• Tidak ada hasil yang ditemukan

Matrik 7. Pekerjaan Istri

4.7. Analisa Strategi Pertahanan Hidup Buruh Bagasi

Setiap manusia memiliki kebutuhan hidup. Menurut Kartini Kartono (1991 : 88), kebutuhan hidup secara umum dapat dibagi dalam tiga kategori, yaitu :

1. Kebutuhan tingkat vital biologis, antara lain berupa sandang, pangan, papan atau tempat tinggal, perlindungan atau rasa aman, air, udara, seks, dll.

2. Kebutuhan tingkat sosio-budaya (human-kultural) antara lain berupa empati, simpati, cinta-kasih, pengakuan diri, penghargaan, status sosial, prestise, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebutuhan berkumpul. 3. Kebutuhan tingkat religius (metafisik, absolut), yaitu : kebutuhan

merasa terjamin hidupnya, aman sentosa dan bahagia.

Untuk memenuhi kebutuhan – kebutuhan hidup tersebut, maka diperlukanusaha – usaha untuk memperolehnya yakni dengan bekerja. Namun, kesulitan – kesulitan dalam mencari pekerjaan serta sedikitnya

penghasilan yang diperoleh mengakibatkan kebutuhan – kebutuhan tersebut tidak dapat dipenuhi secara maksimal.

Keterbatasan peluang kerja di sektor informal mengakibatkan semakin meluasnya fenomena sektor informal. Keith Hart menyatakan bahwa kesempatan memperoleh penghasilan di sektor informal dibagi menjadi 2 (dua) bagian, yakni sektor informal yang sah, dan sector informal yang tidak sah. Yang termasuk dalam informal yang sah yaitu :

1. Kegiatan-kegiatan primer dan sekunder pertanian, perkebunan, yang berorientasi pasar, kontraktor bangunan dan kegiatan yang berhubungan dengan pengrajin usaha sendiri, pembuat sepatu, pengusaha bir dan alkohol.

2. Usaha kecil dengan modal relatif besar, perumahan, transportasi, usaha-usaha untuk kepentingan umum, spekulasi barang-barang dagangan, kegiatan sewa-menyewa.

3. Distribusi kecil- kecilan, pedagang pasar, pedagang kelontong, pedagang kaki lima, pengusaha makanan jadi, pelayan bar, pengangkut barang, agen atas komisi, dan penyalur.

4. Jasa-jasa lain seperti pemusik (pengamen), pengusaha binatu, penyemir sepatu, tukang cukur, pembuang sampah, juru potret, pekerja reparasi kendaraan maupun reparasi lainnya, makelar, dan sebagainya.

5. Transaksi pribadi seperti arus uang dan barang, pemberian maupun semacamnya, pinjam-meminjam, pengemis, dan lain-lain.

Sedangkan yang termasuk ke dalam kesempatan memperoleh penghasilan di sektor yang tidak sah ialah:

a. Jasa kegiatan atau perdagangan gelap yang pada umumnya penadah barang-barang pencurian, lintah darat, pegadaian dengan tingkat bunga yang tidak sah, perdagangan obat bius, pelacuran, berbagai macam korupsi, perlindungan kejahatan.

b. Transaksi pencurian kecil (pencopetan), pencurian besar-besaran (pembongkaran), pemalsuan uang dan penipuan. (Manning, 1985 : 79-80).

Penelitian ini, merupakan penelitian yang mengaji tentang kehidupan buruh bagasi yang juga termasuk mengerjakan pekerjaan yang tergolong kepada pekerjaan sector informal yang sah yakni pengangkut barang, seperti yang dikemukakan oleh Hart.

Pada awalnya, bekerja sebagai buruh bagasi adalah pekerjaan yang cukup banyak memperoleh penghasilan. Hal ini disebabkan oleh jumlah buruh bagasi yang tidak begitu banyak, sementara intensitas keberangkatan kapal cukup besar, yakni sekali dalam 2 (dua) hari dengan kuantitas penumpang yang cukup padat.

Namun, seiring dengan semakin banyaknya alat transportasi yang lebih efektif dan modern yakni pesawat terbang, maka berangsur-angsur pula berkurangnya jumlah penumpang kapal laut. Berkurangnya penumpang mengakibatkan Kapal Sinabung akhirnya dipindahkan oleh pihak perusahaan ke pelabuhan yang lain, dan karena itu pula jadwal keberangkatan kapal laut pun menjadi hanya sekali dalam seminggu. Harga tiket pesawat yang yang

semakin turun, bahkan tidak jauh berbeda dari harga tiket kapal laut, menyebabkan masyarakat lebih memilih bepergian dengan menggunakan jasa pesawat dibandingkan dengan menggunakan jasa kapal laut.

Kondisi tersebut di atas sangatlah merugikan bagi para buruh bagasi. Karena, semakin sedikit penumpang, semakin sedikit pula penghasilan yang mereka peroleh. Karena besarnya upah yang mereka terima tergantung pada jumlah barang penumpang yang mereka angkat hal ini menyebabkan kemiskinan dikalangan buruh bagasi mengalami peningkatan, walaupun hal tersebut bukanlah karena kesalahan mereka, atau bukan karena mereka malas bekerja sehingga mereka miskin, tetapi karena kebijakan – kebijakan pemerintah yang menaikkan harga BBM yang mengakibatkan naiknya harga tiket kapal laut, berdampak buruk bagi masyarakat kelas bawah, khususnya dalam penelitian ini berdampak buruk bagi buruh bagasi.

Dr. Sunyoto Usman, dalam bukunya yang berjudul “Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat”, menyatakan sedikitnya ada dua macam perspektif yang lazim digunakan untuk mendekati masalah kemiskinan, yaitu ; perspektif kultural (cultural perspektif) dan perspektif struktural atau situasional (situasional perspektif). Masing-masing perspektif tersebut memiliki tekanan, acuan, dan metodologi tersendiri yang berbeda dalam menganalisis masalah kemiskinan.

Perspektif kultural mendekati kemiskinan pada tiga tingkat analisis yaitu individual, keluarga, dan masyarakat. Pada tingkat individual, kemiskinan ditandai dengan sifat yang lazim disebut dengan a strong feeling of marginality, seperti : sikap parokial, apatisme, fatalisme, atau pasrah pada

nasib, boros, tergantung dan inferior. Pada tingkat keluarga, kemiskinan ditandai dengan jumlah anggota keluarga yang besar, dan free union or consensual marriages. Dan pada tingkat masyarakat, kemiskinan terutama ditunjukkan oleh tidak terintegrasinya kaum miskin dengan institusi-institusi masyarakat secara efektif. Mereka seringkali memperoleh perlakuan sebagai objek yang perlu digarap daripada sebagai subjek yang perlu diberi peluang untuk berkembang.

Sedangkan menurut perspektif struktural, masalah kemiskinan di lihat sebagai akibat dari sistem ekonomi yang mengutamakan akumulasi kapital dan produk-produk teknologi modern. Penetrasi kapital antara lain mengejawantah dalam program-program pembangunan yang dinilai lebih mengutamakan pertumbuhan (growth) dan kurang memperhatikan pemerataan hasil pembangunan. Program-program itu antara lain berbentuk intensifikasi, ekstensifikasi, dan komersialisasi pertanian untuk menghasilkan pangan sebesar-besanya guna memenuhi kebutuhan nasional dan ekspor.

Secara Sosiologis, dimensi struktural kemiskinan dapat ditelusuri melalui institutional arrangements yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Asumsi dasarnya adalah bahwa kemiskinan tidak semata-mata berakar pada “kelemahan diri“, sebagaimana dipahami dalam perspektif kultural. Kemiskinan semacam ini justru merupakan konsekuensi dari pilihan-pilihan strategi pembangunan ekonomi yang selama ini dicanangkan serta dari pengambilan posisi pemerintah dalam perencanaan dan implementasi pembangunan ekonomi itu sendiri. Kemiskinan tersebut dialami oleh para

buruh bagasi diman kebijakan pemerintah yang menaikkan harga BBM memberikan dampak buruk bagi perekonoian mereka.

Namun kondisi tersebut tidaklah menyebabkan para buruh bagasi Pelabuhan Belawan serta merta meninggalkan pekerjaannya sebagai pengangkat barang penumpang kapal laut. Dari penelitian yang dilakukan, didapat beberapa faktor yang menyebabkan mereka tetap bertahan bekerja di sana berdasarkan hasil wawancara, yakni : susahnya mencari pekerjaan lain karena faktor ekonomi yang rendah, pergaulan yang erat yang mereka rasakan dengan teman sekerja, serta kebanyakan informan menyatakan mereka tetap bertahan disebabkan oleh suasana pelabuhan yang mereka sukai karena sudah lama bekerja disana.

Para buruh bagasi melakukan berbagai strategi untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sehari – hari. Edi Suharto, seorang pengamat permasalahan kemiskinan dari Institut Pertanian Bogor menyatakan bahwa untuk dapat bertahan hidup, seseorang melakukan strategi – strategi yang dikategorikan dalam tiga kelompok besar. Yaitu :

1. Peningkatan Asset

Melibatkan lebih banyak anggota keluarga untuk bekerja, memulai usaha kecil-kecilan, memulung barang-barang bekas, menyewakan kamar, menggadaikan barang, meminjam uang di bank atau lintah darat. 2. Pengontrolan Konsumsi dan Pengeluaran

Mengurangi jenis dan pola makan, membeli barang-barang murah, mengurangi pengeluaran untuk pendidikan dan kesehatan, mengurangi

kunjungan ke desa, memperbaiki rumah atau alat-alat rumah tangga sendiri.

3. Pengubahan Komposisi Keluarga

Migrasi ke desa atau ke kota lain, meningkatkan jumlah anggota rumah tangga untuk memaksimalkan pendapatan, menitipkan anak ke kerabat atau keluarga lain baik secara temporer maupun permanen.

Coping strategi terebut juga terdapat pada strategi yang dilakukan oleh para buruh bagasi. Strategi yang mereka lakukan antara lain :

a. Strategi Aktif

Yaitu trategi yang mengoptimalkan segala potensi yang dimiliki (misalnya melakukan aktivitas sendiri, memperpanjang jam kerja, memanfaatkan sumber atau tanaman liar di lingkungan sekitar dan sebagainya).

Berdasarkan pelaku, pengaplikasian strategi tersebut dapat dilihat dari 3 ( tiga ) bagian, yakni strategi yang dilakukan oleh informan, yakni TKBM, mengumpulkan barang – barang bekas, money changer, narik ojek, bertani, calo tiket kapal laut. Istri juga bekerja sebagai guru SD, mengumpulkan barang – barang bekas, berdagang, beternak, dan bertani. Selain itu, anak mereka juga turut berpartisipasi yakni dengan menggunting sandal, membantu orang tua berjualan, TKBM, membantu beternak, membantu bertani, serta memberi kiriman uang pada orang tua mereka bagi anak – anak informan yang merantau dan sudah bekerja.

b. Strategi Pasif

Yaitu mengurangi pengeluaran keluarga (misalnya pengeluaran biaya untuk sandang, pangan, pendidikan dan sebagainya).

Dalam penelitian ini, selain turut bekerja menambah penghasilan keluarga, seorang isri juga berperan besar dalam penggunaan uang belanja agar tidak boros terutama saat kondisi keuangan sedang sulit. Penghematan pengeluaran untuk kebutuhan sehari – hari berhubungan dengan menu sehari – hari yang harus disesuaikan dengan kondisi keuangan agar tetap dapat makan tiga kali sehari.

“…harus di hemat – hemat. Di usahakan jangan berlebih, dan tidak jajan. Kalau pas ada rejeki, bolehlah.”

(Wawancara dengan Sipahutar, 2007)

“Istri berperan mengatur segala keuangan keluarga. Mengeluarkan biaya secara hemat.”

(Wawancara dengan Patar Gultom, 2007)

Selain turut bekerja menambah penghasilan keluarga, seorang isri juga berperan besar dalam penggunaan uang belanja agar tidak boros terutama saat kondisi keuangan sedang sulit. Penghematan pengeluaran untuk kebutuhan sehari – hari berhubungan dengan menu sehari – hari yang harus disesuaikan dengan kondisi keuangan agar tetap dapat makan tiga kali sehari.

c. Strategi Jaring Pengaman

Misalnya menjalin relasi, baik secara informal maupun formal dengan lingkungan sosialnya dan lingkungan kelembagaan (misalnya meminjam uang tetangga, mengutang ke warung, memanfaatkan program anti kemiskinan, meminjam uang ke rentenir atau bank dan sebagainya).

Pemanfaatan jaringan ini terlihat dari para buruh bagasi yang tergabung dalam kelompok kantin atas yang mengandalkan jaringan dan relasi dalam menekuni pekerjaannya, yakni dengan para pedagang baik yang hendak mengirim barang maupun yang mendapat kiriman barang. Hal ini dialami oleh Parlin Marpaung, seperti penuturannya berikut :

“Biasanya bos kami nyuruh angkat barangnya sampai ke kapal. Begitu juga kalau ada kiriman untuk bos langsung lah saya di telepon. Saya langsung calling kawan –kawan umtuk ngangkat. Bayarannya biasanya borongan. Rp 200.000,00 sampai Rp 300.000,00 tergantung banyaknya barang juga. Imbalan sebesar itu di bagi tiga – empat buruh.”

Kerjasama juga mereka lakukan dengan KPLP, yakni dengan cara, KPLP menawarkan kepada pedagang yang hendak menggunakan jasa kapal laut agar barang mereka diangkat oleh buruh yang ditunjuk oleh KPLP yakni para buruh yang tergabung dalam kelompok ‘kantin atas’.

Pemanfaatan jaringan ini juga terlihat jelas dalam mengatasi masalah ekonomi dengan pinjam uang kepada tetangga, mengutang ke warung terdekat, bahkan ada yang pinjam uang ke rentenir. Seperti ungkapan berikut ini :

“Istri saya ngutang ke tetangga, kalau tidak saya pinjam sama sesama buruh. Nanti kalau ada rejeki dan dia butuh uang kita juga pinjamkan ke dia. Saling tolong – menolonglah…” ( Wawncara denagan L.E.Sitorus ) “Menggadaikan barang. Dan itu terjadi pada saat anak saya mau masuk kuliah.”

( Wawancara dengan Patar Gultom, 2007 )

“Jika memang sudah tidak punya uang lagi, biasanya istri saya ngutang dulu ke warung. Nanti kalau kerja lagi dan dapat uang, baru dibayar.”

Selain dari strategi yang dilakukan dalam mengatasi tekanan ekonomi, ada pula strategi – strategi yang dilakukan untuk mengatasi tekanan non – ekonomi. Yakni dengan pergi ke fakter tuak. Hal ini diperoleh dari hasil wawancara dengan buruh bagasi yang tergabung dalam kelompok kantin atas.

“Biasanya selain bergaul dengan sesama buruh di lokasi kerja, saya baik sendiri maupun bersama teman sekerja pergi ke fakter tuak. Disana kita bisa lepas berekspresi, mabuk, nyanyi – nyanyi, dan mendegarkan canda – canda konyol orang – orang disitu. Jadi ringan beban pikiran.”

Informan tersebut juga mengatakan mereka juga sering bermain catur, dan mereka mengadakan taruhan. Walaupun hal tersebut merupakan salah satu bentuk judi, dan hokum di Indonesia menentang keras dilakukannya praktek judi, tetapi hal tersebut tidak membuat mereka takut karena aparat keamanan adalah teman mereka, bahkan aparat tersebut berpesan agar mereka hati – hati melakukannya dan dia pun mendapat komisi dari hasil perjudian tersebut.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Krisis multidimensi yang melanda bangsa Indonesia, mengakibatkan

timbulnya kerugian – kerugian bagi masyarakat di berbagai sektor, terutama

di sektor ekonomi. Salah satunya adalah semakin meningkatnya kuantitas

pengangguran, sementara biaya kebutuhan hidup semakin meningkat.

Kondisi tersebut diatas menyebabkan, mau tak mau, masyarakat harus

semakin aktif mencari uang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan

cara apapun. Keterbatasan peluang bekerja di sektor informal mengakibatkan

semakin meluasnya fenomena sektor informal. Keith Hart, sebagai seorang

antropolog Inggris menyatakan bahwa kesempatan memperoleh penghasilan

di sektor informal dibagi menjadi 2 (dua) bagian, yakni sektor informal yang

sah, dan sector informal yang tidak sah. Yang termasuk dalam informal yang

sah yaitu :

1. Kegiatan-kegiatan primer dan sekunder pertanian, perkebunan, yang

berorientasi pasar, kontraktor bangunan dan kegiatan yang berhubungan

dengan pengrajin usaha sendiri, pembuat sepatu, pengusaha bir dan

alkohol.

2. Usaha kecil dengan modal relatif besar, perumahan, transportasi,

usaha-usaha untuk kepentingan umum, spekulasi barang-barang dagangan,

3. Distribusi kecil- kecilan, pedagang pasar, pedagang kelontong,

pedagang kaki lima, pengusaha makanan jadi, pelayan bar,

pengangkut barang, agen atas komisi, dan penyalur.

4. Jasa-jasa lain seperti pemusik (pengamen), pengusaha binatu, penyemir

sepatu, tukang cukur, pembuang sampah, juru potret, pekerja reparasi

kendaraan maupun reparasi lainnya, makelar, dan sebagainya.

5. Transaksi pribadi seperti arus uang dan barang, pemberian maupun

semacamnya, pinjam-meminjam, pengemis, dan lain-lain.

Sedangkan yang termasuk ke dalam kesempatan memperoleh

penghasilan di sektor yang tidak sah ialah:

a. Jasa kegiatan atau perdagangan gelap yang pada umumnya penadah

barang-barang pencurian, lintah darat, pegadaian dengan tingkat

bunga yang tidak sah, perdagangan obat bius, pelacuran, berbagai

macam korupsi, perlindungan kejahatan.

b. Transaksi pencurian kecil (pencopetan), pencurian besar-besaran

(pembongkaran), pemalsuan uang dan penipuan. (Manning, 1985 :

79-80).

Penelitian ini, merupakan penelitian yang mengaji tentang kehidupan

buruh bagasi yang juga termasuk mengerjakan pekerjaan yang tergolong

kepada pekerjaan sector informal yang sah yakni pengangkut barang, seperti

Pada awalnya, bekerja sebagai buruh bagasi adalah pekerjaan yang

cukup banyak memperoleh penghasilan. Hal ini disebabkan oleh jumlah

buruh bagasi yang tidak begitu banyak, sementara intensitas keberangkatan

kapal cukup besar, yakni sekali dalam 2 (dua) hari dengan kuantitas

penumpang yang cukup padat.

Namun, seiring dengan semakin banyaknya alat transportasi yang

lebih efektif dan modern yakni pesawat terbang, maka berangsur-angsur pula

berkurangnya jumlah penumpang kapal laut. Berkurangnya penumpang

mengakibatkan Kapal Sinabung akhirnya dipindahkan oleh pihak perusahaan

ke pelabuhan yang lain, dan karena itu pula jadwal keberangkatan kapal laut

pun menjadi hanya sekali dalam seminggu. Harga tiket pesawat yang yang

semakin turun, bahkan tidak jauh berbeda dari harga tiket kapal laut,

menyebabkan masyarakat lebih memilih bepergian dengan menggunakan jasa

pesawat dibandingkan dengan menggunakan jasa kapal laut.

Kondisi tersebut di atas sangatlah merugikan bagi para buruh bagasi.

Karena, semakin sedikit penumpang, semakin sedikit pula penghasilan yang

mereka peroleh. Karena besarnya upah yang mereka terima tergantung pada

jumlah barang penumpang yang mereka angkat hal ini menyebabkan

kemiskinan dikalangan buruh bagasi mengalami peningkatan, walaupun hal

tersebut bukanlah karena kesalahan mereka, atau bukan karena mereka malas

bekerja sehingga mereka miskin,tetapi karena kebijakan – kebijakan

pemerintah yang berdampak buruk bagi masyarakat kelas bawah, khususnya

Hal tersebut diatas sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh

Dr.Sunyoto Usman, dalam bukunya yang berjudul “Pembangunan dan

Pemberdayaan Masyarakat”, yakni secara sosiologis, dimensi struktural

kemiskinan dapat ditelusuri melalui institutional arrangements yang hidup

dan berkembang dalam masyarakat. Asumsi dasarnya adalah bahwa

kemiskinan tidak semata-mata berakar pada “kelemahan diri“, sebagaimana

dipahami dalam perspektif kultural. Kemiskinan semacam ini justru

merupakan konsekuensi dari pilihan-pilihan strategi pembangunan ekonomi

yang selama ini dicanangkan serta dari pengambilan posisi pemerintah dalam

perencanaan dan implementasi pembangunan ekonomi itu sendiri.

Namun kondisi tersebut tidaklah menyebabkan para buruh bagasi

Pelabuhan Belawan serta merta meninggalkan pekerjaannya sebagai

pengangkat barang penumpang kapal laut. Dari penelitian yang dilakukan,

didapat beberapa faktor yang menyebabkan mereka tetap bertahan bekerja di

sana berdasarkan hasil wawancara, yakni : susahnya mencari pekerjaan lain

karena faktor ekonomi yang rendah, pergaulan yang erat yang mereka rasakan

dengan teman sekerja, serta kebanyakan informan menyatakan mereka tetap

bertahan disebabkan oleh suasana pelabuhan yang mereka sukai karena sudah

lama bekerja disana.

Terdapat 3 ( tiga) kelompok dalam komunitas buruh bagasi, yakni:

Dokumen terkait