• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Kimono Wanita Bangsawan Periode Azuchi-Momoyama (1573 – 1615)

3.2.2 Zaman Feodal (1185 – 1868)

3.2.2.3 Analisis Kimono Wanita Bangsawan Periode Azuchi-Momoyama (1573 – 1615)

Sejak periode Azuchi-Momoyama, fashion mengalami perubahan karena Oda Nobunaga, yang berhasil memulihkan keadaan Kyoto dan kekaisaran dengan memberantas gerombolan pendeta-pendeta perompak yang mengacau negeri, dan Toyotomi Hideyoshi, sang Taikou Jepang, membangkitkan kembali keadaan kesenian Jepang setelah terpuruk dalam perang-perang sipil. Hideyoshi adalah seorang pelindung seni yang antusias dan pada masa pemerintahannya inilah dimana kesenian yang merefleksikan kemuliaan, kekuatan dan kemewahan, namun kurang menampakkan kehalusan yang justru merupakan karakteristik seni yang dilindunginya. Pada periode ini politik budaya tampak semakin kuat hingga periode selanjutnya yaitu periode Edo.

Kimono pada masa ini, yang bisa dilihat gambarannya pada masa sekarang, dikembangkan pada periode ini dengan mengadaptasikan bentuk kosode pada periode-periode sebelumnya dan terbuat dari bahan yang lebih lembut dan ringan. Bentuk kimono pada periode ini jika dibandingkan pada periode sebelumnya, terdapat perbedaan yang lumayan mecolok yaitu berada pada bagian permukaan kerah yang menjadi lebih melebar atau pada bagian lengan yang ujungnya menjadi lebih bulat (gambar 18). Yang menyebabkan adanya perubahan yang drastis antara kimono ini dengan periode sebelumnya terletak pada obi yang semakin berkembang.

Menurut analisa penulis, kimono pada periode ini memang masih mengambil bentuk kosode namun memiliki hiasan dan teknik dekorasi yang lebih indah karena Hideyoshi memanggil kembali para seniman yang tercerai-berai akibat perang sipil dan juga membawa seniman dan pengrajin Korea datang ke Jepang untuk membantu dalam membangkitkan dan mengembangkan kesenian dan industri di Jepang. Selain itu,

Hideyoshi memberikan lokasi khusus di bagian barat laut kota, yang dulunya merupakan tempat kemping bagi partai barat dalam Perang Onin sehingga lokasi tersebut dikenal dengan nama Nishijin atau the West Camp. Mulai sejak saat itu hingga masa kin, Nishijin merupakan pusat industri penenunan di Jepang. Jika kimono periode Momoyama ini dijual, pasti akan ditawar dengan harga selangit karena kimono pada zaman ini dianggap paling langka dan diburu oleh para kolektor.

Merupakan kebiasaan yang sentimentil bahwa kimono terbaik seorang perempuan yang dijaga dengan baik semasa hidupnya harus dipersembahkan ke kuil setelah dia meninggal, dimana kimono peninggalannya tersebut akan disucikan daripada dirusak atau dipakai hingga butut oleh keturunannya yang tidak menghargai atau memakai kimono peninggalannya secara sembarangan. Di kuil, biasanya kimono peninggalan tersebut dipotong menurut polanya yang berbentuk potongan kotak, lalu digunakan untuk menambal pakaian-pakaian, dijadikan jubah pendeta, taplak altar, penutup lemari yang berisi penyimpanan barang-barang suci atau dijadikan sebagai bendera arak-arakan atau umbul-umbul. Berbeda dengan masa sekarang di mana kimono seorang wanita diwariskan secara turun-temurun ke anak cucu mereka karena kimono tersebut merupakan barang peninggalan keluarga yang sangat berharga. (Yajima, 1992)

Setelah beberapa tahun dipakai di kuil, potongan-potongan kimono menjadi terpencar-pencar, bahkan banyak dari kimono-kimono tersebut dibuang. Namun, cukup banyak pula yang terselamatkan, semata-mata karena keindahan kimono itu yang mungkin akan disusun dan disatukan kembali demi mendapatkan sedikit upah.

Kimono yang telah disumbangkan ke kuil dan dipotong kotak, kemudian dipakai untuk menambal atau membuat jubah pendeta. Beberapa bagian banyak yang hilang dan kadang-kadang tidak semua bagian yang tersisa dapat disambungkan dengan potongan

lain untuk membuat sebuah kesinambungan, tetapi cukup untuk membuat rekonstruksi salah satu sisi atau sepotong bagian lengan.

Ciri khas kimono pada periode ini selain hiasan dan teknik pewarnaan serta motifnya adalah pengembangan obi dan tatanan rambut. Simbol keluarga (mon) yang sempat populer pada periode-periode sebelumnya juga masih populer pada periode ini namun dengan teknik pedekorasian yang lebih modern. Akibat pengaruh gaya simbol keluarga (mon), waita Jepang menjadi bisa mengenali kimono teman atau kenalannya buatan tahun ini atau tahun lalu. Ukuran simbol keluarga yang berubah-ubah, atau mungkin pada tahun ini simbol keluarga disulam tetapi pada tahun berikutnya diwarnai putih pada bahan dasar berwarna hitam, atau mungkin juga sebaliknya diwarnai dalam bentuk bayangan yang berupa garis hitam dalam lingkaran putih. Sesudah periode Momoyama ini, muncul ketertarikan yang besar dalam dekorasi kimono dan tren fashion yang berubah khususnya pada obi dan tatanan rambut karena Tokugawa Ieyasu menerapkan sistem politik sakoku (penutupan negeri) sehingga mengakibatkan Jepang tidak bisa berhubungan dengan dunia luar dan industri dalam negeri mulai berkembang dengan gaya khas Jepang. (Mason, 1993)

Pada awal periode Asuka, baik wanita maupun pria mengikat rambut mereka dan digelung menjadi dua bagian. Setelah periode Asuka hingga periode Momoyama ini, wanita selalu menggerai rambut panjang mereka, bahkan pada peride Heian merkea sering menambahkan efek tergerai di belakang mereka ketika mereka berjalan. Mereka kadang-kadang mengikat rambut mereka di bagian leher dengan tali, lebar maupun kecil, hitam maupun putih, yang mirip dengan ikatan buntut kuda namun dengan efek yang lebih kuat daripada ikatan buntut kuda yang kita lihat pada masa sekarang.

Pada periode ini, kaum bangsawan yang tinggal di kota pelabuhan kecil meluncurkan gaya baru dalam mendandani rambut mereka dengan cara mengikatnya agak tinggi. Inovasi tersebut segera ditiru oleh hampir semua kalangan umum kecuali kaum wanita bangsawan dan kelas samurai yang menganggap bahwa peniruan gaya rambut seperti itu merupakan penghinaan bagi asal mode rambut tersebut. Mereka tidak hanya mempertahankan gaya rambut panjang yang tergerai dengan efek menjuntai, namun mereka juga masih mempertahankan tren menghitamkan gigi dan menggambar alis palsu dia atas garis alis sebenarnya yang telah mereka cukur. Bahkan wanita yang telah menikah pun tetap terus mencukur alis mereka. (Minnich, 1986)

Dalam pemakaian obi, wanita bangsawan masih mempertahankan gaya konservatif mereka. Meskipun obi pada masa itu masih dalam bentuk mirip dengan pita yang sedikit lebar dan biasanya mempunyai bentuk persegi panjang supaya mudah dilipat yang disebut koshi, karena mirip dengan bentuk sejenis peti pada periode itu. Akan tetapi kaum bangsawan wanita atau wanita yang berstatus sosial tinggi tidak memakai Nagoya Obi (obi untuk kimono non-formal yang biasanya berbentuk pita atau mirip dengan tas) yang katanya gayanya berasal dari seniman China yang bekerja di dekat Nagoya yang kemudian ditiru oleh masyarakat sekitar.

Berkat Nobunaga yang memasukkan inovasi-inovasi baru yang dibawa oleh pedagang Eropa dan Hideyoshi yang menjadi pelindung seni dengan memberikan lokasi khusus bagi para seniman yang dipanggil kembali dari pengungsian akibat perang serta mendatangkan seniman dan pengrajin dari Korea, membuat kesenian Jepang semakin berkembang. Oleh sebab itu, teknik-teknik baru dalam menghias kimono dan pencelupan warna mulai bermunculan.

Dokumen terkait