimbangkan bobot pidana, pidana yang
ditempatkan pada dertan pertama, yang disebut dengan dakwaan primer,
kemudian disusul dengan dakwaan dengan bobot pidana yang lebih ringan sebagai
dakwaan subsidair. Mungkin masih ada lagi bobot pidana yang lebih ringan,
diurutkan lagi dengan urutan ketiga dengan dakwaan lebih subsidair.87
Pasal 114 ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 35 tahun 2009 tentang
Narkotika, yaitu dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual,
membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan atau
menerima narkotika golongan I sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1)
87
Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau
melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman
beratnya 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana
penjara seumur hidup, atau pidana paling singkat 6 (enam) tahun dan
paling lama 20 (dua (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
b. Dakwaan Subsidair :
Pasal 112 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun
2009 tentang Narkotika, yaitu dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan,
menguasai, atau menyediakan narkotika Golongan I bukan tanaman
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram,
pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
dipidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah
1/3 sepertiga).
3. Fakta-Fakta Hukum
a. Keterangan Saksi-Saksi88
Titik berat pembahasandalam pembicaraan keterangan saksi sebagai alat
bukti, ditujukan kepada permasalahan yang berhubungan dengan
pembuktian tanpa mengurangi apa yang telah diterangkan sebelumnya.
Pada umumnya, alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang
.
88
paling utama dalam perkara pidana. Tidak ada perkara pidana yang luput
dari pembuktian alat bukti keterangan saksi89
a. Pada hari Sabtu tanggal 18 April 2015 sekitar pukul 18.00 WIB di
Jalan Asrama Pondok Kelapa Kelurahan Sei Sikambing C-II
Kecamatan Medan tepatnya di Hotel Antara II kamar 218, saksi
melakukan penangkapan tehadap terdakwa bersama dengan
anggota tim, dimana sebelum melakukan penangkapan terdakwa,
sehari sebelumnya saksi telah menangkap saksi Marzuki Hamid,
dan saat itu saksi Marzuki Hamid mengatakan kepada saksi bahwa
ia mendapat narkotika itu dari terdakwa. Kemudian pada saat itu,
saksi dengan anggota timnya melakukan penyamaran sebagai
pembeli Narkotika.
,
Keterangan saksi-saksi dari kasus ini,yang dibawah sumpah di depan
pengadilan menerangkan sebagai berikut :
1. Kelly Wahyudi
b. Terdakwa ditangkap ketika hendak menyerahkan Narkotika jenis
sabu-sabu kepada saksi Marzuki Hamid karena sebelumnya saksi
Marzuki Hamid menghubungi terdakwa dan memesan Narkotika
sebanyak 100 (seratus) gram, lalu terdakwa menghubungi
temannya yang bernama Naja untuk memesan Narkotika jenis sabu
tersebut, kemudian saksi Marzuki Hamid menyuruh terdakwa
untuk mengantarkan Narkotika tersebut ke Jalan Pondok Kelapa
89
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan
tepatnya di Hotel Antara Kamar 208 lalu saat Terdakwa tiba
ditempat tersebut kemudian tiba-tiba saksi Kelly Wahyudi bersama
dengan tim langsung melakukan penangkapan terhadap Terdakwa.
Selanjutnya terdakwa ditangkap dengan barang bukti 1 (satu)
palstik klip bening berisi kristal warna putih dengan berat netto 10
(sepuluh) gram milik terdakwa Muliadi alias Mulia. Kemudian
terdakwa beserta barang bukti dibawa ke Polresta Medan.
b. Surat90
Surat-surat yang penting bagi pembuktian yaitu surat-surat yang berasal
dari atau dibikin dan/atau ditanda-tangani oleh terdakwa. Kalau terdakwa
mengakui di muka hakim penandatanganannya atau asal dari terdakwa
atau pembikinannya oleh terdakwa, maka hal ini akan memudahkan
pemeriksaan perkara.91
Bahwa berdasarkan Berita Acara Analisa Laboratorium Barang Bukti
Narkotika No.Lab : 4070/NNF/201 tanggal 30 April 2015 yang pada
kesimpulannya menyatakan bahwa barang bukti yang diperiksa milik
Terdakwa Muliadi adalah benar mengandung positif Metamfetamina dan Surat yang dapat dinilai sebagail alat bukti yang sah menurut
undang-undang yaitu :
a. Surat yang dibuat atas sumpah jabatan;
b. Surat yang dikuatkan dengan sumpah.
90
Surat adalah segala sesuatu yang mengandung tanda-tanda baca yang dapat dimengerti, dimaksud untuk mengeluarkan pikiran.
91
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana Di Indonesia, (Bandung: Sumur
terdaftar dalam Golongan I nomor urut 61 Lampiran Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
c. Petunjuk92
Petunjuk memiliki arti yang sama dengan pengamatan oleh hakim yang
harus dilakukan selama sidang, apa yang telah dialami atau diketahui oleh
hakim sebelumnya tidak dapat dijadikan dasar pembuktian, kecuali kalau
perbuatan atau peristiwa itu telah diketahui oleh umum.93
92
Dalam KUHAP Pasal 188 ayat (1), didefinisikan secara sederhana. Petunjuk yaitu perbuatan, kejadian atau keadaan karena persesuaiannya baik antara yang satu dengan yang lain maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi tindak pidana dan siapa pelakunya.
Petunjuk berarti keadaan-keadaan, peristiwa-peristiwa, dan perbuatan-perbuatan yang setelah ditinjau dalam hubungannya satu sama yang lain dan sama peristiwa yang bersangkutan menandakan terjadinya peristiwa.
93
Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1984) hlm. 254
Kekuranghati-hatian mempergunakan petunjuk, putusan yang
bersangkutan bisa mengambang pertimbangannya dalam suatu keadaan
yang samar. Akibatnya putusan itu lebih dekat kepada sifat penerapan
hukum secara berwenang-wenang, karena putusan tersebut didominasi
oleh penilaian subjektif yang berlebihan. Untuk menghindari dominasi
subjektif hakim yang tidak wajar, mendorong pembuat undang-undang
sedini mungkin memperingat hakim, supaya penerapan dan penilaian alat
bukti petunjuk, dilakukan hakim:
a. Dengan arif dan bijaksana;
b. Harus lebih dulu mengadakan pemeriksaan dengan penuh
Dari keterangan saksi, keterangan terdakwa diperoleh petunjuk bahwa
benar terdakwa Muliadi ditangkap oleh saksi Kelly Wahyudi dan timnya
pada hari Sabtu tanggal 18 April 2015 sekitar pukul 18.00 WIB bertempat
di Jalan Asrama Pondok Kelapa Kelurahan Sei Sikambing C-II Kecamatan
Medan Helvetia Kota Medan tepatnya di Hotel Antara II Kamar 208 dan
disita barang bukti berupa 1 (satu) bungkus besar Narkotika jenis
sabu-sabu dengan berat 96 (sembilan puluh enam) gram dengan petunjuk dari
saksi Marzuki Hamid yang melaporkan bahwa telah terjadi Tindak Pidana
Menjadi Perantara Dalam Jual Beli Narkotika Golongan I Bukan Tanaman
yang Beratnya Melebihi 5 Gram .
d. Keterangan Terdakwa94
Pengertianketerangan terdakwa sebagai alat bukti yaitu, apa yang terdakwa
nyatakan atau jelaskan di sidang pengadilan, dan apa yang dinyatakan atau
dijelaskan itu ialah tentang perbuatan yang terdakwa lakukan atau
mengenai yang ia ketahui atau yang berhubungan dengan apa yang
terdakwa alami sendiri dalam peristiwa pidana yang sedang diperiksa.
,
Keterangan terdakwa sebagai alat bukti tidak perlu sama atau berbentuk
pengakuan. Semua keterangan terdakwa hendaknya di dengar, apakah itu
berupa penyangkalan, pengakuan, ataupun pengakuan sebagian dari
perbuatan.95
94
Pasal 189 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang pengadilan tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.
95
Dibawah sumpah didepan persidangan, terdakwa menerangkan sebagai
berikut :
a. Pada hari Sabtu tanggal 18 April 2015 sekitar pukul 18.00 WIB di
Jalan Asrama Pondok Kelapa Kelurahan Sei Sikambing C-II
Kecamatan Medan tepatnya di Hotel Antara II kamar 218, saksi Kelly
Wahyudi bersama dengan anggota tim, melakukan penangkapan
tehadap terdakwa. Terdakwa ditangkap ketika hendak menyerahkan
Narkotika jenis sabu-sabu kepada saksi Marzuki Hamid karena
sebelumnya saksi Marzuki Hamid menghubungi terdakwa dan
memesan Narkotika sebanyak 100 (seratus) gram, lalu terdakwa
menghubungi temannya yang bernama Naja untuk memesan
Narkotika jenis sabu tersebut, kemudian saksi Marzuki Hamid
menyuruh terdakwa untuk mengantarkan Narkotika tersebut ke Jalan
Pondok Kelapa tepatnya di Hotel Antara Kamar 208 lalu saat
Terdakwa tiba ditempat tersebut kemudian tiba-tiba saksi Kelly
Wahyudi bersama dengan tim langsung melakukan penangkapan
terhadap terdakwa. Selanjutnya terdakwa ditangkap dengan barang
bukti 1 (satu) plastik klip bening berisi kristal warna putih dengan
berat netto 10 (sepuluh) gram milik terdakwa Muliadi alias Mulia.
Kemudian terdakwa beserta barang bukti dibawa ke Polresta Medan.
Terdakwa mengaku tidak memiliki izin dari pihak yang berwenang
mengaku bahwa akan mendapatkan upah sebesar Rp. 2.000.000,- (dua
juta rupiah) dari saksi Marzuki Hamid.
e. Barang Bukti96
Barang bukti yang dimaksud tidak termasuk alat bukti sebab
undang-undang menetapkan lima macam alat bukti, yaitu keterangan saksi,
keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangn terdakwa.97
1. 1 (satu) bungkus plastik klip bening berisi kristal warna putih dengan
berat netto 10 (sepuluh) gram.
Adapun jenis barang bukti yang dipertimbangkan oleh hakim cukup
bervariasi, yakni sesuai dengan jenis kejahatan yang dilakukan terdakwa,
misalnya pada kejahatan pembunuhan barang buktinya adalah pisau, kayu,
baju yang digunakan terdakwa maupun korban.
Adapun barang bukti yang diajukan penuntut umum adalah
2. 1 (satu) unit handphone merk Nokia warna hitam
3. 1 (satu) buah tas warna coklat.
4. Tuntutan Pidana
Sebelum KUHAP, istilah yang dipergunakan terhadap tuntutan pidana
ialah requisitoir.98
96
Yang dimaksud dengan barangbukti disini adalah semua benda yang dapat dikenakanmpenyitaan dan yang diajukan oleh penuntut umum di depan sidang pengadilan.
97
Rusli Muhammad, Op.cit., hlm. 214
98
Requisitoir atau tuntutan pidana adalah langkah selanjutnya yang diberikan kepada jaksa penuntut umum dalam lanjutan sidang pengadilan suatu perkara pidana setelah pemeriksaan alat-alat bukti atau pembuktian.
penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum berhak mendapat kesempatan
mengajukan pembelaan.
Pembelaan atau pleidoi diajukan oleh terdakwa atau penasihat hukum untuk menanggapi requisitoir jaksa penuntut umum. Pembuatan pleidoi seperti halnya requisitoir, tidak ada rumusan yang pasti dalam undang-undang tentang hal yang dimuat di dalamnya.99
Hal-hal yang dimuat di dalam pleidoi adalah100
Isi tuntutan pidana ini secara sederhana sasarannya adalah sudah menuju
kepada jangka waktu hukuman yang akan dijatuhi, misalnya dihukum penjara 1
bulan, 1 tahum, atau 5 tahun dan sebagainya. Berbeda dengan surat dakwaan yang
hanya menyebutkan pasal-pasal yang dapat dikenakan terhadap terdakwa. :
1. Nama dan alamat terdakwa (identitas terdakwa)
2. Kutipan dakwaan jaksa penuntut umum
3. Keterangan saksi, terdakwa, serta barang bukti.
4. Sanggahan hukum, sanggahan materiil, dan sanggahan tuntutan jaksa
penuntut umum.
5. Permohonan yang berupa terdakwa dibebaskan dari segala tuduhan
hukum, terdakwa dilepaskan dari segala tuntutan hukum, dan memberikan
putusan yang seadil-adilnya.
101
99
Rusli Muhammad, Op.cit., hlm. 153
100 Ibid. 101
Moh. Taufik Makarao, Suhasril, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek,
Tuntutan pidana yang diajukan oleh jaksa penuntut umum dalam kasus ini
yaitu:
a. Menyatakan Terdakwa Muliadi alias Mulia terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah telah melakukan tindak pidana “ Tanpa hak dan
melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menjadi
perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan atau menerima
Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk
bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram”, sebagaimana diatur dan
diancam pidana melanggar Pasal 114 ayat (2) Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor. 25 tahun 2009 Tentang Narkotika dalam dakwaan
primair.
b. Menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa Muliadi alias Mulia
selama 9 (sembilan) tahun penjara potong masa tahanan yang telah dijalani
dan denda sebesar Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) subsidair 3
(tiga) bulan.
c. Menyatakan barang bukti berupa 1 (satu) bungkus plastik besar Narkotika
jenis sabu-sabu dengan berat bersih 96 (sembilan puluh enam) gram, 1
(satu) unit handphone merk Nokia berwarna hitam dan 1 (satu) buah tas
berwarna coklat, dirampas untuk dimusnahkan.
d. Menetapkan agar terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp. 5.000,-
5. Pertimbangan Hakim
Apabila tahap proses tuntutan dan pembelaan sudah berakhir, saatnya tahap
terakhir pemeriksaan perkara, yaitu penjatuhan putusan oleh ketua sidang,
sebagai tujuan akhir pemeriksaan suatu perkara, yang menentukan salah atau
tidaknya terdakwa. Akan tetapi sebelum ketua sidang menjatuhkan putusan,
harus dilalui beberapa tahap proses formal. Dikatakan formal, karena pada
dasarnya tahap proses itu harus dilalui, tetapi sifatnya tidak begitu formalistis.
Prosesnya lebih bersifat intern diantara majelis hakim yang memeriksa perkara. Di samping bersifat intern, sifatnya juga rahasia, tidak dilakukan di sidang persidangan yang terbuka untuk umum.102
Untuk memberikan telaah pada pertimbangan hakim dalam berbagai
putusannya akan dilihat pada dua kategori. Kategori pertama akan dilihat dari
segi pertimbangan yang bersifat yuridis dan kedua adalah pertimbangan yang
bersifat nonyuridis.103
1. Barang siapa;
Terdakwa telah didakwa oleh Penuntut Umum dengan dakwaan yang
berbentuk alternatif, sehingga Majelis Hakim dengan memperhatikan
fakta-fakta hukum tersebut diatas memilih langsung Dakwaan alternatif Kesatu
sebagaimana diatur dalam Pasal 114 ayat (2)Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 35 tahun 2009 Tentang Narkotika, yang unsur-unsurnya
sebagai berikut :
2. Secara tanpa hak dan melawan hukum;
102
M. Yahya Harahap, Op.cit., hlm. 263
103
3. Menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menjadi perantara dalam
jual beli, menukar, menyerahkan atau menerima Narkotika Golongan I
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Dalam Bentuk Bukan Tanaman
Beratnya Melebihi 5 (lima) gram.
Majelis Hakim telah mempertimbangkan unsur-unsur sebagai berikut :
Unsur pertama, yaitu barang siapa adalah manusia ataupun badan hukum
sebagai subjek hukum yang dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum.
Dari hasil pemeriksaan dipersidangan identitas Terdakwa sebagaimana
diuraikan dalam Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum, benar terdakwalah
orangnya yang sehat jasmani dan rohani serta dapat bertanggung jawab
menurut hukum dan terdakwa dapat dipersalahkan telah melakukan perbuatan
pidana sebagaimana didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum, masih harus
dipertimbangkan pada unsur selanjutnya.
Unsur yang kedua adalah secara tanpa hak melawan hukum. Unsur secara
tanpa hak dalam kasus ini, yakni bahwa terdakwa tidak mempunyai dari
intansi berwenang untuk memiliki Narkotika yang dapat diijinkan memiliki
untuk digunakan sabu-sabu ataupun ganja adalah pabrik obat, pedagang besar
farmasi, sarana penyimpanan persediaan farmasi pemerintah, eksportir,
importir Lembaga Penelitian atau Lembaga Pendidikan, apotik, Puskesmas,
Balai Pengobatan, dokter dan menggunakan Narkotika dengan resep dokter.
Dalam kasus ini diketahui bahwa pekerjaan dari Terdakwa Muliadi alias
Mulia tidak ada hubungannya dengan Lembaga Pendidikan atau Lembaga
tidak berdasarkan atas hak, bahwa dengan demikian unsur kedua ini telah
terpenuhi.
Unsur yang ketiga adalah menawarkan untuk dijual, menjual, membeli,
menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan atau menerima
NarkotikaGolongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk
bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram;
Oleh karena unsur ketiga dari Pasal 114 ayat (2) Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2009 Tentang Narkotika terdiri dari
beberapa sub unsur, apabila salah satu sub unsur telah terpenuhi pada
perbuatan terdakwa maka cukup bagi Majelis Hakim untuk menyatakan
bahwa perbuatan terdakwa telah memenuhi unsur tersebut;
Dari fakta hukum yang terungkap dipersidangan yang didapat dari
keterangan saksi-saksi dan keterangan terdakwa serta dihubungkan dengan
adanya barang bukti, terdakwa terbukti menjadi perantara dalam jual beli
Narkotika Golongan I yaitu 1 (satu) bungkus besar Narkotika jenis
sabu-sabudengan berat bersih 96 (sembilan puluh enam) gram;
Sebelumnya saksi Marzuki Hamid (sudah tertangkap lebih dahulu)
menghubungi Terdakwa dan memesan Narkotika jenis sabu-sabu sebanyak
100 (seratus) gram, lalu Terdakwa menghubungi temannya yang bernama
Naja untuk memesan Narkotika jenis sabu-sabu sebanyak 100 (seratus) gram
atas pemesan saksi Marzuki selanjutnya Naja menyuruh terdakwa datang ke
Terdakwa sewaktu di Jalan Gajah Mada Medan teman terdakwa yang
bernama Naja menyerahkan Narkotika jenis sabu-sabu tersebut kepada
terdakwa, selanjutnya terdakwa menghubungi saksi Marzuki Hamid lalu
menyuruh terdakwa untuk mengantarkan Narkotika jenis sabu-sabu yang telah
dipesan di Jalan Asrama Pondok Kelapa Kelurahan Sei Sikambing C-II
Medan Helvetia Kota Medan tepatnya di Hotel Antara kamar 208;
Kemudian Terdakwa tiba ditempat tersebut tiba-tiba saksi Kelly Wahyudi
bersama dengan tim melakukan penangkapan terhadap terdakwa dan menyita
Narkotika jenis sabu-sabu yang setelah ditimbang dengan berat 96 (sembilan
puluh enam) gram dan telah dimusnahkan sebanyak 86 (delapan puluh enam)
gram, yang mana sebelumnya saksi bersama dengan tim telah melakukan
penangkapan terhadap saksi Marzuki Hamid dan atas informasi dari saksi
Marzuki hamid bahwa Narkotika jenis sabu-sabu diperolehnya dari terdakwa,
sehingga saksi bersama dengan tim menyuruh saksi Marzuki untuk kembali
memesan Narkotika jenis sabu-sabu kepada terdakwa;
Terdakwa diketahui tidak memiliki izin dari pihak yang berwenang
menjadi perantara dalam jual beli Narkotika jenis sabu-sabu seberat 96
(sembilan puluh enam) gram tersebut sehingga terdakwa beserta barang bukti
dibawa ke Polresta Medan guna diproses lebih lanjut;
Berdasarkan Berita Acara Analisis Laboratorium Barang Bukti Narkotika
No. Lab : 4070/NNF/201 tanggal 30 April yang menyatakan barang bukti
yang diperiksa 1 (satu) klip plastik bening berisi kristal warna putih dengan
mengandung Positif Metamfetamina dan terdaftar dalam Golongan I nomor
urut 61 Lampiran I Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun
2009 tentang Narkotika, yang diperbuat dengan sebenarnya yang
ditanda-tangani oleh pemeriksa Zulni Erma dan Deliana Naiborhu, S.Si, Apt, dengan
demikian unsur ketiga ini terpenuhi.
Jika memperhatikan fakta-fakta yuridis yang ada tersebut diatas, maka
Majelis Hakim telah memperoleh keyakinan bahwa perbuatan terdakwa
tersebut telah memenuhi unsur-unsur 114 ayat (2) Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 35 tahun 2009 Tentang Narkotika yang menjadi dasar
dakwaan Penuntut Umum, sehingga dengan demikian oleh karena perbuatan
terdakwa telah memenuhi semua unsur dalam pasal tersebut yang didakwakan,
dan disamping itu Majelis Hakim tidak menemukan alasan pembenar terhadap
perbuatan terdakwa maupun alasan pemaaf terhadap diri terdakwa, sehingga
dengan demikian terhadap terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana seperti apa yang telah didakwakan oleh
Penuntut Umum kepadanya dan kepada terdakwa harus dijatuhi pidana
penjara yang setimpal dengan perbuatannya.
Oleh karena terdakwa telah dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana
penjara maka mengenai penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa haruslah
dikurangkan seluruhnya dari pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya.
Kemudian terdakwa yang dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana penjara
yang lebih lama dari penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa, maka
Penuntut umum kemudian menetapkan barang bukti Terdakwa berupa : 1
(satu) bungkus besar Narkotika jenis sabu-sabu dengan berat bersih 96
(sembilan puluh enam) gram, 1 (satu) unit handphone merk Nokia warna
hitam dan 1 (satu) buah tas warna coklat, yang diajukan didepan persidangan
karena merupakan barang yang terlarang makan akan dirampas untuk
dimusnahkan.
Terdakwa setelah dinyatakan bersalah dan sudah dijatuhi hukuman pidana
penjara, dihukum pula untuk membayar biaya perkara ini.
selanjutnya sebelum menjatuhkan amar putusan perkara ini, Majelis
Hakim akan mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan
bagi diri terdakwa sebagai berikut, yakni :
Hal yang memberatkan :
a. Perbuatan terdakwa menghambat Program pemerintah yang sedang
giat-giatnya memberantas penyalahgunaan Narkotika.
Hal-hal yang meringankan :
a. Terdakwa bersikap sopan dan mengakui perbuatannya
b. Terdakwa belum pernah dihukum sebelumnya.
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, kiranya sudah memenuhi rasa
keadilan, apabila kepada terdakwa dijatuhi pidana yang amarnya seperti dibawah
ini:
Memperhatikan, 114 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana serta peraturan
perundang-undangan lain yang bersangkutan.
6. Putusan104
1. Menyatakan Terdakwa Muliadi alias Mulia telah terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “ Tanpa hak
menjadi perantara dalam jual beli narkotika golongan I bukan tanaman
yang beratnya melebihi 5 gram” Syarat sahnya putusan pengadilan, yaitu :
a. Diucapkan terbuka untuk umum
b. Hadirnya terdakwa di persidangan
c. Hakim wajib memberitahukan hak-hak terdakwa.
Putusan yang dijatuhkan hakim kepada Terdakwa berupa :
2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana
penjara selama 7 (tujuh) tahun dan denda sebesar Rp. 1.000.000.000,-
(satu milyar rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak
dibayar maka diganti dengan pi dana penjara selama 2 (dua) bulan.
3. Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani
terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.
4. Memerintahkan terdakwa tetap berada dalam tahanan.
104
5. Menetapkan barang bukti berupa
a. 1 (satu) bungkus besar narkotika jenis sabu-sabu dengan berat
bersih 96 (sembilan puluh enam) gram.
b. 1 (satu) unit handphone Merk Nokia warna hitam.
c. 1 (satu) buah tas warna coklat.
Dirampas untuk dimusnahkan.
6. Membebankan kepada terdakwa membayar biaya perkara sejumlah Rp.
5.000,- (lima ribu rupiah).
B. Analisa Kasus
1. Analisa kasus terhadap putusan yakni Pasal 114 ayat jo. Pasal 112 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yaitu:
a. Pasal 114 ayat Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
“Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk
dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli,
menukar atau menyerahkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp.
10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).”
Unsur-unsurnya adalah :
1. Setiap Orang
Setiap orang adalah manusia ataupun badan hukum sebagai subjek hukum
tindak pidana sebagai orang yang diperiksa dipersidangan identitas Terdakwa
sebagaimana diuraikan dalam Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum, benar
bahwa terdakwalah orang yang sehat dan jasmani dan rohani serta dapat
bertanggungjawab menurut hukum.
Unsur setiap orang dapat dilihat dari adanya pelaku tindak pidana yaitu
Muliadi alias Mulia pada hari Sabtu tanggal 18 April 2015, sekitar pukul 18.00
WIB, petugas kepolisian dari Polri Polresta Medan telah melakukan penangkapan
terhadap terdakwa atas nama Muliadi alias Mulia di Jalan Asrama Pondok Kelapa
Kelurahan Sei Sikambing C-II Kecamatan Medan Helvetia Kota Medan tepatnya
di Hotel Antara II Kamar 208 dan pada saat terdakwa ditangkap dari terdakwa
berhasil disita barang bukti berupa : 1 (satu) bungkus besar narkotika jenis
sabu-sabu dengan berat bersih 96 (sembilan puluh enam) gram, yang dibalut dengan
plastik klip bening di dalam 1 (satu) buah tas berwarna coklat dan 1 (satu) unit
handphone Merk Nokia warna hitam.
Fakta hukum di persidangan yang menguatkan hal tersebut adalah
berdasarkan keterangan saksi, keterangan terdakwa sendiri serta barang bukti
yang terungkap di persidangan.
2. Secara Tanpa Hak Melawan Hukum
Unsur secara tanpa hak yakni bahwa terdakwa tidak mempunyai dari
intansi berwenang untuk memiliki Narkotika yang dapat diijinkan memiliki untuk
digunakan sabu-sabu ataupun ganja adalah pabrik obat, pedagang besar farmasi,
Penelitian atau Lembaga Pendidikan, apotik, Puskesmas, Balai Pengobatan,
dokter dan menggunakan Narkotika dengan resep dokter.
Diketahui dari keterangan Terdakwa di persidangan, bahwa pekerjaan
Terdakwa tidak ada hubungannya dengan Lembaga Pendidikan atau Lembaga
Penetran, sehingga Narkotika jenis sabu-sabu yang ada pada diri Terdakwa tidak
berdasarkan atas hak, bahwa dengan demikian unsur kedua ini telah terpenuhi.
3. Menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menjadi perantara dalam jual
beli, menukar, menyerahkan atau menerima narkotika Golongan I sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima)
gram.
Unsur ketiga dari pasal 114 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 35 tahun 2009 Tentang Narkotika terdiri dari beberapa sub unsur, apabila
salah satu sub unsur telah terpenuhi pada perbuatan terdakwa maka cukup bagi
Majelis Hakim untuk menyatakan bahwa perbuatan terdakwa telah memenuhi
unsur tersebut.
Dari fakta hukum yang terungkap dipersidangan yang dapat dari
keterangan saksi-saksi dan keterangan terdakwa serta dihubungkan dengan adanya
barang bukti, Terdakwa terbukti menjadi perantara dalam jual-beli Narkotika
Golongan I yaitu 1 (satu) bungkus besar narkotika jenis sabu-sabu dengan berat
bersih 96 (sembilan puluh enam) gram.
Sebelumnya saksi Marzuki menghubungi Terdakwa dan memesan
Narkotika sebanyak 100 (seratus) gram, lalu terdakwa menghubungi temannya
Marzuki menyuruh Terdakwa untuk datang ke Jalan Gajah Mada untuk
mengambil Narkotika jenis sabu-sabu tersebut, kemudian Marzuki menyuruh
Terdakwa untuk mengantarkan narkotika tersebut ke Jalan Pondok Kelapa
tepatnya di Hotel Antara kamar 208 lalu saat Terdakwa tiba ditempat tersebut
kemudian tiba-tiba saksi Kelly Wahyudi bersama dengan team langsung
melakukan penangkapan terhadap terdakwa.
Jika memperhatikan fakta-fakta yuridis yang ada tersebut diatas, maka
telah diperoleh keyakinan bahwa perbuatan Terdakwa tersebut telah memenuhi
unsur-unsur 114 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia tentang Narkotika
yang menjadi dasar dakwaan Penuntut Umum, sehingga dengan demikian oleh
karena perbuatan terdakwa telah memenuhi semua unsur dalam pasal tersebut
yang didakwakan, dan disamping itu ditemukan tidak adanya alasan pembenar
terhadap perbuatan Terdakwa maupun adanya alasan pemaaf terhadap diri
Terdakwa, sehingga dengan demikian terhadap Terdakwa telah terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana seperti apa yang telah
didakwakan oleh Penuntut Umum kepadanya dan kepada Terdakwa harus dijatuhi
pidana penjara yang setimpal dengan perbuatannya.
b. Pasal 112 ayat (2) Undang-Undang nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
“Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai atau
menyediakan narkotika Golongan I bukan tanaman sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).”
Unsur-unsurnya adalah
1. Setiap orang
Berdasarkan uraian tersebut diatas, unsur setiap orang telah terpenuhi.
2. Tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai,
menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman.
Tanpa hak maksudnya adalah hal dalam memiliki, menyimpan,
menguasai, menyediakan Narkotika tanpa seijin dari pemerintah, dimana
penyaluran narkotika dalam rangka peredaran hanya dapat dilakukan oleh
pabrik obat, pedagang farmasi besar dan sarana penyimpanan sediaan farmasi
yang mendapat ijin dari menteri atau pemerintah.
Berdasarkan keterangan terdakwa Muliadi alias Mulia, terdakwa tidak ada
memiliki izin menerima atau menyerahkan 1 (satu) bungkus plastik klip
bening yang berisi kristal warna putih berupa narkotika jenis sabu-sabu
dengan berat bersih 96 (sembilan puluh enam) gram. Berdasarkan uraian
tersebut diatas, unsur tanpa hak dalam kasus ini terpenuhi.
3. Narkotika Golongan I yang beratnya melebihi dari 5 (lima) gram
Narkotika Golongan I beratnya melebihi 5 (lima) gram ini adalah
Narkotika Golongan I bukan tanaman yang ditentukan dalam Lampiran
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
Sesuai dengan surat Direktur Reserse Narkoba Polda Sumut tanggal
laboratorium Forensik Medan yang dipimpin oleh AKBP Zulni Erma Medan
dalam Berita Acara Analisis Laboratorium Barang Bukti Narkotika No. Lab :
4070 / NNF / 201 tanggal 30 April 2015 dengan analisis secara kimia forensik
bahwa barang bukti yang disita dari Terdakwa Muliadi alias Mulia, adalah
benar dengan hasil positif mengandung Metamfetamina dan terdaftar dalam
golongan I nomor urut 61 Lampiran I Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 35 tahun 2009 Tentang Narkotika, pemeriksa mengambil kesimpulan
bahwa barang bukti yang disita dari terdakwa Muliadi alias Mulia benar
narkotika Golongan I dan terhadap barang bukti Narkotika jenis sabu-sabu
seluruhnya setelah dilakukan penimbangan beratnya melebihi 5 (lima) gram.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, unsur Narkotika Golongan I beratnya
melebihi dari 5 (lima) gram dalam kasus ini terpenuhi.
2.Analisis terhadap putusan dikaitkan dengan pertanggungajawaban pidana
Berdasarkan fakta-fakta hukum didalam persidangan bahwa terdakwa
telah memenuhi unsur-unsur pertanggungjawaban pidana, yaitu:
1. Adanya kemampuan bertanggungjawab
Di dalam KUHP, yang berkaitan dengan kemampuan bertanggungjawab
adalah Pasal 44, yang isinya “Tiada dapat dipidana barang siapa mengerjakan
suatu perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, sebab
kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal”.
Untuk adanya kemampuan bertanggungjawab harus adanya105
105
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta : Rineka Cipta, 2002) hlm. 165
a. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan
yang buruk, seusai hukum dan yang melawan hukum.
b. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan
tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.
Berdasarkan fakta dalam persidangan diatas maka Terdakwa Muliadi alias
Mulia ketika dalam melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan jaksa
penuntut umum, terdakwa melakukannya dalam keadan sehat dan akal sempurna,
sehingga atas perbuatannya apat dimintai pertanggungjawaban pidana
sebagaimana diatur dalam pasal 114 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika.
2. Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau
kealpaan.
Pertanggungjawaban pidana sering juga disebut sebagai kesalahan dalam
arti luas. Andi Hamzah menyatakan bahwa kesalahan dalam arti luas meliputi106
Sengaja (opzet) misalnya seseorang yang berbuat dengan sengaja itu, harus dikehendaki apa yang diperbuat dan harus diketahui juga atas apa yang diperbuat.
Tidak termasuk perbuatan dengan sengaja adalah suatu gerakan yang ditimbulkan :
1. Sengaja (Opzet); 2. Kelalaian (Culpa);
3. Dapat dipertanggungjawabkan.
106
oleh reflek, gerakan tangkisan dan gerakan-gerakan lain yang tidak dikendalikan
oleh kesadaran.107
Von Hippel ditahun 1903 menerangkan bahwa sengaja adalah kehendak
untuk membuat suatu perbuatan dan kehendak untuk menimbulkan akibat dari
perbuatan itu, dengan kata lain apabila seseorang melakukan perbuatan yang
tertentu, tentu saja melakukannya itu hendakk menimbulkan akibat tertentu pula,
karena ia melakukan perbuatan itu justru dapat dikatakan bahwa ia menghendaki
akibatnya, ataupun hal ikhwal yang menyertai.108
Sedangkan kelalaian (culpa) terletak antara sengaja dan kebetulan. Lalai maksudnya si pelaku tidak menyadari apa akibat dari perbuatannya, atau dengan
kata lain tidak memiliki maksud demikian sebelumnya. Bagaimana pun juga,
kelalaian itu berati lebih ringan daripada kesengajaan, sehingga diadakan
pengurangan pidana terhadap yang lalai.109
Pada umunya, kealpaan (culpa) dibedakan atas110
Kealpaan dengan kesadaran ini ada, kalau yang melakukan perbuatan itu
ingat akan akibat yang berbahaya itu. Tetapi, toh ia berani melakukan tindakan itu :
1. Kealpaan dengan kesadaran (bewustu schuld).
Dalam hal ini, si pelaku telah membayangkan atau menduga akan
timbulnya suatu akibat tersebut, tetapi walaupun ia berusaha untuk mencegah, toh
timbul juga akibat tersebut.
107
Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, (Yogyakarta: Ghalia Indonesia,
1992) hlm. 156 108
Ibid. 109
Andi Hamzah, Op.cit., hlm. 125
110
karena ia tidak yakin bahwa akibat itu benar akan terjadi dan ia tidak akan
bertindak demikian kalau ia yakin bahwa akibat itu akan timbul.
2. Kealpaan tanpa kesadaran (onbewustu schuld)
Dalam hal ini, si pelaku tidak membayangkan atau menduga akan
timbulnya suatu akibat yang dilarang dan diancam hukuman oleh undang-undang,
sedangkan ia seharusnya memperhitungkan akan timbulnya suatu akibat.
Berdasarkan fakta-fakta dalam persidangan mengenai kasus tersebut diatas
bahwa Terdakwa Muliadi alias Mulia telah mempunyai bentuk kesalahan yaitu
berupa kesengajaan (opzet).Dimana Terdakwa Muliadi alias Mulia telah mengetahui bahwa perbuatannya itu telah melanggar hukum yaitu dalam hal
melakukan tindak pidana narkotika sebagai perantara yang mengantarkan
narkotika milik Naja untuk disampaikan kepada saksi Marzuki Hamid.
3. Tidak adanya alasan pemaaf
Apabila tidak dipidananya seseorang yang telah melakukan perbuatan
yang mencocoki rumusan delik yang disebabkan karena tidak sepantasnya orang
itu dicela, tidak sepatutnya dia disalahkan, maka hal-hal yang menyebabkan dia
tidak sepantasnya dicela itu diesebut sebagai hal-hal yang dapat
memaafkannya.111
Alasan pemaaf (schulduitsluitingsgrond) ini menyangkut pertanggungjawaban seorang terhadap perbuatan pidana yang telah dilakukannya
atau criminal responsibility. Alasan ini menghapuskan kesalahan orang yang melakukan delik atas dasar beberapa hal, yaitu112
Berdasarkan uraian kasus diatas, putusan majelis hakim ini telah
mencerminkan rasa keadilan dan kepastian hukum. Karena tindak pidana yang
dilakukan terdakwa ini kasus yang tergolong besar dan menimbulkan akibat yang
besar karena peredaran narkotika yang seperti inilah yang sedang marak terjadi di
kalangan masyarakat. Tindakan Terdakwa Muliadi ini lah yang memudahkan
masyarakat untuk memperoleh barang haram jenis Narkotika. :
a. Tidak dapat dipertanggungjawabkan (ontoerekeninngsvaatbaar) b. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer exces) c. Daya paksa (overmacht)
Berdasarkan fakta-fakta dalam persidangan maka Terdakwa Muliadi alias
Mulia tidak memiliki alasan pemaaf untuk menghapuskan kesalahan yang telah
terdakwa lakukan. Oleh sebab itu Terdakwa Muliadi alias Mulia dapat dimintai
pertanggungjawaban pidana sebagimana perbuatan terdakwa diatur dalam pasal
114 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Setelah mendengarkan keterangan saksi-saksi dan fakta-fakta hukum
dalam persidangan serta berdasarkan pertimbangan hakim sebagaimana diuraikan
diatas, maka majelis hakim memutus terdakwa dengan vonis pidana penjara
selama 7 (tujuh) tahun dan denda sebesar Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar)
rupiah dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti
dengan pidana penjara selama 2 (dua) bulan.
112
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana Edisi Revisi, (Jakarta : PT. Raja Grafindo, 2012), hlm.
Pemidanaan dilakukan agar menimbulkan efek jera terhadapa Terdakwa
Muliadi alias Mulia di masa yang akan datang juga menjadi upaya pembinaan,
sehingga vonis 7 (tujuh) tahun penjara sudah sepadan dengan tindakan yang
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Peraturan perundang-undangan tentang narkotika pertama kali dibuat oleh
Belanda pada tahun 1927 yaitu Ordonansi Obat Bius (Verdoovende Middelen Ordonnantie Stbl. 1927 No. 278 Jo. No. 536). Peraturan ini hanya mengatur tentang penggunaan candu dan obat bius dan melegalkan
penggunaannya selama hanya dilakukan di tempat-tempat yang sudah
ditetapkan. Akhirnya pada tahun 1976 dikeluarkanlah Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 1976 Tentang Narkotika. Isi dari Undang-Undang ini
antara lain tentang peredaran gelap, rehabilitasi pecandu, dan peranan
dokter dalam menangani pasien candu. Perkembangan zaman mendapat
celah dari kelemahan-kelemahan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976.
Lalu pemerintah merevisi lagi hingga lahirlah Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1997, yang memuat antara lain sanksi pidana yang lebih berat untuk
para pelaku bahkan sampai kepada hukuman mati.Perkembangan
kemajuan teknologi, khususnya bagian komunikasi dan transportasi,
membuat para pelaku penyalahgunaan narkotika ini semakin beragam dan
semakin canggih. Jaringan peredarannya yang sudah melewati batas
negara kemudian menyebabkan diadakannya penyesuaian dengan
Undang-Undang Narkotika, yang melahirkan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 35 tahun
kerjasama, baik bilateral, regional, bahkan internasional. Semua pelaku
penyalahguna narkotika darimana pun asalnya, baik dalam ataupun luar
negeri bila tertangkap di wilayah Indonesia, maka akan dijatuhi hukuman
yang berlaku di Indonesia.
2. Pertanggungjawaban pidana terhadap orang yang tanpa hak menjadi
perantara dalam jual beli narkotika golongan I bukan tanaman yang
beratnya melebihi 5 gram dalam perkara Register No.
1862/Pid.Sus/2015/PN.MDN, menurut saya sudah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Kasus ini sudah
memenuhi unsur-unsur pertanggungjawabnpidana yaitu dengan adanya
kemampuan bertanggungjawab, adanya kesalahan yang dilakukan berupa
kesengajaan oleh Terdakwa, dan tidak adanya alasan pemaaf untuk
Terdakwa dimana Terdakwa dianggap telah turut serta merusak generasi
bangsa dengan membantu menyebarkannya barang haram berupa
Narkotika untuk sampai ke tangan pengguna dan Terdakwa telah
menghambat Program Pemerintah yang sedang giat-giatnya memberantas
penyalahgunaan Narkotika.Terdakwa dituntut 9 (sembilan) tahun pidana
penjara. Dalam kasus ini terdakwa dihukum pidana penjara 7 (tujuh) tahun
pidana penjara setelah Majelis Hakim mempertimbangkan hal-hal yang
patut dipertimbangkan baik untuk meringankan ataupun memberatkan
B. Saran
Berdasarkan pernyataan di atas, penulis melihat masih ada hal-hal yang
kurang. Adapun saran yang dapat penulis berikan untuk menanggulangi tindak
pidana di bidang narkotika, yaitu :
1. Perlu kepekaan dan kesadaran yang tinggi pada masyarakat untuk bekerja
sama memberantas peredaran narkotika dan prekursor narkotika.
Setiap anggota masyarakat juga harus saling memperhatikan agar tidak ada
yang terjerumus ke dalam penyalahgunaan narkotika.
2. Perlu dukungan pemerintah dalam kasus ini. Pemerintah yang belakangan
ini juga sedang giat-giatnya memberantas predaran narkotika di kalangan
masyarakat misalnya dengan membentuk suatu badan khusus yang
menangani narkotika yaitu Badan Narkotika Nasional
(BNN).Kekurangefektifan BNN yang dianggap belum mendekatkan diri
kepada masyarakat, bisa dilakukan dengan cara-cara memberikan
penyuluhan-penyuluhan di lembaga pendidikan, instansi-instansi, dengan
BAB II
PERKEMBANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG
NARKOTIKA
Sebelum membahas jauh sejarah pembentukan Undang-Undang Narkotika
dan perkembangannya, maka terlebih dahulu penulis akan meninjau sejarah
keberadaan narkotika itu sendiri.
Pada zaman prasejarah di negeri Mesopotamia, atau lebih dikenal Irak,
dikenal suatu barang yang namanya Gil, yang artinya bahan yang menggembirakan. Gil ini lazimnya digunakan sebagai obat sakit perut, kemampuan Gil sangat terkenal pada saat itu, dan Gil menyebar di dunia Barat sampai Asia dan Amerika. Ada pula bahan lain yang menyerupai candu masak,
yang bernama Jadam. Jadam ini tergolong obat keras yang pada mulanya berkembang di dunia Arab.36
Pada zaman masa penjajahan Belanda kebiasaan penyalahgunaan obat bius
dan candu sudah mulai terasa membahayakan masyarakat, pemakainya terutama Demikianlah Gil, candu, serta jadam dengan segenap zat dan jenisnya terus berkembang penggunaannya oleh masyarakat di dunia, dan yang
keberadaannya sekarang banyak sekali jenis zat-zat narkotika, baik yang
tergolong alami maupun sintetis (buatan). Jenis-jenis narkotika tersebut akan
diuraikan pada bagian berikutnya. Karena perkembangan peredaran narkotika
yang begitu cepat maka banyak kasus kejahatan narkotika yang muncul di
masyarakat, kasus kejahatan narkotika itu hampir kebanyakan menimpa remaja.
36
masyarakat golongan menengah. Oleh sebab itu, pada zaman tersebut pemerintah
Hindia-Belanda mengeluarkan V.M.O Staatblad 1927 No. 278 jo No. 536, yaitu peraturan yang mengatur tentang obat bius dan candu.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 131 I.S., yaitu peraturan tentang obat bius
yang berlaku di Belanda. Gubernur Jenderal dengan persetujuan Raad van Indien,
mengeluarkan Staatblad 1927 No. 278 jo No. 536 tentang Verdovende Midellen Ordonantie yang diterjemahkan dengan Undang Obat Bius. Undang-Undang tersebut adalah untuk mempersatukan dalam satu undang-undang tentang
ketentuan mengenai candu dan obat-obatan bius lainnya.37
Sebelum Indonesia merdeka, penegakan hukum terhadap tindak pidana
narkotika oleh pemerintah Hindia Belanda ketika itu, bertujuan menyatukan
berbagai ketentuan mengenai perdagangan candu, telah ditetapkan Verdoovende Middellen Ordonantie Stbl. 1927 Nomor 278 jo. 536 atau Ordonansi Obat Bius, yang telah diberlakukan pada tanggal 1 Januari 19928 dan ditempatkan dalam
Tambahan Lembaran Negara, tanggal 22 Juli 1928 dan tanggal 3 Februari 1928.
Setelah Indonesia merdeka Ordonansi Obat Bius 1927 Nomor 278 dan 536, dan
ketentuan yang berkaitan dengan candu ini masih terus berlaku berdasarkan Pasal
II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa segala
badan negara dan peraturan yang masih ada masih langsung berlaku, selama
belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.38
37
Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana, (Bandung :
Penerbit Mandar Maju, 2003) cetakan pertama,hlm. 163 38
Romli Atmasasmita, Tindak Pidana Narkotika Transnasional Dalam Sistem Hukum
Awal tahun 1970 penyalahgunaan narkotika sudah semakin sering terjadi
di masyarakat dan jenis-jenis narkotika yang beredar pun semakin banyak pula
ragamnya. Kenyataan inilah yang mendorong timbulnya kesadaran akan perlunya
segera dibentuk suatu undang-undang yang dapat menjangkau bentuk
penyalahgunaan narkotika. Setidak-tidaknya undang-undang yang baru itu dapat
menimbulkan rasa takut bagi anggota masyarakat untuk tidak melakukan
perbuatan-perbuatan yang dikualifikasikan sebagai Tindak Pidana Narkotika.39
Soedjono Dirdjosisworo mengatakan beberapa hal yang menonjol
mengenai hal ini adalah kecenderungan kecanduan dan ketagihan narkotika yang
membutuhkan terapi dan perbedaannya dengan mereka yang mengadakan serta
mengedarkan secara gelap tidak diatur secara tegas. Kenyataan bahwa V.M.O
tidak memenuhi syarat lagi sebagai Undang-Undang Narkotika disamping tidak
cocok lagi dengan kenyataan admisnistrasi peradilan pidana dewasa ini.40
1. Tidak adanya keseragaman di dalam pengertian narkotika
Khusus dalam masalah penyalahgunaan narkotika ketentuan hukum belum
dapat menjangkaunya, sebab ketentuan-ketentuan tersebut bersumber kepada
ketentuan lama yang memiliki kelemahan-kelemahan, berupa :
2. Sanksi terlalu ringan dibanding dengan akibat penyalahgunaannya
3. Ketidaktegasan pembatasan pertanggungjawaban terhadap penjual,
pemilik, pengedar, pemakai, dan penyimpan narkotika.
4. Ketidak serasian antara ketentuan hukum pidana mengenai narkotika
39
Hari Sasangka, Op.cit., hlm. 165 40
Soedjono D. Segi Hukum Tentang Narkotika di Indonesia, (Bandung : Penerbit PT.
5. Belum ada badan bertingkat nasional yang khusus mengenai masalah
penyalahgunaan narkotika
6. Belum adanya ketentuan khusus wajib lapor adanya penyalahgunaan
narkotika
7. Belum adanya hal-hal yang khusus bagi yang berjasa dalam
penyelidikan-penyelidikan perkara penyalahgunaan narkotika.
Mengingat hal diatas, maka dipandang perlu dalam waktu yang relatif
singkat untuk mengadakan pembaruan dan penyempurnaan perundang-undangan
tentang narkotika, dan diharapkan peraturan efektif di dalam pengimplementasian
dan tepat sasaran di dalam penanggulangan terhadap penyalahgunaan narkotika.41
Undang-undang pidana yang baik adalah yang sejalan dengan tuntutan
perkembangan sosial bisa dipandang sebagai sarana untuk melakukan tindakan
prevensi umum. Demikian halnya dengan upaya menghadapi bahaya narkotika.
Secara yuridis, khususnya hukum pidana pemerintah didukung oleh kalangan ahli
dan praktisi menyadari pentingnya Undang-Undang Narkotika. Persepsi kalangan
mengenai relevan dan tanda hadirnya Undang-Undang Narkotika Nasional yang
baru merupakan dukungan besar atas diterbitkannya undang-undang tentang
narkotika. 42
Untuk memberikan kepastian hukum dalam upaya penanggulangan
terhadap penyalahgunaan narkotika, maka sebagai dasar hukum dari
Undang-Undang adalah sebagai berikut.
41
Moh. Taufik Makarao, Suhasril dan H. Moh. Zakky, Op. Cit., hlm. 12
42
1. Undang-Undang Dasar 1945
2. Undang-Undang No. 9 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Kesehatan
3. Instruksi Presiden No. 6 Tahun 1971
4. Undang-Undang No. 13 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Kepolisian.
5. Undang-Undang No. 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Kesehatan.
6. Undang-Undang No. 7 Tahun 1963 tentang Farmasi
7. Undang-Undang No. 3 Tahun 1966 tentang Kesehatan Jiwa
8. Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman
9. Undang-Undang No. 6 Tahun 1976 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Kesejahteraan Nasional
10.Undang-Undang No. 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi
Tunggal Narkotika 1961, beserta protokol yang mengubahnya.
11.Undang-Undang No. 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap
Narkotika dan Psikotropika.
Dengan mengingat dasar-dasar ketentuan undang-undang diatas, maka
pemerintah memutuskan :
1. Mencabut V.M.O (Verdoovende Middelen Ordonantie) 1972 No. 278
2. Memperbarui Undang-Undang No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika
(Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 36 Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3086)
3. Menetapkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1997
Tanggal 1 September 1997 tentang Narkotika. (Lembaran Negara
Tahun 1997 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3698).43
A. Kebijakan Hukum Pidana tentang Narkotika dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976
Perkembangan serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di era
globalisasi adalah merupakan salah satu penyebab diproduksinya berbagai macam
jenis narkotika, kecuali itu bahwa pada era pesatnya kemajuan komunikasi seperti
sekarang ini terasa semakin mudahnya pendistribusian atau peredaran narkotika
yang dapat menjangkau wilayah-wilayah terpelosok di seluruh Indonesia, padahal
sebelumnya masyarakat daerah itu tidak mengenal barang-barang haram seperti
narkotika dan jenisnya.
Undang-undang ini mengatur lebih luas cakupannya, lebih lengkap, lebih
berat ancaman pidananya. Hal-hal yang diatur dalam undang-undang ini adalah44
1. Mengatur jenis-jenis narkotika yang lebih terperinci
:
2. Pidananya juga sepadan dengan jenis-jenis narkotika tersebut
3. Mengatur pelayanan tentang kesehatan untuk pecandu dan
rehabilitasinya
43
Moh. Taufik Makarao, Suhasril dan H. Moh. Zakky, Op. Cit., hlm. 16
44
4. Mengatur semua kegiatan yang menyangkut narkotika yakni
penanaman, peracikan, produksi, perdagangan, lalu lintas
pengangkutan serta penggunaan narkotika.
5. Acara pidananya bersifat khusus
6. Pemberian premi bagi mereka yang berjasa dalam pembongkaran
kejahatan narkotika
7. Mengatur kerjasama internasional dalam penanggulangan narkotika
8. Materi pidananya banyak yang menyimpang dari KUHP
9. Ancaman pidananya lebih berat
Dalam Bab IV Undang-Undang ini, diatur tentang perbuatan-perbuatan
yang dilarang, yang meliputi45
1. Dilarang secara tanpa hak menanam atau memelihara, mempunyai
dalam persediaan. Memiliki, menyimpan, atau menguasai tanaman
papaver, tanaman koka atau tanaman ganja. Terdapat dalam Pasal 23
ayat (1) dan Pasal 36 ayat (1); :
2. Dilarang secara tanpa hak memproduksi, mengolah, mengekstraksi,
mengonversi, meracik, atau menyediakan narkotika. Terdapat dalam
Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 36 ayat (2);
3. Dilarang secara tanpa hak memiliki, menyimpan, untuk memiliki atau
untuk persediaan atau menguasai narkotika. Terdapat dalam Pasal 23
ayat (3) dan Pasal 36 ayat (3).
45
4. Dilarang secara tanpa hak membawa, mengirim, mengangkut atau
mentransit narkotika. Terdapat dalam Pasal 23 ayat (4) dan Pasal 36
ayat (4);
5. Dilarang secara tanpa hak mengimpor, mengekspor, menawarkan
untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan,
menerima menjadi perantara, dalam jual beli atau menukar narkotika.
Terdapat dalam Pasal 23 ayat (5) dan Pasal 36 ayat (5);
6. Dilarang secara tanpa hak menggunakan narkotika terhadap orang lain
atau memberikan narkotika untuk digunakan orang lain. Terdapat
dalam Pasal 23 ayat (6) dan Pasal 36 ayat (6);
7. Dilarang secara tanpa hak menggunakan bagi dirinya sendiri. Terdapat
dalam Pasal 23 ayat (7) dan Pasal 36 ayat (7);
8. Kelalaian yang menegakibatkan dilanggarnya ketentuan dalam Pasal
23 ayat (1) diatas tanah atau tempat miliknya yang dikuasainya;
9. Dilarang membujuk anak yang belum cukup umur untuk melakukan
tindak pidana narkotika sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1)
sampai dengan ayat (7) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976;
10.Dilarang penggunaan dan pemberian narkotika oleh dokter, kecuali
untuk pengobatan. Terdapat dalam Pasal 24 dan Pasal 40;
11.Perbuatan Pabrik farmasi, pedagang besar farmasi, apotik, rumah sakit,
dokter, lembaga ilmu pengetahuan dan lembaga pendidikan yang tidak
melaksanakan kewajiban menurut Pasal 18 dan Pasal 19
12.Lembaga ilmu pengetahuan dan lembaga pendidikan yang menanam
tanaman Papaver, Koka dan Ganja yang tidak melaksanakan kewajiban
membuat laporan yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2). Terdapat
dalam pasal 42;
13.Nakhoda, kapten penerbang atau pengemudi yang tidak melaksanakan
kewajiban pelaporan menurut Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1975.
Terdapat dalam Pasal 43;
14.Perbuatan menghalangi proses penyidikan, penuntutan dan peradilan
narkotika. Terdapat dalam Pasal 45 sampai dengan Pasal 47;
15.Perbuatan tidak melaporkan adanya narkotika yang tidak sah kepada
pihak yang berwajib. Terdapat dalam Pasal 48;
16.Semua tindak pidana dalam undang-undang ini dikualifikasikan
sebagai kejahatan kecuali Pasal 47 mengenai saksi yang membocorkan
identitas pelapor dianggap sebagai delik pelanggaran.
Hal-hal yang menjadi pertimbangan digantinya Vervonde Midellen Ordonantieadalah sehubungan dengan perkembangan lalu lintas dan alat-alat perhubungan dan pengangkutan modern yang menyebabkan cepatnya
penyebaran/pemasukan narkotika ke Indonesia. Ditambah lagi dengan kemajuan
di bidang pembuatan obat-obatan, ternyata tidak cukup memadai bila tetap
memakai undang-undang tersebut. Dalam Vervonde Midellen Ordonantie hanya mengatur tentang perdagangan dan penggunaan narkotika. Narkotika tidak saja
diperlukan dalam dunia pengobatan, tetapi juga dalam penelitian untuk tujuan
untuk mengimpor narkotika dan mengekspor obat-obatan yang mengandung
narkotika, menanam, memelihara Papaver, Koka dan Ganja.
Keadaan yang seperti inilah yang akhirnya menimbulkan keharusan untuk
membuat undang-undang baru khusus tentang narkotika. Atas problema demikian,
lahirlah Undang-Undang No. 9 Tahun 1976 yang kemudian disempurnakan lagi
dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 pada tanggal 1
September 1997. Lembaran Negara RI No. 67, tambahan Lembaran Negara RI
No. 3698 Tahun 1997.46
46
Hari sasangka, Op.cit., hlm. 58
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika juga mengatur
mengenai sanksi yang diancamkan terhadap tindak pidana. Sanksi ini bertujuan
untuk memaksimalkan peranan Undang-Undang Nomor 9 tahun 1976 tentang
Narkotika mengenai penanggulangan tindak pidana narkotika.
Sanksi pidana dirumuskan secara limitatif dalam Pasal 10 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia (KUHP) yaitu:
a. Pidana Pokok yaitu :
1. Pidana mati;
2. Pidana penjara;
3. Pidana kurungan;
4. Pidana denda;
5. Pidana tutupan.
b. Pencabutan hak-hak tertentu;
2. Perampasan putusan hakim.
Adapun kebijakan hukum pidana terkait sanksi dan pemidanaan dalam
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika adalah sebagai berikut:
1. Jenis pidana yang digunakan adalah : pidana mati, penjara, kurungan,
denda, pencabutan hak-hak tertentu, perampasan.
2. Pidana terberat yaitu pidana mati atau pidana penjara seumur hidup
atau pidana penjara selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun dan denda
setinggi-tingginya Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)
diancamkan terhadap tindak pidana membawa, mengirim,
mengangkut, mentransit narkotika, mengimpor, mengekspor,
menawarkan untuk dijual, meyalurkan, menjual, membeli,
menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli atau
menukar narkotika sebagaimana diatur dalam Paal 36 ayat (4) dan (5)
sedangkan pidana teringan yaitu berupa 1 (satu) tahun kurungan
diancamkan terhadap tindak pidana saksi yang membuka identitas
pelapor tindak pidana narkotika yang diatur dalam Pasal 47
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976.
3. Mayoritas ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun
1976 tentang Narkotika merumuskan dua (2) jenis pidana pokok yaitu
pidana penjara dan pidana denda secara kumulatif.
4. Pengenaan sanksi tindakan rehabilitasi bagi penyalahgunaan narkotika
(pelaku yang melanggar pasal 36 ayat (7)) dan sanksi tindakan berupa
warga negara asing yang pernah melakukan tindak pidana narkotika.
Dengan demikian Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang
Narkotika telah mengkombinasikan antara sanksi pidana dengan sanksi
tindakan.
5. Percobaan (poging) melakukan tindak pidana narkotika diancam
dengan sanksi yang sama dengan tindak pidana narkotika. Hal ini
merupakan kekhususan dari aturan dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana yang mengurangi sanksi 1/3 terhadap percobaan
(poging).
6. Ancaman sanksi pidana diperberat sebesar 1/3 dengan batasan
maksimum 20 (dua puluh) tahun bagi pelaku yang membujuk anak
dibawah umur melakukan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 36
ayat (1) sampai dengan ayat (7).
7. Ancaman sanksi pidana penjara diperberat 1/3 tanpa batasan
maksimum serta untuk pidana denda dikalikan 2 (dua) bagi pelaku
yang melakukan pengulangan (recidive) terhadap tindak pidana yang
diatur dalam pasal 36 ayat (1) sampai dengan ayat (7).
8. Pencabutan hak terhadap importir, pabrik farmasi, pedagang besar
farmasi, apotik, rumah sakit, dokter, lembaga ilmu pengetahuan dan
lembaga pendidikan, nakhoda, kapten penerbang atau pengemudi
sebagaimana diatur dalam Pasal 35 ayat (1) butir 1 sampai dengan 6
B. Kebijakan Hukum Pidana tentang Narkotika dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997
Dalam perkembangannya, kejahatan narkotika sudah semakin canggih,
sehingga ditemukan adanya kelemahan-kelemahan dalam Undang-Undang Nomor
9 Tahun 1976. Untuk itu, dilakukan revisi terhadap Undang-Undang tersebut
dengan melahirkan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika.
Kurang lebih sepuluh tahun Undang-Undang nomor 22 Tahun 1997 diberlakukan,
ditemukan adanya kenyataan bahwa organisasi sindikat peredaran gelap narkotika
sudah beroperasi dengan semakin canggih. Organisasi ini memiliki modal yang
besar, teknologi tinggi, manajemen yang sangat rahasia, mobilitas tinggi, tegas
dan kejam terhadap anggota atau orang yang mengancam eksistensi
organisasinya, serta bekerja dengan berbagai macam modus operandinya.
Kecanggihan ini membutuhkan aturan yang sangat fleksibel dan menutup
berbagai kelemahan aturan yang menjadi entry point dari sindikat yang canggih ini.47
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika diberlakukan
pada tanggal 1 September 1997 dan dimuat dalam Lembaran Negara Tahun 1997
Nomor 67 serta Tambahan Lembar Negara Nomor 3698. Latar belakang
diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 dapat dilihat dalam
penjelasan undang-undang tersebut, yakni peningkatan pengendalian dan
pengawasan sebagai upaya mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkotika. Kejahatan-kejahatan narkotika pada umumnya tidak
47
Akhyar Ari Gayo, Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika, (Yogyakarta : Penerbit
dilakukan oleh perorangan secara berdiri sendiri, melainkan dilakukan secara
bersama-sama bahkan dilakukan oleh sindikat yang terorganisasi secara mantap,
rapi dan sangat rahasia.48
Disamping itu kejahatan narkotika yang bersifat transnasional dilakukan
dengan menggunakan modus operandi dan teknologi canggih, termasuk
pengamanan-pengamanan hasil-hasil kejahatan narkotika. Perkembangan kualitas
kejahatan narkotika sudah menjadi ancaman yang sangat serius bagi kehidupan
manusia. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 mempunyai cakupan yang lebih
luas baik dari segi norma, ruang lingkup materi maupun ancaman pidana yang
diperberat.49
Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika ini,
diatur beberapa ketentuan, tentang etimologi dan terminologi sekitar pengertian
dan istilah-istilah yang diatur dalam undang-undang narkotika tersebut, serta Didalam peraturan pelaksana itu, yang dibuat pada pokoknya adalah
bagaimana cara para aparat penegak hukum melaksanakan tugasnya, serta
bagaimana para subyek hukum harus bertindak apabila berhubungan dengan kasus
narkotika, dan bagaimana pula ketentuan Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 itu
dapat diterapkan ke dalam hukum budaya yang sudah ada, agar undang-undang
tersebut jangan hanya berupa teori yang sempurna di atas kertas saja, namun yang
paling penting adalah aplikasinya di lapangan. Untuk dapat melaksanakan
persoalan itu, maka mengacu pada peraturan menteri sebagaimana petunjuk teknis
pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983.