• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisa Permasalahan Struktural Pasar Tradisional

V. PEMBAHASAN

5.2. Analisis Permasalahan Pasar Tradisional di Kota Bogor

5.2.4. Analisa Permasalahan Struktural Pasar Tradisional

Terdapat problematika Pasar Tradisional saat ini, terutama permasalahan tekanan persaingan dengan Toko Modern dan PKL. Toko Modern yang berkembang seiring dengan gelombang masuk modal asing ke Indonesia dipandang banyak pihak akan menyebabkan tekanan persaingan yang luar biasa terhadap Ritel dan Pasar Tradisional.

Pengawasan Pemerintah terhadap praktik persaingan tidak sehat diatur dalam Undang Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat. Secara umum, materi dari Undang- Undang ini mengandung 6 (enam) bagian pengaturan yang terdiri dari :

1. perjanjian yang dilarang;

2. kegiatan yang dilarang;

3. posisi dominan;

4. Komisi Pengawas Persaingan Usaha;

5. penegakan hukum;

Undang-undang ini disusun berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, serta berasaskan kepada demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum dengantujuan untuk: menjaga kepentingan umum dan melindungi konsumen, menumbuhkan iklim usaha yang kondusif melalui terciptanya persaingan usaha yang sehat, dan menjamin kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi setiap orang; mencegah praktek-praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan pelaku usaha; serta menciptakan efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha dalam rangka meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Sayangnya Undang-undang ini memiliki kendala-kendala seperti market share yang nilainya berubah-ubah dan tidak bisa diandalkan, sehingga pihak- pihak yang diduga melakukan kegiatan yang dilarang dengan mudah dapat menyerang balik dan mengklaim bahwa pihaknya tidak melakukan praktik tersebut. Hal inilah yang terjadi pada sektor perdagangan, baik persaingan ritel modern dengan tradisional maupun ritel modern dengan ritel modern lainnya seperti kasus monopoli Carrefour yang akhirnya mengambang begitu saja.

Untuk praktik persaingan antara ritel tradisional dan modern, Pemerintah merespon anggapan tekanan tersebut dengan mengeluarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern.

1. Lokasi : Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern harus sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota dan Rencana Detail Tata Ruang Kabupaten/Kota, termasuk peraturan zonasinya.

2. Kemitraan : Pemasok Usaha Kecil dan Menengah dengan Toko Modern dilakukan atas perjanjian tertulis dan berbahasa Indonesia, dan apabila di dalam kerjasama kemitraan diatur syarat-syarat perdagangan, maka harus jelas, wajar, berkeadilan, saling menguntungkan dan biaya-biaya yang dikenakan kepada pemasok yang berhubungan langsung dengan produk pemasok yaitu (1) potongan harga reguler, (2) potongan harga tetap, (3) potongan harga khusus, (4) potongan harga promosi, (5) biaya promosi, (6) biaya distribusi dan (7) biaya administrasi.

3. Pemberdayaan Usaha Kecil : (1) Tidak memungut biaya administrasi pendaftaran barang dari pemasok usaha kecil, (2) pembayaran dilakukan secara tunai, atau dengan alasan teknis tertentu dapat dilakukan dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari setelah seluruh dokumen penagihan diterima, dan (3) pembayaran tidak secara tunai dapat dilakukan sepanjang cara tersebut tidak merugikan pemasok usaha kecil, dengan memperhitungkan biaya resiko dan bunga untuk pemasok usaha kecil.

4. Pemberdayaan Pasar Tradisional dan Pedagang Pasar Tradisional: (1) Mengupayakan sumber-sumber alternatif pendanaan, (2) Meningkatkan kompetensi pedagang dan pengelola Pasar Tradisional, (3) Memprioritaskan kesempatan memperoleh tempat usaha bagi pedagang Pasar Tradisional yang telah ada sebelum dilakukan renovasi atau relokasi Pasar Tradisional, dan (4)

Memberdayakan Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern dalam membina Pasar Tradisional.

5. Perizinan : Untuk melakukan usaha Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern wajib memiliki Izin Usaha yang diterbitkan oleh Bupati/Walikota dan Gubernur untuk Pemerintah Propinsi DKI Jakarta.

Perpres ini menunjukan keberpihakan Pemerintah RI terhadap Pasar Tradisional dan usaha kecil berupa pemasok tradisional kepada Pasar Modern. Namun pada kenyataannya, efektifitas dari Perpres ini patut dipertanyakan. Argumentasi awal adalah tahun dikeluarkannya Perpres ini, yaitu akhir tahun 2007, yang dipandang banyak pengamat cukup terlambat dalam merespon ekspansi Pasar Modern di Indonesia. Ekspansi Pasar Modern dimulai sejak awal 2000 di DKI Jakarta, kemudian menjalar ke kota-kota sekitar Ibu Kota, seperti Bogor, Tangerang, Depok, dan lainnya. Sehingga ketika efektif berlaku pada tahun 2008, sangat banyak Pasar Modern yang telah dibuka, tanpa mengikuti aturan dari Perpres tersebut.

Permasalahan lainnya adalah respon pemerintah daerah pasca Perpres 112 Tahun 2007. Implikasi regulasi ini sangat menuntut kesiapan dari Pemerintah Daerah sehingga diperlukan regulasi lanjutan. Regulasi lanjutan adalah ketentuan zonasi berdasar RUTR/W, penilaian kelayakan ekonomi pendirian toko modern, pengaturan skim waralaba minimarket, penyusunan financial and business model dalam rangka penataan/renovasi pasar tradisional, kemitraan Pemda-Swasta dalam pengembangan/pengoperasian pasar tradisional, sistem pengawasan yang menjamin ditegakkannya akuntabilitas dan transparansi data/pengelolaan, serta

ketegasan sanksi atas pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang- undangan16.

Respon regulasi dari Pemerintah Daerah terhadap tekanan Pasar Modern dan Pasar Tradisional dibuat atas pertimbangan pemerintah daerah masing- masing. Sejumlah bupati, wali kota, bahkan DPRD mendorong dibatasinya pendirian Ritel/Pasar Modern (minimarket hingga hipermarket). Pemprov DKI Jakarta misalnya, yang menolak sekitar 800 pengajuan izin pembukaan usaha baru minimarket. Selain sudah terlalu banyak, keberadaan minimarket temyata juga mengganggu kehidupan sebagian besar masyarakat lainnya, khususnya pedagang kecil17.

Penolakan izin pendirian minimarket hingga hipermarket atau minimal pembatasan juga dilakukan Pemerintah Kota Solo Jawa Tengah, Pemerintah Kota Cimahi Jawa Barat, dan Kabupaten Kudus Jawa Tengah. Wali Kota Cimahi Itoc Tochija menyatakan setuju dengan usul membatasi pemberian izin minimarket di Cimahi karena mengancam pasar dan warung tradisional. Bahkan di Pandeglang dan Bekasi, dorongan untuk melarang pemberian izin pembukaan minimarket hingga hipermarket justru dilakukan DPR dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). di Bekasi, LSM Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI) Kota Bekasi mengatakan, menjamurnya pendirian minimarket, supermarket, dan hipermarket hingga ke pelosok-pelosok daerah sudah mematikan usaha warung

16

INDEF. 2008. Kajian Dampak Ekonomi Keberadaan Hypermarket terhadap Ritel/Pasar Tradisional. Jakarta: INDEF.

17

[Anonim]. 2010. Pemda Batasi Izin, Tekanan Mengancam.http://bataviase.co.id/node/105339 (1 Agustus 2010)

milik warga dan pedagang di pasar tradisional. Toko serba ada yang menjual berbagai kebutuhan pokok masyarakat ini dinilai sudah berekspansi hingga ke sudut-sudut kampung18.

Keberadaan ritel modern ini sudah berdampak pada penurunan penjualan banyak warung dan kedai-kedai yang menjadi penopang ekonomi keluarga. GMBI menilai, minimarket hingga hipermarket yang dimiliki pemodal kuat hanya bertujuan untuk menumpuk kekayaan dengan menggerus pangsa pasar warung rumahan, kedai penggir jalan, serta pedagang kecil di pasar tradisional. Meski demikian, upaya dan keberpihakan sejumlah pemda tersebut bukanlah tanpa perlawanan. Diduga pemilik minimarket hingga hipermarket yang merupakan investor asing dan konglomerat nasionalis sudah melakukan lobi ke pemerintah pusat, khususnya Kementerian Perdagangan serta gubernur terkait Bahkan tidak tanggung-tanggung, pemilik hipermarket yang saat ini menguasai pangsa pasar ritel modern menurut kabar juga dekat dengan para penguasa negara. Kondisi ini membuat bupati dan wali kota yang melarang atau membatasi izin minimarket hingga hipermarket mendapat tekanan, baik secara langsung maupun tidak langsung. atau mungkin juga pengaruh dari para kapitalis penguasa perdagangan tersebut sehingga melunak dan melonggarkan izin19.

Hal ini berbeda dengan Pemerintah Kota Bogor, hingga saat ini belum ada Perda Kota Bogor yang mengatur tentang zonasi dan pembatasan ekspansi ritel modern untuk Kota Bogor. Di komplek perumahan ekspansi minimarket

18

Ibid

19 Ibid

modern yang terletak berdekatan seringkali ditemukan di Kota Bogor. Pendirian Hipermarket yang berdekatan dengan Pasar Tradisional juga terus terjadi. Pembangunan Giant Taman Yasmin pada tahun 2008 berada kurang dari 1 kilometer dengan Pasar Grosir Cimanggu, dan berada di tengah komplek perumahan Kota Bogor sehingga langsung memotong pangsa pasar dari pedagang pasar tradisional dan ritel tradisional yang sudah berada di sekitar komplek perumahan bertahun-tahun. Pihak Giant sendiri mengklaim bahwa Giant Taman Yasmin dibangun di atas lahan milik PT Inti Inovaco selaku pengelola komplek perumahan Taman Yasmin dengan perjanjian yang sudah ada sejak 10 tahun lalu. Kelesuan yang terjadi di Pasar Grosir Cimanggu juga tidak disebabkan oleh keberadaan Giant Taman Yasmin, diketahui memang Pasar Grosir Cimanggu sudah ditinggalkan konsumen jauh sebelum didirikannya Giant Taman Yasmin sehingga dampak buruk keberadaan Giant Taman Yasmin terhadap Pasar Tradisional menjadi bias.

Di sisi lain, tekanan pedagang informal berupa PKL justru menjadi fokus permasalahan Pasar Tradisional di Kota Bogor. Perda Kota Bogor Nomor 13 Tahun 2005 tentang Penataan Pedagang Kaki Lima menjadi basis keputusan Pemerintah Kota Bogor untuk menertibkan PKL. Perda Kota Bogor tersebut secara jelas menentukan komoditi dan lokasi yang legal untuk PKL dan perizinan usahanya. Lokasi yang tidak dapat ditetapkan sebagai tempat usaha PKL adalah di dalam lingkungan instansi pemerintah, di dalam lingkungan Sekolah, di dalam lingkungan tempat peribadatan, di sekitar lokasi pasar, menempati parit dan tanggul, menempati taman kota dan jalur hijau, di sekitar monumen dan taman pahlawan, di sekeliling Kebun Raya dan Istana Bogor, dan di seluruh badan jalan.

Sedangkan komoditi yang dilarang diperjualbelikan oleh PKL adalah (1) daging, ikan, dan telur, (2) palawija dan bumbu, (3) sayuran, tahu, dan tempe, (4) sembako, (5) pakan ternak, serta (6) unggas dan atau ternak kecil. Perizinan PKL dilakukan dengan permohonan kepada Walikota atau Pejabat yang ditunjuk, izin berlaku 1 tahun dan dapat diperpanjang.

Sayangnya, peraturan tersebut sulit dipenuhi, mengingat permasalahan PKL terutama di sekitar Pasar Tradisional di pusat Kota Bogor berasal dari pedagang relokasi Pasar Induk Ramayana maupun pedagang dari Pasar Tradisional yang dianggap sepi. PKL kerap ditemui di sekitar pasar dan menjual berbagai macam barang seperti pedagang di dalam Pasar Tradisional. Tentunya hal ini melanggar Perda, namun perlu diingat jumlah ribuan PKL menggambarkan banyak sektor dan kalangan masyarakat terlibat di dalamnya.

Oleh karena itu pemerintah kemudian merespon dengan mengadakan zona untuk PKL. Tujuannya adalah melegalkan PKL untuk berjualan di tempat yang sudah ditentukan dan komoditi yang terpilih dengan tetap diawasi oleh pemerintah Kota Bogor. Kepastian hukum kegiatan usaha para pedagang adalah menentukan zona-zona atau tempat yang diperbolehkan untuk berdagang. Selebihnya adalah zona yang dilarang untuk PKL.

Hingga tahun 2009 telah ditetapkan 18 daftar lokasi atau Zoning Pembinaan dan Penataan PKL. 18 Zona adalah di Jalan Bangbarung, Batu Tulis. Siliwangi, Papandayan, Otista, Gang Selot di Jalan Djuanda, Seputar Air Mancur Kelurahan Sempur, Jalan Pengadilan, Pajajaran baik Sekitar Villa Duta maupun Damkar Sukasari, Jalan Cidangiang, Jalan Sukasari,. Pejagalan. Dadali. Ahmad

Yani dan KH. Abdullah bin Nuh di Curug. Dari ke-18 zona ini dilakukan evaluasi, zona mana saja yang bisa dipertahankan pada tahun 2010. Rencananya zona akan kita kurangi atau dihapus yaitu Di Jalan Pajajaran di sekitar Puslitnak IPB-SDN Gunung Gede Kelurahan Babakan, Jalan Pajajaran di sekitar Villa Duta, Binarum Kelurahan Baranangsiang. Jalan Pajajaran samping Damkar, Jalan Sukasari serta zona sekitar Air Mancur Sempur.

Keberadaan zona PKL seperti ini memiliki dampak positif dan negatif. Dampak positifnya tentu banyak PKL yang notabene masyarakat kecil tertolong karena dilegalkan usahanya, namun dampak negatifnya adalah zonasi seperti ini terhitung sebagai Gray Zone atau Zona Abu-abu. Lebih lanjut gray zone seperti ini adalah legalisasi PKL tanpa dasar hukum yang kuat. Hal ini dapat menyebabkan meluasnya zona-zona PKL sejenis di daerah yang seharusnya tidak dihuni PKL dengan klaim kepentingan rakyat kecil. Pihak ketiga masuk untuk „mengelola‟ zona tersebut demi kepentingan pribadi juga menyebabkan posisi zona menjadi riskan terhadap praktek pemungutan ilegal. Hal ini terbukti dengan semakin meluasnya zona PKL yang berjualan di sekitar Pasar Baru Bogor dan Pasar Kebon Kembang yang jelas merugikan pedagang Pasar Tradisional. Bukan tidak mungkin praktek perizinan ilegal yang membuat PKL yakin mereka dapat berjualan semakin dekat dengan Pasar Tradisional.

Saat ini secara struktural, Pemerintah sebenarnya sudah memperhatikan dan berpihak kepada Pasar Tradisional. Tapi kelemahan dan kekosongan dari perundang-undangan dimanfaatkan dengan baik oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, misalnya tidak adanya zonasi pembatas kedekatan pasar modern dan pasar tradisional, maupun perizinan usaha dengan memperhatikan

RUTRW dari kota tertentu. Di Kota Bogor, tidak adanya respon soal pemerhatian zonasi menyebabkan ekspansi Pasar Modern kian kuat, dan karena indikasi penurunan kinerja pedagang Pasar Tradisional lebih terfokus kepada permasalahan internal, pemerintah Kota Bogor seakan tidak menganggap ekspansi Pasar Modern sebagai ancaman terhadap keberadaan Pasar Tradisional.

Pasar Tradisional dalam posisi yang sangat riskan terhadap berbagai tekanan, mulai dari permasalahan internal, fluktuasi harga, persaingan tidak sehat, dan undang-undang. Lemahnya aspek pengelolaan, pembinaan, pengawasan, dan pelaporan pasar tradisional belum mendorong pelaksanaan tatakelola yang baik di bidang perpasaran. Hal ini kemudian diperparah dengan tidak ketatnya eksekusi sanksi kepada pihak-pihak yang jelas merugikan Pasar Tradisional.

Saat ini pemerintah Kota Bogor mulai menggiatkan Pasar Tradisional. Pemerintah Kota Bogor memiliki respon atas kelesuan Pasar Tradisional dengan penguatan dari dalam pasar itu sendiri dan mengharapkan pembenahan ini untuk meningkatkan lebih lanjut daya saing dari Pasar Tradisional agar dapat bersaing dengan Pasar Modern.

5.3. Analisis Respon Pemerintah Kota Bogor terhadap Permasalahan Pasar

Dokumen terkait