• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLEMENTASI MEDIASI DALAM PENYELESAIAN PERCERAIAN A.Profil Pengadilan Agama Depok

D. Analisa Penulis

Secara umum, pihak yang bersengketa menggunakan jalur mediasi sebagai penyelesaian sengketa dapat menemukan beberapakeuntungan, diantaranya:

1. Proses cepat

Persengketaan yang banyak ditangani oleh pusat –pusat mediasi public dapat dituntaskan dengan pemeriksaan yang hanya berlangsungdua hingga tingga minggu dan rata-rata waktu yang digunakan setiap pemeriksaan atau setiap kali pertemuan hanya berkisar satu sampai satu setengah jam saja. Hal ini sangat berbeda jauh dengan jangka waktu yang digunakan dalam proses arbitrase dan proses litigasi.

2. Bersifat rahasia.

Segala sesuatu yang diucapkan selama pemeriksaan mediasi bersifat sangat rahasia. Hal ini dikarenakan dalam proses mediasi pemeriksaannya tidak dihadiri oleh publik. Hal tersebut sangat berbeda dengan pemeriksaan lewat proses litigasi. Untuk perkara-perkara yang pemeriksaannya atau persidangannya terbuka untuk umum dapat dihadiri oleh public atau diliputi oleh pers sehingga sebelumpengambilan keputusan dan dapat bermunculan berbagai opini public yang ada gilirannya dapat berpengaruh pada sikap para pihak yang bersengketa dalam menyikapi putusan majlis hakim.

3. Murah.

Sebagian besar pusat-pusat mediasi publik menyediakan pelayanan biaya sangat murah dan juga tidak perlu membayar biaya pengacara karena dalam proses mediasi kehadiran seorang pengacara kurang dibutuhkan.

58

4. Adil.

Solusi bagi suatu persengketaan dapat diserasikan dengan kebutuhan-kebutuhan atau keinginan-keinginan para pihak yang bersengketa dan oleh sebab itu pulalah keputusan yang diambil atau dihasilkan dapat memenuhi rasa keadilan para pihak.

5. Pemberdayaan individu.

Orang yang mengalokasikan sendiri masalah sering kali merasa mempunyai lebih banyak kuasa dari pada mereka yang melakukan advokasi melalui wakil seperti pengacara.

Keuntungan-keuntungan tersebut tentu saja dapat terjadi jika mediasi dilaksanakan sesuai dengan prosedur aturan yang ada, bukan seperti yang acap kali terjadi yang berakibat pada ketidak maksimalan bahkan kegagalan proses perdamaian itu sendiri.

Pengadilan Agama Depok sendiri sebagai sebuah institusi yang

mengaplikasikan mediasi tersebut, meskipun secara prinsip mengacu pada Perma No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, acap kali kurang memaksimalkan waktu pelaksanaan mediasi sehingga berakibat juga pada kurang maksimalnya hasil pencapaian dan kesuksesan dalam upaya perdamaian.

Menilai kekurang efektifan hasil mediasi ( setidaknya tahun 2009-2010) dan melihat faktor-faktor yang selama ini kerap menghambat keberhasilan mediasi, penyusun berasumsi bahwa perlu penegasan terhadap masalah penguasaan materi dan strategi dalam mediasi, dengan mengikuti pendidikan bagi para mediator (khususnya hakim), serta dengan benar-benar memaksimalkan waktu mediasi, karena substansi

59

mediasi adalah proses yang harus dijalani secara sungguh-sungguh untuk mencapai perdamaian.

Barangkali untuk langkah kedapan ada beberapa hal masukan dari penulis untuk menjadikan mediasi sebagai sarana upaya perdamaian yang lebih berdaya guna dan berhasil-guna. Juga untuk menigkatkan profesionalisme mediator sebagai komponen penting dalam mediasi. Pertama, menurut Pasal 7 ayat (1) Perma Nomor 01 Tahun 2008, pada hari siding yang telah ditentukan yang dihadiri kedua belah pihak, hakim mewajibakan para pihak untuk menempuh mediasi. Dari ketentuan ini bahwa proses mediasi merupakan kewajiban pihak-pihak yang berperkara yang mana kalau tahapan mediasi ini tidak dilalui oleh pihak-pihak, maka majelis hakim juga wajib untuk menolak/tidak menerima gugatannya. Apabila majelis hakim terus memperoses perkara tersebut maka putusannya batal demi hukum.

Persoalannya jika pada sidang hanya dihadiri oleh penggugat tetapi tidak dihadiri oleh tergugat, maka terhadap perkara tersebut tidak wajib melalui proses mediasi. Padahal menurut Pasal 4 Perma Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, menyatakan bahwa semua sengketa perdata yang ajukan kepengadilan Tingkat Pertama wajib lebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui perdamaian dengan bantuan mediator. Menurut Pasal 4 ini semestinya semua perkara tanpa terkecuali harus melalui proses mediasi, apakah dihadiri oleh kedua belah pihak, atau hanya dihadiri oleh satu pihak saja. Jalan keluar dari persoalan ini menurut penulis, seharusnya bukan hakim pemeriksa perkara mediator yang menunjuk mediator. Tetapi sejak perkara telah terdaftar di Pengadilan, maka Ketua Pengadilan yang harus menunjuk mediator guna memediasi pihak-pihak yang berperkara supaya

60

berdamai. Apabila pihak-pihak belum melakukan proses mediasi secara formal sesuai dengan penetapan Ketua Pengadilan, maka Ketua Pengadilan belum boleh menetapkan Majlis Hakim untuk memeriksa perkaranya. Dengan ini mediasi akan lebih berdaya guna karena sejak awal mediator secara proaktif akan menghubungi pihak-pihak yang berperkara supaya berdamai. Resikonya biaya memang akan membengkak. Tetapi biaya ini murni untuk proses mediasi. Masyarakat akan mendapatkan pelajaran bahwa setiap mengajukan perkara ke pengadilan, perkaranya baru akan diperiksa majelis hakim apabila sudah melalui proses mediasi secara formal. Secara proses alamiyah nantinya masyarakat akan menjadi mandiri dengan mencari solusi sendiri secar damai terhadap perkara yang dihadapinya. Setelah mediator bekerja dan member laporan secara tertulis bahwa pihak-pihak yang berperkara tidak bisa didamaikan, maka baru Ketua Pengadilan membuat penetapan tentang penunjukan majlis hakim pemeriksa perkara. Apabila berhasil damai, perdamaian itu bisa dengan penetapan Ketua Pengadilan, bisa juga cukup dengan tanda tangan mediator dan pihak-pihak yang berperkara. Dengan demikian majelis hakim pemeriksa perkara tidak akan direpotkan dengan proses mediasi, jadi murni sendirinya sudah melalui proses mediasi. Apabila tidak, maka majelis hakim tersebut berwenang untuk menolak/tidak menerima gugatannya.

Gagasan penulis tentang proses mediasi tidak akan menunggu asas peradilan yang harus dilaksanakan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. Bahkan justru memperkuat asas tersebut karena membantu pihak-pihak yang berperkara untuk menyelesaikan perkaranya sendiri.

61

Kedua, mengenai biaya. Dalam pasal 10 ayat (1) Perma Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan disebutkan bahwa penggunaan jasa mediator hakim tidak dipungut biaya. Dalam ayat (2)nya disebutkan bahwa uang jasa mediator bukan hakim ditanggung bersama oleh pihak atau berdasarkan kesepakata para pihak. Ketentuan ini kurang adil. Menurut penulis semestinya semua mediator mendapatkan uang jasa. Kalau non hakim uang jasanya dari para pihak-pihak, maka kalau unsure hakim uang jasanya ditanggung oleh Negara. Pasal 25 ayat (1) Perma Nomor 01 Tahu 2008 M.A. menyediakan insentif bagi hakim yang berhasil menjalankan fungsi mediator, tetapi ketentuan ini tidak bergigi karena Perma sebagaimana yang dimaksudkan oleh ayat (2) nya sampai sekarang belum ada. Menurut penulis semestinya semua hakim atau orang yang menjalankan fungsi mediator mendapatkan uang jasa dari Negara berdasarkan Perma yang sudah ada, begitu juga dengan mediator bukan hakim, ia dapat mengambil haknya, jika ia berhasil melaksanakan tugasnya dengan baik, dan ini,merupakan suatu tantangan bagi para mediator untuk bisa memaksimalkan mungkin menjalankan tugas sebagai juru damai dengan baik.

Dengan ketentuan yang ada sekarang, maka bisa jadi hakim atau siapapun yang menjadi mediator akan bekerja secara asal-asalan atau hanya sekedar untuk memenuhi standar legalitas formal bahkan ajang bisnis (bagi mediator non hakim). Kalau cara kerja seperti ini terus berlanjut, maka mediasi sebagai alternative penyelesaian perkara di pengadilan hanyabakan berwujud sebagai hayalan belaka.

Tapi seandainya uang jasa bagi mediator hakim benar terwujud, jangan sampai para hakim menjadi salah niat. Drs. Sarnoto, M.H mengatakan bahwasanya ketentuan ini sudah adil, mediasi adalah bagian dari tugas dan pekerjaan kami sebagai hakim,

62

kami hanya berniat membantu para pihak yang berpekara untuk menemukan jalan

keluar, titik temu dan kesepakatan.79 Tapi menurut saya alangkah lebih baiknya

seandainya Negara memberikan uang jasa dan sejenisnya kepada mediator hakim, demi kesejahteraan hakim juga demi terselenggaranya mediasi yang baik.

Ketiga, perlunya pendidikan mediator bagi para hakim. Mengingat jumlah hakim yang bersertifikat mediator sekarang jumlahnya masih sangat sedikit, padahal dalam perdamaian sengketa (khususnya perceraian) perlu keahlian khusus, yang mencakup berbagai disiplin ilmu, seperti ilmu jiwa, psikologi, dan memahami tentang berbagai watak karakter.

Sejatinya, mediasi bukan hanya sekedar untuk memenuhi syarat legalitas formal, tetapi merupakan upaya sungguh-sungguh yang harus dilakukan oleh pihak terkait untuk mencapai perdamaian. Mediasi adalah merupakan upaya pihak-pihak yang berperkara untuk berdamai demi kepentingan pihak-pihak-pihak-pihak itu sendiri.

79

Sarnoto, Drs., MH., Hakim Mediator Pengadilan Agama Depok, Wawancara Pribadi, Depok, tgl 7 Agustus 2010.

63 BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah penulis mengkaji dan memaparkan pembahasan skripsi ini, maka dari hasil penelitian tersebut dapat diambil kesimpulan:

1. Pengadilan Agama Depok secara prinsipnya telah menlaksanakan mediasi

sesuai dengan Perma Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, menjadikan Perma tersebut sebgai acuan dalam mengaplikasikan Mediasi.

2. Tingkat kefektifan mediasi di Pengadilan Agama Depok masih kurang

maksimal, mengingat prosentase keberhasilan pada tahun 2009 tidak mencapai lebih dari 10%.

3. Faktor-faktor yang menjadi penghambat keberhasilan mediasi di Pengadilan

Agama Depok diantaranya adalah kurang pemaksimalan waktu, biaya, tidak adanya keseragaman dalam acara mediasi serta kurangnya hakim mediator bersertifikat yang bisa berakibat pada mutu dan kualitas proses perdamaian itu sendiri.

B. Saran-saran

Diakhir penulisan skipsi ini, penulis mengajukan saran-saran, baik yang berkaitan langsung maupun tidak berkaitan langsung dengan pokok pembahasan dalam skripsi ini, sebagai sumbang saran yang sekiranya bermanfaat bagi segenap civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pengadilan Agama Depok, masyarakat pencari keadilan dan umat Islam pada umumnya.

1. Kepada pemerintah, sesuai dengan konsideran PERMA huruf (d), penulis berharap

64

perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya agar kekuatan hukumnya lebih kuat.

2. Kepada para hakim yang menangani perkara perdata supaya berusaha semaksimal

mungkinuntuk memberikan pencerahan perdamaian kepada para pihak. Karena mediasi merupakan produk Islami dalam rangka penyelesaian sengketa di pengadilan. Oleh sebab itu, mediasi melalui mediator harus dilaksanakan secara optimal sebagai

bagian dari sebuah proses ijthad demi mendapatkan keputusan yang dapat memenuhi

rasa keadilan bagi kedua belah pihak.

3. Kepada para pihak yang berperkara di pengadilan agar mematuhi aturan yang telah di

tetapkan, sehingga tidak menghambat prosedur peradilan. Karena selain bermanfaat untuk masa sekarang mediasi juga bermanfaat untuk kehidupan para pihak di masa mendatang. Karena penyelesaian sengketa melalui mediasi mengutamakan prinsip-prinsip musyawarah untuk mencapai mufakat yang selaras dengan budaya bangsa Indonesia, maka sudah selayaknya mediasi diterapkan secara meksimal dalam proses penyelesaian sengketa dipengadilan.

4. Bagi peneliti selanjutnya yang hendak membahas tema yang sama, kami menyarankan

agar dapat membahas mengenai mediasi dalam masalah waris untuk lebih melengkapi dan menyempurnakan data mengenai mediasi seperti pembahsan skripsi ini.

65 DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an Karim dan Terjemahannya, Departemen Agama RI.

Abbas, Syahrizal, Prof. Dr., Mediasi dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009.

Abdurahman. Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: Akademika Pressindo, 1997.

Al Albani, Muhammad Nashiruddin. Ringkasan Shohih Muslim Buku I. Cet. I. Jakarta: Pustaka Azzam, 2003.

Al kahlani, Sayyid Al Imam Muhammad bid Ismail dan As San’ani, Subulus As

Salam, Bandung: Maktabah Dahlan, tth, Jilid 3

Anshori, Abdul Ghofur. Peradilan Agama di Indonesia Pasca UU No. 3 Tahun 2006 (sejarah, kedudukan dan kewenangan). cet. I. Yogyakarta: UII Press, 2007.

Bakri, A Rahman dan Ahmad Sukarja SH. Hukum Peerkawinan Menurut

Undang-undang Perkawinan dan Hukum Perdata BW. Jakarta: Hidakarya Ag Mg, 1981.

Bambang Sunggono. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada, cet. Ke.-6, 2003.

Budiardjo, Ali dkk. Reformasi Hukum di Indonesia. Jakarta Cyber Cunsult, 2000. Buku Komentar Peraturan Mahkamah Agung RI No. 01 Tahun 2008 Tentang

Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan.

Daud Ali, Muhammad. Hukum Islam dan Peradilan Agama. Cet. Ke-2, Jakarta: PT

Raja Grafindo Persada, 2002.

Effendi, M Zein, Satria. Analisis Yurisprudensi Tentang Pembatalan Nikah (Mimbar

Hukum). Jakarta: PT Intermasa, 1997.

Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ichtisar Baru Van Hoeve, 1997.

Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta. Buku Pedoman Penulisan Skripsi. Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, 2007.

Harahap, M. Yahya. Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan

Penyelasaian Sengketa. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1997. Hasan Ayub, Syaikh. Fikih Keluarga. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2004.

66

Manan, Abdul, H, DR., S.H., S.ip., M. Hum., Penerapan Hukum Acara Perdata di

Linkungan Peradila Agama. Jakarta: Al-Hikmah, 2000.

Manaf, Abdul. Refleksi Beberapa Materi Cara Beracara di Lingkungan Peradilan

Agama. Bandung: Mandar Maju, 2008.

Mubarok, Dr Jaih. Peradilan Agama di Indonesia. Bandung: Pustaka Bani Quraisy,

2004.

Muhammad, Abd Kodir. Hukum Acara Perdata Indonesia. Cet VIII, Bandung: PT.

Citra Aditya Bakti, 2002.

Rafiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998.

Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunnah Jilid 3. Penerjemah Nor Hasanuddin, dkk. Jakarta: Pena

Pundi Askara, 2006.

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D, Cet. Ke-3. Bandung: Alfabeta, 2007.

Soeroso, R., Praktek Hukum Acara Perdata. Cet ke-5, Jakarta: Sinar Grafika, 2003.

Suma, Muhammad Amin. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam. Jakarta: PT.

Grafindo Persada, 2004

Tri Wahyudi, Abdullah. Peradilan Agama di Indonesia. Yogykarta: Pusaka Pelajar,

2004.

Yanggo, Chuzaimah Tahido dan Anshari, Hafiz. Problematika Hukum Islam

Kontemporer, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002.

Waluyo, Bambang. Penelitian Hukum Dalam Praktek. Jakarta: Sinar Grafika, Cet. Ke-2, 2006

Dokumen terkait