UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
STRATEGI PERTAHANAN HIDUP BURUH BAGASI
( Studi Deskriptif Terhadap Buruh Bagasi di Pelabuhan Belawan,
Kecamatan Medan Belawan )
SKRIPSI
Diajukan Oleh :M ARTH A D OM I N TA D I AKON ESTI PARD ED E 020901030
Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana
Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara
ABSTRAKSI
Krisis moneter yang berkepanjangan di Indonesia menimbulkan munculnya berbagai kondisi yang memprihatinkan bagi masyarakat. Kesulitan memperoleh pekerjaan di sektor formal menyebabkan timbulnya pekerjaan sektor informal, seperti pekerjaan yang digeluti oleh informan penelitian ini, yakni asebagai buruh bagasi yang mengangkat barang penumpang kapal laut. Awalnya, bekerja sebagai buruh bagasi adalah pekerjaan yang cukup banyak memperoleh penghasilan. Hal ini disebabkan oleh jumlah buruh bagasi yang tidak begitu banyak, sementara intensitas keberangkatan kapal cukup besar, yakni sekali dalam 2 (dua) hari dengan kuantitas penumpang yang cukup padat. Namun, kenaikan harga BBM yang mengakibatkan naiknya harga tiket kapal laut, sementara harga tiket pesawat melonjak turun, mengakibatkan penumpang beralih ke pesawat yang memberi dampak buruk bagi penghasilan buruh bagasi.
Jenis penelitian ini adalah dengan menggunakan pendekatan kualitatif yakni data yang dikumpulkan adalah berupa kata-kata, dan bukan angka-angka. Semua data yang dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci terhadap apa yang sudah diteliti. Dengan demikian, laporan akan berisi kutipan-kutipan data untuk memberi gambaran penyajian laporan tersebut, dimana hasilnya disajikan dalam bentuk deskriptif. Penelitian ini berlokasi di Pelabuhan Belawan, yang terdapat di Jalan Sumatera No.1 Belawan, Kecamatan Medan Belawan, yang diwakili informan sebanyak 8 (delapan) orang untuk menjawab permasalahan penelitian yakni bagaimana gambaran kehidupan sosial ekonomi buruh bagasi Pelabuhan Belawan ditinjau dari aspek sosiologisnya, serta menjawab strategi apa yang mereka lakukan untuk menambah pendapatannya agar dapat memenuhi kebutuhan keluarganya.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
DEPARTEMEN SOSIOLOGI
LEMBAR PERSETUJUAN
Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh :
Nama : Martha Dominta Diakonesti Pardede
NIM : 020901030
Departemen : Sosiologi
Judul : Strategi Pertahanan Hidup Buruh Bagasi
(Studi Deskriptif Terhadap Kehidupan Buruh Bagasi di Pelabuhan Belawan, Kecamatan Medan Belawan)
Dosen Pembimbing, Ketua Departemen,
Harmona Daulay,S.Sos., M.Si Prof. Dr.Badaruddin, M.Si NIP : 131 086 737 NIP : 131 996 175
Dekan,
KATA PENGANTAR
Terpujilah Tuhan Allah yang telah memberikan berkat, kekuatan, serta
pertolongan kepada penulis dalam menyelesaikan perkuliahan hingga pada tahap akhir
yakni dalam penyusunan skripsi yang berjudul “ Strategi Pertahanan Hidup Buruh
Bagasi “. Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi syarat guna memperoleh gelar
sarjana dari Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas
Sumatera Utara.
Skripsi ini masih memiliki kekurangan. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan
pengetahuan, pengalaman, materi penulisan, serta kepustakaan. Untuk itu, penulis
membuka diri untuk menerima segala saran dan kritikan guna perbaikan skripsi ini
kearah yang lebih baik lagi. Selama penulisan skripsi ini, penulis menerima banyak
bantuan, saran, kritikan, motivasi, serta dukungan doa dari berbagai pihak. Untuk itu,
penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Prof. DR. Arif Nasution, MA, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. DR. Badaruddin, M.Si, selaku Ketua Departemen Sosiologi, Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.
3. Ibu Dra. Rosmiani, MA, selaku Sekretaris Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.
4. Ibu Harmona Daulay, S.Sos, M.Si, selaku dosen pembimbing penulis yang telah
meluangkan waktu kepada penulis untuk membimbing penulis dalam penulisan
5. Bapak Drs. Junjungan Simanjuntak, M.Si, selaku dosen wali penulis.
6. Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada seluruh dosen Sosiologi dan dosen
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara yang telah
memberikan berbagai materi selama penulis menjalani perkuliahan di FISIP USU.
7. Teristimewa kepada kedua orang tua penulis tercinta ayahanda Pdt. M.Pardede, S.Th
dan ibunda B.br. Siagian yang telah melahirkan, membesarkan, serta mendidik
penulis tanpa henti – hentinya dengan penuh cinta dan kasih sayang, dan mendoakan
penulis setiap hari.
8. Buat kakak – kakak dan abang iparku ( K’Ruth dan B’Nababan, K’Maria dan
B’Simamora, K’Lidya dan B’Rajagukguk, K’Eva dan B’Naibaho, K’Melati dan
B’Sitinjak, K’Rospita dan B’Julfrinson ) yang senantiasa mendukung penulis baik
dana maupun motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini.
9. Buat adik – adik dan sahabatku Filadelfia ( Julia, Silva, Rahmat, Ronald dan Urbanus
) serta Bezaleel ( Bastanna, Budi, Christina, Lemuel, dan Roy Hakim ) yang telah
memberi semangat kepada penulis.
10.Terimakasih juga kepada anak – anak Sosiologi stambuk 2002, khususnya buat Pinta
Ukur yang telah menemani penulis dalam penelitian ke lapangan.
11.Terima kasih kepada seluruh informan penelitian, yang telah memberikan informasi
yang sesuai dengan permasalahan penelitian. Khusus buat buruh bagasi kelompok
kantin atas, terima kasih buat sambutan yang hangat dan persaudaraan yang
diberikan, terima kasih juga buat secangkir cappuccino setiap kali penulis datang ke
12.Terimakasih buat k’Ria Hutagalung atas pertolongannya selama ini, k’Lisda yang
selalu memberi semangat, k’Asti.
13.Terimakasih buat abangku, Septa G.Girsang, ST atas semangat yang selalu diberikan.
14.Terimakasih yang terdalam penulis sampaikan atas semangat yang luar biasa,
bantuan, doa, yang penulis peroleh dari abang sekaligus sahabat penulis, b’ Samuel
Haratua Siswono, ST ( Sanders Hanko ).
Penulis telah mencurahkan segala kemampuan, tenaga, pikiran, dalam
menyelesaikan skripsi ini. Besar harapan kiranya skripsi ini bermanfaat bagi pembaca.
Medan, Juni 2008
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang ... 1
1.2.Perumusan Masalah ... 9
1.3.Tujuan Penelitian ... 10
1.4.Manfaat Penelitian ... 10
1.5.Defenisi Konsep ... 11
BAB II. KAJIAN PUSTAKA ...Persoalan Strategies : Suatu Strategi dalam Menangani Kemiskinan ... 22
BAB IV.PENYAJIAN DAN INTERPRETASI DATA 4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 33
4.1.1. Sejarah Ringkas Pelabuhan Belawan ... 33
4.1.2. Letak Geografis Medan Belawan ... 36
4.2. Deskripsi Keberadaan Buruh Bagasi ... 37
4.2.3. Buruh Bagasi Ilegal ... 42
4.3. Penurunan Komposisi Penumpang Kapal Laut ... 42
4.4. Profil Informan ... 44
4.5. Gambaran Sosial Ekonomi ... 53
4.5.1. Sistem Pendapatan ... 53
4.5.2. Interaksi Sosial Buruh Bagasi ... 57
4.5.2.1. Interaksi Sesama Buruh Bagasi... 65
4.5.2.2. Interaksi Buruh Bagasi dengan Atasan (Mandor dan KPLP) ... 65
4.6. Motivasi dan Strategi Pertahanan Hidup Buruh Bagasi ... 66
4.6.1. Motivasi Tetap Bertahan Sebagai Buruh Bagasi ... 66
4.6.2. Strategi Pertahanan Hidup Buruh Bagasi ... 68
4.7 Analisa Strategi Pertahanan Hidup Buruh Bagasi ... 74
BAB V.KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ... 85
5.2. Saran ... 93
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL
1. Angka Pengangguran (Tahun 2000 – 2005) ... 2
2. Perbandingan Harga Tiket Kapal Laut dengan Salah Satu Pesawat
Terbang ... 3
3. Persentase Kenaikan Harga BBM ... 3
4. Pembagian Jadwal Kerja Buruh Bagasi Pada Kapal Ferry ( dalam jangka waktu 2 bulan ) ... 7
DAFTAR MATRIK
1. Latar Belakang Informan ... 53
2. Tanggapan Informan Terhadap Kerjasama ... 59
3. Tanggapan Informan Terhadap Konflik ... 61
4. Tanggapan Informan Terhadap Kompetisi ... 62
5. Motivasi Tetap Bertahan Sebagai Informan ... 67
6. Pekerjaan Sampingan Informan ... 69
7. Pekerjaan Istri ... 70
ABSTRAKSI
Krisis moneter yang berkepanjangan di Indonesia menimbulkan munculnya berbagai kondisi yang memprihatinkan bagi masyarakat. Kesulitan memperoleh pekerjaan di sektor formal menyebabkan timbulnya pekerjaan sektor informal, seperti pekerjaan yang digeluti oleh informan penelitian ini, yakni asebagai buruh bagasi yang mengangkat barang penumpang kapal laut. Awalnya, bekerja sebagai buruh bagasi adalah pekerjaan yang cukup banyak memperoleh penghasilan. Hal ini disebabkan oleh jumlah buruh bagasi yang tidak begitu banyak, sementara intensitas keberangkatan kapal cukup besar, yakni sekali dalam 2 (dua) hari dengan kuantitas penumpang yang cukup padat. Namun, kenaikan harga BBM yang mengakibatkan naiknya harga tiket kapal laut, sementara harga tiket pesawat melonjak turun, mengakibatkan penumpang beralih ke pesawat yang memberi dampak buruk bagi penghasilan buruh bagasi.
Jenis penelitian ini adalah dengan menggunakan pendekatan kualitatif yakni data yang dikumpulkan adalah berupa kata-kata, dan bukan angka-angka. Semua data yang dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci terhadap apa yang sudah diteliti. Dengan demikian, laporan akan berisi kutipan-kutipan data untuk memberi gambaran penyajian laporan tersebut, dimana hasilnya disajikan dalam bentuk deskriptif. Penelitian ini berlokasi di Pelabuhan Belawan, yang terdapat di Jalan Sumatera No.1 Belawan, Kecamatan Medan Belawan, yang diwakili informan sebanyak 8 (delapan) orang untuk menjawab permasalahan penelitian yakni bagaimana gambaran kehidupan sosial ekonomi buruh bagasi Pelabuhan Belawan ditinjau dari aspek sosiologisnya, serta menjawab strategi apa yang mereka lakukan untuk menambah pendapatannya agar dapat memenuhi kebutuhan keluarganya.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perubahan yang signifikan dari keberadaan bangsa Indonesia yang
terpuruk akibat krisis moneter yang berkepanjangan, yang mulai melanda negeri
sejak pertengahan Agustus 1997 mengakibatkan berbagai krisis multidimensi
yang terus menimbulkan kerugian-kerugian bagi masyarakat. Salah satu yang
sangat memprihatinkan adalah pengangguran yang mengakibatkan berjuta-juta
pekerja mengalami penderitaan. Kesulitan-kesulitan hidup dirasakan hampir
seluruh penduduk Indonesia. Upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah belum
cukup membuat keresahan masyarakat berhenti, terutama dalam bidang ekonomi.
Kebutuhan hidup yang harganya terus meningkat mendorong masyarakat
untuk bekerja keras, melakukan banyak cara, demi memenuhi kebutuhan hidup
terutama kebutuhan pokok atau kebutuhan dasar (basic needs). Untuk dapat
memenuhi semua kebutuhan tersebut, dituntut untuk bekerja, baik pekerjaan yang
diusahakan sendiri maupun bekerja bagi orang lain. Pekerjaan yang diusahakan
sendiri maksudnya adalah bekerja atas usaha modal dan tanggung jawab sendiri,
sedangkan bekerja bagi orang lain maksudnya adalah bekerja dengan bergantung
pada orang lain yang memberi perintah dan mengutusnya.
Di sisi lain, masalah lapangan kerja merupakan salah satu masalah besar
yang dihadapi masyarakat dari keseluruhan masalah bangsa yang sedang
menghadapi krisis multidimensi ini. Melihat angka pengangguran dalam 6 (enam)
tahun ke tahun angka pengangguran terus meningkat. Data Badan Pusat Statistik
(BPS) menunjukkan bila pada tahun 2000 angka pengangguran tercatat 5,8 juta
jiwa, maka pada tahun 2005 angka ini naik menjadi 12,6 juta jiwa (lihat tabel).
Tabel 1. Angka Pengangguran (Tahun 2000-2005)
Tahun Angkatan Kerja
Jumlah yang
Bekerja (%)
Jumlah
Pengangguran
(Juta)
2000 95,7 93,92 5,8
2001 98,8 91,90 8,0
2002 100,8 90,94 9,1
2003 100,3 90,50 9,5
2004 100,9 90,14 10,2
2005 106 88,11 12,6
Sumber : BPS Provinsi Sumatera Utara, 2006.
Seiring dengan semakin pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, masyarakat dituntut untuk mampu bertahan untuk menghadapi
persaingan yang keras demi mendapatkan pekerjaan dan memperoleh penghasilan
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya terutama di daerah perkotaan.
Ketidakmampuan seseorang untuk bersaing dalam memenuhi kebutuhan hidupnya
mengakibatkan timbulnya kemiskinan.
Scott (1979) berpendapat bahwa kemiskinan dapat didefinisikan dari segi
pendapatan dalam bentuk uang ditambah dengan keuntungan-keuntungan non
sebagai kondisi yang diderita manusia karena kekurangan atau tidak memiliki
pendidikan yang layak untuk meningkatkan taraf hidupnya, kesehatan yang buruk,
dan kekurangan transportasi yang dibutuhkan manusia. Kedua, kemiskinan
didefinisikan dari segi kurang atau tidak memiliki asset, seperti tanah, rumah,
peralatan, uang, emas, kredit, dll. Ketiga, kemiskinan dapat didefinisikan sebagai
kekurangan atau ketiadaan non materi yang meliputi berbagai macam kebebasan,
hak untuk memperoleh pekerjaan yang layak, hak atas rumah tangga dan
kehidupan yang layak (Tjetjep Rohendi, 2000:24).
Berbagai wacana tentang kemiskinan telah menunjuk buruh-buruh di sub
sektor perkebunan teh rakyat sebagai contoh nyata dari proses kemiskinan suatu
golongan dalam masyarakat. Terbatasnya penguasaan dan akses terhadap sumber
daya menjadi masalah struktural yang selalu didengungkan kaum reformis dalam
menjelaskan fenomena tersebut. Salah satunya, yang menunjukkan hal tersebut
adalah hasil penelitian Grijns (1986) tentang buruh pemetik teh di wilayah
Selasari, Jawa Barat, yang menyatakan bahwa :
“In term of possesion and income they do belong to the poores group in their society, though they are not rock bottom, for they still have work…”
(Safaria, 2003:97).
(dalam hal kepemilikan dan pendapatan mereka adalah kelompok termiskin dalam masyarakatnya, meski mereka bukan kelas terbawah, karena mereka masih memiliki pekerjaan…).
Buruh, pada hakekatnya merupakan seseorang yang bekerja pada orang
lain (lazim disebut majikan) dengan menerima upah dan bekerja dibawah
pimpinan orang lain. Selain memperoleh upah yang telah ditetapkan oleh majikan
mereka juga mendapat jaminan kesejahteraan serta kesehatan sebagai tenaga
oleh para buruh. Hingga sampai saat ini, perjuangan berbagai kalangan
masyarakat yang bertemakan “Perjuangan nasib kaum buruh” masih terus
disuarakan melalui berbagai aksi komponen masyarakat.
Di antara banyaknya perjuangan serta masalah perburuhan yang ada
sekarang ini, terdapat suatu kehidupan komunitas buruh yang tampak terabaikan,
yakni buruh bagasi ataupun yang sering disebut dengan Porter yang bekerja di
pelabuhan. Mereka bekerja sebagai pengangkat barang penumpang kapal laut.
Secara historis, Pelabuhan Belawan yang merupakan salah satu
pelabuhan yang berada di daerah Sumatera Utara, memiliki kapal laut yang cukup
banyak serta penumpang yang cukup ramai. Masyarakat mulai dari golongan
menengah ke atas senantiasa bepergian dengan menggunakan jasa laut. Rute kapal
laut terdiri dari dua bagian yakni rute nasional dengan tujuan Batam dan Jakarta
dan rute internasional dengan tujuan ke Malaysia. Untuk rute pelayanan nasional,
biasanya kapal berangkat sekali dalam 2 (dua) hari. Hingga tahun 2003, terdapat
dua buah kapal laut nasional yakni Kapal Kelud dan Sinabung. Sedangkan untuk
rute internasional penumpang berangkat setiap hari dengan menggunakan jasa
kapal kecil yang disebut Ferry. Hal ini sangatlah menguntungkan bagi buruh
bagasi, karena pendapatan mereka cukup banyak akibat banyaknya penumpang.
Bekerja sebagai buruh bagasi tidaklah memerlukan kriteria khusus yang
harus dimiliki oleh seorang buruh bagasi. Seseorang cukup bermodalkan tenaga
yang cukup kuat dan kondisi fisik yang memungkinkan untuk mengangkat barang
penumpang seberat puluhan bahkan ratusan kilogram, dari tempat mereka
melakukan tawar-menawar harga sampai ke kapal laut ataupun sebaliknya dari
Dari buruh bagasi dituntut kecepatan dalam bekerja, karena semakin
cepat dia melakukan pekerjaannya, semakin besar kemungkinan untuk
memperoleh kesempatan mengangkat barang penumpang lainnya. Kompetisi,
tampak jelas dalam cara kerja mereka. Uniknya, para buruh bagasi memiliki trik
ataupun cara untuk mengangkat barang tersebut yakni menggunakan sehelai kain,
selendang ataupun sejenisnya yang mereka sebut sebagai “Senjata” mereka dalam
bekerja. Barang milik penumpang yang dikemas dalam kardus ataupun dalam
bentuk lainnya mereka ikat dengan “Senjata” tersebut dengan mengikatkannya
pada tali-tali pengikat barang penumpang. Dengan usaha keras mereka
mengupayakan agar barang seorang penumpang yang beratnya puluhan kilogram
dapat mereka bawa dalam sekali mengangkat. Mereka berjalan sampai
terbungkuk-bungkuk akibat beban di tubuh mereka yang sangat berat. Udara di
pelabuhan yang terasa sangat panas tidak lagi mereka hiraukan.
Namun, seiring dengan semakin banyaknya alat transportasi yang lebih
efektif dan modern yakni pesawat terbang, maka berangsur-angsur pula
berkurangnya jumlah penumpang kapal laut. Berkurangnya penumpang
mengakibatkan Kapal Sinabung akhirnya dipindahkan oleh pihak perusahaan ke
pelabuhan yang lain, dan karena itu pula jadwal keberangkatan kapal laut pun
menjadi hanya sekali dalam seminggu. Pada saat ini, harga tiket pesawat terbang
sudah semakin menurun, bahkan tidak jauh berbeda dari tiket kapal laut.
Tabel 2. Perbandingan Harga Tiket Kapal Laut dengan Salah Satu
Hal ini berkaitan pula dengan kebijakan pemerintah yang menetapkan
harga BBM pada tanggal 01 Oktober 2005 lalu, yang menetapkan harga BBM
sebagai berikut :
Tabel 3. Persentase Kenaikan Harga BBM
Jenis BBM
Kenaikan harga BBM tentu saja mengakibatkan kenaikan harga tiket
kapal laut yang menggunakan bahan bakar minyak. Kenaikan harga BBM serta
semakin murahnya harga tiket pesawat terbang merupakan dua hal yang
menyebabkan masyarakat lebih memilih untuk bepergian dengan menggunakan
Kondisi tersebut di atas sangatlah merugikan bagi para buruh bagasi.
Karena, semakin sedikit penumpang, semakin sedikit pula penghasilan yang
mereka peroleh. Karena besarnya upah yang mereka terima tergantung pada
jumlah barang penumpang yang mereka angkat. Sementara jumlah buruh bagasi
adalah sebanyak 164 orang termasuk diantaranya 4 orang mandor, dan tiap-tiap
mandor mengawasi sekitar 38 sampai 42 orang buruh bagasi.
Proses pembagian jadwal kerja mereka adalah sebagai berikut :
Tabel 4. Pembagian Jadwal Kerja Buruh Bagasi pada Kapal Ferry (dalam jangka waktu 2 bulan)
Minggu
Group P Group Q Group R Group S
Mandor P Mandor Q Mandor R Mandor S
A B A B A B A B
I IA1 IB2
II IIA1 IIB2
III IIIA1 IIIB2
IV IVA1
IV B2
Sumber : Hasil Wawancara pra Survey dengan Salah Seorang Mandor, tanggal 07 Mei 2006.
Keterangan :
I, II, III, IV : Minggu ke-…
A / B : ½ jumlah satu group buruh 1 : Bulan pertama
2 : Bulan kedua
Dari tabel tersebut di atas dapat dilihat bahwa buruh-buruh tersebut akan
dalam dua bulan, di mana kapal berangkat hanya sekali dalam dua hari. Sementara
untuk Kapal Kelud mereka bekerja sekali dalam seminggu.
Ketika bekerja mereka diwajibkan mengenakan baju yang memiliki
nomor punggung masing-masing buruh. Hal ini penting karena jika terjadi sesuatu
pada barang penumpang (misalnya : hilang), maka yang bertanggung jawab
terhadap barang tersebut adalah sang buruh bagasi dan dia dituntut untuk
mengganti kerugian atas hilangnya barang tersebut. Padahal, mereka tidak
memperoleh jaminan apapun baik jaminan kesejahteraan maupun kesehatan dari
pihak pelabuhan, sementara dilihat dari aktivitasnya pekerjaan mereka cukup
rentan terhadap bahaya.
Sistem pengupahan buruh bagasi adalah sistem bargaining
(tawar-menawar) antara buruh bagasi dengan si pemilik barang. Dan harga tersebut
disesuaikan dengan berat barang. Biasanya harga mengangkat berkisar
Rp 5000,00 - Rp 30.000,00. Dengan sedikit memaksa, mereka berusaha keras
menawarkan jasa pada para penumpang. Dari pendapatan yang mereka peroleh
mereka pun harus membayar setoran kepada mandor masing-masing sebanyak
Rp 2000,00 setiap kali bertugas mengangkat barang. Uang tersebut akan
dialokasikan untuk perawatan baju buruh bagasi dan setoran pada pihak
pelabuhan, dan mandor memperoleh gaji sebesar Rp 800,00 dari setoran tersebut.
Ada atau tidak ada barang yang diangkat, buruh bagasi wajib membayar setoran
tersebut. Pendapatan seorang buruh bagasi, dengan perhitungan kasar, hanya
mencapai ± Rp 200.000,00 per bulan. Dengan jumlah pendapatan yang demikian
Kondisi yang telah diuraikan di atas memunculkan pertanyaan, yaitu
bagaimana sebenarnya keadaan kehidupan buruh bagasi dalam pemenuhan
kebutuhan hidup serta keperluan lainnya terutama dalam keluarga, mengingat
kuantitas penumpang kapal laut mengalami penurunan. Dan untuk menjawab
pertanyaan tersebut maka perlu dilakukan sebuah penelitian sehingga hasilnya
akan memberi gambaran kehidupan para buruh bagasi di Pelabuhan Belawan.
1.2. Perumusan Masalah
Bertitik tolak pada latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya,
maka yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimanakah gambaran kehidupan sosial dan ekonomi buruh bagasi
di Pelabuhan Belawan di tinjau dari aspek Sosiologisnya ?
2. Strategi apakah yang dilakukan oleh buruh bagasi untuk menambah
pendapatannya agar dapat memenuhi kebutuhan keluarganya ?
1.3. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan perumusan masalah yang akan diteliti, maka tujuan
daripada penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mencari data dan fakta serta mendeskripsikan kehidupan buruh
bagasi.
2. Untuk mendeskripsikan strategi yang dilakukan buruh bagasi untuk
menambah pendapatannya agar dapat memenuhi kebutuhan hidup
I.4. Manfaat Penelitian
I.4.1. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan data dan sebagai acuan
dalam memecahkan permasalahan sejenis.
I.4.2. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diadakan untuk menambah pengetahuan peneliti mengenai
kehidupan buruh bagasi serta masalah-masalah yang mereka hadapi dan melatih
penulis mengembangkan kemampuan berpikir melalui karya ilmiah.
1.5. Defenisi Konsep
Untuk memperjelas maksud dan pengertian mengenai konsep-konsep yang
digunakan, maka penulis membatasi konsep-konsep yang digunakan.
1. Buruh
Adalah seseorang yang bekerja pada orang lain ( lazim disebut
majikan ) dengan menerima upah dan bekerja di bawah pimpinan
orang lain.
Buruh Bagasi
Adalah orang yang menjalankan aktivitas kerja sebagai buruh
bagasi yakni pengangkat barang penumpang kapal laut, dimana
seluruh buruh bagasi yang terdapat di Pelabuhan Belawan adalah
kaum laki – laki. Mereka memperoleh upah dari penumpang
Pekerjaan yang mereka lakukan adalah pekerjaan di sektor
informal.
2. Pelabuhan
Berdasarkan PP NO.11 Th.1983 Tenatang Pembinaan Pelabuhan,
pengertian sebagai prasarana dn sebagai sistem : Pelabuhan adalah
suatu lingkungan kerja yang dilengkapi dengan fasilitas yang
memungkinkan berlabuh dan bertambat kapal, untuk
terselenggaranya bongkar muat barang serta turun naiknya
penumpang dri suatu moda transportasi laut ( Kapal ) ke moda
transpotasi lainnya, atau sebaliknya.
Dalam penelitian ini pelabuhan merupakan tempat buruh bagasi
melakukan aktivitas kerjanya dimana pelabuhan merupakan tempat
berlabuhnya kapal laut. Kebanyakan orang yang bekerja di
Pelabuhan Belawan ini adalah kaum laki – laki bahkan hampir
semuanya adalah laki – laki. Daerah pelabuhan ini sering dianggap
daerah rawan oleh masyarakat, dimana pelabuhan ini merupakan
daerah rawan konflik.
3. Upah
Dalam karya tulis Edwin J.Flippo yang berjudul “ Principles of
Personal Management “, mengatakan yang dimaksud dengan upah
adalah : “ Harga untuk jasa yang telah diterima atau diberikan oleh
orang lain bagi kepentingan seseorang atau badan hukum. “
Batasan tentang upah menurut Dewan Penelitian Perupahan dalam
Upah adalah merupakan suatu penerimaan sebagai imbalan dari
pemberi kerja kepada penerima kerja untuk suatu pekerjaan atau
jasa yang telah atau akan dilakukan, yang berfungsi sebagai
jaminan kelangsungan kehidupan yang layak bagi kemanusiaan
dan produksi dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang telah
ditetapkan menurut suatu persetujuan UU dan peraturan –
peraturan dan di bayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara
pemberi kerja dan penerima kerja.
Dalam penelitian ini upah yang dimaksud adalah pendapatan yang
diperoleh oleh buruh bagasi sebagai imbalan jasa atas pekerjaannya
yang diperolehnya dari penumpang.
4. Faktor
Adalah sesuatu hal, keadaan, dan sebagainya yang ikut
menyebabkan, mempengaruhi terjadinya sesuatu. Faktor disini
maksudnya adalah hal – hal yang menyebabkan buruh bagasi tetap
bertahan menekuni pekerjaannya sebagai pengangkat barang
penumpang kapal laut meskipun terjadi pengurangan jumlah
penumpang. Faktor – faktor yang dimaksud tidak terbatas dari segi
ekonomi saja.
5. Strategi
Merupakan suatu prosedur yang mempunyai alternatif – alternatif
Strategi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah cara – cara atau
hal – hal yang dilakukan oleh buruh bagasi untuk menambah
pendapatannya guna mempertahankan hidup atau meningkatkan
kesejahteraan dengan segala kemampuan, pengetahuan, dan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Persoalan Kemiskinan
Kemiskinan adalah sebuah kondisi kekurangan yang dialami seseorang
atau suatu keluarga. Berdasarkan hasil identifikasi suatu seminar, Awan Setya
Dewanta menyimpulkan bahwa penyebab mengapa orang menjadi miskin adalah :
1. Perbedaan akses ekonomi yang dimiliki
Perbedaan ini telah muncul sejak lahir dimana masing-masing individu
dapat lahir dengan orang tua kaya atau orang tua miskin. Dari hal ini
terjadi perbedaan endowment diantara individu atau telah terjadi
ketimpangan kepemilikan akses ekonomi. Memang endowment yang
dimiliki tersebut tetap harus dikembangkan sehingga tidak menutup
kemungkinan bagi si miskin untuk berupaya menjadi kaya, dan
sebaliknya. Dalam pengembangan diri ini, kelompok miskin perlu dibantu
agar memiliki kemampuan ( keterampilan dan pendidikan ).
2. Ketidakberuntungan yang dimiliki oleh “ kelompok masyarakat miskin“.
Kondisi tersebut adalah deprevation trap, yaitu : kemiskinan itu sendiri,
kelemahan fisik, keterasingan, kerentanan, dan ketidakberdayaan
masyarakat miskin dalam menghadapi perubahan-perubahan
kebijaksanaan ekonomi dan non-ekonomi, fluktuasi pasar, dan kekuatan
3. Ketimpangan distribusi
Ketimpangan distribusi ini dapat disebabkan karena beberapa faktor
produksi yang dimiliki. Pekerja yang hanya mengandalkan tenaga otot saja
akan menerima bagian yang kecil, jika dibandingkan dengan pekerja yang
mengandalkan kemampuan intelektual dalam berproduksi.
4. Pembangunan sebagai ideologi
Pancasila yang seharusnya menjadi etika pembangunan telah digeser oleh
pembangunan itu sendiri. Akibatnya pembangunan itu menimbulkan
dialektika pembangunan. Pembangunan itu sendiri telah dijadikan alat
ampuh untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi. Peristiwa penggusuran
demi pembangunan adalah suatu bentuk yang konkrit bagi pembangunan
sebagai ideologi.
5. Strategi pembangunan dan industrialisasi
Pemilihan strategi pembangunan yang lebih mengutamakan pertumbuhan
akan mengakibatkan aspek pemerataan menjadi tertinggal.
6. Intervensi pemerintah
Kebijakan pemerintah memang diperlukan untuk melakukan investasi
sosial dan melakukan pemihakan kepada si miskin. Namun pada sisi lain,
pemerintah melakukan kebijakan makro yang justru kurang
menguntungkan bagi kebijakan pengentasan kemiskinan. Intervensi
pemerintah juga mengalami bias birokrasi. Bias birokrasi ini
mengakibatkan kebijakan pemerintah yang lebih menguntungkan
kelompok kaya dibandingkan kelompok miskin. Bias ini disebabkan
birokrat dikejar oleh target, dan pemilihan program yang kurang
mengikutsertakan kelompok yang dikenai.
Di dalam bukunya yang berjudul “Pembangunan dan Pemberdayaan
Masyarakat“, Dr.Sunyoto Usman mengatakan bahwa kemiskinan merupakan
salah satu problem sosial yang amat serius. Langkah awal yang perlu dilakukan
dalam membahas masalah ini adalah mengidentifikasikan apa sebenarnya yang
dimaksud dengan miskin atau kemiskinan itu dan bagaimana mengukurnya.
Sedikitnya ada dua macam perspektif yang lazim digunakan untuk
mendekati masalah kemiskinan, yaitu : perspektif kultural (cultural perspektif)
dan perspektif struktural atau situasional (situasional perspektif). Masing-masing
perspektif tersebut memiliki tekanan, acuan, dan metodologi tersendiri yang
berbeda dalam menganalisis masalah kemiskinan.
Perspektif kultural mendekati kemiskinan pada tiga tingkat analisis yaitu
individual, keluarga, dan masyarakat. Pada tingkat individual, kemiskinan
ditandai dengan sifat yang lazim disebut dengan a strong feeling of marginality,
seperti : sikap parokial, apatisme, fatalisme, atau pasrah pada nasib, boros,
tergantung dan inferior. Pada tingkat keluarga, kemiskinan ditandai dengan
jumlah anggota keluarga yang besar, dan free union or consensual marriages.
Dan pada tingkat masyarakat, kemiskinan terutama ditunjukkan oleh tidak
terintegrasinya kaum miskin dengan institusi-institusi masyarakat secara efektif.
Mereka seringkali memperoleh perlakuan sebagai objek yang perlu digarap
daripada sebagai subjek yang perlu diberi peluang untuk berkembang.
Sedangkan menurut perspektif struktural, masalah kemiskinan di lihat
produk-produk teknologi modern. Penetrasi kapital antara lain mengejawantah
dalam program-program pembangunan yang dinilai lebih mengutamakan
pertumbuhan (growth) dan kurang memperhatikan pemerataan hasil
pembangunan. Program-program itu antara lain berbentuk intensifikasi,
ekstensifikasi, dan komersialisasi pertanian untuk menghasilkan pangan
sebesar-besanya guna memenuhi kebutuhan nasional dan ekspor.
Program-program semacam itu memang telah berhasil meningkatkan hasil
produksi secara besar-besaran, tetapi ternyata hanya kelompok kaya yang dapat
memanfaatkan surplus itu. Hal ini disebabkan karena : pertama, berkaitan dengan
akumulasi modal. Kelompok kaya memperoleh kesempatan yang lebih banyak
untuk mendapatkan aset-aset tambahan yang datang bersamaan dengan
perkembangan teknologi modern. Konsekuensinya, mereka dapat lebih cepat
berkembang. Kedua, berkaitan dengan fungsi lembaga. Dalam rangka menunjang
introduksi teknologi baru, di bentuk lembaga-lembaga ekonomi.
Lembaga-lembaga ini sangat dibutuhkan karena dengan adanya perubahan teknologi, fungsi
produksi, struktur pasar, dan preferensi konsumen ikut berubah. Dalam
kenyataannya, lembaga-lembaga semacam ini tidak dapat memberikan fasilitas
secara optimal kepada semua lapisan masyarakat. Hanya kelompok kaya yang
dapat menikmatinya. Kedua hal tersebut dituduh menciptakan “kolonialisme
internal “ dalam kehidupan masyarakat.
Apabila yang dianggap menjadi akar kemiskinan berkaitan dengan faktor
kultural, maka perlu menyusun strategi yang mampu meningkatkan etos kerja
kelompok miskin, meningkatkan pendidikan supaya lebih memiliki pola pikir
supaya dapat mewadahi kebutuhan serta aspirasi kelompok miskin. Sedangkan
apabila akar kemiskinan berakar pada masalah struktural, strategi pembangunan
perlu untuk dirumuskan kembali. Strategi pembangunan tidak lagi mementingkan
pertumbuhan, tetapi lebih mementingkan pemerataan kesempatan.
Secara Sosiologis, dimensi struktural kemiskinan dapat ditelusuri melalui
institutional arrangements yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.
Asumsi dasarnya adalah bahwa kemiskinan tidak semata-mata berakar pada
“kelemahan diri“, sebagaimana dipahami dalam perspektif kultural. Kemiskinan
semacam ini justru merupakan konsekuensi dari pilihan-pilihan strategi
pembangunan ekonomi yang selama ini dicanangkan serta dari pengambilan
posisi pemerintah dalam perencanaan dan implementasi pembangunan ekonomi
itu sendiri.
2.2. Pengelompokan Kebutuhan Hidup Manusia dan Pekerjaan Sektor
Informal.
Setiap manusia mempunyai kebutuhan atau dengan kata lain tak ada
manusia yang tidak mempunyai kebutuhan. Oleh karena itu, manusia akan selalu
berusaha untuk mencapai kebutuhan tersebut, dimana usaha untuk mencapai
kebutuhan tersebut akan mempengaruhi tingkah laku manusia. Menurut Kartini
Kartono (1991 : 88), kebutuhan hidup secara umum dapat dibagi dalam tiga
kategori, yaitu :
1. Kebutuhan tingkat vital biologis, antara lain berupa sandang, pangan, papan
2. Kebutuhan tingkat sosio-budaya (human-kultural) antara lain berupa empati,
simpati, cinta-kasih, pengakuan diri, penghargaan, status sosial, prestise,
pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebutuhan berkumpul.
3. Kebutuhan tingkat religius (metafisik, absolut), yaitu : kebutuhan merasa
terjamin hidupnya, aman sentosa dan bahagia.
2.3 Pekerjaan Sektor Informal
Dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan hidup, seseorang haruslah
bekerja. Akibat dari keterbatasan peluang kerja di sektor formal, maka muncullah
berbagai lapangan usaha yang bersifat informal. Meluasnya fenomena sektor
informal dan informalisasi tenaga kerja di Indonesia merupakan hal yang tidak
bisa dihindari. Istilah-istilah “sektor informal” biasanya digunakan untuk
menunjukkan sejumlah kegiatan ekonomi yang berskala kecil. Sektor informal
merupakan suatu manifestasi dari situasi pertumbuhan kesempatan kerja di negara
berkembang.
Seorang Antropolog Inggris, Keith Hart, pernah mengadakan suatu
penelitian pada penduduk di kota Accra dan Nima, Ghana. Dia mengatakan bahwa
kesempatan memperoleh penghasilan di kota di bagi menjadi 2 kelompok, yaitu
sektor formal dan sektor informal.
Keith Hart, menyatakan bahwa perbedaan sektor formal dan informal
dilihat dari keterbatasan cara kerja, hubungan dengan perusahaan, curahan waktu,
serta status kegiatan yang dilakukan. Hart juga membagi kesempatan memperoleh
sah, dan sektor informal yang tidak sah. Yang termasuk ke dalam sektor informal
yang sah yaitu :
1. Kegiatan-kegiatan primer dan sekunder pertanian, perkebunan, yang
berorientasi pasar, kontraktor bangunan dan kegiatan yang berhubungan
dengan pengrajin usaha sendiri, pembuat sepatu, pengusaha bir dan
alkohol.
2. Usaha kecil dengan modal relatif besar, perumahan, transportasi,
usaha-usaha untuk kepentingan umum, spekulasi barang-barang dagangan,
kegiatan sewa-menyewa.
3. Distribusi kecil- kecilan, pedagang pasar, pedagang kelontong, pedagang
kaki lima, pengusaha makanan jadi, pelayan bar, pengangkut barang, agen
atas komisi, dan penyalur.
4. Jasa-jasa lain seperti pemusik (pengamen), pengusaha binatu, penyemir
sepatu, tukang cukur, pembuang sampah, juru potret, pekerja reparasi
kendaraan maupun reparasi lainnya, makelar, dan sebagainya.
5. Transaksi pribadi seperti arus uang dan barang, pemberian maupun
semacamnya, pinjam-meminjam, pengemis, dan lain-lain.
Sedangkan yang termasuk ke dalam kesempatan memperoleh penghasilan di
sektor yang tidak sah ialah:
a. Jasa kegiatan atau perdagangan gelap yang pada umumnya penadah
barang-barang pencurian, lintah darat, pegadaian dengan tingkat bunga yang tidak
sah, perdagangan obat bius, pelacuran, berbagai macam korupsi,
b. Transaksi pencurian kecil (pencopetan), pencurian besar-besaran
(pembongkaran), pemalsuan uang dan penipuan. (Manning, 1985 : 79-80).
Sesuai dengan konsep yang dikemukakan oleh Keith Hart tersebut,
pekerjaan sebagai buruh bagasi tergolong kepada sektor informal yang sah.
Ciri utama sektor informal adalah :
1.1 Tiadanya bantuan ekonomi dapat timbul , misalnya karena adanya
perserikatan buruh, pemberian kredit dengan bunga relatif murah,
perlindungan dan perawatan kerja, hak cipta. Tidak adanya bantuan
di sini dalam arti accessability dan bukan sekedar kemudahan
(fasilitas). Walau ada kemudahan, tapi tak ada access maka usaha
tersebut masih disebut usaha dalam sektor informal.
1.2 Jam kerja bervariasi
1.3 Mudah dimasuki (karena sektor ini tidak membutuhkan modal/uang
yang besar).
1.4 Tidak meminta keterampilan yang tinggi.
1.5 Dapat menggunakan bahan-bahan setempat.
1.6 Dan permintaan yang akan selalu ada akan barang/jasa yang di
hasilkan sektor informal ( Ananta, 1985 : 65 ).
Dari hasil penelitian yang diadakan oleh Tim peneliti ILO, yang
dikoordinir oleh Sethuraman (Srilanka), ditemukan bahwa mereka yang terlibat
dalam sektor informal pada umumnya miskin, kebanyakan dalam usia kerja utama
modal usaha rendah, serta sektor ini memberikan kemungkinan untuk mobilitas
vertikal.
Pekerjaan di sektor ini memiliki tujuan utama untuk mencari kesempatan
kerja dan pendapatan daripada memperoleh keuntungan. Hal ini disebabkan
karena mereka yang terlibat dalam sektor ini pada umumnya miskin,
berpendidikan sangat rendah, tidak terampil dan kebanyakan para migran. Jelaslah
bahwa mereka bukan kapitalis yang mencari investasi yang menguntungkan dan
juga bukanlah pengusaha seperti yang dikenal pada umumnya. Cakrawala mereka
nampaknya terbatas pada pengadaan kesempatan kerja dan menghasilkan
pendapatan yang langsung bagi dirinya sendiri.
2.4 Coping Strategies : Suatu Strategi dalam Menangani Kemiskinan
Coping strategies dikenal juga dengan coping behaviour, coping
mechanisms, survival strategies, household strategies, dan livelihood
diversivication (Suharto, 2002). Kajian mengenai coping strategies dapat
memberikan gambaran mengenai karakteristik dan dinamika kemiskinan yang
lebih realistik dan komprehensif. Ia dapat menjelaskan bagaimana keluarga
miskin merespon dan mengatasi permasalahan sosial ekonomi yang terkait dengan
situasi kemiskinannya. Selaras dengan adagium pekerjaan sosial, yakni ‘to help
people to help themselves ‘, teori coping strategies memandang orang miskin
bukan hanya sebagai objek pasif yang hanya dicirikan oleh kondisi dan
karakteristik kemiskinan, melainkan orang yang memiliki seperangkat
pengetahuan dan keterampilan yang sering di gunakannya dalam mengatasi
Kesadaran akan pentingnya penanganan kemiskinan yang berkelanjutan
yang menekankan pada penguatan solusi-solusi yang ditemukan oleh orang yang
bersangkutan semakin mengemuka. Pendekatan ini lebih memfokuskan pada
pengientifikasian “apa yang di miliki oleh orang miskin“ ketimbang “apa yang
tidak dimiliki orang miskin“ yang menjadi sasaran pengkajian.
Pada mulanya, konsep coping strategies sering dipergunakan untuk
menunjukkan strategi bertahan hidup (survival strategies) keluarga di pedesaan
negara-negara berkembang dalam menghadapi kondisi kritis, seperti bencana
alam, kekeringan, gagal panen, dst. Belakangan ini, beberapa penelitian
menunjukkan bahwa konsep ini ternyata dipraktekkan juga oleh keluarga di
wilayah perkotaan dan tidak hanya di negara berkembang, melainkan pula di
negara-negara maju.
Secara umum coping strategies dapat didefinisikan sebagai kemampuan
seseorang dalam mengatasi berbagai permasalahan yang melingkupi
kehidupannya. Dalam konteks keluarga miskin, menurut Moser ( 1998 ), strategi
penanganan masalah ini pada dasarnya merupakan kemampuan segenap anggota
keluarga dalam mengelola atau memenej berbagai asset yang dimilikinya. Moser
mengistilahkannya dengan nama “asset portfolio management“. Berdasarkan
konsepsi ini, Moser (1998 : 4-16) membuat kerangka analisis yang disebut “The
Asset Vulnerability Framework“. Kerangka ini meliputi berbagai pengelolaan
asset seperti :
1. Asset tenaga kerja (labour assets), misalnya meningkatkan keterlibatan
wanita dan anak-anak dalam keluarga untuk bekerja membantu ekonomi
2. Asset modal manusia (human capital assets), misalnya memanfaatkan
status kesehatan yang dapat menentukan kapasitas orang untuk bekerja
atau keterampilan dan pendidikan yang menentukan kembalian atau hasil
kerja (return) terhadap tenaga yang dikeluarkannya.
3. Asset produktif (productive asset), misalnya menggunakan rumah, sawah,
ternak, tanaman untuk keperluan hidupnya.
4. Asset relasi rumah tangga atau keluarga (household relation assets),
misalnya memanfaatkan jaringan dan dukungan dari sistem keluarga
besar, kelompok etnis, migrasi, tenaga kerja dan mekanisme “uang
kiriman“ (remittances).
5. Asset modal sosial (Social capital assets), misalnya memanfaatkan
lembaga-lembaga sosial lokal, arisan, dan pemberi kredit informal dalam
proses dan sistem perekonomian keluarga.
Di daerah pedesaan, coping strategies keluarga miskin sangat terkait
dengan sumber daya alam dan sistem pertanian. Beberapa bentuknya antara lain
meliputi :
• Akumulasi asset pada masa panen untuk digunakan pada masa paceklik.
• Sistem gotong royong diantara anggota keluarga dan anggota masyarakat
dalam mengelola makanan dan sumberdaya alam pada masa krisis
• Migrasi ke kota untuk mencari pekerjaan
• Penggantian jenis tanaman dan cara bercocok tanam
• Pengumpulan tanaman – tanaman liar untuk makanan
• Penghematan konsumsi makanan
• Penjualan simpanan benda – benda berharga ( emas, perabotan rumah
tangga )
• Penjualan asset produktif ( tanah, binatang, ternak )
• Penerapan ekonomi subsisten
• Produksi dan perdagangan skala kecil ( buka warung )
• Pemanfaatan bantuan pemerintah di masa krisis ( program JPS )
Di wilayah perkotaan, keluarga miskin cenderung menghadapi masalah
yang lebih berat dan kompleks. Di perkotaan, sumber daya alam umumnya tidak
dapat digunakan secara bebas, sistem kekerabatan lebih lemah, kondisi
lingkungan juga lebih berat dan kerap berbahaya (polusi, kejahatan). Dalam garis
besar, beberapa bentuk coping strategies keluarga miskin dapat dikelompokkan
menjadi tiga :
Peningkatan Asset
Melibatkan lebih banyak anggota keluarga untuk bekerja, memulai usaha
kecil-kecilan, memulung barang-barang bekas, menyewakan kamar,
menggadaikan barang, meminjam uang di bank atau lintah darat. Pengontrolan Konsumsi dan Pengeluaran
Mengurangi jenis dan pola makan, membeli barang-barang murah,
mengurangi pengeluaran untuk pendidikan dan kesehatan, mengurangi
kunjungan ke desa, memperbaiki rumah atau alat-alat rumah tangga
Pengubahan Komposisi Keluarga
Migrasi ke desa atau ke kota lain, meningkatkan jumlah anggota rumah
tangga untuk memaksimalkan pendapatan, menitipkan anak ke kerabat
atau keluarga lain baik secara temporer maupun permanen.
2.5 Interaksi Sosial
Kehidupan sehari-hari dalam masyarakat luas senantiasa terlibat dalam
suatu proses interaksi sosial yang merupakan hubungan antara tiap-tiap individu
dalam berbagai bidang kehidupan. Proses interaksi inilah yang menentukan
pola-pola interaksi sosial tertentu. Kimball Young, menyebutkan bahwa interaksi sosial
merupakan kunci dari semua kehidupan sosial sebab tanpa interaksi sosial tak
akan ada kehidupan bersama ( Soekanto, 1987 : 50 ).
Awal dari suatu proses interaksi adalah adanya kegiatan dari dua orang
atau lebih yang melibatkan sikap, nilai, maupun harapan masing-masing. Interaksi
juga didasarkan atas persepsi, motivasi, dan sikap individu terhadap kelompok.
Hal ini dapat bersifat terjadinya interaksi sosial secara negatif dan positif seperti
terjadinya kerjasama, kompetisi, ataupun konflik serta bentuk-bentuk interaksi
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Untuk menjawab pemasalahan yang akan diteliti, maka diperlukan adanya
suatu metode penelitian. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang
hasilnya akan disajikan dalam bentuk deskriptif.
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami
fenomena tentang apa yang di alami oleh subjek penelitian misalnya perilaku,
persepsi, motivasi, tindakan, dll.,secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam
bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan
memanfaatkan berbagai metode alamiah (Moleong, 2005 : 6).
Metode kualitatif ini dipergunakan dengan berbagai pertimbangan.
Pertama, menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apabila berkaitan dengan
kenyataan jamak. Kedua, metode ini menyajikan secara langsung hakikat
hubungan antara peneliti dengan informan. Ketiga, metode ini lebih peka dan
lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama
terhadap pola-pola nilai yang dihadapi.
Data yang dikumpulkan adalah berupa kata-kata, gambar, dan bukan
angka-angka. Semua data yang dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci
terhadap apa yang sudah diteliti. Dengan demikian, laporan akan berisi
laporan, peneliti menganalisis data yang sangat kaya tersebut dan sejauh mungkin
dalam bentuk aslinya.
3.2. Lokasi Penelitian
Sesuai dengan judul penelitian ini yang menyangkut komunitas buruh
bagasi, maka penulis memilih lokasi penelitian yaitu di Pelabuhan
Belawan, yang terdapat di jalan Sumatera No. 1 Belawan, Kecamatan
Medan Belawan. Selain itu, lokasi penelitian juga mudah untuk dijangkau
sehingga memudahkan peneliti untuk mengadakan penelitian.
3.3. Unit Analisis dan Informan
• Unit Analisis
Unit analisis adalah satuan tertentu yang diperhitungkan sebagai
subjek penelitian ( Arikunto ; 1999 : 132 ).
Adapun yang menjadi unit analisis dari penelitian ini adalah buruh
bagasi yang bekerja di Pelabuhan Belawan, Medan.
• Informan
Informan adalah individu, komunitas atau kelompok masyarakat atau
institusi yang menjadi sumber informasi. Yang menjadi informan
dalam penelitian ini adalah :
1. Informan Kunci
a. Buruh yang telah bekerja selama minimal 5 tahun
b. Buruh bagasi tersebut telah berkeluarga.
c. Buruh bagasi tersebut memiliki anak yang sedang
ataupun telah tamat sekolah.
2. Informan Tambahan
Yakni orang-orang yang mengetahui bahkan terlibat dalam
kehidupan pekerjaan buruh bagasi, diantaranya :
a. Koordinator KPLP (Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai)
bagian buruh bagasi.
b. Koordinator ADPEL (Administrasi Pelabuhan)
c. Pihak PELNI
d. Penumpang kapal laut
Dari informan tambahan (selain penumpang kapal laut), yang
hendak diperoleh dari mereka adalah sebatas data mengenai lokasi
penelitian, yakni Pelabuhan Belawan, serta data-data yang
berkaitan dengan keberadaan buruh bagasi.
3.4. Teknik Pengumpulan Data
Agar penelitian ini sesuai dengan yang diharapkan, maka diadakan
teknik-teknik untuk memperoleh data. Mengumpulkan data adalah pekerjaan yang sukar,
karena apabila diperoleh data yang salah, tentu saja kesimpulannya pun menjadi
salah pula, dan hasil penelitiannya menjadi palsu ( Arikanto, 2002 : 24). Dalam
• Data Primer
1. Depth Interview ( Wawancara Mendalam )
Yakni melakukan wawancara mendalam secara personal kepada para
informan, dengan harapan agar peneliti dapat mengetahui gagasan, ide,
pengetahuan, dan isi hati objek dengan mengajukan pertanyaan pada
informan yang mengacu kepada interview guide yang sebelumnya
telah dibuat peneliti sesuai dengan perumusan masalah yang hendak
diteliti.
2. Field Observation ( Observasi Lapangan )
Yakni pengamatan yang bermaksud untuk mengamati
kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh buruh bagasi selama ia bekerja. Dengan
ini diharapkan keakuratan data akan tercapai.
• Data Sekunder
Yakni mengumpulkan data dari berbagai sumber, misalnya buku yang
berkaitan dengan masalah penelitian, data dari internet, dll, serta arsip (
dokumen ) untuk mendapatkan catatan dan data mengenai penelitian
secara umum yang diperoleh dari pihak pelabuhan serta pengambilan
foto di lapangan.
3.5. Interpretasi dan Analisa Data
Data yang diperoleh yakni catatan lapangan, gambar-gambar atau foto-foto
serta hasil wawancara diuraikan dalam bentuk tulisan, kemudian dianalisa sesuai
3.6. Jadwal Kegiatan
No Rencana Kegiatan
Bulan I Bulan II Bulan III Bulan IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
1 Persiapan
a. Seminar Proposal
b. Perbaikan Hasil Seminar Proposal
c. Pengurusan Izin Admonistrasi Penelitian
2 Operasional Penelitian
a. Pengumpulan Data
b. Interpretasi Data
3 Penyusunan Laporan
a. Analisa Data
b. Menyusun Laporan Hasil Penelitian
c. Perbaikan Hasil Laporan
4 Sidang Meja Hijau
3.6. KETERBATASAN PENELITIAN
Penelitian yang dilakukan di Pelabuhan Belawan ini memiliki fenomena
tersendiri. Di awal penelitian, muncul rasa khawatir di hati peneliti. Hal ini
berhubungan dengan tanggapan beberapa orang ketika melihat judul skripsi ini
yakni mengenai buruh bagasi yang bekerja di Pelabuhan Belawan. Pertama, buruh
bagasi secara keseluruhan terdiri dari buruh laki-laki. Kedua, daerah Pelabuhan
Belawan ini dikenal sebagai daerah yang rawan konflik. Kedua hal ini dikaitkan
pula dengan peneliti yang adalah seorang perempuan, sementara ketika
mendengar sebutan buruh bagasi orang langsung terbawa ke suatu pribadi yang
keras, dikarenakan mereka mengerjakan pekerjaan kasar di lokasi yang cukup
keras, sehingga membentuk karakter yang keras bagi orang yang bekerja di sana.
kendala adalah tidak adanya kelengkapan data yang berhubungan dengan
keberadaan buruh bagasi. Yang ada hanya sebatas data nama-nama buruh yang
terdaftar sebagai buruh bagasi di Pelabuhan Belawan tersebut. Bahkan data
tentang Pelabuhan pun tidak peneliti temukan secara rinci di kantor ADPEL
(Administrator Pelabuhan). Data yang mereka miliki belum diperbaharui sejak
2002. Dari hal ini peneliti melihat bahwa manajemen administrasi Pelabuhan
Belawan belum tertata dengan baik. Dalam hal ini peneliti berusaha untuk
mengambil informasi dengan mencari data-data tersebut dari situs internet.
Hal lain yang menjadi kendal dalam penelitian ini adalah sulitnya peneliti
untuk memperoleh referensi yang berkaitan dengan buruh bagasi. Bahkan peneliti
juga tidak menemukan adanya penelitian yang secara khusus membahas tentang
BAB IV
PENYAJIAN DAN INTERPRETASI DATA
4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian
4.1.1. Sejarah Ringkas Pelabuhan Belawan
Secara geografis, Pelabuhan Belawan sebagai salah satu pelabuhan
utama di Indonesia Bagian Barat ( gate way port ) terletak di pantai timur
Sumatera Utara, pada posisi 03 derajat – 48 derajat lintang utara dan 98
derajat – 45 derajat bujur timur.
Dari ibukota Propinsi Sumatera Utara, Medan, pelabuhan ini berjarak
sekitar 27 km. Luas daerah pelabuhan darat 2767,9 ha dan luas perairan
9884,4 ha serta mempunyai sarana jalan sepanjang 9 km.
Sebagaimana halnya Kota Belawan, Pelabuhan Belawan mengawali
keberadaannya sekitar abad ke XVIII pada masa pemerintahan kolonialisme
Hindia Belanda. Pada masa pemerintahan ini, ketika Kerajaan Sultan Deli
berkedudukan di Labuhan Deli, pelabuhan kapal-kapal niaga berada di
Labuhan Deli.
Namun karena alur pelabuhan disini makin hari makin dangkal, dan
semakin padatnya lintas kapal niaga, Pelabuhan Deli tidak mampu bertahan
lebih lama. Apalagi ketika itu, kapal-kapal niaga dalam ukuran besar sudah
mulai muncul dan tidak dapat masuk ke pelabuhan.
Kemudian oleh Pemerintah Hindia Belanda dibuka pelabuhan baru di
Kali Belawan Deli, yang letaknya kira-kira 6 km dari Labuhan Deli.
Belanda, terutama setelah berkembangnya usaha perkebunan karet dan
tembakau.
Pelabuhan baru Kali Belawan Deli seterusnya dikembangkan oleh
Pemerintah Hindia Belanda, mengingat semakin meningkatnya hasil
komoditas dari sektor pertanian dan perkebunan. Malah tidak lama kemudian,
lonjakan komoditas semakin bertambah besar, sehingga tidak mampu
mengimbangi sarana pelabuhan. Untuk itu pihak pengusaha Hindia Belanda
lebih meningkatkan dan memperluas Pelabuhan Belawan, diantaranya dengan
melengkapi fasilitas lainnya.
Pada tahun 1872, untuk pertama kalinya Pelabuhan Belawan
disinggahi kapal dari British Indie Steam Navigation Coy. Tujuh belas (17)
tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1889, Pelabuhan Belawan Deli
dikunjungi pula oleh kapal Koniklijke Paketvaart Maatschappij atau KPM.
Tahun 1891, kunjungan kapal-kapal niaga semakin ramai di
pelabuhan ini, akibat meningkatnya usaha perkebunan di daerah Sumatera
Timur. Selanjutnya pada tahun 1899, pengusaha Belanda membuka
perkebunan baru dengan nama Senembah Maatschappij.
Sejak itu kemajuan perdagangan hasil bumi dari daerah ini dengan
luar negeri terus meningkat, menyusul semakin banyaknya perusahaan
perkebunan. Kemajuan di sektor perdagangan otomatis memaksa
berkembangnya perhubungan laut, khususnya yang menyangkut pengapalan
dan pelayaran ( shipping ).
Melihat kondisi yang demikian, penguasa Hindia Belanda segera
membangun sarana pelabuhan berupa dermaga, pergudangan, perkantoran,
dan fasilitas lainnya
Jadi dapatlah dikatakan bahwa Pelabuhan Belawan mengawali
keberadaannya sejak tahun 1899, selanjutnya berkembang pesat hingga
menjadi salah satu pelabuhan ekspor terbesar saat ini.
Berikut ini dapat dilihat perkembangan status perusahaan pelabuhan
Belawan:
1. Tahun 1945-1960 (Saat itu Pelabuhan Belawan dikelola oleh Jawatan
Pelabuhan).
2. Tahun 1960-1969 (Berdasarkan Keputusan R.I No. 130 Tahun 1957,
status Pelabuhan Belawan berubah menjadi Perusahaan Negara).
3. Tahun 1969-1983 (Berdasarkan PP No. 1 Tahun 1969 status
pelabuhan berubah lagi menjadi Badan Pengusahaan Pelabuhan).
4. Tahun 1983-1990 (Berdasarkan PP No. 4 Tahun 1985 Tanggal 5
Pebruari 1985 status pelabuhan berubah menjadi PERUM Pelabuhan).
5. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 56 Tahun 1991 Tanggal 19
Oktober 1991 status pelabuhan berubah menjadi PT ( Persero )
Pelabuhan Indonesia I.
6. Instruksi Presiden No. 4 Tahun 1985 dan Keppres No. 44 Tahun 1985
tentang ADPEL sebagai penanggungjawab tunggal pelayanan di
4.1.2. Letak Geografis Medan Belawan
Kecamatan Medan Belawan terletak di wilayah Utara kota Medan
dengan batas-batas sebagai berikut :
Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Medan Marelan dan
Kecamatan Medan Labuhan
Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka
Kecamatan Medan Belawan memiliki luas wilayah sebesar 26,25
km2. Kecamatan Medan Belawan adalah daerah pesisir Kota Medan dan
merupakan wilayah bahari dan maritim yang berbatasan langsung pada Selat
Malaka dengan penduduknya berjumlah 93,356 jiwa ( 2004 ).
Di Kecamatan Medan Belawan ini terdapat Pelabuhan Belawan yang
merupakan pelabuhan terbuka untuk perdagangan internasional, regional, dan
nasional. Pelabuhan Belawan ini merupakan urat nadi perekonomian
Sumatera Utara khususnya arus keluar masuk barang dan penumpang melalui
angkutan laut, sehingga Kota Medan dikenal dengan pintu gerbang Indonesia
bagian Barat.
Di Kecamatan Medan Belawan ini juga terdapat Terminal Peti Kemas
Konvensional Gabion Belawan, yang merupakan Pintu Gerbang ekspor dan
4.2 Deskripsi Keberadaan Buruh Bagasi
4.2.1 Gambaran Umum Buruh Bagasi di Pelabuhan Belawan
Pelabuhan Belawan merupakan urat nadi perekonomian Sumatera
Utara khususnya arus keluar masuknya barang dan penumpang melalui
angkutan laut. Setiap hari, pelabuhan ini ramai dikunjungi oleh masyarakat
yang hendak melakukan perjalanan dengan kapal laut ataupun masyarakat
yang datang dari daerahnya menuju Sumatera Utara.
Masyarakat yang menggunakan jasa angkutan laut ini lazimnya
membawa barang-barang, baik itu barang pribadi maupun barang dagangan.
Maka untuk lebih meningkatkan pelayanan kepada penumpang, dan untuk
menghindari adanya pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab yang akan
membuat kekacauan di pelabuhan, maka pihak pengawas pelabuhan yakni
KPLP menganjurkan kepada pihak penanggungjawab pelabuhan, yang saat
ini bernama ADPEL, untuk menyediakan orang-orang yang akan bekerja
sebagai buruh yang memberikan layanan jasa mengangkat barang
penumpang.
Sempitnya lapangan pekerjaan mengakibatkan banyak orang yang
tertarik bekerja sebagai buruh bagasi terutama mereka yang memiliki latar
belakang pendidikan yang rendah. Untuk menjadi buruh bagasi tidak
membutuhkan keahlian khusus, karena modal utama yang harus di miliki oleh
buruh bagasi adalah tenaga yang kuat dan berotot.
Untuk membatasi jumlah Buruh Bagasi, maka pihak
penanggungjawab pelabuhan menetapkan jumlah mereka yakni sebanyak 164
mandor mengawasi sekitar 38 sampai 42 orang buruh. Mereka secara
keseluruhan adalah laki – laki, dan terdaftar sebagai anggota tenaga kerja
bagasi.
Berikut komposisi Buruh Bagasi menurut golongan usia :
NO Golongan Usia Jumlah
Sumber : Data Baruna Barat Pelabuhan Belawan ( Data di olah kembali )
Untuk mengkoordinir para buruh, mereka dibagi dalam 2 ( dua )
kelompok dalam menjalankan tugasnya. Masing-masing 82 orang berseragam
merah dan 82 lainnya berseragam coklat. Seragam tersebut dilengkapi dengan
nomor punggung masing – masing buruh. Seragam yang mereka pakai berupa
kemeja tersebut, menjadi penanda bahwa mereka adalah buruh bagasi yang
siap melayani penumpang yang membutuhkan jasa.
Untuk menghindari rebutan penumpang, jadwal kedua kelompok ini
diatur berdasarkan rute perjalanan kapal. Jika mengikuti peraturan yang telah
ditetapkan oleh pihak ADPEL yang dikoordinir oleh KPLP, maka buruh yang
menurunkan bagasi adalah buruh yang mengenakan seragam merah dan yang
menaikkan bagasi adalah buruh yang mengenakan seragam coklat ataupun
pelabuhan. Namun, belakangan peraturan tersebut mengalami pergeseran,
yakni baik buruh yang berseragam merah maupun coklat tidak lagi bekerja
sesuai jadwal yang telah ditetapkan, tetapi setiap kapal datang maupun pergi
mereka diizinkan untuk bekerja. Hal itu disebabkan karena kapal hanya
datang sekali dalam seminggu, sehingga mereka memohon agar diizinkan
untuk tetap bekerja meskipun bukan pada jadwal mereka.
4.2.2. Kelompok Sosial
Sadar tidak sadar, setiap individu sejak lahirnya telah tergabung
dalam suatu kelompok, bahkan sejak orang tersebut dilahirkan ke dunia ini.
Adapun suatu himpunan dalam masyarakat dapat disebut sebagai kelompok
yaitu apabila memenuhi syarat – syarat berikut ini :
1. Setiap anggota kelompok harus sadar bahwa dia merupakan sebagian dari
kelompok yang bersangkutan,
2. ada hubungan timbal balik antara anggota yang satu dengan anggota yang
lainnya,
3. ada suatu faktor yang dimiliki bersama, sehingga hubungan antara mereka
bertambah erat. Faktor tadi dapat merupakan nasib yang sama,
kepentingan yang sama, tujuan yang sama, ideologi politik yang sama,
dan lain – lain. Tentunya faktor mempunyai musuh yang sama, misalnya,
dapat pula menjadi faktor pengikat / pemersatu,
4. berstruktur, berkaidah, dan mempunyai pola perilaku,
Dalam kehidupan buruh bagasi pun terbentuk kelompok – kelompok
sosial, yakni kelompok yang terbentuk atas adanya kesadaran akan kesamaan
status.
Dari hasil observasi yang dilakukan, ada tiga ( 3 ) kelompok yang
terdapat dalam komunitas buruh bagasi. Hal ini tampak dari tempat mereka
biasanya menunggu kapal dan dengan siapa mereka menunggu.
Kelompok yang terdapat pada buruh bagasi ini dapat dilihat dari tempat
mangkal mereka di lokasi kerja. Biasanya mereka mangkal sambil menunggu
kedatangan kapal.
Kelompok – kelompok tersebut antara lain :
1. Kelompok Kantin Atas
Yakni kelompok yang beranggotakan para buruh bagasi yang pada
umumnya bekerja sebagai agen yang membeli dan menjual barang
dari dan ke batam sebelum mereka bekerja sebagai buruh bagasi.
Mereka pada umumnya memiliki fisik yang besar, beragama
Kristen, dan bersuku Batak. Dapat di katakan kalau mereka ini
adalah kelompok kelas atas dikalangan buruh bagasi. Pada
umumnya mereka memiliki telepon selular ataupun handphone, dan
telah tinggal di rumah sendiri. Kelompok ini juga menyadari bahwa
mereka adalah kelompok paling elit di antara kelompok buruh
bagasi lainnya. Meskipun mereka tetap bergaul dengan buruh bagasi
2. Kelompok Mesjid
Kelompok ini hanya beranggotakan 3 orang saja, karena buruh
bagasi yang beragama Islam memang hanya tiga ( 3 ) orang saja.
Mereka biasanya berkumpul di Mesjid yang terdapat di lokasi
Pelabuhan Belawan ketika menunggu kedatangan kapal ataupun
setelah kapal berangkat.
3. Kelompok Pohon Rindang
Kelompok ini memiliki anggota yang paling banyak. Walaupun
kelompok ini terbentuk begitu saja tanpa adanya suatu persyaratan
khusus. Kelompok ini merupakan kelompok buruh yang paling
miskin, dan bertubuh kecil. Biasanya ketika menunggu kapal
datang, mereka berkumpul di bawah pohon yang berada di samping
Mesjid Pelabuhan sambil bermain catur, ataupun sekedar bercerita
sambil minum kopi, ataupun mengerjakan kegiatan – kegiatan
lainnya.
Hal menarik lainnya yang dapat di lihat dari komunitas Buruh Bagasi
ini adalah tidak adanya akses mereka terhadap organisasi buruh resmi.
Mereka juga tidak memperoleh fasilitas resmi dari pemerintah maupun pihak
penanggungjawab pelabuhan, meskipun mereka resmi terdaftar sebagai
tenaga kerja di Pelabuhan Belawan. Mereka tetap merupakan pekerja lepas,
4.2.3 Buruh Bagasi Ilegal
Di Pelabuhan Belawan ini terdapat juga buruh bagasi ilegal atau
sering dikatakan dengan buruh bagasi liar. Meskipun petugas keamanan
berada di pintu gerbang tangga kapal laut untuk mengawasi setiap
penumpang dan buruh bagasi yang keluar masuk kapal laut, namun mereka
mencoba untuk bisa mengangkat kapal penumpang dengan cara masuk dari
celah-celah tangga tersebut. Tentu saja buruh bagasi liar ini harus memiliki
tubuh yang kurus untuk bisa masuk lewat celah tangga tersebut.
Usaha yang dilakukan buruh bagasi liar tersebut tidak hanya itu saja.
Bagi mereka yang memiliki relasi, mereka akan masuk mengangkat barang
dengan meminjam tiket kapal laut penumpang tersebut. Hal ini tentu saja
menambah kerugian bagi para buruh bagasi, karena menambah saingan
mereka dalam mendapatkan penumpang. Buruh liar ini harus siap
menghadapi resiko jika ketahuan dan tertangkap oleh petugas keamanan
pelabuhan. Biasanya mereka dipukuli dengan pentungan yang dimiliki oleh
petugas tersebut dan akan dipaksa untuk keluar.
4.3 Penurunan Komposisi Penumpang Kapal Laut
Jumlah penumpang kapal laut di Pelabuhan Belawan mengalami
penurunan. Penurunan ini dikarenakan adanya kenaikan BBM sehingga
mempengaruhi kenaikan harga tiket kapal laut. Kenaikan tersebut terjadi
karena kapal penumpang yang memiliki ukuran serta daya angkut yang besar,
Semenjak munculnya banyak perusahaan penerbangan, masyarakatlah
yang diuntungkan. Tiket murah gampang didapat. Masyarakat tidak perlu
bersusah – susah lagi menghabiskan waktu berhari – hari untuk bepergian ke
suatu tempat, misalnya saja dari Medan ke Jakarta yang jika menaiki kapal
laut akan memakan waktu 3 hari, tetapi jika naik pesawat terbang hanya 2
jam saja.
Mendadak terjadi perubahan besar di bandara – bandara setelah
maraknya angkutan udara. Dulu, bandara – bandara di Indonesia hanya
dipenuhi orang – orang yang berdasi dengan sepatu mengilat dan koper
mahal. Memang, ketika itu harga pesawat sangat mahal, dan cuma bisa
dijangkau masyarakat kelas atas. Namun,saat ini di bandara kita menemui
wajah – wajah lugu sederhana yang baru turun dari pesawat, bahkan sebagian
besar menenteng kantong plastik dan bersandal jepit.
Kenaikan harga BBM dapat mempengaruhi pola operasi kapal. Hal
tersebut dikarenakan kenaikan biaya BBM sangat berpengaruh kepada biaya
lainnya, antara lain untuk biaya makanan penumpang, docking, air tawar, dan
bunker service. Sementara di sisi lain terjadi reformasi dalam bidang
penerbangan.
Saat ini langit Indonesia diramaikan 16 operator penerbangan dari 26
yang terdaftar. Padahal tiga atau empat tahun yang lalu, pesawat yang ada di
Indonesia hanya Garuda, Merpati, Mandala, Bouraq, Dirgantara Air Service,
Lion Air, Pelita Air Service, Bayu Indonesian Air, Jatayu Gelang Sejahtera,
Airmark Indonesia, serta Awair Internasional ( sudah tidak beroperasi lagi
Sekarang sudah ada Kartika Air Lines, Indonesian Airlines Avi Patria,
Star Air, Republik Express, Metro Batavia, Bali Internasional Air Service,
Seulawah NAD Air. Belum lagi delapan maskapai yang belum dapat AOC (
sertifikat operasi dari Dephub ). Delapan maskapai itu, Internusa Air, Satrio
Mataram Airlines, Asia Avia Megatama, Alatief Alair Internasional,
Nusantara Internasional Services, Riau Airlines, Air Paradise Internasional,
dan Fajar Air, bahkan telah ada pesawat yang tiketnya di peroleh dengan
sistem bocking lewat internet dengan harga yang sangat murah, yakni Air
Asia.
Tarif murah tersebut juga dipicu Keputusan Menteri Perhubungan
melepas batas bawah tarif pesawat udara pada Februari 2002 lalu yang
membuat semua airline domestik bersaing memperebutkan penumpang
dengan cara menurunkan harga.
4.4. Profil Informan
Adapun yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah :
1. SIAGIAN
Siagian adalah seorang buruh bagasi yang sudah sangat lama bekerja
di Pelabuhan Belawan. Mendiang ayahnya dahulu juga merupakan seorang
buruh bagasi. Siagian adalah anak sulung dari 3 (tiga) bersaudara. Dia sendiri
memiliki adik kembaran yang juga bekerja sebagai buruh bagasi. Sementara
adiknya yang bungsu juga bekerja di Pelabuhan Belawan hanya saja dia