• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisa Kimono Wanita Bangsawan Periode Muromachi (1333 – 1573)

3.2.2 Zaman Feodal (1185 – 1868)

3.2.2.2 Analisa Kimono Wanita Bangsawan Periode Muromachi (1333 – 1573)

Setelah kejatuhan Kamakura, ibukota dipindahkan lagi ke Muromachi. Keshogunan berada di tangan penguasa Klan Ashikaga, yang kemudian menjalin kerjasama dengan Dinasti Ming karena ketertarikannya akan kesenian China dan kesetiaannya pada Buddhisme Zen, sehingga fashion didominasi oleh kain brokat impor karena industri dalam negeri lumpuh akibat perang sipil dan gerombolan pendeta-pendeta perompak yang meneror seluruh negeri.

Dalam sejarah Jepang terutama dalam bidang pakaian, periode Muromachi pantas dikenang tidak hanya karena kain sutera China impornya melainkan karena pada periode inilah transisi terakhir dari gaya pakaian berlebihan kaum bangsawan Heian yang menjadi kosode yang sederhana, yang mana menjadi kimono pada masa sekarang walaupun mengalami sedikit perubahan sebelumnya. Kesederhaan kimono pada periode ini tidak hanya dikarenakan pengadaptasian idealisme Zen seperti pada periode Kamakura, namun juga karena habisnya harta negara yang diboroskan untuk dekorasi kimono pada awal periode ini dan juga karena perang-perang sipil yang terjadi.

Hal tersebut dapat dilihat dari betapa menyedihkan kekaisaran Jepang yang saat itu masih berpusat di Kyoto yang sedang berada diambang kehancuran. Kaisar menjadi sangat miskin dan dipaksa untuk menjual tanda tangannya hanya demi kelangsungan hidupnya. Kaum bangsawan kerja lembur untuk membuat sumpit dan menjualnya demi upah yang tidak seberapa. Sewaktu Kaisar wafat pun, jenazahnya terlantar selama 40 hari sampai akhirnya ada seorang penguasa provinsi yang menawarkan diri untuk membayar biaya pemakaman yang sederhana. Setelah itu pun, sama sekali tidak ada dana untuk acara kenaikan tahta kaisar baru. Banyak kaum bangsawan yang melarikan diri dari Kyoto dan mencari perlindungan pada penguasa-penguasa provinsi yang mau menampung mereka.Keadaan demikian sama sekali tidak memungkinkan kaum bangsawan yang dulunya royal dan kini jatuh miskin untuk bereksperimen dalam pendekorasian kimono.

Kosode mulai diterima dan dipakai secara umum sebagai kimono sehari-hari. Kimono masa sekarang didasarkan pada kimono periode ini yang disebut kosode bakama atau kosode yumaki (gambar 14). Lipatan terakhir yang tergerai di sepanjang bahu disebut karaginu, yaitu sejenis jubah pendek yang terbuka dibagian depan, yang

mana ketika pada zaman ini selalu terbuat dari kain brokat China bermotif mewah dan indah. Oleh karena ukuran kain China lebih lebar, penjahit Jepang merasa enggan untuk melipat atau menggunting kain semahal itu. Lebarnya bagian depannya dua kali lebih besar dibanding ukuran kain Jepang sehingga diperlukan hanya setengah bagian saja untuk membuat bagian lengan. Inilah yang mencetuskan munculnya kimono longgar yang berpotongan persegi besar dengan panel sempit namun cukup longgar melewati bagian bahu.

Menurut analisa penulis, bila ditinjau dari bentuknya, memang kosode pada periode ini tidak jauh berbeda dengan kosode pada periode Kamakura. Hanya saja, kosode pada periode ini lebih kaya akan hiasan dan motif. Selain itu, pada periode sebelumnya, kaum wanita bangsawan belum memakai kosode sebagai pakaian luar melainkan ditambah atau dipadukan dengan hakama dan mo. Hal inilah yang menjadi perbedaan yang cukup drastis antara kedua periode tersebut karena kimono pada periode ini hanya berupa kosode dan tidak ditambah dengan hakama ataupun mo.

Akhirnya, setelah hakama pun dibuang, yang tersisa hanyalah uchikake yang mirip kosode yang panjang dan tergerai atau disebut juga kaidori yang dulunya mereka pakai. Tidak seperti pakaian mewah yang terbuat dari kain brokat impor yang mahal, baik kosode maupun uchikake terbuat dari kain sutera yang lembut dan mudah dilipat sehingga menjadi kanvas yang ideal bagi seniman kreatif yang memiliki gaya desain bebas yang menggantikan kekakuan teknik pengulangan bentuk pola yang dipakai pada masa itu.

Kimono formal kaum bangsawan Heian dan Kamakura dimodifkasi dan distandarisasikan pada periode Muromachi ini, yang kemudian bertahan atau tersisa hanya untuk dipakai pada ritual upacara-upacara penting pada masa sekarang kecuali

pada selang masa kedatangan Commodor Perry. Dalam peristiwa upacara-upacara seperti itu, jyuuni-hitoe yang terdiri dari berlapis-lapis kimono yang dulunya dipakai oleh kaum wanita bangsawan Heian, kini hanya menjadi lima lapis dan ditambah masing-masing satu “lapisan” palsu yang berupa lipatan berwarna di setiap tepi lapisan. Lapisan-lapisan tersebut dipakai diatas kosode, hakama dan lipatan ekor panjang yang dipakai untuk menambah efek elegan.

Wanita bangsawan menyelubungkan kepala mereka dengan sejenis kimono ringan ketika mereka hendak bepergian (gambar 15). Kebiasaan semacam itu ditiru dari Korea. Mereka yang memiliki status atau pangkat tinggi biasanya membawa payung, hal ini bisa dilihat pada pendeta Buddha yang memiliki tingkatan tinggi di masa sekarang. Menurut peraturan, topi jarang dikenakan kecuali untuk upacara tertentu saja dan bagi kaum bangswan pada saat musim panas. Apabila hendak berziarah ke kuil, wanita bangsawan mengenakan topi lebar namun dangkal yang mana disekeliling topi tersebut tergantung kain gorden. Topi seperti itu hampir mirip dengan tsubo-shozoku yang dipakai oleh wanita bangsawan periode Kamakura. Bersamaan dengan itu, dipakai pula semacam tali merah pada bagian bahu (kakeobi) diatas kimono mereka yang berlapis-lapis tersebut dan memakai sandal yang memiliki tali ekstra besar.

Meskipun kain sutera China sangat populer pada periode ini tetapi hal itu tidak terlalu berarti bagi mereka yang ingin tampil lebih baik dalam berpakaian. Perompak lautan mengurangi pasokan dan nilai kain sutera impor tersebut, serta perang dalam negeri semakin mempermiskin konsumen. Sejak penenun-penenun dalam negeri tidak bisa lagi memenuhi permintaan pasar, pergantian proses dekorasi kimono dengan tangan tidak bisa dielakkan. Akan tetapi, hal itu justru menjadi keuntungan yang luar biasa bagi

Jepang itu sendiri karena pada abad XVII dan XVII adalah era gemilang bagi kimono yang didekorasi dengan berbagai ornamen.

Menurut analisa penulis, faktor penting yang mendukung era baru proses dekorasi kimono dengan tangan adalah kesederhanaan akan bentuk kimono itu sendiri. Kosode selalu terbuat dari kain sutera yang lebih lembut dan uchikake yang dipakai diatasnya pun, walaupun berwarna atau bermotif lebih cemerlang, juga terbuat dari bahan yang lembut, menggantikan karaginu yang berukuran ekstra besar hingga menutupi hampir sebagian tubuh dan terbuat dari kain brokat impor yang kaku.

Untuk meniru desain-desain baru yang akan dituangkan kedalam bahan pakaian yang beragam itu, para seniman periode transisi ini menggunakan berbagai alat atau perlengkapan yang berbeda. Misalnya, munculnya kiri-gane yakni teknik mengimitasi kinran yang juga ditenun dengan benang emas, berdasarkan design yang disukai masyarakat pada masa itu dan selain itu juga memiliki efek yang sederhana seperti petak-petak berbentuk persegi atau neraca berbentuk segitiga.

Meskipun di bawah permerintahan Keshogunan Ashikaga, simbol keluarga (mon) menjadi populer baik dalam bidang pakaian maupun sebagai tanda pengenal dalam pertempuran. Kaum bangsawan lebih suka memilih bentuk design spesial pada kain brokat dengan maksud untuk membedakan diri mereka dengan keluarga bangsawan lainnya. Mereka tidak hanya menggunakan mon dalam pakaian mereka sehari-hari, tetapi juga pada pelana kuda, kain gorden tandu, sebagai pembungkus karya seni berharga maupun untuk melindungi lukisan-lukisan berharga mereka.

Orang-orang yang tidak mampu membeli baik kain sutera maupun kain dengan sulaman imitasi harus menambahkan efek yang lebih luar biasa, terutama jika mereka bermaksud untuk menonjolkan pengidentifikasian diri. Bersamaan dengan populernya

daimon atau simbol besar keluarga, mereka yang berasal dari kedudukan atau pangkat yang lebih rendah dipengaruhi oleh design-design yang menarik perhatian atau membuat kimono mereka dari perpaduan berbagai warna-warna kontras dan design. Beberapa dari kimono tersebut dapat dikatakan mirip dengan kostum badut atau Harlequin yaitu terbagi persis diantara bagian atas dan bawah dengan warna yang berbeda pada setiap sisinya. Kimono-kimono tersebut disebut katami-gawari, yang mempunyai arti harafiah ”setengah badan” (gambar 16). Sebagai contoh misalnya, kadang-kadang kimono berwarna biru mempunyai satu lengan berwarna putih dan satunya lagi berwarna kuning. Sedangkan obi yang dililitkan di sekitar pinggang, termasuk juga bagian tepi bawah lengan, memisahkan design dan warna antara bagian atas dengan bagian bawah. Bagian tesebut dipotong menjadi tiga bagian horizontal. Kimono tipe seperti itu menjadi sangat populer bahkan pada kimono periode selanjutnya yang didekorasi dengan lebih rumit lagi, yang kemudian disebut katasuso yang berarti ”bahu dan hem” (gambar 17). Efek spektakuler seperti itu awalnya dibuat dengan cara hanya dipotong dan dijahit sederhana dengan tangan. Namun untuk pengecualian, daimon dibuat dengan teknik yang lebih khusus.

Yang dapat dikatakan sebagai ciri khas kimono pada periode ini adalah penggunaan kipas atau papan tanda pengenal karena mereka meniru adat kebiasaan China dimana pejabat-pejabat berkedudukan tinggi membawa papan tanda pengenal yang terbuat dari gading atau giok. Hal ini dapat dilihat pada film-film silat kolosal China di mana papan nama yang melambangkan status sosial menjadi lambang pengenal merekea dalam masyarakat. Dalam keadaan sehari-hari, mereka membawa kipas ditangan mereka dan biasanya terbuat dari kayu pohon cemara berwarna putih yang diikat dengan tali sutera. Selain itu, kipas mereka juga dicat dengan berbagai warna dan

sebagai tambahan, ditambahkan pula hiasan berupa tali panjang pada bagian rambut, pakaian, celana, jubah ekor panjang yang akan tergerai jauh dibelakang mereka jika mereka berjalan.

Salah satu dari kedua benda bawaan tersebut, antara kipas atau papan tanda pengenal, harus dipegang dengan kedua tangan di depan dada. Hal tersebut dikarenakan bahwa untuk menunjukkan sikap penuh hormat tidak boleh dalam keadaan bertangan kosong. Mereka yang berkedudukan sosial tinggi memakainya sebagai ornamen tambahan, namun sepintas lebih mirip kipas pajangan yang tak berguna.

Selain itu, pada periode ini lahir sebuah teknik pendekorasian kimono yang terkenal yaitu tsujigahana. Menurut salah seorang anggota star Museum Nasional Tokyo dalam Itou (1985), mengamati bahwa bertolak belakang dengan kimono-kimono belakangan yang berhiasan semarak, ”lahirnya sebuah design baru yang disebut tsujigahana”, dimana ”kegembiraan disertai dengan sentuhan kesedihan”, sebuah ’kehalusan yang penuh dengan hiasan’ yang dikombinasikan dengan ’perasaan negatif’ akan eloknya ketenangan.

Sebelum periode Muromachi berakhir, kaum wanita bangsawan telah melewati berbagai pengalaman pahit dan kemiskinan, merasakan kepraktisan dan citarasa yang baik dalam berpakaian lalu menetapkan untuk memakai kosode dalam segala situasi kecuali pada upacara-upacara formal, karena kekayaan negara yang dihabiskan dan diboroskan untuk melindungi karya seni, yang terlantar dalam kejamnya perang-perang sipil yang menyertai kejatuhan periode Kamakura, oleh keshogunan membuat para bangsawan yang biasanya hidup mewah mau tak mau harus hidup menderita.

3.2.2.3 Analisis Kimono Wanita Bangsawan Periode Azuchi-Momoyama (1573 –

Dokumen terkait